OUR STORY [MinYoon-KookV] ✅

By TIAN_LIAN

42.8K 7.2K 792

Min Yoongi tak pernah menyangka, kembalinya ke kota kelahiran sang ibu akan membawanya bertemu dengan sang pr... More

SATU
DUA
TIGA
EMPAT
LIMA
ENAM
TUJUH
DELAPAN
SEMBILAN
SEPULUH
SEBELAS
DUA BELAS
TIGA BELAS
EMPAT BELAS
LIMA BELAS
ENAM BELAS
TUJUH BELAS
DELAPAN BELAS
SEMBILAN BELAS
DUA PULUH
DUA PULUH DUA
DUA PULUH TIGA
DUA PULUH EMPAT
EPILOG

DUA PULUH SATU

1.3K 267 22
By TIAN_LIAN

.

.

.

.

.

"Jungkook?" Taehyung melongo saat melihat siapa yang ada di balik pintu rumahnya. Tadi saat ia sedang membantu ibunya mengaduk adonan kue, terdengar pintu diketuk. Dan Taehyung sama sekali tidak menyangka Jungkook yang datang ke rumahnya malam-malam begini. Jungkook tak menjawab. Ia hanya menatap Taehyung nanar, seluruh kata-katanya berhenti di tenggorokan. Jungkook merasa, jika ia mulai bicara, maka air matanya akan tumpah saat itu juga. Taehyung menatap Jungkook bingung, lalu menyadari bahwa Jungkook masih menggunakan seragam sekolah.

Apa pun masalah Jungkook, pasti sangat berat. Jungkook tak pernah terlihat sekacau ini sebelumnya. Taehyung meraih lengan Jungkook, lalu membawanya masuk dan membuatnya duduk di sofa. Taehyung bisa melihat kalau Jungkook bergetar, dan ia yakin itu bukan karena dinginnya malam. Taehyung lantas duduk di sampingnya dan menatapnya yang masih menerawang.

Taehyung menggigit bibir. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatakan dalam situasi seperti ini. Sebenarnya ia sangat ingin memeluk Jungkook, tapi ia tidak tahu, ia tidak berhak. Ia sebisa mungkin ingin menjaga jarak dengan anak laki-laki itu. Taehyung mencoba mengulurkan tangan, tapi segera terhenti di udara. Ia tidak yakin mau melakukan apa. Setelah berpikir beberapa saat, Taehyung meletakkan tangannya di bahu Jungkook dengan hati-hati. Jungkook menoleh, lalu menatap Taehyung.

Jungkook tidak tahu apa yang membuat dirinya ingin bertemu pemuda cantik ini. Jungkook tidak tahu apa yang membuat kakinya melangkah ke rumah ini. Jungkook tidak tahu apa pun lagi. Ia hanya ingin seseorang di sampingnya.

"aku..." Jungkook tercekat. Dadanya terasa sesak. Kepalanya terasa sakit. Ia sama sekali tak bisa bernafas. Pada akhirnya, Jungkook terisak tanpa mampu mengatakan apa pun. Air matanya yang ditahan bertahun-tahun, akhirnya bisa mengalir keluar. Air mata yang sepertinya tidak akan ada habisnya. Taehyung menatap Jungkook sedih. Ia tidak tahu apa persisnya masalah Jungkook, tapi ia bisa ikut merasakan kepedihan hatinya. Taehyung sendiri bisa merasakan air mata mulai merebak di matanya. Bahu Jungkook sekarang sudah berguncang. Ia tertunduk, menjambak rambut dengan kedua tangan, dan membiarkan air matanya jatuh ke lantai. Taehyung tak dapat melakukan apa pun selain mengusap punggung anak itu pelan.

Taehyung mendapati ibunya sedang menatap mereka dari balik buffet. Ibunya tampak tersenyum, lalu mengangguk. Taehyung tidak tahu apa artinya, tapi ibunya sudah keburu kembali ke dalam. Selama beberapa menit, Taehyung membiarkan Jungkook menangis. Pada saat ia sudah sedikit tenang, Taehyung mengulurkan sekotak tisu. Jungkook mengambilnya tanpa semangat, lalu menyeka air matanya.

"Udah sedikit lega?" tanya Taehyung akhirnya. Jungkook menyedot hidung, lalu mengangguk. Ia tahu, tampangnya sekarang pasti sangat menyedihkan untuk dilihat. Taehyung mengangguk-angguk, lalu kembali terdiam. Ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Ia ingin bertanya, tapi takut mencampuri urusannya. Ingin menghibur, tapi tidak tahu harus bagaimana.

"kau... tidak ada manis-manisnya ya untuk ukuran seorang pemuda cantik," kata Jungkook dengan suara serak, membuat Taehyung menoleh dengan dahi berkerut. Jungkook meliriknya dengan mata sembap. "kau tidak mau tanya ada apa?"

Taehyung menatap Jungkook untuk beberapa saat. "Ada apa?" Jungkook mendengus. Ia mengambil beberapa tisu lagi, lalu membersit hidung. Ia sudah menduga Taehyung akan membuatnya dingin seperti biasa, tapi mengapa hari ini ia ingin agar Taehyung memperhatikannya.

"Kalau kau memaksa, baru aku cerita," kata Jungkook lagi, membuat Taehyung semakin mengernyit.

"kau... Jungkook kan ya?" tanya Taehyung takut-takut, bermaksud menggeser posisi duduknya. Tapi tanpa ia duga, Jungkook meraih tangannya, mencegahnya untuk beranjak.

"aku cerita," kata Jungkook, lantas mendesah. "Tapi aku tidak tau harus mulai dari mana."

Taehyung menatapnya. "Pelan-pelan saja."

Jungkook mengangguk, lalu mencoba untuk membuka mulut. Semuanya lantas mengalir begitu saja. Tentang Jimin dan janji yang ia buat dengan orangtuanya. Tentang Jimin yang selama ini hidup dari uang yang diberi orangtuanya. Tentang Jimin yang menyanggupi permintaan orangtuanya untuk menjuhinya. Dan itu membuat Jungkook kembali hancur.

"aku jadi tidak tau lagi siapa yang harus aku percaya," desah Jungkook, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah kembali merebak. "Semua orang mengkhianatiku. Semuanya."

Taehyung menatap Jungkook miris. Jungkook adalah superman baginya. Superman membantu. Superman tidak butuh bantuan. Setidaknya itu dulu yang dipikirkannya, sampai saat itu. Saat seluruh dunia mengkhianatinya setelah ia bantu sekuat tenaga. Sekarang superman di depannya seperti kehilangan sayap, jatuh terpuruk dan hancur berkeping-keping. Dan Taehyung tidak sanggup melihatnya.

"Nak Jungkook." Jungkook dan Taehyung mengangkat kepala berbarengan, lalu melongo melihat ibu Taehyung muncul di hadapan mereka dengan segelas teh manis hangat. Ibu Taehyung tersenyum, lalu meletakkan gelas teh itu di depan Jungkook yang segera menyeka air mata.

"ahjumma, sudah baikan?" tanya Jungkook salah tingkah. Ibu Jungkook mengangguk.

"ahjumma boleh duduk di sini?" Jungkook bertukar pandang sekilas dengan Taehyung, lantas buru-buru mengangguk. "Silahkan." Ibu Taehyung tersenyum, lalu duduk di depan mereka.

"Diminum dulu tehnya supaya kamu tenang." Jungkook menurut, ia mengangkat gelas teh, lalu menyeruput isinya. Dan ajaib ia memang merasa sedikit lebih tenang. Jungkook lantas meneguknya hingga habis.

"Maaf, tapi ahjumma mendengar cerita kamu tadi," kata Ibu Taehyung, membuat Jungkook segera menatapnya. "Sebagai orangtua, rasa-rasanya ibu bisa sedikit mengerti perasaan orangtuamu." Jungkook hampir saja mendengus. Orang dewasa tentu saja saling membela.

"Orangtua saya menyuruh saya menjauhi sahabat saya karena ayahnya napi. Dan menyuruh sahabat saya dengan memberinya uang."

"Tentu saja hal itu tidak baik," potong Ibu Taehyung, membuat Jungkook terdiam. "Tapi mereka hanya ingin melindungi anaknya."

Jungkook menghela napas berat. "Melindungi."

"Saya seorang ibu, jadi saya mengerti kalau mereka hanya khawatir, walaupun cara mereka tidak benar," kata ibu Taehyung lagi. "Jungkook, bagaimanapun mereka orangtuamu. Orang yang melahirkan, membesarkan, dan menjaga kamu. Mereka berhak khawatir, kan?"

Jungkook menatap ibu Taehyung nanar. "Tapi..."

"Sekarang setelah kamu bisa membedakan mana yang salah mana yang benar, saatnya kamu memberi pengertian kepada mereka secara baik-baik," potong ibu Taehyung lagi, membuat mata Jungkook melebar. "Karena kasih sayang mereka yang terlampau besar mungkin sudah membutakan mereka." Jungkook terdiam memikirkan kata-kata ibu Taehyung. Setelah dipikir-pikir, ia memang jarang bicara dengan kedua orangtuanya. Saat ayah Jimin ditangkap, Jungkook percaya pada mereka untuk menjauhi Jimin. Saat Jungkook menyesal, ia segera menyalahkan mereka dan menolak untuk mempercayai mereka lagi. Ia mulai membenci orang dewasa dan mulai memutuskan semuanya sendiri. Mungkin Jungkook memang harus bicara dengan kedua orangtuanya dan membuat mereka percaya pada keputusannya alih-alih membiarkan mereka memutuskan sesuatu untuknya. Mungkin separah inilah rasanya menjadi dewasa. Jungkook menatap ibu Taehyung.

"Terima kasih, Bu."

Ibu Taehyung balas tersenyum. "Ibu hanya ingin kamu jadi orang dewasa yang bisa berpikir jernih. Dari cerita Taehyung, kamu ini benar-benar anak yang sangat baik. Jarang lho anak yang seumuran kalian yang seperti kamu." Jungkook melirik Taehyung yang mengalihkan pandangan.

"Taehyung cerita soal saya?"

"Hampir setiap hari," jawab ibu Taehyung membuat Taehyung melotot.

"eomma!" serunya membuat Jungkook nyengir. Taehyung lantas meliriknya. "Eh jangan percaya diri ya, aku cerita soal semuanya kok!"

Jungkook terkekeh. "Iya iya."

"Ibu senang Taehyung punya teman seperti kamu," kata ibu Taehyung lagi, membuat Jungkook dan Taehyung menatapnya. "Taehyung dan sekolah itu beruntung bisa mengenal kamu." Taehyung mnegangguk setuju sementara Jungkook hanya menggaruk tengkuk.

"Kalau tidak ada kejadian Jimin dulu itu, kami tidak mungkin bertemu denganmu, Jungkook," kata Taehyung. Ia sejenak mengambil jeda, tampak ragu. "Maaf kalau aku egois, tapi aku bersyukur orangtuamu dulu menyuruhmu untuk menjauhi Jimin." Jungkook menatap Taehyung tanpa berkedip, lalu akhirnya tersenyum, mengerti maksud pemuda cantik itu.

"Everything happens for a reason," gumam Jungkook, lebih pada dirinya sendiri. Taehyung mengangguk, lalu ikut tersenyum.

"kau masih tetap superman kan?"' tanya Taehyung. "kau tidak akan berubah?" Jungkook menatap Taehyung, ibu Taehyung, lalu menggeleng. Taehyung balas menatapnya cemas.

"aku akan jadi orang dewasa, Taehyung," jawab Jungkook. "Kita semua akan jadi dewasa. Kita harus berubah. Ke arah yang lebih baik." Taehyung tersenyum, lalu mengangguk.

"Superman yang jadi dewasa. Not bad."

"Dasar tidak mau kalah," tukas Jungkook, memebuat Taehyung dan ibunya tertawa, lalu tanpa sengaja melihat jam dinding. Hari sudah malam. Jungkook harus segera pulang dan bicara dengan kedua orangtuanya. Sebelum mereka kelewat khawatir dan melakukan hal-hal lain.

.

.

.

.

.

Jimin melangkah tanpa semangat dijalanan yang gelap. Matanya menerawang, otaknya sibuk berpikir. Ia barusaja pulang dari rumah Jungkook, masih tak percaya telah menyampaikan apa yang selama ini ingin disampaikannya. Jimin berhasil menyampaikannya keinginannya untuk berhenti ditanggung oleh kedua orangtua Jungkook. Jimin ingin lepas dari cengkeraman mereka. Jika Jungkook tidak memaafkannya pun, ia tetap tidak ingin diatur oleh merreka. Jimin harus membayar kesalahan yang pernah ia lakukan terhadap Jungkook.

Jimin berhenti melangkah. Ia menghela napas, lalu memijat dahinya yang mulai berdenyut. Jika memikirkan Jungkook, ia selalu pening. Jimin tidak tahu bagaimana harus menghadapinya esok. Jimin mengangkat kepala, lalu menatap sebuah rumah bobrok yang berada beberapa meter di depannya. Kepalanya semakin terasa berat. Masalah yang satu belum selesai, sekarang ada lagi yang harus ia lakukan. Jimin memaksakan kakinya untuk melangkah mendekati rumah itu, tapi ia terhenti tepat di depan pintu. Ia mengernyit saat melihat asap tipis keluar dari sela pintu itu.

Suara Music tersetel keras sehingga berdentum-dentum di gendang telinga Jimin. Jimin mencoba membuka pintu rumahnya, tapi terkunci. Ia lantas berjalan memutar, menuju jendela yang menghadap ruang tengah. Jimin menempelkan wajahnya ke jendela, memicing, mencoba untuk menembus vitrage untuk melihat apa yang terjadi di dalam. Ruang tengah bersinar temaram dan di penuhi kabut putih.

Ayahnya tampak duduk di sofa, sementara beberapa temannya tersebar di lantai. Mata Jimin melebar saat melihat mereka melakukan hal yang sama; menghisap ganja. Jimin undur teratur. Napasnya tercekat. Jantungnya mengalami percepatan gila-gilaan. Jimin segera terasuk keluar pekarangan,berjalan tak tentu arah di kegelapan malam. Keringat dingin mulai mengucur di sekujur tubuhnya. Ayahnya sedang pesta narkoba di rumah. Rumahnya. Rumah yang pernah ditempatinya dan ibunya. Rumah yang pernah menjadi satu-satunya tempat berlindung. Ayahnya tak pernah belajar. Penjara tidak membuatnya belajar. Jimin terduduk di sebuah halte bus, otaknya terasa penuh hingga mau pecah. Genggamannya terkepal keras sehingga seluruh tubuhnya bergetar. Ia bukannya tidak sadar beberapa orang sudah menatapnya bingung. Jimin memejamkan mata, berusaha berpikir. Tapi sekeras apa pun ia berpikir, jalan keluarnya tetap satu.

Jimin menggigit bibir, lalu mengeluarkan dompet dari saku celananya. Ia lantas mengeluarkan secarik kertas lusuh dari sana. Jimin menatap nomor yang tertera di kertas itu, lalu bangkit dan melangkah ke arah telepon umum. Jimin mengangkat gagang telepon, memasukkan koin dan menekan nomor sesuai dengan yang ada di kertas. Jimin benci menatap tangannya yang bergetar saat melakukannya. Jimin menunggu selama beberapa saat. Tak lama kemudian, telepon itu terhubung.

"Halo, kantor polisi?" Jimin memejamkan mata, lalu meneguk ludah. Ia tak tahu apa yang dilakukannya ini benar. Ia tak tahu. Yang ia tahu, ia tidak bisa melakukannya sendiri. Ia tidak sekuat yang diduganya.

"Saya ingin melaporkan aktivitas mencurigakan... di rumah saya."

.

.

.

.

.

Continue Reading

You'll Also Like

109K 11.3K 43
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
73.9K 9.7K 21
Koleksi kepingan-kepingan manis yang selalu terkenang, kendati dilewat masa. [kookv] . 180901: ᴅᴇᴅɪᴄᴀᴛᴇᴅ ᴛᴏ ᴄᴇʟᴇʙʀᴀᴛᴇ Jᴇᴏɴ Jᴇᴏɴɢɢᴜᴋ·s 21sᴛ ﹙ɪɴᴛᴇʀɴᴀᴛɪ...
67.4K 7K 9
[COMPLETE] "orang bilang Taehyung Winata kesayangannya Jeongguk Ardian. jadi ga mungkin saya lupa sama kesayangan saya sendiri, kan?" KookV + au ©guk...
345K 41.1K 35
[COMPLETE] "Diantara lu semua, siapa yang mau jadi pacar gue?" - kth KookV + au [Top! Kook Bottom! V] HR: 83 #kimtaehyung (17/12/18 - 26/01/19)