PELIK [Sudah Terbit]

By beliawritingmarathon

817K 89.6K 26.9K

[Sudah Terbit] PELIK "haruskah aku relain kamu dengannya?" Rayn belum pernah jatuh cinta. Gimana mau jatuh ci... More

Check Point A
1. Surat Utang
2. Belum Tahu Cinta
3. MP = Mission Possible (a)
3. MP = Mission Possible (b)
4. Tugas Pertama (a)
4. Tugas Pertama (b)
Check Point B
5. Bahasa Cinta
6. Saksi Mata
Cast dan Ilustrasi
7. Teralihkan
8. Derai Genta Angin
9. Dicari: Sahabat
Check Point C
10. Si Unyeng-Unyeng Dua
11. Yang Dibela Yang Ditekan
12. Sumpit Stainless
13. Code Names: Luwak & Biawak
14. But a Friend is So Hard to Find (a)
14. But a Friend is So Hard to Find (b)
Check Point D
15. Calm Before the Storm
PELIK: Behind the Scene
17. Just a Face in the Crowd
18. Badai Raiden (a)
18. Badai Raiden (b)
19. Indigo Rose
Check Point E
20. Fight Like Brothers
21. Quadrangle
22. Action Speaks Louder
23. Just Walking in the Rayn
CHECK POINT F
24. Everybody Makes Mistake
25. You're DED, Meg!
26. Diam Itu Tertikam
27. Fair Barter
Check Point G
Testimoni Berhadiah: Ikutan Yuk!
5 Pemenang Testimoni Pilihan
Informasi Pre-Order

16. Tapi Hatiku Bisa Melihat

13.2K 1.8K 820
By beliawritingmarathon



Di belakang cowok-cowok keren dan baik, pasti ada ibu-ibu yang hebat. Megan dapat menyimpulkan itu karena bertemu dua sekaligus. Mami Kiara dan Bu Salwa. Seperti putra-putra mereka, dua ibu ini bersahabat. Tapi enggak seperti Rayn dan Ardi yang kelihatan sepaket selaras, dua wanita ini kontras dalam penampilan dan sikap.

Ibu Ardi, seorang guru SD dengan penampilan sederhana, berjilbab. Begitu Ardi datang, ia memeluk putranya dan mereka saling menghibur. Keduanya tidak berlama-lama larut dalam duka.

Bu Salwa kemudian menyambut Megan dengan ramah dan mengajaknya mengobrol ringan. Megan membantunya berbenah. Rumah akan ditinggal paling tidak seminggu, harus bersih dan rapi dulu. Ardi sendiri hanya sampai Senin di Cianjur, tidak boleh lama-lama absen sekolah menjelang ujian semester. "Paling dia menginap di rumah Rayn nanti," kata Bu Salwa tertawa geli, mata sembapnya berbinar.

Apa yang lucu dengan Ardi menginap di rumah Rayn? Megan ingin bertanya tapi Bu Salwa sudah beranjak untuk berbicara dengan mami Rayn. Mami Kiara. Ardi memanggilnya begitu. Megan sendiri tidak berani sok akrab. Ia menyapanya dengan sebutan tante saat Rayn memperkenalkan mereka.

Cantik, anggun, berkelas, begitu lembut pada Rayn, baik pada Ardi, dan meminta Megan memanggilnya Mami Kiara juga. Tapi Megan merasa wanita itu menjaga jarak dengannya. Bicara kalau perlu saja. Megan jadi jiper sendiri. Harusnya Bu Salwa yang jadi mami Rayn, pikirnya. Kan jadi lebih mudah .... Eh, mudah untuk apa? Pipi Megan langsung menghangat. Apalagi saat Rayn menoleh kepadanya dan tersenyum. Cowok itu dari tadi sibuk menelepon, disuruh maminya mencari mobil sewaan untuk mengantar Ardi sekeluarga ke Cianjur.

"Megan." Ardi mendekat. Jihan digendong di punggungnya. "Boleh aku bicara denganmu sebentar?"

"Tentu. Di sini?" tanya Megan, sambil iseng menjawil pipi tembem Jihan. Anak perempuan itu langsung menyusupkan muka di balik kepala kakaknya.

Ardi mengajaknya keluar dari pintu dapur ke halaman belakang. Megan mengikuti. Wajah Ardi begitu serius sampai Megan khawatir ini ada kaitannya dengan friendzone-nya tadi. Mungkin Ardi mau protes?

"Aku titip Rayn, ya."

Kalimat pertama Ardi membuat Megan terkesima. Dalam hati ia memaki diri sendiri yang telah berprasangka dan kege-eran.

"Terutama hari Senin nanti. Kalau lagi belajar di kelas, Rayn enggak akan kenapa-kenapa, dia sudah hafal nama teman sekelas berdasarkan tempat duduk. Beberapa teman ia ingat dari bentuk badan dan suara. Tapi waktu istirahat, Rayn enggak boleh sendirian di keramaian. Kamu bisa temani dia? Bantu ngenali orang yang ngajak dia ngobrol."

"Oh, caranya seperti yang biasa kamu lakukan itu ya?"

Ardi mengangguk. "Sebetulnya Rayn pengin banget mandiri, sudah mulai belajar. Tapi aku enggak tenang akhir-akhir ini. Kayak bakal ada kejadian apa gitu ...."

Ardi dengan calm-before-the-storm-nya. Megan enggak pengin meremehkan, tapi ia merasa Ardi sedikit lebay. Mungkin hanya karena terbiasa mendampingi Rayn, jadi pisah sebentar saja cemas. Mungkin kehilangan nenek bikin kebaperan Ardi meruah ke segala urusan. "Aku akan temani Rayn. Jangan khawatir, Ardi, cuma sehari ini. Selasa kamu sudah masuk lagi, kan?"

Ardi mengangguk. "Terima kasih." Ia mau bicara lagi tapi Jihan sudah memberontak. Melonjak-lonjak di punggungnya sambil merengek tidak jelas. Tangannya menggerapai ke arah Megan. "Jihan, Jihan! Stop. Nanti jatuh."

Megan pindah ke belakang Ardi, mendekati Jihan. "Mau gendong sama Kak Megan? Yuk, sini."

Tak disangka-sangka, Jihan menarik lepas bando Megan, lalu melorot turun dari punggung Ardi dan membawa lari aksesorisnya. Ardi pun berseru-seru heboh sambil mengejar adiknya. Megan pulih dari kekagetan dan tertawa. "Biar aja Di, buat Jihan!" teriaknya.

"Oh, bando kamu ...." Rayn sudah berdiri di sampingnya. Ikut menonton Ardi dan Jihan kejar-kejaran keliling kebun. 

Sesaat kemudian, Ardi sudah berhasil menangkap Jihan. Jihan menyembunyikan bando Megan di belakang punggung. Ardi tampak berusaha membujuk. Namun lengah sedikit, Jihan sudah lari lagi masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Ardi yang mengentakkan kaki jengkel. Rayn tertawa. "Dan bola voli kalah sama bola bekel."

Ardi bergabung dengan mereka. "Maaf, Meg. Jihan enggak mempan bujukan. Padahal bandomu kegedan buat dia."

"Enggak apa-apa. Aku bisa beli lagi," sahut Megan enteng. Walau berarti ia harus mengulang lagi proses memilih dan mencoba-coba yang bikin baper. Tante Naura bilang bando seperti itu bisa bikin sendiri, daripada beli. Megan enggak yakin bisa, salah-salah hasilnya berantakan dan buang duit lebih banyak. Lagian ia perlu ciri pengenal segera. Tanpa itu, ia enggak eksis bagi cowok di sampingnya ini.

"Eh, di dekat butik Mami ada toko aksesoris," kata Rayn. "Dari sini, Mami mau balik lagi ke butiknya. Kalau kamu mau, bareng lagi saja pulangnya, dan mampir ke sana. Aku temani beli bando baru."

Mata Megan membelalak. Menoleh cepat pada Rayn. Sadarkah cowok itu, sudah menawarinya jalan berdua, terang-terangan? Bisa dianggap modus, kan? Setidaknya oleh hatinya yang sekarang melompat-lompat liar. Tapi tampang Rayn begitu polos. Kalaupun ada apa-apanya, cowok itu rapi menyembunyikannya di balik tawaran logis.

Lalu gimana Ardi? Megan jadi kepo dengan ekspresi si periang. Apa yang ada di benak Ardi mendengar kata-kata sahabatnya? Tapi sekali lagi Megan tercengang. Ardi menonjok bahu Rayn main-main. "Ide bagus. Kamu jadi langsung tahu pengenal Megan yang baru. Senin nanti enggak bakal kelimpungan."

Megan diam-diam mengembuskan napas. Sesak tiba-tiba. Apa yang diharapkannya? Ardi cemburu, yang berarti mengakui posisinya di mata Rayn? Ya Tuhan, kenapa ia begitu egois? Cowok itu bahkan hanya memikirkan Rayn, tidak mendahulukan perasaan sendiri. Shame on you, Megan!

"Sudah sore, sebaiknya aku pulang langsung saja. Tante Naura nanti cemas," kata Megan, dan sesuatu di dalam dadanya berderak pecah. Ia telah melewatkan satu kesempatan indah yang mungkin tak akan datang lagi. Tapi ini yang terbaik untuk kedua sahabat itu. Dan Megan yakin banget, ia melihat kelegaan pada senyum Ardi.

"Aku coba bujuk Jihan lagi kalau begitu," katanya. Begitu saja Ardi meninggalkan mereka.

Rayn memandang Megan. Kali ini berlama-lama. Ekspresi yang sama. Yang dengan geer dan baper, ditranskripsikan Megan begini, "Hai, apakah kita sudah pernah ketemu sebelum ini? Kalau lihat wajahmu, kayaknya baru kali ini. Tapi ajaibnya aku langsung nyaman berada di dekatmu. Perasaanku selalu sama, aku jadi yakin, aku mengenali kamu jauh lebih dalam, menembus permukaan."

Lalu mata Rayn melebar. Seperti takjub. "Pipi kamu memerah."

Oh my God! Megan memejamkan mata rapat-rapat karena malu. "Kamu bisa lihat?"

"Bisa dong." Rayn tertawa. "Mungkin seperti yang disebut-sebut di buku ya, blushing, merona, bersemu merah, tersipu, karena malu. Sebelum ini, aku enggak pernah bisa bayangin setiap kali baca deskripsi begitu di novel. Baru lihat ya di pipimu. Jadi pengin lihat terus, tapi harus live, karena otakku enggak bisa memutar ulang—"

"Rayn!" tukas Megan, membuka mata tapi menutup muka dengan kedua tangan sekarang. Pipinya seperti terbakar. Lalu sadar, ia justru menghalangi pandangan Rayn. Pelan-pelan, Megan menurunkan tangan, menoleh pada cowok itu.

"Terima kasih." Rayn mengerjap.

Megan mengangguk. Enggak tahu harus ngomong apa. Perasaannya sudah tidak terdefinisikan. Tapi nalarnya membuat koneksi secepat kilat. Cewek mana pun akan blushing kalau dipandangi Rayn seperti itu. Dijamin. Tapi Rayn baru sadar setelah melihat pipinya. Artinya, Rayn tidak memperhatikan cewek-cewek lain seintens memperhatikan dia. Bolehkah ini dianggap sebagai bukti?

Eh, tunggu dulu! Megan menatap Rayn, mencari-cari petunjuk lain. Matahari sore di belakang Rayn, menyilaukan matanya. Tapi jelas, wajah cowok itu tenang, dengan senyum tipis membayang, seperti menunggu sesuatu terjadi. Rayn sengaja, pikirnya kesal. Rasa panas pun merayapi lagi mukanya.

"Penting banget ya lihat pipi merona? Pelototi aja cewek-cewek di kelasmu, atau yang suka ngelihatin kamu di taman, pasti mereka blushing juga." Megan kaget sendiri mendengar nada suaranya. Lebih ketus dari yang ia niatkan.

Rayn mengangkat alis. "Buat apa? I am face blind, but my heart can see...."

Megan tertegun. Apa itu artinya? Bahasa Inggrisnya selalu dapat nilai sempurna. Ia tidak pernah kesulitan menggunakannya sebagai bahasa pengantar di sekolah. Tapi mendadak otaknya gagal paham dengan kalimat sederhana Rayn. Dan momen itu lewat dengan cepat, tenggelam dalam kesibukan yang terjadi kemudian.

Mobil sewaan sudah datang. Koper dan tas dimasukkan. Bu Salwa menitipkan kunci rumah pada Mami Kiara. Ardi merangkul Rayn sambil berpesan panjang lebar entah apa saja. Lalu menyalami Megan dan mengingatkannya untuk menemani Rayn. Jihan memeluk Megan, tetap tidak mau mengembalikan bandonya. Pukul 17.30 mereka berangkat.

Megan ikut Rayn dan maminya meninggalkan rumah Ardi, tapi ia minta diturunkan di jalan saja. Alasannya, Mami Kiara pasti buru-buru hendak ke butik, padahal ia hanya mencegah Tante Naura melihat ibu dan anak itu. Bakal repot ia meladeni interogasinya. Dijawab jujur, Tante Naura akan mengorek-ngorek info jauh sampai ke dasar, bikin bete. Dijawab ngasal, dengan cepat Tante menemukan lubang-lubang kebohongannya.

Ia mengucapkan terima kasih, dan berdiri menunggu sampai Nissan March merah itu berlalu. Tapi baru beberapa meter, mobil itu berhenti. Rayn turun dan berlari menemuinya.

"Daripada Senin nanti aku repot cari kamu ....." Rayn meletakkan bros mawar berwarna indigo di tangannya. Mutiara yang menghiasi bagian bawahnya berkilau. "Pakai ini."



Megan menerimanya, tercengang. "Ini kan yang dipakai Mami Kiara? Aku enggak berani—"

"Mami punya beberapa. Jangan khawatir. Ini ide Mami kok. Katanya, kamu beli pita biasa saja untuk bando, terus pasang bros ini di samping kepala."

"Padahal aku bisa pake sumpit lagi."

"Aku lebih suka kamu pakai bando." 

"Oh ...." Megan tidak bisa menolak lagi. Ia menerima bros, terharu. "Terima kasih. Bilangin Mami Kiara, ya."

Rayn mengangguk. Memandangnya tanpa kata untuk beberapa saat lalu berbalik pergi. Kaki Megan mendadak goyah. Saat ini, yang diperlukannya adalah kasur dan bantal, untuk menyusup ala burung onta dengan impian bisa terbang ke awan. Atau air dingin seember untuk mengguyur kepalanya agar sadar diri. Mami Kiara melakukan ini demi putranya. Bukan tanda menerimanya sebagai cewek istimewa Rayn.

Sampai di kamar, dua-duanya tidak dilakukan Megan. Alih-alih, ia malah menuliskan kalimat Rayn di buku. I am face blind, but my heart can see.

Lettering. Kaligrafi. Berulang-ulang. Dihias-hias. Diwarnai.

You are face blind, but your heart can see ... me.

Dan Megan menjerit sendiri membaca tulisan terakhirnya. Lalu seluruh sistem tubuhnya nge-hang. Ia membantu Tante Naura memasak makan malam sambil melamun. Makan tanpa merasakan apa yang masuk ke mulutnya. Mencuci piring tanpa berpikir. Dan masuk kamar seperti zombie. Beruntung Tante Naura sedang punya masalah sendiri dengan kantornya. Selama tidak ada lauk gosong dan piring pecah, ia menganggap Megan masih aman.

Megan kembali ke kamar dan terkejut mendengar ponselnya berbunyi beruntun. Pesan di LINE. Dari akun tak dikenal RAR-E. Foto profilnya tiga ekor kucing.


---- Hai, Megan, sudah kubilang kan, aku pasti bisa dapetin kontak kamu?

---- Lucy itu menyebalkan dan keras kepala, tapi sekalinya dia punya tujuan, dia lakukan apa saja, termasuk bikin deal denganku.

---- Nah, aku dapat id LINE kamu, dia dapat ... eh, rahasia. Ini bagian dari perjanjian. Sorry, aku enggak bisa bilang.

---- Aha, akhirnya kamu muncul dan baca. Senangnya. Enggak balas juga enggak apa-apa. Baca saja dulu.


"Raiden ...." Megan merutuk jengkel. Hampir saja ia tekan tombol block ketika matanya menangkap nama Rayn di pesan berikutnya. Dengan hati berdebar, ia membaca lagi.


---- Aku tahu kamu pengin block aku. Just don't! Demi dua cowok yang lagi dekat sama kamu. Anak kelas 10A itu. Rayn dan Ardi, ya?

---- Mungkin kamu bakal bilang, mereka cuma teman. Tapi aku cemburu. Aku enggak tahu apa yang bakal aku lakukan kalau cemburu. Ini pertama kalinya. Aku masih mikir.

---- Btw. Apa sih yang menarik dari mereka? Terus yang mana sebenarnya gebetanmu? Dugaanku Rayn. Haa, benar kan?

---- Guess what! Aku ketemu sama Rayn di mal tadi. Beberapa kali malah. Pertama di toko buku. Kurang ajarnya, dia pura-pura enggak ngenali aku. Aku say hallo, dia jawab kayak ke orang asing saja.

---- Sorry to say, dia itu kayaknya enggak "lengkap" ya. Kami ketemu di rest room setengah jam kemudian, masa dia pura-pura enggak kenal lagi? Serius Megan, kamu harus mulai menyeleksi teman-teman kamu. Bilangin juga, humornya enggak lucu.

---- Dan ketiga kalinya, karena aku penasaran, aku ikuti dia masuk ke butik. Kejadian lagi deh. Serius aku heran banget. Apa karena di rest room aku buka jaket ya? Tapi kan mukaku sama. Di butik, aku lepas ikatan rambutku. Tapi sekali lagi, mukaku kan enggak berubah.

---- Kenapa ya?

---- Kamu tahu enggak dia begitu?

---- Megan ....

---- Hoy, Megaaaaaaaaaaaan ............


Tangan Megan gemetar. Ponselnya lolos dan jatuh ke kasur. Jantungnya berdentum-dentum menyakitkan. Sungguh ia menyesal, andai ia di samping Rayn di mal tadi, tak akan ada masalah dengan Raiden.

Oh, Rayn .... 



(bersambung)


_________________________

Halo halo .....

Siapa yang ikut menjerit sama Megan?

Siapa yang baper?

Mana suaranya?

Kalau Megan minta saran kamu tentang Ardi, kamu bakal bilang apa?

Apa yang harus Megan lakukan tentang Raiden?


Sampai ketemu Jumat  ya.


Salam sayang

Ary


PS

Yuk, kunjungi WP pribadiku. Ada Write Me His Story   dan The Visual Art of Love  yang bikin baper juga. Lengkap.



Continue Reading

You'll Also Like

1M 76.8K 39
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
9.2K 245 1
"Telinga lo pernah dengung berisik gitu nggak waktu sunyi? Atau lo pernah mimpi dunia ini speed up kayak orang-orang tuh beraktivitas cepet banget?" ...
1.2M 124K 32
(SELESAI) Dari kami, orang-orang yang berhasil menggapai cita-cita, namun masih terluka karenanya. Teristimewa untuk penggiat industri kreatif dan pe...
1.6M 162K 39
Honestly Hurt "Luka hatiku karena kamu..." a story by ELSA PUSPITA Bagi Velya, Chiko dan Gusti mewakili sosok kakak yang tidak pernah dimilikinya. Di...