Prince or Princess: MEMORIES

By AleenaLin

89.8K 9.6K 6.1K

-- Second Book -- (π™Όπš˜πš‘πš˜πš— πš–πšŠπšŠπš, πšŒπšŽπš›πš’πšπšŠ πš‹πšŽπš•πšžπš– πšπš’πš›πšŽπšŸπš’πšœπš’. πš‚πšŠπš›πšŠπš πšŠπš”πšŠπš— πš”πšŽπšœοΏ½... More

Chapter 1Β²
Chapter 3Β²
Chapter 4Β²
Chapter 5Β²
Chapter 6Β²
Chapter 7Β²
Chapter 8Β²
Chapter 9Β²
Chapter 10Β²
Chapter 11Β²
Jawaban Pojok Spesial
Chapter 12Β²
Chapter 13Β²
Chapter 14Β²
Chapter 15Β²
Chapter 16Β²
Chapter 17Β²
Chapter 18Β²
Chapter 19Β²
Chapter 20Β²
Chapter 21Β²
Chapter 22Β²
Chapter 23Β²
Chapter 24Β²
Chapter 25Β²
chapter 26Β²
Chapter 27Β²
Chapter 28Β²
Chapter 29Β²
Chapter 30Β²
Chapter 31Β²
Chapter 32Β²
Epilogue
Bye, Guys
infoβ™‘
PoP: Amorist 00
PoP: Amorist 1
POP: Amorist 2
PoP: Amorist 3
PoP: Amorist 4
PoP: Amorist 5
PoP: Amorist-Finale
Note

Chapter 2Β²

3.3K 277 127
By AleenaLin

Pastikan kalian sudah membaca Prince or Princess. Kisah Ren termulai dari sana.

Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Ren tengah sibuk mencari sosok Vier di setiap sudut kamar. Sudah lebih dari sepuluh menit gadis itu berkeliling, tapi tak lekas ditemukannya laki-laki bermanik safir itu. Aneh, gumamnya. Sejak afternoon tea tadi, Ren tak melihat laki-laki itu. Bahkan, saat makan malam pun tak dijumpainya.

Ren menyugar rambutnya lantas menghela napas lelah. Matanya mulai terasa luyu. Ia kembali menatap jam yang masih terus berpusing, lantas menyandarkan punggungnya pada pintu perpustakaan di dalam kamar Vier. Rencananya, Ren ingin meminjam buku, tapi lagaknya Vier amat sayang dengan buku-bukunya. Perpustakaannya terkunci rapat!

"Tugasku," desisnya sembari menatap pasrah lembaran soal yang belum sempat terisi oleh jawaban. Ren menggigit bibir. Membaca ulang soal yang berderet di atas selebaran itu. Semakin ia memikirkan jawabannya, semakin pening pula kepalanya itu. Tentang elemen penyangkal, pengikat, pelindung, barrier, ukh ... Ren mendesah. Materi macam apa itu?! Seingatnya, Mrs.Joey belum pernah menyinggung materi yang berhubungan dengan guardian.

Ren terdiam sembari memijit pelipisnya. Kepalanya mulai pusing. Dirinya sudah teramat lelah tuk menggarap soal dengan tingkat kesulitan selangit, tanpa buku referensi. Oh, ayolah! Di mana, Vier? Tugasnya tak akan terselesaikan tanpa sebuah kunci untuk membuka pintu. Tugas tak selesai sama saja dengan murka Mrs. Joey. Ren bergidik hanya membayangkan wajah wanita paruh baya itu. Kenapa semua pengajar di Royal High School tercipta sebagai guru killer?

Kepala semakin terasa berdenyut. Ren memegangi dadanya. Sesak. Ini terjadi lagi! Beberapa ingatan berhambur tanpa terkontrol. Mengambil alih fokus Ren. Ruangan serasa berputar. Pandangan Ren memburam, meninggalkan berkas-berkas cahaya yang menyilaukan.

"Ren." Ren hampir terjatuh jikalau Vier tak menahan punggungnya. "Kau baik-baik saja?" Vier memerhatikan wajah Ren cemas.

"Ah, aku ... Baik-baik saja."

"Kau demam?" Vier meletakkan tanganya pada dahi Ren.

"Tidak," ujar Ren, "aku baik-baik saja. Hanya saja, itu terjadi lagi."

Vier menautkan alisnya. "Itu?" matanya menyipit. "Apa maksudmu dengan itu?"

Ren terdiam sejenak. Merasakan kepalanya yang terus berdenyut. Ingatan itu sudah menghilang, tapi rasa sakitnya belum juga tanggal. Ia menegakkan tubuhnya, lantas menumpu tangannya ke dinding.

"Kejadian kemarin pagi."

"Terjadi lagi?" Vier mengoreksi. Selanjutnya, laki-laki itu malah sibuk berbenah dengan barang-barangnya tanpa memperhatikan Ren yang susah payah menahan sakit yang menyerang kepalanya. "Rezel sudah bilang, kan. Itu beban pikiranmu. Istirahatlah!" Vier memunggah kotak kayu berwarna marun yang ada di sudut ruangan.

"Umm ... Belum waktunya istirahat." Ren menggaruk tengkuknya. "Lupakan yang itu tadi," tuturnya sembari meringis menahan pening, "sebaiknya kau beri aku kunci perpustakaan. Tugasku belum rampung."

Vier menatap Ren dengan kedutan di dahinya. Ren tak heran, laki-laki itu acap kali menatapnya seperti itu. Tatapan tak percaya. "Kau serius?" ujarnya, "dengan keadaan seperti itu?"

"Sudah kubilang aku baik-baik saja!" sentak Ren.

"Baiklah-baiklah." Vier melempar sebuah kunci dengan bandul phoenix pada Ren. Kunci itu nampak berkilat-kilat terkena cahaya lampu.

Vier hanya tersenyum miring mengamati Ren yang menghilang di balik pintu perpustakaan. Tak lama, gadis itu kembali dengan beberapa buku di tangannya. Ia berjalan sedikit gontai. Sesekali ia terlihat meringis. Entah menahan pusing atau berat buku yang di bawanya.

Ren meletakkan bukunya hingga menimbulkan bunyi berderap. Ia lantas duduk di atas sofa sambil sandaran pada bantal sofa yang melembut di punggungnya. Ia kembali menyisir kalimat per kalimat soal yang berjejer rapi di atas selembar kertas. Tadinya, ia mengambil lima buku koleksi Vier tentang elemen, ia harap isinya sesuai dengan apa yang ia cari. Tak lama, Vier ikut terduduk di sofa sembari meletakkan laptop-nya ke atas meja.

"Kau terlihat sibuk," kata Ren, "kenapa?"

Vier melirik Ren sejenak. "Kau sungguh tak tahu," tanyanya, "bukankah kabarnya sudah tersebar."

"Kau ngomong apa, sih?"

Vier terkekeh. "Ah, dasar. Kau punya smartphone, tapi ketinggalan berita ter-update."

Ren mengernyit. "Maaf, bukan anak sosmed," jawabnya enteng sembari mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya.

"Siswa yang tak punya gadget pun tahu. Kenapa kau kalah tahu?" Vier memincingkan mata. Menampilkan ekspresi menyelidik membuat bulu kuduk Ren berdiri.

"Sudah. Jangan kebanyakan basa-basi!"

"Hnn ..." Vier menatap Ren sejenak. Gadis itu mengendikkan bahu sembari memasang tampang 'kenapa?'. "Jadi kau tak tahu tentang pelantikanku lusa. Teman macam apa kau?!"

"Pelantikan? Pelantikan apa?" Ren bertanya dengan tatapan tanpa dosa. Tak memerhatikan Vier yang nampak kesal dengan ketidaktahuan Ren.

"Ketua Utama Elite," jelasnya, "kurang jelas?"

Ren terdiam. Wajah kesal Vier kentara sekali sekarang di matanya. Seolah-olah perempatan siku sudah terbentuk di kepalanya. Namun, amat sayang karena sang gadis tak memperhatikan tentang itu.

"Oh."

"Hanya oh?" Vier mendesis, "ucapan selamat macam apa itu?!"

Vier berbicara panjang lebar, sembari sesekali mendengus. Namun, pendengaran Ren hanya menangkap beberapa. Ada yang salah. Ren memegangi telinganya. Entah kenapa, dirinya jadi kesakitan sendiri dengan kondisinya sekarang. Pendengarannya samar di susul rasa pening hebat yang menyerang kepalanya. Tahan, Ren! Tahan! Namun, sekeras apa pun Ren mencoba menahan rasa sakitnya, semuanya berakhir dengan pandangannya yang mengabur dan menggelap.

Cahaya rembulan kala itu menyorot lurus menembus kaca tebal dengan gorden tipis berenda. Menerangi ruangan remang dengan lilin-lilin dengan api kemerahan sebagai penerangan. Patung-patung dengan bentuk sosok-sosok bersayap kelelawar menghias sisi-sisi ruangan kelam itu. Sebuah singgasana bertatahkan batu mirah nampak kokoh berdiri di ujung aula dengan lantai marmer sewarna marun. Di sana duduklah seorang wanita dengan manik mirah. Ia terduduk dengan bertumpu dagu. Tatapannya menatap lurus pada seorang laki-laki yang membungkuk hormat di hadapannya.

"Bangunlah, Tums," katanya dengan raut penuh keangkuhan. Bukan hanya wibawa dan keanggunan, rasa angkuh nampak kentara dari senyum di bibir merahnya itu.

"Apa yang akan anda tugaskan pada saya kali ini, Ratuku?"

Sebuah seringaian merekah di bibir wanita itu. "Dengarkan tugas dariku baik-baik Tums," katanya, "kali ini, aku akan berhenti bermain. Para servant-ku sudah cukup kuat untuk semua ini. Kita akan segera melaksanakan itu."

Tums tertegun. "Anda yakin melakukannya sekarang?"

"Yeah, kita susun detail rencananya mulai sekarang." wanita itu membenarkan posisi duduknya. "Saat dia sudah ada di AirStreet. Berikan ingatan itu padanya. Dia akan jadi pion kita. Dan pada waktuya, akan kita jalankan rencana besar ini."

Tums mengangguk. Sudah waktunya, gumamnya. Saat yang ditunggu-tunggu Ratu Besar hampir datang. Hari balas dendam yang dirancangnya bertahun-tahun. Sebagai tanda tak terima dirinya diturunkan takhta paksa dari kedudukan sebagai pemimpin dark zone. Pergolakan yang sempat terjadi antara bangsa light dan dark mengakibatkan pelbagai perpecahan bangsa dark. Banyak bangsa dark yang tunduk atas kekuasaan bangsa light. Dan perjanjian damai hampir menguasahi seluruh wilayah. Ratu Besar bersikukuh menolak perjanjian itu. Bukannya mendapat dukungan, takhtanya terpaksa lengser. Dan di sinilah Ratu besar sekarang. Hidup dalam black castle dengan rasa dendam yang belum lekang.

Tums keluar dari aula selepas Ratu Besar memberinya isyarat untuk pergi. Tujuannya kali ini untuk mencari servant Ratu Besar yang lain. Setelah Panglima Perang Raven tewas, banyak hal yang berubah. Sistem di dalam black castle diubah. Para servant lebih aktif dari yang sebelumnya. Mereka berhenti bergantung dengan kekuatan Raven. Memang benar, banyak yang beranggapan panglima itu lebih senang memberikan perlindungan pada servant lain, ketimbang mempersilahkan mereka ikut andil.

"Tums!" seorang perempuan memanggil laki-laki bersurai gelap itu dengan nada manja, membuat Tums berdecih pelan.

"Ada apa, Laura," tanyanya tanpa minat.

"Apa Ratu Besar memberi perintah baru?" tanya gadis bernama Laura itu bersemangat, "butuh bantuanku?"

Tums menghela napas. "Ada," jawabnya, "aku punya perintah buatmu."

Mata Laura berbinar. Mendapat perintah dari Tums adalah kesenangan terbesarnya. "Apa itu?"

"Jangan ganggu aku!" Tums menekan setiap kata yang diucapkannya.

Bibir Laura berubah manyun. Kedutan di bibirnya menggantikan binaran senyum yang merekah tadinya. "Ayolah, Tums! Berhenti bersikap seakan aku mengganggumu." Laura mendesah.

"Kau memang selalu mengganggu," desis Tums pelan. Cukup pelan hingga gadis bersurai kelabu yang tengah mengoceh panjang lebar itu tak mendengarnya.

Sementara Laura terus mengoceh dan membual, Tums melanjutkan langkahnya. Tak mengacuhkan gadis itu yang memekik-mekik memanggil namanya. Terkadang memang servant Ratu Besar tak semuanya waras. Apa lagi dengan suasana normal seperti ini. Sisi kejam mereka luntur, berganti dengan sisi lain dari mereka. Konyol dan pengganggu.

"Edgar!"

Tums mendorong kasar sebuah pintu yang tertempel di sisi lorong. Ia masih terbawa perasaan kesalnya terhadap Laura. Selepas dirinya melewati ambang pintu, dijumpainya seorang laki-laki dengan surai hazel yang tengah merebahkan dirinya di atas sofa lebar. Sebuah buku terbuka menutupi wajahnya yang tengah terlelap.

Tums mendecak lantas menyingkirkan buku yang menutupi wajah laki-laki yang dipanggilnya Edgar. "Bangun, Edgar!" ia meninggikan suaranya. Memaksa Edgar untuk meninggalkan aktivitas tidur-tidurannya.

"Uhm ... Kau berisik, Tums." Edgar menggaruk rambutnya sembari mendudukan dirinya malas. Sesekali ia menguap tanda kantuknya belum lekas hilang.

"Aku punya tugas buatmu."

Edgar membenarkan posisi duduknya, lantas menatap Tums dengan alis bertaut. "Apa dari Ratu Besar?"

Tums mengangguk. "Iya," jawabnya, "kupikir tugas ini akan cocok untukmu."

"Apa itu?"

"Kau akan menyerahkan sebuah ingatan untuk nona kita." Tums menunjukkan sebuah kalung dengan bandul batu topaz.

"Huh? Sudah waktunya?" Edgar mengambil alih kalung itu dari jemari Tums. Diamatinya kalung itu lamat-lamat. Batu topaznya berkilat terkena cahaya lilin remang dalam ruangan.

"Ya. Ratu Besar memerintahkan untuk memulainya." Tums beranjak keluar dari ruangan itu. Saat sampai di ambang pintu ia menolehkan kepalanya. "Aku akan memberi perintah pada servant lain. Pastikan kau kerjakan tugasmu baik-baik."

Gemerisik pepohonan terdengar amat jelas di pendengaran. Angin berhembus menebar hawa dingin. Musim gugur akan segera berakhir sekitar satu minggu lagi. Dan musim dingin datang setelahnya.

Ren bersenandung santai sembari sesekali merapatkan syalnya. Ia berjalan sembari menenteng busurnya, di punggungnya juga terselampir selongsong anak panah. Rencananya, ia akan ke arena latihan hari ini. Sudah lama ia tak menjajal kemampuannya. Jangan sampai ia menjadi lebih dari pecundang di AirStreet. Waktunya mengumpulkan tekad, pikirnya.

Ren menghela napasnya. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru arena latihan. Tenang, seperti biasanya. Ren tersenyum, kala menemukan sosok bersurai pirang yang tengah terduduk menutup kelopak matanya sembari menyandarkan punggung pada pohon besar dekat archer zone. Rezel.

"Rezel!"

Ren menghampirinya. Rezel langsung membuka matanya. Mana mungkin ia masih bisa tertidur dengan kehadiran Ren di dekatnya. Sekeras apa pun ia berusaha tidur, gadis itu akan membangunkannya dengan segala cara. Tebakan pasti.

"Hnn ..." Rezel menutup sebelah matanya. Suasana saat ini benar-benar mengundang minatnya untuk tidur. Suasana yang sama seperti di Annelosia. Dingin semilir angin dan suasana yang begitu tenang.

"Sepertinya pas kau ada di sini. Maukah kau membantuku mengingat tentang perubahan elemen?" tanya Ren antusias.

"Huh? Buat apa? Apa itu berguna buatku?" Rezel berbicara sembari menutup kembali matanya. Ia sempat menguap beberapa kali, menandakan dirinya benar-benar tak bisa melepaskan kantuknya begitu saja. Ini timing yang pas untuk merebah.

"Ayolah, Rezel!" Ren mengguncang lengan Rezel. "Sekali saja bantu aku. Vier tengah sibuk sekarang, aku tak bisa meminta bantuannya."

"Ukh ... Lakukan sendiri, sana!" Rezel menyentak tangan Ren. Lantas beranjak berdiri dengan wajah kusut. Tak terima tidurnya terganggu.

"Kau mau kemana?"

"Mencari tempat tanpa pengganggu."

"Hei!" Ren menarik lengan Rezel. Memaksanya untuk membatalkan kehendaknya untuk pergi. "Kumohon, bantu aku."

"Tidak."

"Ayolah!" Ren memasang tampang melas.

"Tidak," tegas Rezel geram.

"Ayolah! Ayolah! Ayolah! Ayolah!"

"Tidak. Tidak. Tidak. Tidak."

Rezel bermaksud pergi saat dirinya berhasil berdiri, tapi lagaknya takdir hari ini tak mengizinkannya pergi dengan mulus. Ren menahan kuat-kuat lengannya. Seperti anak kucing yang manja pada majikannya. Gadis itu masih memasang tampang melas ke arah Rezel.

"Lepas!" sentak Rezel mencoba melepaskan tangan Ren yang mencengkeram lengannya. "Lepaskan atau kuhanguskan kau!?" acamnya.

"Huuh ... Dengan apa kau akan membakarku?" Ren memasang raut remeh. Dalam benaknya, Rezel hanyalah seseorang yang memiliki elemen tipe penyembuh. Tumbuhan, mungkin. Dengan apa ia akan menghanguskannya. Gosokan antar ranting?

Rezel mendecak. "Aku tak bilang membakar, tapi menghanguskan," ralatnya, "apa-apaan tampang itu? Mau menanantangku?"

Ren berkacak pinggang, melepas cengkeramannya, lantas berjalan ke arah archer zone dengan menyamankan letak selongsong panahnya di punggung. Ia melirik Rezel--yang masih berdecak dengan kesal--sekilas dengan ekor matanya.

"Itu hanya ancaman dan kau tak bisa melakukannya, kan?"

Rezel berdecih. Dikepalkannya tangannya kuat-kuat. Muncul percikan listrik di antara jari-jarinya. Sedangkan Ren, dia malah sibuk mencari gara-gara dengan si rambut pirang. Ia mengeluarkan semua ocehannya sebagai balas dendam atas sambutan tak mengenakkan Rezel. Tanpa kembali memperhatikan Rezel yang marah, ia berjalan tanpa beban.

Sebuah kilatan melaju cepat. Melewati Ren dengan sedikit menggores pipi kanannya, meninggalkan rasa panas dan perih di sana. Kilatan itu mendarat tepat di atas papan sasaran dan menghanguskannya.

Ren melempar pandangannya sembari melotot. "A-apa-apaan!?"

Rezel tersenyum angkuh. Di tangan dipegangnya sebuah busur berwarna metal yang entah dari mana di dapatkannya. Ia terkekeh puas. Seperti yang lain, orang-orang menganggap kemampuan healing sebelah mata.

"Kau boleh mengataiku seorang dengan kemampuan healing yang tak bisa menggunakan elemen untuk menyerang. Namun, yang harus kau tahu, tak semua kemampuan healing didapat dari elemen unsur alam." Rezel menyugar rambutnya. "Lagi pula, aku hanya memiliki sedikit elemen unsur alam, kok," tambahnya.

"Yeah. Dapat!" seru Ren. "Ajari aku! Kau bisa menggunakan teknik perubahan elemen, kan?!" ia meunjuk-nunjuk Rezel dengan telunjuknya. Ia nampak tak merasa tersakiti dengan luka di pipinya karena anak panah petir Rezel. Gadis itu juga terlihat tak sadar cairan kental berwarna merah dengan perlahan mengalir di pipi tirusnya.

"Huh? Kau bilang apa?" Rezel menelengkan kepalanya. Surai pirangnya yang berantakan berkibar tatkala diterpa angin.

Ren menebar senyum penuh kemenangan. "Karena sudah terlanjur, pakai elemenmu tuk ajari aku."

"Tidak akan." Rezel berbalik.

"Ayolah,Rezel!"

Tak guna, maki Ren dalam hati. Ia bersedekap sembari menatap punggung Rezel yang menjauh. Ia sedikit kagum dengan elemen Si mulut singa itu. Yeah, elemen dan kemampuan unik. Petir dengan sedikit bumbu kemanpuan penyembuh dari elemen unsur alam yang digadang-gadangnya hanya sedikit.

Ren bersegera menghentikan aktivitasnya. Rasa pusing itu datang lagi. Menebar, menguar, memutar ingatan-ingatan yang tak jelas menggambarkan tentang apa. Ellea hanya bilang itu cuma ingatan yang menyesuaikan tempat di kepalanya. Namun, rasa sakitnya amat keterlaluan. Ingatan macam apa yang sampai menimbulkan rasa sakit yang tak ayal sakitnya. Paru-parunya terasa berontak, tak ingin lagi memberikan oksigen buatnya, dan semua perasaan cemas dan ketakutan luar biasa yang mengambil alih realitanya. Membawa gadis itu terjun bebas ke dalam palung laut kesunyian terdalam.

"Oi, Ren!"

Ren merasakan guncangan di bahunya, diiringi suara Rezel yang sedari tadi mencoba membangunkannya.

Ren terbelak. Suhu tubuhnya meningkat drastis. Wajahnya memerah dengan bibir pucat. Demam. Ia tak berhenti gemetaran setelahnya. Gadis itu memfokuskan pandangannya. Entah sejak kapan dirinya sudah terduduk di atas hamparan rumput, di bawah naungan pohon berdaun rimbun--pohon yang lekang terhadap musim gugur, Ren rasa.

"Kau bersikap aneh," adu Rezel selepas Ren sudah menguasai semua inderannya dengan benar.

"Apa?" Ren mengatur napasnya. Mengisi penuh paru-parunya, lantas menghembuskannya kembali. Ia mencoba menenangkan dirinya di saat ini terjadi. Mungkin, ini akan sering terjadi. Namun, mentalnya tak lekas bisa terbiasa olehnya.

"Kau baik-baik saja, kan?"

"Entahlah." Ren mengacak rambut. Kesal dengan rasa pening yang terus merambati kepalanya. "Kurasa ini sudah ketiga kalinya."

"Sudah kubilang padamu, jangan jadikan pikiranmu be--"

"Tapi aku sedang tidak memikirkan itu!" sentak Ren sarkas, "aku bahkan hari ini sedang senang," lanjutnya. 

Rezel terdiam mendengar geretakan Ren yang sebal. Manik zamrudnya mengamati Ren yang ikut terdiam. Wajah gadis itu agak pucat. Seakan ia tengah mendapati beban baru dalam pikirannya.

"Sepertinya kau sedang tidak enak badan. Istirahat saja, sana!"

Ren menggeram. "Aku baik-baik saja!" tegasnya. 

Rezel menghela napas. Disandarkannya punggungnya pada batang pohon. Sayup-sayup suara embusan angin membuat matanya kembali dirambati rasa kantuk.

"Berada di dekatmu, benar-benar membuatku merasa seperti di dekat Vier versi perempuan." Ren menatap Rezel dengan alis bertaut. "Keras kepala," lanjutnya.

"Hnn ... Aku tak sedingin dia," jawab Ren lantas ikut menyandarkan punggungnya. Entah, hilang kemana niatnya untuk latihan tadi. Si penyayang kasur seperti Rezel membuatnya ikut mengantuk.

"Yeah, tapi akhir-akhir ini kulihat dia mulai hangat padamu."

Ren menghela napas. "Jangan mencoba menghasutku, Rezel," ujarnya, "untuk jadi perusak hubungan orang." ia tersenyum kecut sembari menatap lurus ke arah cakrawala.

"Aku tak mengerti apa yang kau katakan."

Suasana kembali lenggang. Ada jeda di mana Rezel dan Ren sama-sama terdiam. Yang terdengar hanyalah embus tenang angin juga sayup gemericik air Shappire Waterfall yang berada tak jauh dari arena latihan. Tempat favorit Ren untuk bersantai melepas tekanan--dulunya--bersama ... Gray.

Ren menekan pelipis dengan telunjuknya. Pusingnya tak lekas mereda. Kantuk pun tak membuat rasa pening itu hengkang. Malah menghalaunya lebih dalam.

"Bukankah," ujar Ren, "Vier dan Rise punya hubungan?"

Rezel membuka kelopaknya, membiarkan manik zamrudnya berkilat terkena berkas cahaya matahari yang merasuk melalui celah-celah dedaunan. "Kenapa memangnya?" tanyanya sembari menyungging senyum masam.

"Tidak. Hanya penasaran."

"Entahlah. Hanya ada dua opsi. Ya dan tidak." Rezel menegakkan tubuhnya. Memberi jarak antara punggungnya dengan batang pohon. "Ya, untuk Vier yang memang menyukai gadis itu. Lagi pula, tak ada yang membuatnya tak lazim. Dia cantik, baik, juga tipe Vier, kurasa." Rezel sedikit berbisik pada kalimat terakhir.

"Untuk jawaban tidak?"

"Hmm ... Untuk jawaban itu." Rezel menjeda. Matanya memincing dengan sedikit melirik ke arah Ren. "Ada bayaran untuk itu?"

"Tidak." Ren menyedekapkan lengannya lantas menutup matanya sembari merasakan pungungnya yang pegal terantuk batang pohon.

Rezel terkekeh pelan. "Aku cuma bercanda," ujarnya, "untuk jawaban tidak, kurasa, karena Vier punya hutang nyawa padanya. Kau tahu, jika ia tak bertemu dengannya, mungkin Vier tak akan pernah terlihat di depan matamu lagi." Rezel menutup dengan sedikit penekanan di kalimat terakhir. Ren hanya menangapinya dengan ber-oh ria tanpa memedulikan laki-laki berambut pirang itu yang mendengus kesal.

"Jawaban yang masuk akal." Ren unjuk bicara selepas beberapa saat. "Cari aman," desisnya melanjutkan.

"Oh, ya. Sebaiknya kau baik-baik di AirStreet."

"Kenapa?"

Rezel tak lekas menjawab. Ia menggaruk tengkuk sembari sedikit menengadahkan kepalanya ke arah dedaunan rimbun yang bergelayut manja di antara dahan pohon. "Vier mungkin akan lebih sensitif di sana."

"Sensitif bagaimana?" kata-kata Rezel mungkin sudah terlalu rancu di otaknya. Mengingat Ren bukanlah orang yang cerdas dalam merangkai puzzle-puzzle teka-teki atau kata kiasan. Ia tak terlalu menggandrungi sastra atau pun hal-hal berbau detektif.

"Di sana ada seseorang yang mungkin, sedikit mengganggunya, dan membuatnya kembali bersinggungan dengan masa lalu yang cukup menyakitkan untuk diingat. Kuharap, kau tak membeberkan apa yang kukatakan ini pada Vier." Rezel bercerita dengan raut agak suram.

"Masa lalu?" Ren menautkan alisnya. Menerka apa gerangan yang menjadi acuan Rezel untuk mengatakan masa lalu Vier yang secara harfiah adalah buruk.

"Hati-hati dengan orang itu. Jika ia tahu kau dekat dengan Vier, dia mungkin akan mencoba mengusikmu," tambah Rezel. Mendengar tambahan Rezel malah membuat Ren bergidik. Membayangkan sosok yang disebut-sebut sebagai penghantar Vier pada masa lalunya.

"Siapa orang itu?"

"Excel. Excel Luxe Annelo. Sepupu Vier."

"Kira-kira masa lalu apa yang nampaknya mengganggu Vier?" Ren memasang tampang keingintahuan. Seperti seorang anak kecil yang menuntut penjelasan pada ibunya tentang hal-hal yang belum bisa ditafsirkan otaknya.

"Tunggu dulu." Rezel menjeda. "Kau malah terkesan mengorek privasi Vier." Rezel memasang wajah curiga dengan sipitan mata dan kemiringan alisnya.

Ren tersentak. "Bukan begitu. Aku, kan,cuma bertanya. Lagi pula,kau yang mengarahkan perbincangan kita ke sana," sanggahnya kesal.

Rezel terkekeh. "Oke, oke, aku hanya bercanda. Lagi pula, aku sengaja menyinggung tentang itu."

Ren kembali terperangah. Keningnya berkerut dalam. Ia makin tak mengerti simpang siur perbincangan Rezel. Sebagai seseorang dengan image konyol dan pemilik logat cewek tukang gosip, kata-kata yang berhambur dari mulutnya itu mungkin terlalu ketinggian level. Entah level siapa yang salah di sini. Ren seperti menemukan sisi lain Rezel di sini. Sisi yang ramah dan halus. Jangan lupa, misterius.

"Kau bicara apa, sih? Jangan membuatku tambah pusing," cerca Ren. Ia berlagak memijit keningnya. Sejujurnya, ia sudah hampir melupakan peningnya, tapi semua omongan Rezel membuat kepalanya kembali memaksakan diri untuk bekerja keras.

"Maksudku," ungkap Rezel, "seharusnya setelah kukatakan ini kau lebih memperhatikan sikap sensitif Vier. Pahami situasi. Jangan buat kepalanya dipenuhi beban. Kau tahu, akhir-akhir ini kau membuatnya makin terlihat lelah."

"Heh?" Ren menyalak tak terima, "aku?! Kenapa aku? Apa yang kulakukan?"

"Ren, dengar! Vier mencoba melindungimu. Dia dibebankan tugas untuk memastikan kau baik-baik saja. Dalam segala aspek, tentunya." setelah mengatakan itu, Rezel sempat terdiam sampai akhirnya ia tertawa dengan makna tersirat, lantas tersenyum kecut. "Ah, aku keceplosan lagi, ya."

Ren bergeming. Mencoba mencerna perkataan Rezel. Dari rautnya, ia sama sekali tak menunjukkan gelagat "keceplosan" yang ia gadang-gadang di akhir kalimatnya. Ia sengaja. Gadis bersurai kecokelatan itu memejamkan matanya. Memikirkan ulang kebenaran akan omongan Si mulut singa yang kadang terdengar bagai bualan. Memang, sih, terkadang nampak sekali maksud tersirat Vier yang ia tutupi dengan sifat sok perhatiannya. Namun, untuk alasan laki-laki itu akrab dengannya dengan alasan melindungi. Apakah itu fakta yang relevan?

"Kenapa Vier melindungiku?" Ren menatap Rezel yang masih dalam posisi berleha-leha.

"Tugas," jawabnya singkat.

"Dari?"

"Mrs. Mire."

"Jadi ..." Ren menjeda. "Selama ini, dia hanya menjalankan tugas tanpa dorongan hati yang ikhlas untuk berhubungan denganku. Selama ini, aku hanya membebaninya dengan hubungan persahabatan yang ternyata kosong?"

Rezel terkekeh. "Kau bicara apa, sih?" laki-laki itu mengacak rambut. "Jangan salah sangka." Rezel mendengus. "Argh ... Aku tak tahu harus ngomong bagaimana agar kata-kataku bisa nempel di kepalamu yang sempit itu."

Ren masih terdiam. Merenung. Merasa tak enak dengan Vier akan kelakuannya akhir-akhir ini. Merepotkan, pastinya. Ia menekuk lutus, lantas memendamkan wajahnya.

"Oi!"Rezel mendorong Ren hingga gadis itu terjungkal. "Jangan drama!"

"Diam, kau. Aku sedang menghayati." Ren tak lekas bangun. Malah sibuk merebahkan dirin di atas rerumputan. Merentangkan tangannya sembari menerawang bumantara di atas sana.

"Aku bilang begitu supaya kau bersikap lebih dewasa lagi dan berani menghadapi kehidupan yang keras ini tanpa bergantung pada orang lain. Kau mengerti maksudku, kan, Ren?" Rezel mengerling dengan ekspresi disinis-siniskan.

"Yeah. Aku baru saja dapat ilham, kurasa."

"Hnn ... Ya, terserah." Rezel membuang muka. "Berhenti membicarakan Vier sekarang."

"Oke." Ren menutup matanya dengan lengan masih dalam posisi merebah. "Lagi pula, aku tak ingin mengingatkan diriku kembali tentang rasa bersalahku pada si bipolar itu. Biarkan aku melupakannya. Kepalaku jadi pusing." ia merancau tanpa menunjukkan ekspresi lain selain ekspresi culas yang lelah. Labil.

"Bipolar apa?" Rezel mengernyit. "Kau bilang Vier bipolar?"

"Iya," jawab Ren, "ada yang salah?"

Rezel tertawa tertahan. "Tanpa sadar kau mengatai Vier sakit jiwa, Ren." laki-laki bersurai pirang itu susah payah menahan tawanya.

"Hah?" Ren mendudukan dirinya paksa. "Apa iya? Bipolar artinya apa?"

"Astaga." Rezel menggelengkan kepalanya. "Kau mengatai orang dengan sebuatan yang tak kau ketahui artinya."

"Yang kutahu bipolar itu perubahan emosi secara tiba-tiba." Ren menjelaskan.

Rezel menelengkan kepalanya. "Itu malah kedengaran labil ketimbang bipolar."

"Ehem ... Kupingku panas."

Ren dan Rezel melempar pandangan mereka ke atas pohon. Vier sudah berjongkok di salah satu ranting kokoh sembari berlagak memegangi daun telinganya yang "kepanasan".

"S-sejak kapan kau di sana?" Ren terperangah.

"Sejak kata bipolar disandingkan dengan namaku."

Rezel reflek menghela napas lega. Beruntung Vier tak menguping perbincangannya dengan Ren barusan. Mungkin, ia bakalan kena sembur laki-laki nilam yang diam-diam memiliki sisi tukang sembur dan pemarah. Jauh teredam dalam dirinya yang dibalut dengan es abadi yang dingin luar biasa di mata orang-orang.

Ren terdiam. Masih terpaku di tempatnya. Entah, hilang ke mana rasa tidak enaknya pada Vier tadinya. Menguap dan teredam begitu saja. Kepalanya mendadak kosong sejak Vier datang mengejutkannya dengan Si mulut singa.

"Ren, kemari!" Vier memberi isyarat dengan jari telunjuknya.

Ren beranjak, lantas dengan polosnya berdiri dengan menengadahkan kepalanya pada Vier. Tanpa ba-bi-bu satu sentilan melanyang dengan keras pada dahi lebar Ren. Dahinya yang tertutup anakan rambut yang jarang menampakkan simbol tersembunyi di baliknya. 

Ren mengaduh. "Apa-apaan!?" gertaknya.

"Untuk mengataiku memiliki kelainan jiwa sebagai bipolar." Vier tersenyum, tidak, lebih tepatnya menyeringai. Rezel yang masih sandaran pun terbahak melihat kejadian lontaran sentilan maut Vier pada gadis bersurai cokelat itu.

"Masa bodo." Ren berjongkok. Masih dalam keadaan memegang dahinya yang berdenyut. Membuat kepalanya makin pening saja.

"Ayo kembali! Sudah petang." Vier melompat dari atas dahan, lantas berjalan duluan tanpa beban. Ia masih menahan kikikannya melihat Ren yang berjongkok dengan aura kelam yang menyelubunginya.

Rezel ikut beranjak. Tiga langkah pertamanya ia terhenti, tertoleh kepada Ren lantas berbisik, "Pastikan kau punya hadiah basa-basi sebagai ucapan selamat pada Vier besok," ungkapnya, "pasti banyak gadis yang memberinya hadiah." Rezel tertawa Renyah membuat kening Ren berkerut.

"Apa maksudnya yang itu tadi?" Ren bergumam sembari menyipitkan matanya. "Hadiah, ya?" Ren memutar pandangannya sebelum ikut beranjak dan menyusul dua sosok yang sudah menjauh darinya.

Deritan pintu kamar mandi samar terdengar, mengiringi kemunculan Ren dari baliknya. Gadis itu nampak membungkus tubuhnya dengan mantel mandi. Di tangannya terdapat selembar handuk yang berulang kali digunakannya mengusap rambutnya yang basah. Ditolehkannya kepalanya pada jam yang tertempel pada dinding serba biru kamar Vier. Pukul tujuh, sudah waktunya turun untuk makan malam. Ren bergegas. Mengenakan cepat bajunya yang tak tersisa cukup banyak. Insiden yang menyebabkan barang-barangnya hangus tak tersisa itu mengharuskannya mencari lembar-lembar setelan baru. Yeah, setidaknya kini ia sudah memiliki enam setel baju pemberian Mrs. Mire. Tidak cukup banyak, tapi setidaknya cukup selangi bergantian satu per satu dari mereka dicuci.

Ren menolehkan pandangannya ke setiap sudut kamar. Lagi-lagi tak didapatinya sosok Vier di sana. Yang ada hanyalah ruang dengan dinding bercat biru yang lenggang. Hanya ada dirinya seorang.

Ren berjingkat kala mendapati Vier ternyata merebahkan dirinya di atas sofa. Ia tertidur, Ren rasa. Gadis itu terdiam, hanya mengamati sosok itu dengan saksama. Wajah Vier tertidur nampak lelah. Seolah dirinya baru saja dapat tertidur selepas semua kegiatan yang menguras tenaganya. Mungkin, juga termasuk baru saja lepas dari beban pikiran saat ia tidur. Ren teringat akan perkataan Rezel di arena latihan. Tentang Vier.Tentang fakta dirinya mungkin telah amat membebani pundak laki-laki nilam itu.

Ren menggelengkan kepalanya. Menepis semua pemikiran yang datang pada waktu yang kurang tepat. Gadis itu mendekat pada Vier yang masih terlelap. Perlahan ia mengguncang tubuh yang masih merebah tenang di atas sofa. "Vier," panggilnya pelan.

Vier merespon. Ia mendeham lantas membukamatanya cepat-cepat. Ia sempat menguap sebelum terduduk dan mengucek matanya. Rambutnya nampak berantakan, tapi entah kenapa, hal itu malah semakin menambah nilai kharismanya di mata Ren.

"Apa?" Vier merenggangkan kedua lengannya lantas menatap Ren dengan kantuk yang belum tanggal dari kedua kelopak matanya.

"Kau mau ikut makan malam, atau melanjutkan tidurmu?"

"Ah, sudah waktunya, ya?" Vier mendongakkan kepalanya. Memeriksa waktu.

"Apa ... Aku mengganggu tidurmu?" Ren merasa tak enak melihat raut Vier yang terlihat sedikit terganggu.

"Tidak." Vier menggaruk rambutnya dengan keadaan mata ruyup. Ia merenggangkan tangannya sekali lagi, lantas beranjak. "Ayo!" ajaknya selepas menata rambut dan mencuci muka.

Ren mengangguk, kemudian ikut beranjak. Mereka berdua keluar tepat saat Rezel hendak turun untuk makan malam. Laki-laki pirang itu sibuk bersiul sembari menapakkan kakinya santai di sepanjang lorong.

"Ah, kau terlambat, Vier," ujar Rezel. Ia berbicara santai seolah menjadi sisi kebalikan dari sisi normalnya. "Ah, tunggu!" Rezel terdiam. Ia menelisik wajah Vier yang agak kusut. "Kau kenapa?"

Vier menggeleng. "Aku baik-baik saja."

Rezel masih menyisir raut Vier di sepanjang perjalanan. Memastikan bahwa laki-laki itu benar baik-baik saja. "Kau kelihatan lelah," ujarnya, "bocah ini mengganggu istirahatmu?!" Rezel meninggikan suaranya sembari menuding Ren dengan tulunjuknya.

Ren berjingkat. "Hei!" ia melotot. "Jangan mengataiku yang tidak-tidak." Ren rasa, sisi lain Rezel itu perlahan berputar. Seperti roda, kadang sisi cerewetnya itu di atas dan kadang pula terlindas di bawah.

"Kalian jangan bertengkar!" Vier menggertak halus. Seolah tak berminat berbicara banyak malam ini. "Aku hanya sedikit mengantuk," lanjutnya.

"Sudah kubilang sebaiknya kau lanjutkan tidurmu. Aku merasa bersalah telah membangunkanmu."

Vier menghela napas. "Aku baik-baik saja."

"Dasar," Rezel mendesis, "kau selalu menyimpan masalahmu sendiri."

"Sungguh." Vier memasang raut meyakinkan. Menghalau jauh-jauh argumen Rezel yang mencoba menyudutkannya. Laki-laki dengan sifat kebapakan itu selalu cari-cari alibi untuk bersikap khawatir.

"Kau besok harus bangun pagi, Vier." Rezel masih terus berceloteh. Tanpa sadar pada posisi mereka yang hampir sampai ke dinner hall. "Jangan sampai kau pasang raut kusut besok, ya."

"Diam, Rezel. Aku mau makan malam."

Ditengah peraduan mulut yang makin memanas, Ren bergeming. Menatap dalam diam punggung dua laki-laki yang berjalan di depannya. Hingga ia teringat suatu hal yang kembali membuat wajahnya masam.

📎NOTE

Hnn ... Yeah malam minggu _-_ Lin menemani kalian para jomblo yang berharap malam ini hujan, tapi gak kesampean. Just kidding :v.

Sekarang apa?

Readers: Lin, minta diapain? 😠

Minta diperhatiin :'-)

Readers: Lin ...

Iya, iya 😑
Uhmm ... Maaf karena baru lanjut. Dan terancam, amat terancam. (Kayaknya malah udah deh) very slow update.

Readers: alah, Lin ... Nulis 3000-an words paling cuma sehari.

Ha-ha. Mungkin, itu untuk yang idenya ngalir terus kayak shappire waterfall. Sayangnya Lin bukan tipe itu :". Sekali lagi maaf. Lin makin sibuk akhir-akhir ini. Bentar lagi juga mau try out. Lagi kerap mood turun juga. Bawaannya pengen lempar buku matematika ke got mulu :v.

Jangan tertegun juga kalau Lin jarang nongol. Pasti kalian ngerti beban kelas 9 kayak gimana :". Jadi, begitulah. Maklumin aja ...

Dah, ah -_-

🐣

NB: tolong, typonya ingetin 😅

Continue Reading

You'll Also Like

6.1K 335 9
Kamu adalah murid yang sering telat. Mengapa kamu sering telat?. Karena Kamu selalu lupa untuk memasang alarm, bahkan jika kamu ingat untuk memasang...
SEMIDIO By Lalisa.SAM

Historical Fiction

3K 178 76
IVY DIRUNDUNG DI SEKOLAHNYA KARNA DITUDUH SEBAGAI PENYEBAB KEMATIAN JESSICA, MESKIPUN HAKIM SUDAH MENYATAKAN IVY TIDAK BERSALAH NAMUN SEMUA TEMANNYA...
272K 32K 48
VERSI LENGKAP BISA DIBELI DI GOOGLE BOOK/PLAY Lan Hua, seorang putri dari Kerajaan Yuan Ming terkenal karena kebodohannya. Namun, tidak banyak yang t...
6.1K 116 1
Aisyah Permata Kusumo, anak semata wayang yang begitu ceria dan disayangi oleh orang tua yang begitu kaya. Tak ada satu halpun yang tidak ia dapatkan...