OUR STORY [MinYoon-KookV] ✅

By TIAN_LIAN

42.8K 7.2K 792

Min Yoongi tak pernah menyangka, kembalinya ke kota kelahiran sang ibu akan membawanya bertemu dengan sang pr... More

DUA
TIGA
EMPAT
LIMA
ENAM
TUJUH
DELAPAN
SEMBILAN
SEPULUH
SEBELAS
DUA BELAS
TIGA BELAS
EMPAT BELAS
LIMA BELAS
ENAM BELAS
TUJUH BELAS
DELAPAN BELAS
SEMBILAN BELAS
DUA PULUH
DUA PULUH SATU
DUA PULUH DUA
DUA PULUH TIGA
DUA PULUH EMPAT
EPILOG

SATU

4.8K 436 16
By TIAN_LIAN

.

.

.

.

.

Yoongi melemparkan pandanganya keluar jendela, menatap barisan mobil yang merayap perlahan. Ia melirik jam tangannya, 07:30. Ia sudah sangat terlambat untuk masuk sekolah. Han guk, sang supir, meliriknya dari spion.

"Telat ya, tuan?" tanyanya dengan nada sedikit bersalah. Yoongi menggeleng sambil tersenyum.

"tidak apa-apa, paman, mungkin juga mereka akan memakluminya," hibur Yoongi, lebih kepada dirinya sendiri. Han guk mengangguk-angguk. Yoongi menggigit bibir lalu kembali ke jam tangan. Baru satu menit berlalu semenjak terakhir kali ia melakukannya. Yoongi menghela nafas pelan. Waktu selalu berjalan dengan lambat kalau ia sedang terburu-buru.

"Tapi, tuan. paman masih tidak habis pikir," kata Han guk lagi, membuat Yoongi mengangkat kepala. "Kenapa tuan besar nyuruh tuan Yoongi masuk sekolah itu,"

"Saya juga tidak tahu. Kata abeoji sekolah itu bagus dan berstandar internasional,"

"Apa begitu??," Han guk terdengar sangsi. "Saya malah heran waktu mendaftarkan tuan disana. Kemarin tuan Jung menyuruh saya sambil buru-buru ngejar pesawat, jadi saya mematuhi saja dan tidak sempat bertanya lagi,"

"tidak apa-apa, paman. terimakasih," Yoongi melempar senyum Han guk mengangguk, lalu kembali berkonsentrasi pada jalanan yang sudah sedikit lancar. Yoongi menghela nafas pelan, lalu menyandarkan kepalanya ke jok. Ia teringat kejadian beberapa hari lalu, saat ia masih di Amerika. Tepatnya lima hari yang lalu, Yoongi hampir terkena serangan jantung saat mendapat telepon dari Seoul yang mengatakan ibunya mengalami kecelakaan dan sedang terbaring koma.

Semenjak kedua orang tuanya bercerai, Yoongi memang memilih untuk ikut ayahnya ke Amerika. Tapi setelah mengetahui ibunya sekarat, Yoongi memutuskan untuk kembali ke Seoul. Ayahnya setuju, dan mencarikan sekolah untuk Yoongi dengan meminta bantuan teman baiknya di Seoul, Jung, yaitu majikan Han guk.

Sebenarnya Yoongi tidak mau pusing-pusing memikirkan sekolah, karena yang ia khawatirkan hanyalah kondisi ibunya. Semenjak dua hari yang lalu, Yoongi tidak pernah pergi dari sisi ibunya yang terbaring dengan selang-selang disekujur tubuhnya. Yoongi tak henti-henti menyalahkan dirinya sendiri, yang dulu memilih pergi bersama ayahnya. Tadi malam, saat Yoongi sedang tidur sambil memegang tangan ibunya, tangan itu bergerak. Yoongi panik dan menekan tombol itu berkali-kali sambil menangis tak jelas. Beberapa detik kemudian, dokter dan serombongan suster datang, dan menyatakan ibunya telah sadar.

Tadi pagi, ketika Yoongi berniat untuk menemui ibunya, ibunya justru menyuruhnya untuk pergi sekolah. Padahal Yoongi belum siap untuk berpisah dengannya, bahkan hanya untuk pergi sekolah. Yoongi malah bersumpah bahwa ia tidak peduli lagi sekolah asal ia bisa bersama dengan ibunya selama mungkin. Tapi, ibunya masih tetap keras kepala seperti dulu. Jadi, sekarang, disinilah ia, di dalam mobil Jung, yang meluncur di jalanan Seoul yang lebar tapi penuh sesak, yang disebut-sebut ayahnya sebagai sekolah terbaik yang bisa ditemukannya untuk Yoongi.

Berstandar internasional, dengan fasilitas super lengkap, dan pastinya uang masuk selangit. Sebenarnya Yoongi tidak ambil pusing tentang sekolah seperti apa yang ia masuki, tetapi ayahnya berpikir lain. Sekolah Yoongi di Amerika adalah sekolah privat yang tidak sembarang anak bisa masuk. Hanya anak –anak kalangan menengah keatas di Manhattan yang bisa bersekolah disana. Yoongi tidak begitu suka sekolah itu, tapi ia tidak pernah mengatakannya pada ayahnya.

"tuan, sebentar lagi kita sudah sampai," kata Han guk, membuyarkan lamunan Yoongi. Yoongi dengan sigap mengambil handphone dari tas, mematut diri sebentar lalu menegakkan posisi duduk. Ia melempar pandangan keluar jendela. Yoongi lantas menyipitkan mata, bingung dengan suasana jalan yang sedang ia lihat. Jalanan ini sangat sempit, bukannya jalan arteri yang seharusnya menjadi lokasi sekolah yang diceritakan ayahnya. Tak lama kemudian, Han guk menghentikan mobil. Yoongi menatap bingung.

"Kita mau kemana dulu, paman,"

"Ya ke sekolah tuan, kan .?" Han guk balas bertanya dengan sama bingunganya. Belum sempat Yoongi merespon, Han guk menyerahkan map dari dasbor dan menyerahkannya padanya.

"Itu berkas-berkas tuan, ada fotokopi ijazah dan lain-lain," kata Han guk "Pulang sekolah, telepon saja ajusshi. Nanti paman jemput," Diluar kesadaran Yoongi mengangguk pelan. Ia melangkah keluar mobil, lalu memandang sekeliling. Mana sekolahnya?

"Hati-hati, tuan," kata Han guk selanjutnya, membuat Yoongi menatapnya bingung. Hati-hati terhadap apa ? Tapi Yoongi mengangguk juga, membuat Han guk balas mengangguk dan mengunjak gas. Yoongi hanya bengong saat melihat mobil itu hilang di belokan. Sekali lagi Yoongi mengedarkan pandangan.

Tapi di sekitarnya tidak ada bangunan yang menyerupai sekolah. Yoongi lantas melangkahkan kaki menuju sebuah warung pinggir jalan untuk bertanya. Saat ia sudah dekat, ia melihat seorang anak laki-laki berseragam sekolah yang melintas santai. Beranggapan siswa itu adalah siswa sekolahnya, Yoongi mengikutinya menuju sebuah pagar setinggi satu meter setengah yang penuh coretan, dan langkahnya terhenti saat melihat anak itu masuk melalui sebuah ceruk. Yoongi mendekati ceruk itu, lalu menatapnya bingung. Pada ceruk itu mungkin terpasang gerbang, tapi entah gerbang itu sudah kemana. Mengedikkan bahu, Yoongi masuk juga, lalu mengangga pada detik pertama ia melihat bangunan didepannya.

Bangunan itu hanya satu lantai, kalau itu belum terdengar cukup buruk untuk sekolah swasta berstandar internasional, maka coretan di sekujur temboknya dan tiang bendera di tengah lapangan gersang membuat Yoongi merasa yakin gelar standar internasional ini berlebihan.

"Standar internasional ya..." gumam Yoongi tak habis pikir. Ia lalu melirik papan nama sekolah, yang tampak menyedihkan dan terpasang miring dan termakan karat. Detik berikutnya ia terkesiap. Soon Il High School [SIHS]. Kalau tidak salah... sekolah yang disarankan ayahnya... Seoul International High School [SIHS]? tapi...

Lutut Yoongi langsung terasa lemas.

.

.

.

Yoongi memijat dahinya yang berdenyut menyakitkan. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi kenyataan pahit ini. Kenyataan bahwa Han guk salah memasukkannya ke sekolah swasta menyedihkan bukannya sekolah swasta berstandar internasional hanya karena salah mendengar nama sekolah yang sepintas mirip, sangat tak bisa di percaya. Han guk memang tidak pintar. Dari yang Yoongi dengar, ia hanya Tamatan Elementary School.

Tapi ia adalah orang kepercayaan Jung dan sudah ikut bersamanya selama puluhan tahun, makanya, Jung menyerahkan urusan pendaftaran sekolah ini padanya. Tahunya begini, harusnya Yoongi mendaftar sendiri saja. Yoongi menghela napas. Ia tentu tidak ingin masuk sekolah bobrok ini. Ia harus mengurus kepindahannya ke sekolah yang benar. Ia melangkah malas menuju gedung sekolah itu, bermaksud untuk mengambil ijazahnya aslinya.

"Hey!" sahut seseorang, membuat Yoongi refleks menoleh. Ia lantas terpaku saat mendapati segerombolan anak laki-laki yang tampak garang muncul dari ceruk tadi.

"Siapa kau?," Yoongi menggigit bibir. Anak laki-laki itu... siswa sekolah ini ? Yoongi jadi seratus persen untuk segera pindah. "Mm..."

"Anak baru ?," Tanya salah satu dari mereka, tampaknya orang yang sama dengan yang berteriak pertama kali.

"Bukan..." jawab Yoongi, tapi sepertinya hanya dianggap sebagai angin lalu, karena tak ada satupun dari mereka yang tampak mendengar. Mereka sibuk menatap ke belakang, membuat jalan untuk seorang anak laki-laki berpostur hampir sama sepertinya dengan tabahan otot tengah menenteng tongkat baseball.

"Ada apa?," Tanya anak laki-laki itu pada yang lain, tapi matanya sudah lebih dulu menangkap sosok Yoongi yang salah tingkah di tengah lapangan. Anak laki-laki itu memicingkan matanya pada Yoongi.

"Siapa dia?,"

"Anak baru," jawab anak laki-laki yang pertama membuat Yoongi melongo. "Bukan," sangkal Yoongi, tapi lagi-lagi tak ada yang peduli, karena sekarang anak laki-laki itu sibuk mengeluarkan suara-suara aneh. Anak laki-laki yang membawa tongkat baseball itu sendiri nyengir nakal, lalu mendekati Yoongi, masih menenteng tongkat baseball. Yoongi mundur beberapa langkah, ngeri. Anak itu sekarang berjalan pelan mengelilingi Yoongi, menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Yoongi dengan segera merasa risih.

"Pindahan dari mana ?," tanya anak laki-laki yang menenteng tongkat baseball itu.

"Mn..." Yoongi berpikir keras. Sangat bodoh kalu ia menjawab Amerika. Tapi karena tidak terbiasa berbohong, Yoongi tidak bisa menemukan jawaban hanya dalam waktu beberapa saat. Mendadak wajah anak laki-laki itu muncul di hadapan Yoongi.

"Pindahan dari mana?," Tanya anak itu lagi, sekarang dengan nada sedikit membentak. "Amerika," jawab Yoongi reflex, membuatnya ingin memukul mulutnya sendiri. Anak laki-laki itu sekarang sudah bersiul, diikuti reaksi heboh dari yang lain.

Yoongi sudah menyangka hal ini akan terjadi. "Untuk apa jauh-jauh dari Amerika pergi kemari?," Tanya anak laki-laki itu lagi. Yoongi tak merasa harus menjawab. "Bukan urusan mu...!," Yoongi memberanikan diri menatap mata anak laki-laki itu. Senyum diwajah anak laki-laki itu segera lenyap, membuat Yoongi langsung menyesal sudah menjawab sok berani. Tapi beberapa detik kemudian, ia kembali tersenyum. Yoongi bersumpah kalau anak ini tidak bertingkah seperti preman, ia pasti bisa menjadi model di majalah dengan wajah serta tatapan matanya yang tajam memikat itu.

Anak itu tiba-tiba berbalik, sekarang mengangkat tongkat baseball pada bahu, membuat jantung Yoongi berdetak cepat. Pose itu nyaris terlihat keren kalau saja ia melihatnya di film, bukannya mengalaminya langsung seperti ini.

"Bagus, aku menyukai bocah pemberani sepertimu," katanya, diikuti sorak anak-anak lain. Yoongi bisa melihat kalau anak laki-laki itu adalah bos di sini. Anak laki-laki itu mendadak berbalik menatap Yoongi. Yoongi segera meneguk ludah.

"Kelas berapa?" tanyanya lagi. "Dua... belas," jawab Yoongi, sebelum benda yang ada di bahu laki-laki itu melayang ke bahunya. Anak laki-laki itu tersenyum lagi, lalu mengangguk-angguk.

"Bagus, sampai ketemu di kelas," katanya penuh percaya diri, sementara Yoongi bingung darimana ia tahu kalau mereka bakal sekelas ? oh.. tidak, bagaimana ia tahu Yoongi tidak akan ke kantor kepala sekolah, mengambil ijazah lalu pergi dari sini. Menganggap ini kesempatan yang baik, Yoongi berbalik lalu berderap ke dalam gedung untuk mencari kantor kepala sekolah.

Jimin, anak laki-laki itu menatap punggung Yoongi yang berjalan buru-buru ke dalam gedung. "Jangan ada seorangpun yang mengganggunya," katanya sambil berbalik, lalu menatap anak-anak buahnya dengan seringai. "Dia milikku..."

"ya, bos," jawab anak-anak itu serempak. Jimin kembali menoleh, tapi Yoongi sudah tak tampak lagi. 

.

.

.

.
[Fanfict ini semata-mata hanya untuk hiburan, kalian bisa membaca karya asli ORIZUKA dengan judul yang sam OUR STORY. Saya sama sekali tidak mencari keuntungan dengan meremake cerita ini. Jadi, jadilah pembaca yang bijak. Terima kasih]

Continue Reading

You'll Also Like

222K 33.3K 60
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
297K 22.9K 104
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
123K 9.8K 87
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
22.1K 3.5K 19
Teka-teki, kebenaran, egois dan kejadian dimasa lalu yang membuat semuanya hancur diantara mereka. Kepercayaan yang seharusnya ada untuk satu sama la...