Knowing You [Terbit]

By SaskiaQutratuain

57K 23.9K 12.1K

Telah diterbitkan di penerbit Solis Publisher "Bukankah perasaan bisa mendekatkan dua orang yang asing? Namun... More

[1] Bertemu Denganmu
[2] Malaikat Penolong
[3] Perasaan Aneh
[4] Tak Bisa Membencimu
[5] Makan Bareng
[6] Bertemu Bad Boy
[7] Mengenalmu Lebih Dalam
[8] Perhatian Surya
[9] Perhatian Prata
[10] Marahnya Cewek Aneh
[11] Sebuah Tes
[12] Kebahagiaan Sederhana
[13] Jalan Bareng Bad Boy
[14] Hal Penting
[15] Kenyataan Pahit
[16] Arti Sebuah Rasa
[18] Hari Buruk
[19] Canggung
[20] Pengakuan Prata
[21] Surya Sakit
[22] Seandainya
SEGERA TERBIT + TRAILER
INFO🌻
PRE ORDER✨

[17] Perihal Keluarga

1K 809 41
By SaskiaQutratuain

Sungguh ini bukan salahmu, ini salahku karena telah berharap pada seseorang yang tidak mengharapkanku.

Shely merebahkan diri di kamarnya melepas penat yang terus saja memberatkan pikirannya. Baru saja ia nyaris larut dalam lelap, tiba-tiba saja kantuknya mendadak lesap begitu nyaring dering ponselnya bersorak-sorak meminta untuk lekas diangkat. Dengan helaan napas panjang, Shely bangkit dari tepi kasurnya lalu meraih ponsel miliknya, kasar.

Begitu menatap layar ponselnya, ia tertegun sejenak, tak percaya menatap nama yang tertera di sana. "Mama?" Ia menggigit bibirnya ragu. Kenapa ibunya tiba-tiba menelepon? Apa bisa ia mengabaikan panggilan ibunya seperti ibunya mengabaikannya? Ia menghela napas gusar sebelum jarinya akhirnya tergerak untuk menggeser layar ponselnya, menerima panggilan itu. "Halo!"

"Halo, Nak!" Suara seorang wanita paruh baya menyahut di seberang sana. Shely menelan ludahnya susah payah. Suara itu benar-benar suara ibunya. Sungguh, ia benar-benar rindu akan pemilik suara itu, namun di sisi lain, rasa benci juga seketika menyelinap membungkus rindunya.

"Kenapa, Ma? Kenapa lagi? Apa Mama belum ngerasa cukup buat nyakitin Shely?" ketusnya dengan wajah datar, membiarkan amarah yang sejak dulu tertahan, mendominasi perasaannya.

"Tolong jangan bilang kayak gitu, Nak! Soal itu Mama benar-benar minta maaf, tapi kali ini Mama juga benar-benar minta tolong sama kamu, tolong jenguk Papa kamu sekarang yah!"

"Kenapa? Kenapa aku harus jenguk Papa? Papa dan Mama sama aja, enggak ada yang peduli sama aku. Bahkan mirisnya lagi, orang lain malah lebih peduli sama aku ketimbang orang tua aku sendiri. Kurang menyedihkan apa lagi aku ini, Ma? Kenapa kalian tega ninggalin aku kayak gini?" geram Shely, mendadak merasakan matanya yang mulai memanas.

"Iya, Mama tahu kalau Mama salah, tapi sekarang Papa kamu benar-benar ngebutuhin kamu, Nak. Papa kamu sekarang ngamuk, dari tadi dia terus-terusan neriakin nama kamu. Bukan orang lain, bukan juga Mama, cuma kamu Nak. Jadi tolong untuk kali ini aja, mau yah jenguk Papa kamu?" pinta ibunya terdengar begitu lembut dan tulus sekaligus. Shely terdiam, tak tahu harus merespons seperti apa. Namun, ia tak mau pikir panjang lagi. Cepat-cepat ia memutuskan sambungan teleponnya sepihak lalu tanpa mengulur waktu lagi, ia segera melangkahkan kakinya keluar mencari taksi.

Setibanya Shely di sana—Rumah Sakit Jiwa tempat papanya dirawat. Cepat-cepat ia merogoh ponsel dari saku celananya dan dengan lincah jarinya mencari nomor telepon ibunya lalu lekas memanggilnya.

"Halo, Nak," sahut ibu Shely cepat.

"Ruangan Papa di mana, Ma?" tanya Shely buru-buru dengan napas yang masih terengah-engah.

"Ya ampun Nak, kamu ... kamu beneran datang?" ucap ibu Shely terdengar tak percaya.

"Ruangan Papa di mana, Ma?" ulang Shely agak ketus, malas menanggapi basa-basi ibunya.

"Di ruangan nomor seratus sembilan, Nak."

"Oke, Shely ke situ sekarang." Cepat-cepat Shely menutup teleponnya lalu segera berlari mencari ruangan papanya.

Langkah Shely perlahan melambat begitu melihat wajah ibunya yang tersenyum tulus menatapnya. "Nak, makasih yah udah mau datang," sambut ibu Shely yang seketika melingkarkan tangannya memeluk Shely begitu cepat. Seketika Shely terpaku begitu saja merasakan sentuhan lembut yang mendadak menjalarkan hangat di hatinya itu. Setelah sekian lama ia tak merasakan pelukan seorang ibu, akhirnya ia memahami juga bagaimana rasanya. Tak dapat dipungkiri, kali itu ia sungguh merasa bersyukur.

Pelan-pelan Shely melepaskan pelukan ibunya. "Aku ke sini mau ketemu Papa, Ma. Bukan Mama. Jadi, enggak usah bersikap kayak gini sama aku karena ini udah terlalu lambat, Ma. Aku enggak bisa pura-pura baik-baik aja," ujarnya begitu dingin sembari lekas mengambil langkah, melalui ibunya begitu saja.

Shely membeku seketika begitu memasuki ruangan papanya. Sorot matanya berubah pilu menatap raut gusar papanya yang kini memberontak saat beberapa perawat di rumah sakit jiwa itu berusaha menenangkannya. Ruangannya tampak begitu berantakan. Beberapa benda berserakan di atas lantai begitu saja. Shely mengatup bibirnya rapat-rapat menahan nyeri yang mendadak mampir di dadanya.

Papa Shely meronta-ronta kasar. "Lepas! Saya cuma mau ketemu anak saya. Shely! Shely!" jeritnya dengan wajah memerah.

"Berhenti, Pa!" pekik Shely agak parau, membuat ruangan itu mendadak hening. Papa Shely bergeming begitu saja dengan mata yang membulat sempurna, menatap Shely tak percaya.

Perlahan langkah Shely membawanya kian mendekati papanya yang masih terpaku di tempatnya. "Pa, ini Shely, Pa," lirihnya, memegang lembut punggung tangan papanya yang lagi-lagi membuat hatinya seketika menghangat. Ya, orang tua memang pencipta hangat bagi hati anak-anaknya.

Papa Shely tiba-tiba semringah sempurna menatap Shely lurus. "Shely! Kamu baik-baik aja, Nak? Maaf yah! Papa bukan orang tua yang baik, padahal Shely udah jadi anak Papa yang paling baik." Ia tertawa hambar, namun sorotnya menatap Shely kian dalam.

"Pa!" Seketika Shely melingkarkan tangannya, mendekap papanya begitu erat. "Maafin Shely juga, Pa. Maaf karena baru jenguk Papa sekarang. Selama ini aku cuma mikirin diri aku sendiri. Aku hanya terus-terusan nyalahin kalian dan numpuk rasa benci karena udah tega ninggalin aku. Aku cuma bisa nyalahin orang lain, padahal aku sendiri juga sama. Maafin Shely, Pa! Maaf karena udah ninggalin Papa sendirian di sini. Aku juga bukan anak yang baik, Pa."

Papa Shely tak menjawab, hanya mengusap-usap rambut Shely begitu hati-hati, membuat bulir bening tiba-tiba saja menumpuk di tepi mata Shely yang mulai memanas. Beban yang sedari dulu menumpuk pada suram perasaannya, mendadak luruh begitu saja. Ini benar-benar melegakan.

"Papa cepat sembuh yah! Papa harus nurut sama orang-orang yang ada di sini supaya Papa bisa cepat keluar dari sini. Janji yah, Pa!"

Papa Shely seketika menggangguk polos seraya mengulum senyum simpul. "Papa bakal cepat sembuh," sahutnya begitu antusias, membuat lengkung di bibir Shely mengembang begitu sempurna.

"Makasih, Pa."

Seorang perawat tiba-tiba muncul menghampiri mereka dengan seulas senyum hangat. "Mohon maaf, tapi ini sudah waktunya Pak Bratam untuk istirahat."

Shely mengangguk mengerti. "Aku pulang dulu yah, Pa. Aku janji bakal sering-sering ke sini buat jenguk Papa, tapi Papa juga harus nepatin janji Papa yah, Papa harus cepat sembuh!" Anggukan girang dari Papa Shely, membuat Shely tertawa geli begitu saja.

Shely keluar ruangan dan seketika menemukan ibunya di sana. "Mama antar kamu pulang yah, Nak?" tawar ibu Shely harap-harap cemas, namun tetap berusaha mengembangkan simpul senyumnya.

"Enggak usah, Ma. Aku bisa pulang sendiri kok. Tenang aja, aku udah biasa sendiri selama Mama ninggalin aku," sindirnya, menatap ibunya lurus.

Ibu Shely meneguk ludah seraya meraih tangan anaknya lembut. "Kali ini aja yah, tolong biarin Mama anterin kamu pulang. Yah?" pintanya sungguh, namun Shely tak menjawab, hanya menatapnya tanpa ekspresi.

***

Mobil ibu Shely melaju dengan kecepatan normal. Dengan agak terpaksa Shely akhirnya menyetujui permintaan ibunya tadi. Ibu Shely fokus menyetir mobilnya, sementara Shely sibuk mengamati lalu-lalang kendaraan yang melintas di sekitarnya. Meski sudah melalui perjalanan yang cukup panjang, namun belum ada juga perbincangan yang berarti di antara keduanya. Shely hanya bersuara mengenai arah rumah Surya, enggan berbicara selain itu. Sementara ibunya juga memutuskan untuk tetap diam, sebab tahu betul jika Shely masih begitu tak nyaman dengan keberadaannya. Ini adalah suasana paling canggung yang pernah terjadi di antara keduanya.

Ibu Shely menghentikan mobilnya tepat begitu Shely memintanya. Ibu Shely memperhatikan lekat-lekat rumah yang ada di depannya, sementara Shely buru-buru melepas sabuk pengamannya ingin lekas pergi.

"Makasih yah Nak untuk hari ini," ujar ibu Shely tepat ketika Shely hendak melangkah keluar.

Shely tak menyahut, hanya tersenyum tipis, bahkan terlalu tipis untuk disebut senyuman. Tanpa menunggu ibunya pergi, ia berlalu begitu saja mengambil langkah cepat-cepat memasuki rumah. Ibu Shely yang melihat itu, hanya tersenyum mengerti. Ia sungguh paham jika sikap dingin yang ditunjukkan Shely padanya, tidak sepenuhnya sejalan dengan apa yang dirasakannya. Ia tahu Shely membencinya, tapi ia juga tahu betul jika Shely tak cukup jahat untuk terlalu membencinya.

Ibu Shely menghela napas berat. Lakukan saja apa yang ingin kamu lakuin, Nak. Tunjukkan saja seberapa bencinya kamu sama Mama. Mama emang pantas ngedapatin itu.

***

Shely mengernyit mendengar bising yang tiba-tiba begitu ia memasuki rumah. Aneh, rumah ini lebih sering sunyi ketimbang ramai, namun kali ini mendadak bising begitu saja, membuat Shely kian tertarik untuk mendekati sumber suara dengan langkah hati-hati.

Shely berhenti tepat di depan kamar orang tua Surya. Dan tepat di depan pintu yang tertutup itu, ia menemukan punggung Surya di sana. Surya tampak menunduk lesu, mendengar semua keributan itu dengan jelas. Orang tua Surya tengah bertengkar hebat. Shely yang pernah mengalami hal yang sama sebelum orang tuanya bercerai, tahu betul bagaimana perasaan Surya saat ini.

Tanpa pikir panjang, setengah berlari ia segera menghampiri Surya dan lekas-lekas menutup kedua telinganya dari belakang. Surya menoleh cepat dan seketika menemukan Shely.

"Temenin aku makan di luar bentar, mau yah?" pinta Shely, menatapnya dalam. Ia tahu betul, jika tujuan Shely sebenarnya hanyalah membawanya pergi dari sini. Mengetahui ada orang lain yang bisa memahami perasaannya saat ini, membuat dadanya meninggalkan hangat begitu saja.

Sudut bibir Surya tertarik kecil, menyiratkan terima kasih. "Ayo!" sahutnya begitu antusias.

Continue Reading

You'll Also Like

30.6M 1.9M 103
COMPLETED! MASIH LENGKAP DI WATTPAD. DON'T COPY MY STORY! NO PLAGIAT!! (Beberapa bagian yang 18+ dipisah dari cerita, ada di cerita berjudul "Private...
5M 920K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
2.1M 114K 53
"Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan dengan saudara sendiri...