Ratu Balqis Tidak Berjilbab

By IkhwanusSobirin

14.2K 536 9

Sebuah novel komedi religi More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

15

336 16 0
By IkhwanusSobirin

Seusai sholat Jumat, hati gemetar syahdu. Gemerisik kalbu seakan berkata; syukuri harimu, keadaanmu, rezekimu, kesehatanmu, karena bisa bernapas lega saja termasuk kenikmatan luar biasa.

Munajat puja-pujian kuhatur pada Allah taala. Kalau bukan karena hidayah-Nya mungkin leherku sudah putus dijerat tali kawat. Untung mentalku kuat menghadapi cobaan ini. Andai saja tidak kuat, mungkin kisahku sudah menjadi berita di koran lusuh, bahwa seorang narapidana tewas bunuh diri dalam selnya.

"Yono! Dani! Warto!"

"Sini!" panggilku.

Ketiga orang itu kupanggil dari kejauhan.

Mereka mendekat. "Ada apa kamu panggil-panggil?"

"Ini saya bawa nasi kotak buat kalian! Makanlah!" kataku memberi mereka nasi kuning untuk makan siang.

"Ada acara apa kamu bagi-bagi makanan? Tumben? Kamu tidak meracuni kami kan?" curiga Yono si preman bertato.

"Kalau pun kamu mati karena diracun, matimu bukan karena racun, Yon. Matimu adalah takdir yang sudah ditetapkan! Makanlah! Jangan berpikir macam-macam pada saya!"

Aku pun segera meninggalkan mereka bertiga. Kembali ke kamar korve; Merapikan baju, barang-barang pribadi, buku-buku dan lainnya. Selanjutnya menemui Kalapas di ruangannya. Semua proses administrasi sudah kuselesaikan. Kini tinggal berpamitan pada Pak Masyur tak lupa juga pada Nona Ayu.

"Nona Ayu?"

"Iya, Mas?"

"Maafkan saya yah, Non. Jika selama di Lapas saya banyak pola tingkahnya. Izinkan Wawan berpamitan."

"Iya. Sama-sama, Mas. Sukses yah di luar sana."

Aku mengambil napas.

Sesak.

"Ini nomor handphone saya, Mas. Sering-sering sms atau telepon saya yah, Mas," ucap Nona Ayu memberiku sesobek kertas. Sementara tangan kirinya memegang tanganku. Dia menatapku sambil tersenyum renyah.

Nyawaku seolah terlepas.

"Pa, pasti Nona Ayu. Jika berkenan, tiap malam Wawan akan menelepon Nona Ayu," sahutku gemetar disertai salah tingkah.

"Ayu doain semoga di luar sana Mas Wawan mendapat mata pencaharian yang cocok, menatap masa depan lebih baik dan tentunya cepat dapat jodoh yah."

"Jodoh?" tanyaku melongo.

"Iya, Mas. Jodoh. Jodoh itu adalah pasangan hidup yang bisa menemani sampai kakek nenek."

"Amin, Non. Semoga kelak Wawan bisa dapat jodoh secantik dan sebaik Nona Ayu yah."

"Hi hi, bisa aja kamu, Mas."

"Non?"

"Yah, Mas?" desah Nona Ayu membuat urat nadiku luruh. Tubuhku gemeblek lemas. Lunglai.

"Wawan boleh mengungkap kata-kata pada Nona, kan??"

"Kata-kata apa, Mas? Bukankah dari tadi Mas Wawan sudah mengucap banyak kata?"

"Tapi ini rahasia loh, Non," ungkapku seraya menoleh ke kanan ke kiri ke belakang. Memastikan hanya kami berdua yang berada di ruangan ini.

"Se, sebenarnya," ucapku terseot-seot. Lidahku kaku. Bibir terasa berat.

"Ada apa sih, Mas? Pakai sungkan-sungkan segala?" Heran Nona Ayu mencubitku lembut. Tatapan matanya mencengkram wajahku. Paha dan betisku gemetar melihat diriku berdiri di atas gedung setinggi 100 lantai. Ya Allah!

"A, aku. Sebetulnya."

Mulutku berhenti bicara.

Jantungku tak terasa denyutannya.

"Se, sebetulnya Wawan menyukai Nona Ayu..."

"Allahu akbar!!!" legaku dalam hati. Napasku terlepas 1.200 joule daya kuda.

Aku terbisu. Pandanganku langsung tertunduk lesu. Bodohnya diriku ini.

"Bagaimana bisa Mas Wawan berkata seperti itu?" tanggap Ratu Balqis ini tersenyum lebar. Keningnya melipat tiga lekukan.

Aku hanya diam dalam kebodohan. Kelinci hutan terpanah. Tewas. Tak bergerak.

"Mas Wawan tidak sedang mabuk kan?" tanyanya ringan.

Aku menggeleng.

"Emmmm... emang rasa suka pada perempuan itu seperti apa sih, Mas?" tanyanya.

"Mmmmm..." Aku berpikir.

"Seperti seorang kutu buku tidak mau kehilangan bukunya, Non."

"He he. Oh, ya?!"

"I, iya!"

"Ngomong-ngomong Mas Wawan suka baca buku kan? Sebentar yah. Wait!"

Sang Ratu Balqis menggeledah rak almarinya. Mencari sesuatu. Beberapa detik kemudian dia kembali menghadapku.

"Ambillah buku ini, Mas. Baca lalu simpanlah!"

Ratu Balqis memberiku sebuah buku berjudul Love is Blind. Cinta itu buta.

"Beneran buku ini buat saya, Non? Wah terimakasih banyak, Non."

"Sama-sama."

Aku semakin salah tingkah. Apakah ucapanku ini termasuk tindakan bodoh? Ah, biarlah. Yang penting diriku sudah jujur. Hatiku pun lega.

"Jika Mas Wawan punya rasa cinta pada seorang perempuan, maka yang harus Mas Wawan lakukan adalah: jaga kesucian cinta itu, perjuangkan lalu berkorbanlah demi dia."

"Cinta akan abadi jika mengandung tiga unsur itu," tambahnya.

"I, iya. Betul itu, Non."

"Mmmm, Mas Wawan sudah saya beri nomor telepon kan? Kita berlanjut komunikasi dari handphone saja ya, Mas. Sukses selalu buat kamu, Mas! Good luck!"

***

Keluar dari ruangan Nona Ayu aku menggaruk-garuk kepala padahal kulit rambut tidak gatal. Biarlah, Nona Ayu suka atau tidak yang penting perasaanku sudah plong. Biar dia tahu bahwa hatiku ini tulus mencintainya. Lagi pula apa salahnya aku jujur? Iya toh?

Dianggap bodoh atau lancang tidak kuhiraukan lagi. Sekarang aku panggil si Jupri. "Jup, ayo ikut aku!"

"Ke mana, Wan?"

"Ke kamarku."

"Ada apa emangnya?"

"Sudah, ayo ikut!" tangannya kutarik.

"Bantuin aku bawa tas-tas ini ke depan ya!" pintaku.

"Tas siapa itu?"

"Sudah, jangan banyak bacot! Ayo angkat!"

"Ih, manja loh, Wan! Tas begini aja nggak kamu angkat sendiri?"

Kami berdua berjalan ke depan. Mbak Lilis sudah menungguku. Dia menyewa mobil carry. Atas permintaannya sendiri dia menjemputku. Aslinya aku tidak mau merepotkannya. Tapi apalah kata, tidak enak jika aku menolaknya. sudah dibela-belain menjemput, kutolak mentah-mentah. Betapa bekunya hatiku tak punya rasa kemanusiaan sama sekali pada orang yang selama ini sudah berbaik hati.

"Terimakasih, Jup, sudah bantuin aku. Dan pada akhirnya aku ingin meminta maaf padamu, Jup. Jika selama empat tahun ini aku telah banyak merepotkanmu," kataku pada Jupri.

"Loh, Wan? Kamu mau pulang? Kamu sudah bebas? Walah, kok aku nggak tahu, Wan?"

"Hah! Ke mana aja kamu, Jup?" seruku.

Aku ulurkan tanganku pada Jumpret si rambut ikal ini. Kemudian tanganku begitu saja ia tarik kencang. Jupri memelukku. "Terimakasih, Wan. Sudah mau menjadi teman baikku. Saya merasa kehilangan dengan bebasmu ini!"

"Saya juga terimakasih, Jup. Kamu adalah teman terbaikku. Kebaikanmu tidak akan pernah kulupakan."

Mataku sembab. Perasaanku dialiri keharuan.

"Kekonyolanmu menjadi kenangan terlucu bagiku, Jup," ucapku melepas pelukan si Jupri.

"Sudah, Jup. Jangan memelukku lagi! Baumu apek! Basin! Jadi orang itu mandio, Jup! Wudhu, terus sholat! Ketiak itu disemprot pakek parfum! Biar wangi!"

"Tenang, Wan. Mulai minggu depan jangan lupa jenguk aku yah, Wan. bawain makanan yang banyak!"

"Ih, siapa loh, Jup!" tawaku.

Di depan lapas diriku dilepas oleh banyak orang. Beberapa petugas Lapas dan Kalapas tak lupa mengantarkanku menuju gerbang kebebasan. Tak terasa empat tahun telah berlalu. Penjara adalah pengalaman berharga. Seluk beluknya menjadi bekal tersendiri bagiku. Ribuan kenangan terpatri dalam benak. Selamat tinggal bui, semoga aku tidak pernah kembali dihukum di tempat macam ini.

Amin.

"Eh, Wan?"

"Abah???"

Ustadz Mujib alias Abah lari tergopoh-gopoh bersama Pak Soemarno.

"Selamat, Wan. Akhirnya kamu bebas," kata Abah.

"Iya, Bah. Mohon doanya selepas ini Wawan bisa mengarungi kehidupan seperti sedia kala lagi. Doa restunya ya, Bah. InsyaAllah Wawan akan sering-sering jenguk, Abah," responku.

"Abah ingin mewejangimu lagi, Wan. Untuk terakhir kalinya. Tolong camkan di hatimu wan! Kamu sudah menjalani hukuman empat tahun penjara. Abah yakin kau tidak bersalah, Wan. Sehingga kau boleh memperjuangkan hakmu sebagai warga di negara hukum ini. Buktikan bahwa kamu memang tidak bersalah dan empat tahun adalah hukuman penuh fitnah. Tapi ingat! Jangan lagi menaruh dendam sebutir debu pun dalam hatimu pada orang yang telah menzalimimu itu."

Aku menarik napas.

"Ingat! Sekali lagi jangan ada dendam di dadamu, Wan! Pergilah dari Lapas ini dengan jiwa penuh keikhlasan! Allah akan selalu bersama orang-orang yang ikhlas! Camkan ini wan! Camkan!"

"Baik, Bah! Nasihatmu kuukir kuat-kuat dalam hati!" kataku berjanji sepenuh hati. Tangannya kuraut lalu kukecup.

"Saya pamit dulu, Bah. Assalamualaikum."

Akhirnya aku bebas. Udara di luar teramat segar. Jalan raya kota Sidoarjo padat merayap. Mobil sewaan Mbak Lilis melaju gontai menyibak macetnya kota. Rasa bahagia mencuat. Rasa syukur menghambur. Alhamdulillah, alhamdulillah.

Carry warna merah menuju rumah Mbak Lilis di daerah Gedangan, sekitar beberapa kilometer dari Lapas.

***

"Setelah ini saya mau pulang ke Lawang Mbak," paksaku pada Mbak Lilis.

"Nggak usah, Mas! Sampean itu nggak usah pulang!" cegahnya.

Mobil memasuki jalanan kampung. Lurus. Belok kanan menyusuri sungai. Belok lagi ke kiri.

"Nah, itu rumah Lilis, Mas," tunjuk Mbak Lilis ke arah rumah berpagar kuning.

Kami turun. Dua tas besar dibantu geret Pak Sopir.

"Ayo masuk, Mas," ajaknya.

Pandanganku celingukan ke kanan ke kiri. Terlintas ada seorang ibu menggendong anak mengawasi kami. Sekelompok warga yang tengah bergerombol di teras juga tak luput menyorot kedatangan kami berdua.

"Mbak, saya mau pulang saja ya?" kataku setengah ragu. Wajahku berkeringat. Tanganku tiba-tiba digandeng Mbak Lilis.

"Ayolah, Mas! Sudah, nggak usah rewel lah, Mas!"

"Mbak Lilis? Apa nggak sungkan dilihat warga, jika kita kayak gini?"

"Sungkan gimana sih, Mas? Nggak lah."

Sesampai di rumahnya, dia mengajakku ke samping rumahnya.

"Taraahhh... ini kejutan buat sampean, Mas." Mbak Lilis membukakan pintu kamar sebelah rumahnya. Satu kamar saja.

"Mas Wawan, mulai sekarang sampean boleh tinggal di sini. Kamar ini sudah Lilis persiapkan jauh-jauh hari loh, Mas. Tapi Kamar sederhana ya, Mas. Semoga Mas Wawan kerasan tinggal di sini," girang Mbak Lilis tersenyum ceria.

Aku kaget. Terperanjat.

"Jadi, maksud Mbak Lilis saya harus tinggal di sini?"

"Iya, Mas. Kamar ini khusus buat Mas Wawan," jelasnya penuh semangat.

Pikiranku menyulut kecamuk hebat. "Apa-apaan Mbak Lilis ini? Apa kata tetangga kanan kirinya melihat seorang janda seperti dia menyimpan pria berondong sepertiku? Hidup berdempet di sebelah rumahnya? Pandangan masyarakat pasti negatif ini.

"Ah, tidak, Mbak! Saya tidak mau tinggal di sini!" tolakku lembut.

"Loh?! Kenapa, Mas?"

"Sampean kok gitu sih, Mas?" Mbak Lilis kecewa berat.

"Saya ingin pulang saja, Mbak. Saya kangen sama keluarga. Kangen sama ibu-bapak dan adik-adikku," ucapku padanya berusaha memberi penjelasan sebaik-baiknya.

"Sampean kok gitu sih, Mas? Saya sudah berjuang mati-matian menabung dikit demi sedikit beli batu, beli pasir, beli bata, beli genteng, buat membangun satu kamar ini. Tempat ini khusus buat sampean, Mas. Lilis ingin memberi kejutan. Tapi ternyata Lilis terkejut. Sampean tidak menghargai sama sekali usaha Lilis, Mas!"

"Tega sampean, Mas!"

"Tega!"

Mbak Lilis memburai air mata. Dia menangis terisak-isak.

"Lilis setiap hari mendoakan sampean, Mas. Memikirkan sampean. Tiap habis sholat mengucap nama sampean. Tapi sampean kok begini sama Lilis, Mas?"

"Cek tegane sampean, Maaasss..."

Air mata Mbak Lilis semakin mengalir deras. Aku hanya bisa diam merasa bersalah.

"Maafkan saya, Mbak. Maafkan saya."

"Asal sampean tahu ya, Mas! Dari dulu Lilis cinta sama sampean, Mas! Lilis jatuh cinta ke sampean, Mas!"

Mbak Lilis menyergapku layaknya serigala menerkam kijang. Sekuat tenaga berusaha kutolak pelukannya.

"Mbak, jangan Mbak! Malu dilihat orang!" tangkisku menghadang rautan tangannya.

"Biarin, Mas! Biarin! Karena aku cinta ke sampean, Mas! Selama ini sampean nggak peka sama sekali ke Lilis! Biar kupeluk sampean agar semua orang tahu bahwa Lilis cinta mati ke sampean, Mas!"

Cengkraman Mbak Lilis kembali merangkulku kuat. Lagi-lagi tanganku berusaha menolaknya. Terasa tangan Mbak Lilis mengelus pipiku, tapi terus kuhadang serangannya sebisa mungkin.

"Duh, kok nggak Nona Ayu saja sih yang seperti ini? Astaghfirullah, astaghfirullah," gerutuku dalam hati.

***

Aku mengelus dada selama perjalanan dari Sidoarjo menuju Lawang. Diriku berhasil kabur. Kini diriku sampai di jalan raya Pandaan menuju Lawang. Melewati Sukorejo- Purwosari- Purwodadi dan sampailah di kecamatan Lawang, kabupaten Malang.

Batinku deg-degan. Empat tahun tidak pulang tentu muncul rasa takut di dada. Bagaimana ketika diriku sudah menginjak tanah desa, para warga menyambutku dengan lemparan batu? Atau tetangga semua mencaciku? Atau baru sampai rumah ibu dan bapakku langsung mengusirku?

Itu sudah risiko, kata Abah. Diterima kembali atau tidaknya seorang narapidana, haruslah bersiap-siap.

Perlahan tapi pasti. Kakiku menderap pelan. Menuju rumahku di sebuah desa tak jauh dari kebun teh Wonosari. Punggungku memanggung tas besar. Tangan kiriku menentang tas satunya.

Sedih bercampur aduk. Dari kejauhan para warga keluar rumah mengintip kedatanganku. Napas kuhempas kuat. Aku harus tatak. Harus tegar. Kuat. Menerima apa pun yang mungkin akan terjadi.

"Wawan?!"

"Wawaaaaannnnn.....?!!!" Jerit histeris menyambutku. Budhe Sari datang memelukku erat.

"Ya Allah Wawan? Pulang kamu, Le? Ya Allah... La ilaha illallah...!!!"

"Kang Komar? Kang komar? Wawan pulang, Kang!!!"

"Wawan?" Suara Pak Dhe Komar datang. Rambutku dielus-elus. Tak lama kemudian tetangga yang lain berkerumun berebut memelukku. Aku ikut menangis. Hanyut dalam lautan kesedihan.

"Kenapa bisa dipenjara sih, Le? Salah apa kowe, Le?" tangis Mak Iyah budheku yang paling tua. Dia gulung-gulung menangis sejadi-jadinya.

"Cario kembang dulu Yu, sama air di baskom! Disiram sik!" kata seorang lagi.

Dengan cepat, seorang tetangga membawa air dalam wadah baskom.

"Kembangnya mana?"

"Wes, itu aja kembang depan rumah petik aja buat syarat!"

Aku didudukkan di teras. Kakiku disiram air bercampur kembang.

"Mugo-mugo apesmu balik kabeh marang panggone dewe. Selamet, selamet pitung turunan kowe, Wan!"

"Alhamdulillah, kamu akhirnya pulang, Wan."

Kerumunan warga semakin menggerombol.

"Ibu, bapak dan adik semua ke mana, Budhe?" heranku.

Pertanyaanku malah dijawab pecahan tangisan semakin keras.

"Kenapa, Budhe? Ibu di mana? Bapak di mana? Imah di mana?"

Adikku yang nomor dua, Salsabilah muncul dari belakang kumpulan warga. Dia datang dengan ratapan tangis menjerit-jerit. Adikku ini merangkulku. Dia juga tak kuat menahan isakan tangisnya.

Aku beranjak berdiri. Memasuki rumah yang empat tahun tidak kumasuki.

"Ibu???"

"Ibuuuu??!!" Teriakku.

Ibu tidak ada. Seluruh kamar kosong. Bapak juga tidak ada.

Aku tersungkur ke lantai. Aku Kembali menangis.

"I, ibuuuu??? Kau di, di mana, Buuuuu???"

Continue Reading

You'll Also Like

8.2K 649 28
Jadi anak angkat tunggal kaya raya gimana sih rasanya? Hmm tentu saja enak. Apalagi punya papa yang punya stok careness ke kamu melimpah ruah. Tapi...
1.8K 188 24
Assalamualaikum wr. wb. KONFLIK RINGAN. Insyaallah update tiap hari senin Reupload Sedang tahap revisi Note : ada sedikit perubahan cerita tapi secar...
939K 21.2K 49
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...
312K 24.2K 50
Kim seokjin CEO tampan yang memiliki kekayaan berlimpah di usia muda terbilang sukses dalam berbagai bidang usaha namun sayang wajah tampannya berban...