OUR STORY [MinYoon-KookV] ✅

By TIAN_LIAN

43K 7.3K 792

Min Yoongi tak pernah menyangka, kembalinya ke kota kelahiran sang ibu akan membawanya bertemu dengan sang pr... More

SATU
DUA
TIGA
EMPAT
LIMA
ENAM
TUJUH
DELAPAN
SEPULUH
SEBELAS
DUA BELAS
TIGA BELAS
EMPAT BELAS
LIMA BELAS
ENAM BELAS
TUJUH BELAS
DELAPAN BELAS
SEMBILAN BELAS
DUA PULUH
DUA PULUH SATU
DUA PULUH DUA
DUA PULUH TIGA
DUA PULUH EMPAT
EPILOG

SEMBILAN

1.5K 291 28
By TIAN_LIAN

.

.

.

.

.

"Proposal ini terpaksa saya tolak,"

Jungkook mengangkat kepala, lalau mengangguk pelan. Heechul menyodorkan kembali map yang sebelumnya diberikan Jungkook. Jungkook menerimanya, lalu berbalik, bermaksud keluar dari ruangan yang berhawa sejuk itu. sebelum mencapai pintu, Jungkook menoleh dan menatap Heechul yang sekarang asyik bermain game di laptopnya.

"Boleh saya tahu alasannya?" tanya Jungkook, membuat Heechul mendongak dan menatapnya heran.

"Ya, karena membuang-buang dana," katanya kemudian. Jungkook mengedarkan pemandangan ke sekeliling ruangan itu.

"Lalu renovasi ruangan ini tidak termasuk membuang dana?" Heechul menegakkan punggung. Jungkook tidak pernah banyak bertanya sebelumnya.

"Maksud kamu apa?"

"Saya hanya minta izin untuk membuat ekskul agar murid-murid bisa menyalurkan bakat dan minat mereka. Itu jauh lebih baik daripada membiarkan mereka berkeliaran di jalan," kata Jungkook, berusaha untuk mengontrol emosinya. "Bapak bisa membeli segala kemewahan ini dengan dana sekolah, tapi tidak bisa untuk membeli bola dan net?"

"Jaga mulutmu," kata Heechul tajam. "Saya tidak membeli semua ini dengan uang sekolah,"

"Oh ya? Lantas dengan uang apa?" tanya Jungkook lagi. "Uang sumbangan dari Yoongi?" Heechul merapatkan geraham, berusaha untuk merapatkan geraham. Siswa di depannya ini adalah suatu berkah untuknya, karena ia sangat pintar dan datang dari keluarga terhormat. Bisa dibilang, selama dua tahun terakhir, sekolah ini bertahan karenanya. Heechul tak ingin kehilangan itu, tapi di saat yang sama, ia juga punya harga diri.

"Saya paham kamu punya keinginan mulia untuk menyelamatkan murid-murid yang lain. Kamu ingin mengubah sekolah ini. Tapi, Nak, ada yang harus kamu pahami," Heechul mencondongkan tubuh ke depan. "Kamu tidak bisa menyelamatkan orang yang tidak ingin diselamatkan,"

"Apa maksud anda?" tanya Jungkook lambat-lambat.

"Jungkook, anak-anak ini adalah mereka yang tersesat. Mereka tidak peduli apapun yang berbau sekolah. Mereka datang kesini hanya untuk berkumpul dengan sesamanya, jauh dari keluarga. Mencari jati diri dengan berkelahi, atau mencari uang dengan melacur. Apa katamu tadi, bakat? Minat? Percayalah, tidak ada satu pun dari mereka yang peduli dengan hal-hal seperti itu" kata Heechul, membuat Jungkook mengepalkan tangan. "Kalau kamu tidak percaya, coba kamu tanyakan sendiri pada mereka. Kamu akan terkejut kamu tahu kalau saya benar,"

Jungkook merasa darah di kepalanya mendidih mendengar penjelasan Heechul. "Tersesat, kata Bapak? Lantas apa bapak tidak mencoba mengembalikan mereka ke jalan yang benar?" tanya Jungkook geram. Tapi Heechul masih terkekeh. "Saya ada di sekolah ini lebih dari sepuluh tahun, Jungkook. Percayalah, saya sudah hampir melakukan segalanya. Dan hal yang paling baik dalam mendidik anak-anak itu adalah dengan membiarkan mereka," kata Heechul lagi, membuat Jungkook muak.

"Sekolah ini bukan tempat belajar untuk mereka. Sekolah ini hanya wadah untuk eksistensi mereka,"

"Bagaimana," kata Jungkook lambat-lambat. "Bagaimana Bapak bisa bicara seperti ini?"

"Saya hanya melihat kenyataan," Heechul tersenyum, membuat kertas di tangan Jungkook kusut. Heechul melihat itu. "Walaupun begitu, kamu bukan bagian dari mereka. Kamu bisa melihat mana yang benar. Kamu tahu semua yang saya bilang itu benar,"

"Mungkin yang Bapak bilang itu benar, tapi bukan berarti tidak ada jalan keluar," kata Jungkook lagi. "Bapak hanya tidak mau berusaha untuk mengerti mereka,"

"Jangan kamu bilang saya tidak mau berusaha mengerti mereka," kata Heechul. "Selama sepuluh tahun ini, saya sudah mencoba, tapi tidak ada perubahan. Dari tahun ke tahun, sifat mereka sama saja. Tahun ini memang jauh lebih baik dari angkatan sebelumnya, tidak ada tawuran, dan saya pikir itu karena tidak ada sekolah lain yang berani pada Jimin,"

"Selama sekolah ini menerima sampah seperti mereka, tidak akan ada perubahan, Jungkook," Heechul melanjutkan.

"Tapi jika sekolah ini tidak menerima mereka, sekolah ini sudah tamat sejak dulu. Itu ironi yang harus saya hadapi selama bertahun-tahun," Jungkook menatap Heechul tanpa bekedip sehingga matanya panas.

"Saya pikir saya bisa sedikit percaya pada orang dewasa, tetapi saya salah," kata Jungkook membuka rahangnya. "Kalian semua mengecewakan kami," Jungkook bergerak cepat kearah pintu tanpa mengidahkan Heechul yang masih bicara, lalu keluar dari ruangan itu. Jungkook meninju tembok di sebelahnya sampai catnya rontok. Selamanya Jungkook tidak akan pernah lagi percaya pada orang dewasa. Tidak akan pernah.

.

.

.

.

.

Jungkook berjalan dengan kepala berdenyut menuju ruang OSIS. Ia berusaha meredakan denyut menyakitkan itu dengan memijat dahinya. Jungkook benar-benar kehilangan kendali. Jungkook sudah terbiasa dengan penolakan dan tidak pernah bertanya lebih lanjut. Tadinya Jungkook akan mengajukan proposal seperti biasa karena ia merasa memiliki tanggung jawab terhadap sekolah itu, dan tidak melakukan apapun setelah di tolak, tapi tadi ia tidak bisa menahan diri. Kata-kata Yoongi kemarin membuatnya tergelitik untuk sekali lagi berusaha untuk mempercayai orang dewasa.

Jungkook berjalan pelan menyusuri halaman belakang sekolah menuju ruang OSIS. Pintunya terbuka, pasti Yoongi sudah ada di sana. Jungkook mendesah, tak ingin berbagi cerita apa pun pada anak itu. Saat Jungkook baru akan masuk, sudut matanya menangkap suatu pemandangan yang tak biasa di atas gudang olahraga. Gudang itu merupakan gudang yang harusnya berlantai dua, tapi pembangunannya tidak di teruskan karena kekurangan dana. Jadi sekarang, di atas gudang itu hanya ada sebidang kosong yang dipakai untuk meletakkan kayu-kayu bekas. Tapi bukan itu yang membuat Jungkook heran. Di atas sana, Taehyung sedang berdiri dengan tatapan kosong. Saat Jungkook hendak bertanya, Taehyung melangkah ke pinggiran gedung, membuat Jungkook refleks berlari kearah belakang gudang dan menaiki tangga yang ditemukannya. Jungkook muncul dari belakang Taehyung yang masih berdiri di pinggir gedung.

"Hei!" seru Jungkook membuat Taehyung menoleh. Tapi sebelum Taehyung sempat membalas, Jungkook sudang meraih tangannya dan menariknya menjauhi pinggiran.

"Eh? Apa-apaan ini?" seru Taehyung terkejut karena mendadak ditarik.

"Dengar," kata Jungkook dengan napas terengah sambil mencengkeram kedua bahu Taehyung. "Apa pun yang terjadi denganmu, selalu ada jalan keluar,"

"Hah?" seru Taehyung bingung, tak mengerti dengan kata-kata Jungkook.

"Maksudku, jangan menyerah. kau tidak boleh mengambil jalan pintas dengan bunuh diri," kata Jungkook lagi, membuat Taehyung melongo. Detik merikutnya Taehyung terbahak sementara Jungkook mengernyitkan dahi, bingung.

"kau pikir aku mau bunuh diri, begitu?" tanya Taehyung geli di tengah tawanya.

"kau tadi... bukan mau bunuh diri?" tanya Jungkook lagi dengan tampang polos, membuat tawa Taehyung semakin menjadi-jadi.

"aku hanya mau duduk di sana!" Taehyung menyeka air mata yang sudah keluar. "Lagi pula memang aku bisa mati kalau loncat dari sini?" Jungkook mengintip ke bawah, yang memang hanya sekitar satu setengah meter dari tempatnya berada sekarang. Orang yang melompat ke bawah paling-paling hanya keseleo. Jungkook menatap Taehyung, lalu mengendikkan bahu.

"Siapa tau," kata Jungkook sambil memikirkan kemungkinan apa Taehyung bisa benar-benar meninggal kalau loncat ala perenang dengan kepala terlebih dahulu. "aku tidak desperate  separah yang ada di otakmu itu kok," kata Taehyung, akhirnya bisa berhenti tertawa. Ia lalu menatap Jungkook yang masih tampak berpikir sambil melihat ke bawah. "kau ternyata lumayan imut juga ya," Jungkook menoleh kearah Taehyung yang menatapnya penuh arti. Belum pernah Jungkook di bilang imut oleh siapapun.

"Apanya?" tanya Jungkook, merasa aneh.

"Sikap supermen mu itu. sikap mau menolong siapa pun yang kesusahan mu itu," Taehyung masih menatap Jungkook. "Imut sekali," Jungkook terdiam, mendadak teringat pada kata-kata Heechul, kalau ia tidak bisa menyelamatkan orang yang tidak ingin diselamatkan. Taehyung menatap Jungkook yang malah menerawang.

Biasanya laki-laki yang ia rayu langsung terjerat, tapi ternyata tidak berlaku untuk yang satu ini. Taehyung mengedikkan bahu, lalu matanya menatap ke sebuah map yang tergeletak di lantai. Sepertinya Jungkook menjatuhkannya dalam upaya penyelamatan tadi. Taehyung memungut lalu membacanya. "Proposal pembentukan ekskul?" baca Taehyung, berhasil membuat Jungkook menoleh. Taehyung menatap Jungkook tidak percaya. "kau mau membuat ekskul di sini?"

"Ya, tapi di tolak," jawab Jungkook, membuat Taehyung terkekeh.

"Kalau diterima, baru aku heran." Katanya sambil kembali meneruskan membaca. Jungkook memperhatikannya. "Kalau memang ekskul boleh di buat, Kau mau masuk ekskul apa?" tanya Jungkook membuat Taehyung menatapnya tanpa berkedip.

"Mh... Dance," jawab Taehyung, lantas terbahak dengan leluconnya sendiri. Jungkook hanya menatapnya datar, membuatnya berhenti tertawa.

"Kau serius?"

"Lupakan saja," Jungkook kembali menatap pemandangan atap-atap rumah kosong di depannya. Taehyung menatapnya, lalu mendesah. "Anak-anak di sekolah ini tidak ada yang butuh ekskul, Jungkook." Taehyung merobek salah satu kertas proposal itu dan meletakkannya di lantai. Ia lantas duduk di atasnya, membuat Jungkook melongo. Taehyung menoleh ke arah Jungkook yang masih berdiri. "Kita lebih butuh uang,"

Jungkook terdiam, lagi-lagi teringat kata-kata Heechul. Ia benci mengetahui bahwa orang tua itu benar. Taehyung menatapnya sebentar, lalu merobek satu lagi halaman proposal dan meletakkannya di sampingnya. Ia menepuk-nepuk kertas itu, menyuruh Jungkook duduk di sana. Jungkook menatap kertas itu sebentar, menghela napas, lalu duduk juga di atasnya. Daripada mendudukinya, sebenarnya Jungkook lebih ingin membakarnya. Taehyung memperhatikan tampang murung Jungkook.

"Dari dulu aku penasaran. Sebenarnya apa yang kau lakukan di sekolah ini?" tanya Taehyung tiba-tiba, membuat Jungkook tak bereaksi. "Sekarang, di tambah lagi anak baru itu, Yoongi. Apa yang orang-orang elit seperti kalian lakukan di sekolah ini?"

"aku tidak merasa elit," komentar Jungkook tanpa berkedip.

"Anak anggota Dewan sekaligus pengusaha tekstil, kau bilang tidak elit?" tanya Taehyung membuat Jungkook berdecak. Ia selalu sebal jika dikait-kaitkan dengan orangtuanya.

"Tadinya ku pikir kau salah masuk sekolah, dan kau bisa pindah kapan pun kau mau. Tapi kau ada disini selama dua tahun. Itu aneh," Taehyung melirik lagi Jungkook yang masih menatap lurus ke depan, lalu mengedikkan bahu. "kau tidak mau cerita, itu hak mu," lanjut Taehyung. "Tapi aku punya teori sendiri tentang keberadaan mu di sini. Apa kau mau dengar?" Jungkook menoleh, sedikit tertarik dengan kata-kata Taehyung.

"Apa?" tanyanya sementara Taehyung tersenyum senang.

"aku dengar soal kau dan Jimin kemarin. Semua orang membicarakan hal itu," kata Taehyung membuat Jungkook mengernyitkan dahi. "Dan menurutku, kau ada di sini karena dia," Jungkook menatap Taehyung lama, lalu kembali tertarik pada atap rumah di depannya.

"Teori mu masih terlalu luas," komentar Jungkook, tanpa ingin memberitahu pemuda cantik di sampingnya ini lebih banyak.

"Oh ya? Kalo begitu akan ku persempit. Kalian dulu satu SMP," kata Taehyung membuat Jungkook menoleh cepat dan menatapnya tak percaya. "Dulu kalian bersahabat baik. Tapi karena suatu hal, kalian jadi bertengkar. Dan mempertimbangkan sifat supermen mu ini , kau sengaja keluar dari sekolah unggulan dan masuk sekolah ini untuk dia. Apa aku salah?"

Jungkook menatap Taehyung lama, lalu mendesah. Ia tidak menyangka Taehyung bisa tahu tentang masa lalunya dengan Jimin. "Dari mana kau tahu?" tanya Jungkook akhirnya. "Dulu klien ku teman SMP kalian," jawab Taehyung cuek. "Dia terlalu banyak bicara, tapi aku ingat bagian dia menyebut-nyebut nama Jimin. Dan yang membuatku tertarik, namamu juga muncul,"

Jungkook mengangguk-angguk. "Dunia memang sempit,"

"Yep," kata Taehyung. "Tadinya aku juga tidak peduli soal ini, tapi karena tadi kau dengan baik hati menggagalkan usaha bunuh diri ku, mau tidak mau aku jadi ingat,"

Jungkook terkekeh sebentar, lalu dalam beberapa detik ia kembali murung. Taehyung menatapnya lagi. "Jadi? Kenapa kalian bisa bertengkar seperti ini?" tanya Taehyung, membuat Jungkook menatapnya dengan dahi mengernyit.

"Oh, ayolah. Aku sudah memberimu teori sejauh itu, apa susahnya kau memberiku jawabannya?"

Jungkook terdiam sebentar, lalu mendesah. "Kau tau tentang ayah Jimin yang masuk penjara?" tanya Jungkook, membuat Taehyung mengangguk. "Dari situlah semuanya bermula,"

Taehyung tampak serius mendengarkan. "lalu?"

"Semua orang di sekolah menjauhi Jimin karena itu, termasuk aku," kata Jungkook lagi, matanya sudah menerawang. "ayahku bilang, Jimin itu anak narapidana. Dia bisa aja mewarisi sifat-sifat ayahnya. dia berkata aku tidak boleh lagi berteman dengan Jimin, apa pun alasannya. Kau tau kan karena apa?"

"Image?" jawab Taehyung setelah berpikir beberapa detik.

"Tepat. Ayahku tidak peduli bagaimana Jimin menderita di sekolah. tidak punya teman, tidak punya guru untuk membela dia, dan tidak orangtua," rahang Jungkook mengeras. "Dan selama itu, aku hanya melihatnya dari jauh. Melihatnya diolok-olok oleh semua orang. Sesuai perintah ayahku, aku menjauhinya. Sama seperti semua orang," Jungkook mengambil jeda sejenak untuk mendesah.

"aku pun masuk ke sekolah yang di rekmendasikan ayahku, SMA unggulan. Sedangkan Jimin? Masuk sekolah buangan, satu-satunya sekolah yang mau menerimaya," lanjut Jungkook lagi. "Tapi selama itu juga, aku juga ikut menderita. aku merasa bersalah. Aku tahu tidak seharusnya aku menjauhinya, tapi aku tetap menjauhinya," Taehyung mengangguk-angguk paham. Untuk seorang Jungkook yang kadar kepahlawanannya tinggi, pasti sangat berat sekolah di sekolah bagus, sementara sahabatnya terlantar di tempat seperti ini. " lalu Suatu hari aku membaca berita di Koran kalau Jimin terlibat tawuran antar sekolah, dan saat itu juga aku mengambil keputusan untuk pindah ke sekolah ini," kata Jungkook lagi.

"ayahku mengamuk, tapi aku pun  mengancam bahwa aku akan berhenti sekolah kalau tidak pindah ke sini. Aku sudah tidak peduli lagi. Aku tidak peduli apa kata orangtua ku, aku pun tidak lagi perduli image mereka.  Karena satu-satunya yang kuperdulikan hanya bagaimana caranya agar Jimin memaafkanku,"

"Dan Kau belum berhasil sampai sekarang," kata Taehyung. Jungkook mengangguk. "aku tau tidak bisa semudah itu," desah Jungkook. "Dia sudah terlalu dendam kepadaku. aku satu-satunya orang terdekatnya, dan aku malah pergi. Aku paham kalau dia tidak akan memaafkanku. Tapi setidaknya aku sudah berusaha,"

"Dengan mengorbankan segala potensi mu," timpal Taehyung, tampak takjub. "Wow,"

"aku tidak tahu harus dengan apa lagi aku menebus dosaku padanya," lanjut Jungkook. "aku bisa bilang, Jimin jadi seperi sekarang ini adalah karenaku." Taehyung mengangguk-angguk sementara Jungkook menoleh. "kau pasti tidak tahu, kalau Jimin dulunya itu jenius." Taehyung kembali tertarik.

"Jimin? Jenius?" Jungkook mengangguk. "Dia bisa masuk sekolah kami dengan beasiswa silang. Di tahun pertama, dia juara pertama. Mengalahkanku." Taehyung mengangga. "Kau Serius?"

"Awalnya aku sama sekali tidak menyukainya, tapi lama-lama aku sadar kalau dia orang yang patut untuk ku contoh. Kami bersaing sehat, dan semenjak itu juga kami memutuskan untuk bersahabat dan membuat janji di masa depan," Jungkook kembali menerawang. "Tapi aku menghancurkan segalanya."

Taehyung sama sekali tak bisa membayangkan Jimin di masa SMP yang pintar dan ceria, tanpa harus memukul siapapun yang menabraknya dengan tongkat baseball. Taehyung lantas membayangkan Jungkook dan Jimin saling merangkul dan berjalan riang ke kantin, tapi ia segera menggelenggelengkan kepala. "sepertinya aku berbakat jadi peulis scenario drama," kata Taehyung, membuat Jungkook menatapnya penuh minat. Taehyung nyengir. "Ah, lupakan saja." Jungkook masih memperhatikannya. Selama dua tahun bersekolah di sini, baru kali ini ia mengobrol dengan Taehyung. Ia bahkan tidak ingat pernah menyapanya selamat pagi. Ia pikir Taehyung adalah pemuda cantik yang sombong dan punya dunianya sendiri, tapi rasanya ia salah.

"kau tau, kalau kau memang merasa punya suatu bakat, kau harus kembangkan itu." kata Jungkook kemudian. Taehyung mengernyit. "untuk apa?"

"untuk masa depanmu, tentu saja." jawab Jungkook membuat Taehyung tersenyum simpul.

"Masa depan,ya..." Taehyung menerawang. "Entah aku masih punya masa depan atau tidak."

"Semua orang punya masa depan," kata Jungkook. "Apa yang kita lakukan sekarang menentukan masa depan kita nanti."

"Oh, kalau begitu aku ada gambaran tentang masa depanku," Taehyung menatap Jungkook yang ingin tahu.

"Full time PSK?"

Jungkook bengong saat mendengar jawaban Taehyung, lalu ikut terkekeh. "ku pikir kau mau membuat drama," kata Jungkook geli. "kau kan tadi bilang punya bakat dalam bidang itu." Taehyung hanya nyengir mendengar kata-kata Jungkook. Beberapa saat kemudian, cengirannya pudar.

"Itu Cuma mimpi," katanya pelan, membuat Jungkook kembali menatapnya.

"Mimpi juga bagus," kata Jungkook. "Kita bisa mengejar mimpi kita untuk masa depan kita."

"Mimpi itu tidak nyata," tukas Taehyung dingin. Ia lalu balas menatap Jungkook. "Kita hidup dalam kenyataan, Kook. Dan aku tidak bisa bertahan hidup hanya dengan bermimpi."

Jungkook terdiam, sementara Taehyung bangkit dan membersihkan celananya.

"sudah waktunya masuk," kata Taehyung lagi. "Ketua OSIS tidak mungkin bolos, bukan?" Taehyung nyengir, lalu melangkah menuju tangga. Beberapa saat kemudian, ia sudah tak terlihat lagi. Jungkook menghela napas. Ia bukannya tidak tahu kalau ada begitu banya anak di sekolah ini yang sudah kehilangan harapan, seperti Taehyung. Yang membuat Jungkook kesal adalah, kata-kata Heechul  semuanya benar. Bahwa dia tidak mungkin bisa menyelamatkan mereka yang tidak mau diselamatkan.

.

.

.

.

.

Continue Reading

You'll Also Like

124K 6.9K 12
the next secret Just secret
86.5K 8.6K 36
FIKSI
235K 25.6K 38
Hanya cerita klasik dimana si unggulan yang jadi sorotan sekolah dan si pembuat onar yang mencoba menaklukannya. "Kau bermain dengan orang yang sala...
21.5K 2.3K 10
[COMPLETE] . [School Life AU] Aku pun penasaran. Kira-kira sejak kapan? . . . "Wah, Jeongguk, bahkan kau nggak memberitahu kami kalau kau dekat denga...