Ratu Balqis Tidak Berjilbab

By IkhwanusSobirin

14.2K 536 9

Sebuah novel komedi religi More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
21
22
23
24
25

20

352 15 0
By IkhwanusSobirin

Hari ini aku dan Mas Qodir kembali ke Sidoarjo. Haluan kami ke kota udang ini bak korban HAM mencari keadilan. Nyatanya aku memang korban kebejatan HAM. Aku sangat berterimakasih pada Mas Qodir. Dia mati-matian menjadi detectiv. Mencari sabab musabab kenapa aku dipenjara? Kemarin, dia sudah mendatangi Polrestabes hingga ke Kejaksaan Negeri.

"Mas? Apa saya tidak keluar uang sama sekali? Sampean ngalor ngidul demi saya?" tanyaku sambil mengibas-ngibas leher dengan kipas kertas karton. AC mobil mati. Jalanan kota Sidoarjo membara. Sumuk sekali.

"Tenang saja Mas, saya ini bergandeng dengan LSM kemanusiaan dari Amerika. Secara gratis mereka mengalirkan dollarnya demi penegakan HAM di negeri ini."

"Saya nggak enak loh, Mas, jadinya. Saya harus mengucap kata apa ke sampean? Sudah sedia membantuku seperti ini."

"Santai saja, Mas. Selain bekerja, saya berniat menolong orang," ucap Mas Qodir mengoper setir ke kanan ke kiri. Tubuhku ikut gerakan mobilnya. Serong ke kanan, serong ke kiri.

"Jika kita mampir ke tempatnya Nona Ayu bagaimana, Mas? Dia itu mantan pegawai Lapas. Mungkin ada tambahan informasi tentang saya darinya," ajakku pada Mas Qodir.

Maksud hati biar sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Sekalian, mumpung sedang ke Sidoarjo. Rasa rindu padanya tentu menjulang tumpah-tumpah. Aku sudah tidak sabar untuk menemuinya. Mau kuhubungi, tapi sayang, nomor teleponnya tidak aktif.

"Nggak apa-apa, Mas. Boleh," respon Mas Qodir. Orang ini baik sekali ternyata.

"Rumahnya di mana Nona Ayu itu, Mas? Dia kekasihnya Mas Wawan ya?" tebaknya.

"Hi hi hi." Aku meringis-ringis. "Bukan kekasihku, tapi dia sebenarnya sudah kuanggap istriku sendiri, walau hanya dalam mimpi. He he."

"Di daerah Tropodo katanya, dia berada di pesantren yatim piatu al-Hikmah, milik Kiai Wahab," jelasku.

"Lamar saja, Mas. Keburu diambil Pak Kiai itu," kata Mas Qodir sekenanya.

"Halah, nggak mungkin, Mas. Nona Ayu itu orang Hindu," bantahku.

"Bisa ditebak kok, Mas. Hubungan antara Pak Kiai dengan perempuan Hindu itu. Sedekat apa mereka? Tidak mungkin mereka bisa sedekat itu kecuali ada kerekatan emosional. Terka saja si Nona Ayu sedang belajar agama di sana. Kan pondok pesantren yah kalau nggak salah?"

"Iya pesantren itu. Mmm ... Bisa juga sih. Kiai Wahab itu teman akrab ayahnya Nona Ayu. Kali saja Nona Ayu dianggap anaknya sendiri terus dia tinggal di rumah Kiai?"

"Ah, nggak mungkin kalau itu, Mas!" Sanggahnya.

"Wanita yang tinggal bersama seorang kiai atau ustadz harus bermahram. Artinya mereka sudah harus ada ikatan batin. Alias nikah sirih mungkin?" tambah Mas Qodir membuat kulit ariku bergetar. Badan jadi adem panas. Telapak tanganku berkeringat.

Kepalaku mendidihkan kecurigaan luar biasa. Jangan-jangan memang benar tebakan Mas Qodir ini. Dia kan seorang detektiv. Detektiv itu cerdas. Otaknya encer. Dia sudah berpengalaman. Observasi dan uji kasusnya jarang mbeleset. Pasti Nona Ayu dengan Kiai Inggris itu ada apa-apanya?

"Hemmm!" Tanganku mengepal bulat.

"Awas, siapa yang berani mencuri Nona Ayu dari hatiku, akan kuajak duel dia sampai mati pun aku rela!" pelanku.

"Emang sudah siap mati, Mas?" sahut Mas Qodir, ternyata dia mendengar gemeresek gerutuku.

"Belum siap, Mas," pelanku.

"Makanya, Mas, cepat dilamar tuh wanita," katanya lagi.

"Haram hukumnya Mas, nikah dengan wanita beda keyakinan," jawabku.

"Percayalah sama saya, Mas. Bayangkan saja, mana mungkin seorang non-Muslim tinggal di sebuah pesantren? Iya kan? Percayalah sama saya."

"Mmm ... Benar juga sih ...." ucapku semakin mawas. Dulu Nona Ayu juga pernah bertanya tentang Islam. Kenapa orang Islam sangat menjunjung tinggi derajat anak yatim? Yah, kujawab saja, karena Nabi Muhammad saw juga seorang yatim. Jadi dia tahu sendiri bagaimana sedihnya menjadi yatim, makanya Nabi memerintahkan untuk selalu membantu dan menyayangi anak yatim. Jangan sampai menzaliminya. Berani menyakiti yatim? Berarti neraka risikonya.

Apakah mungkin Nona Ayu tertarik pada Islam?

"Saya berharap memang seperti itu, Mas. Andai saja Nona Ayu itu benar-benar seorang Muslimah, pakai hijab, terus sholat bareng saya. Wah, hidupku pasti seru. Alangkah nikmatnya jadi manusia."

"Nah, berarti Mas Wawan sangat terobsesi menikahi Nona Ayu, kan? Ayo ngaku saja. He he."

"Sepertinya, seperti itu," tandasku.

"Saya akan bantu Mas Wawan merebutnya dari jeratan Kiai Wahab. Gimana? Setuju?"

"Setubuh! Eh, setuju!" geloraku antusias.

"Ini belok kiri ya?" tanya Mas Qodir.

"Iya, belok kiri sepertinya. Kalau lurus kan ke Bandara Juanda?" jawabku.

Mobil warna silver ini pun menyusuri Jalan Raya Tropodo. Menyaring tiap gang dan sempalan jalan. Mencari keberadaan pesantren al-Hikmah.

Semangatku semakin memuncak-muncak.

"Mas Qodir menengok ke arah kiri saja! Saya yang ke kanan!"

"Oke."

Beruntung, jalanan macet. Ternyata jalan macet pun juga tidak selalu merugikan. Deretan kendaraan merambat bagai sekelompok siput berbaris antre. Amat pelan. Udara siang semakin panas. Kota Sidoarjo ini seperti dalam oven saja.

"Nah, itu dia!!!" jingkrakku melihat plat bertulis al-Hikmah bertanda arah panah masuk.

"Belok kiri!" cetusku semangat.

Kami pun membelot ke kiri masuk ke sebuah cabang jalan. Mobil tetap dinamis menapaki Jalan Tropodo I. Aku tetap melototi tiap nama gang di sebelah kiri. Sedang Mas Qodir tetap fokus ke sebelah kanan.

Akhirnya, hari bahagia ini pun turun. Dewi fortuna mengucurkan keberuntungan ke kepalaku.

"Wah, Itu Nona Ayu!!!" teriakku. Mas Qodir sampai terjungkit kaget. Aku bergegas turun dari mobil.

"Nona Ayuuuu..... !!!" panggilku setengah mengejarnya. Dia menggiring anak-anak masuk ke dalam mobil.

Tubuh kurusku berdiri tegap satu meter setengah darinya.

"Mas Wawan?!" Nona Ayu terperanjat. Pandangannya membelalak.

"Iya, Non," grogiku lemas. Paru-paruku kehilangan tiga liter udara.

"Kok, Mas Wawan tahu keberadaanku?" tanyanya dalam rundungan keheranan.

"Hanya Tuhan yang mampu membuat skenario ini, Non," ucapku terkesima luar biasa.  Baju cerahnya dan gerai rambut lurusnya menyulut takjubku.

Aku terpesona. Maha suci Allah atas kuasanya menciptakan makhluk seindah dia. "Subhanallah, subhanallah," pujiku menghambur ke udara.

"Wah, saya lagi buru-buru ini, Mas, mau antar anak-anak lomba menyanyi di TK Wedoro. Mas Wawan masuk saja ke dalam," ucapnya tergesa-gesa.

Dari area garasi, muncullah Kiai Wahab yang juga keluar grusa-grusu.

"Loh, itu Kiai Wahab mau ke mana juga?" tanyaku.

"Mungkin ada undangan pengajian mendadak Mas," jelas Nona Ayu separuh badannya sudah masuk ke dalam mobil. Beberapa anak berjilbab yang dia antar juga sudah duduk di kursi. Sopir siap berangkat.

"Mas Wawan masuk saja, nggak apa-apa. Di teras ada pembantu kok," imbuhnya.

Melihat Kiai Wahab tergopoh keluar dari garasi, Nona Ayu mengucap pamit. "Kiai, saya berangkat dulu! Doakan sukses!"

"Hati-hati Ayu. Semoga menang lombanya."

"Siap, Kiai!"

"Oke, be carefull. Good luck!"

Aku tergugu. Gaya bahasa Kiai Wahab masih keinggris-inggrisan. "Ha ha ha." Cekakakku geli.

Kiai Wahab nyelonong saja melewatiku. Setir dia banting 360 derajat.

"Wussssssss ...."

Mobil melaju cepat ke arah selatan. Kiai berjubah hijau itu pergi entah ke mana. Mungkin dia lupa denganku. Hingga menyapa pun tidak. Atau jangan-jangan dia sudah tahu jika Nona Ayu termasuk wanita taksiranku? Orang Jawa menyebutnya "cem-ceman". Ah, bodoh amat. Kalau pun aku harus bersaing dengan sosok kiai teralim sejagad raya pun, aku siap. "Ih, siapa takut?" gumamku menggumpal tangan kuat-kuat.

"Masuk saja, Mas! Saya buru buru, daaaaaa...." si Ratu Balqis tidak berjilbab melambai-lambai ke arahku.

"Hemmm, kok pergi sih, Non? Teganya dirimu meninggalku seorang diri di bawah langit terik ini. Tanpa dirimu kini aku terpaku kaku. Seorang diri berdiri di bumi menunggu seorang bidadari kembali. Oh, ratuku, kembalilah, kembalilah!"

Aku termenung melepas mobil silver melesat semakin jauh. Perlahan mobil tersebut hilang dimakan jarak.

"Mas Wawan, ayo kita lanjut ke Klinik Cinta saja!" ajak Mas Qodir.

"Ke Klinik Cinta?" tegunku.

"Iya."

"Ngapain ke sana?"

"Ya, ngurus kasus keadilan Wawan Kurniawan. Seorang karyawan yang dipenjara atas kasus yang tidak jelas," terang Mas Qodir bernada canda. Ternyata dia bisa bercanda juga. Syukurlah, kukira wartawan investigasi ini mukanya seperti patung berhati batu, tidak bisa berekspresi, tidak bisa tertawa. Ternyata dia bisa bergurau juga.

"Sekarang?" tanyaku memastikan.

"Iya, sekarang. Ayo, Mas!"

"Kita nanti di sana ngapain, Mas?" raguku.

"Sudah, ayo kita ke sana saja. Alamatnya tetap di depan Tunjungan Plaza, kan?"

"Iya tetap," jawabku ketakutan. Mendengar Mas Qodir mengajakku kesana, keringat dingin di leher mengembun-embun. Bulu-bulu halus di semua badan merinding dengan getaran tak beraturan. Takut. Gugup. Sepertinya aku trauma.

Kunilai semua orang yang berada di Klinik Cinta itu adalah zombie hidup. Mereka tidak ada yang peduli padaku dan mereka tidak ada yang mau membelaku, satu pun. Mereka tak punya hati, mereka tak punya nyali, dan mereka juga tak punya rasa manusiawi. Mereka syaithan-syaithan berwujud manusia. "Jahannam kalian! Jahannam!" jengkelku dalam hati.

"Kamu jangan sekali-kali menaruh dendam pada orang-orang yang telah menzalimimu, Wan!" Nasihat Abah itu tiba-tiba mendengung, menggetarkan gendang telingaku. Aku istighfar. "Astaghfirullah ... Astaghfirullah ...."

"Kenapa, Mas? Dadanya kok dielus-elus begitu?" tanya Mas Qodir menggidik aneh.

"Nggak papa, Mas," singkatku.

Sendu hatiku mulai melumut. Aku tidak tahan jika harus kembali menampakkan wajahku ke orang-orang di Klinik Cinta.

"Mas, kita tidak usah ke sana ya?" saranku maju mundur. Keraguan menyeruak. Jujur, traumatic ini sungguh menyiksa batinku. Hujah alias fitnah itu sungguh keji. Siapa sebenarnya dalang di balik kasusku ini? Pastinya orang Klinik Cinta, pastinya orang dalam. Siapa yang ngawur menukar obat untuk konsumen itu? Siapa? Misteri ini nyata jahatnya!

"Loh, kenapa, Mas? Mas Wawan ingin kasus ini terungkap atau tidak? Mas Wawan ingin mendapat keadilan atau tidak? Kalau Mas Wawan ragu-ragu, kita putar balik saja lalu pulang ke Malang dan project ini pun saya tutup lantas saya mau mencari klien baru saja. Di luar sana, masih banyak orang yang butuh keadilan. Butuh investigasi!" ucap Mas Qodir hidungnya mendengus kekecewaan.

"Sa, saya takut merepotkan, Mas," tuturku.

"Jangan bicara begitu, Mas!"

"He,em," manggutku.

"Harus semangat, Masss! Jangan pesimis! Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Percayalah, pertemuan kita ini pun termasuk takdir. Siapa yang menyangka Mas Wawan berhubungan rekat dengan Pak Kades? Di waktu yang sama, Mas Wawan bebas dari penjara dan Pak Kades kenal dengan saya, hingga kita pun bisa bertemu seperti ini. Semua di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Tidak ada yang sia-sia. Sehelai daun gugur pun telah tertulis di Lauh Mahfud, buku induk alam semesta. Begitu kata guru agamaku dulu."

Aku mengangguk pelan.

"Jangan ada sungkan lagi di hati kita, Mas."

Aku kembali mengangguk pelan.

"Sebentar ya, Mas. Ini kita sambil jalan. Kita sebentar lagi akan masuk ke Jalan Basuki Rahmat. Saya mau tanya, perihal dua orang Ana dan Novie itu. Apakah betul Mas Wawan tidak pernah punya masalah dengan mereka berdua? Coba diingat-ingat lagi," lanjutnya.

"Mmm .... " Aku mendongak, menapih kepingan di dasar otak. Mengingat mereka berdua. Seingatku, si Novie orangnya genit sekali. Parasnya tidak cantik tapi dia suka menggodaiku. Pernah dia menaruh rasa padaku, entah itu serius atau tidak. Kurang bisa dipastikan. Ketika aku berulang tahun, dia memberiku hadiah special. Bantal bermotif love-love. Dikira aku suka, eh, ternyata hadiah darinya kujadikan bahan lawakan dan begitu saja kuacuhkan, bahkan lantas kuberikan pada orang lain. Semenjak itu pula dia tak lagi menggodaiku. Mungkin dia kecewa.

Satunya lagi, Ana. Dia perempuan terbebal di dunia. Wajahnya dipenuhi kukul sebesar biji kopi. Dia sangat teliti. Pernah kebiasaanku mencuri pulpen di lacinya, ketahuan. Entah karena tersinggung atau bagaimana, ketika dia kujuluki si medit dari gua hantu, eh, dia malah nyolot. Tapi cuma sekadar marah biasa, setelah itu usai.

"Tidak menutup peluang, Novie dan Ana itu patut dicurigai juga, Mas," ujar Mas Qodir serius.

"Mas! Mas! Mas!" tepukku ke pundak Mas Qodir dengan gerakan cepat berkali-kali.

"Itu Klinik Cinta, Mas, kita sudah sampai!" tengokku ke sebelah kiri.

"Walah, kok tutup ya, Mas?" Aku terkejut. Bertanya-tanya.

"Beneran itu Klinik Cinta?"

"Iya, benar. Lisplanknya masih ada. Tapi kok tutup, ya? Ini bukan tanggal merah, kan? Ini juga sudah siang. Seharusnya jam 8 pagi tadi sudah mulai buka."

"Wah, pasti ada yang tidak beres, nih."

"Kita turun saja!" seruku.

Pas kami turun, sepertinya Klinik Cinta ini sudah tutup sejak lama.

"Wah, kenapa ini ya? Kenapa kok tutup?"

Dari rolling door dan halaman sangat kotor. Nyaris ditumbuhi semak belukar.

"Astaghfirullahal adzim ...." ucapku haru.

"Kenapa, Mas? Kok istighfar lagi?" tanya Mas Qodir.

"Saya jadi teringat empat tahun yang lalu, Mas. Ketika diriku mulai tercelup kasus, tak satu pun orang di Klinik Cinta, entah itu rekan kerja, supervisor, manager maupun pemiliknya sendiri. Mereka tidak ada yang membelaku sama sekali. Malah managerku menyengkelit tangannya. Lepas tanggung jawab. Urusan kriminalitas tidak ada hubungannya dengan perusahaan. Bagi siapa saja karyawan yang tersandung masalah kriminal, otomatis dijatuhi SP 3, itu artinya di-out secara tidak terhormat.

Bantahanku ditelak habis-habisan. Aku bak pengemis meminta dukungan, tapi kosong. Permintaanku bagai gonggongan anjing dilempari batu. Hatiku luruh dalam kenestapaan dan kehinaan. Diriku manusia tak berguna yang tidak dipedulikan sama sekali.

Di saat itulah aku benar-benar merasa terzalimi. Saking sakitnya hati, aku pun berdoa, semoga Klinik Cinta ini tutup, entah itu tutup karena pailit, terbakar atau apalah, yang penting klinik itu harus tutup.

Kata ibuku itu adalah muhabalah. Entah benar atau kebetulan. Doa orang teraniaya biasanya manjur, maka jangan sekali-kali kita menyakiti orang lain. Sekali orang terzalimi berdoa, walau doanya jelek, jika Allah mengabulkan, kun fayakun, Dia bilang jadi, maka terjadilah."

Di depan mataku sendiri klinik ini tutup. Hatiku dirongrong pertanyaan-pertanyaan mengelebat hingga ke ubun-ubun. Kutarik napas panjang.

"Mas Qodir, kita cari Novie dan Ana itu! Saya tahu rumahnya!" ucapku mengobor api semangat luar biasa.

"Sekarang?"

"Yah, sekarang. Mau kapan lagi? Aku harus bisa menangkap biang kerok semua ini! Harus terbongkar semuanya! Bisa jadi keduanyalah yang tahu kasusku atau memang merekalah dalangnya?"

"Nah, gitu dong, Mas. Semangat!" tepuk Mas Qodir mendukungku. Dia tersenyum lebar. Sementara sendu haruku mulai meluber. Mataku berkaca kaca.

"Wawan harus memperoleh keadilan! Ibu harus ketemu! Bapak harus sembuh! Dan Imah harus pulang!" tangisku meretak. Seakan mataku bengep. Bulir demi bulir berjatuhan, kejar mengejar di dataran pipi.

"Sabar dan tetap semangat, Mas. Semua akan indah pada waktunya."

Continue Reading

You'll Also Like

Pledge. PCY By _

Fanfiction

92.8K 10.8K 44
Don't promise me if you're the person who broke that bullshit. ⚠ keju parah ⚠ harshwords ⚠ retjeh Copyright© by vandlley
140K 14.9K 19
Move on? Siapa takut?
13.9K 786 26
Start:18 Desember 2022 Cerita ini murni saya mikir sendiri tanpa plagiat dikit pun anti plagiat² saya 🦋Alya kinana Juwariyah 🦋Muhammad afzal athal...
1.1K 67 8
Serial ke 162. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal d...