PIECES ✔

By wusanidol_

925 71 31

[COMPLETE] Dia kacau, hilang dan terbebani masa lalu pahit yang menimpa tiga tahun silam. Tapi Dia tersenyum... More

Meet the character
Prolog
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13
14
15
16
17
18
19
20-End

1.

106 6 5
By wusanidol_

"Thank you for all of this"

🍃

Minggu kedua memasuki liburan, lo tau, ini semakin ngebosenin. Orang tua gak ada dirumah, ditinggal sendirian gak dikasi duit. Gak punya temen lagi.

Gadis berusia enambelas tahun itu berhenti sejenak menatap kameranya yang masih merekam dirinya.

Udah dulu deh. Bye!

Setelah menyetop dan menyimpan video singkat tadi, ia berdiri dan menuju kasur lalu berbaring diatasnya.

Tak lama kemudian, dia bangkit dan menuju taman belakang rumah untuk bersantai.

Santai apanya? Bosenin gini, batinnya berkata.

Dia menatap rerumputan hijau didepannya, mengedarkan pandangannya keseluruh taman belakang. Disana tidak ada siapapun kecuali kicauan burung yang tidak ada wujudnya.

Gadis itu melangkah keluar menginjakan kakinya langsung pada rumput yang tebal. Sengaja tidak memakai alas kaki karena dia ingin merasakan basahnya rumput pagi ini.

"Non, Non Stella" gadis itu merasa terpanggil pun menoleh.

"Ada apa bi?" tanyanya.

"Tuan besar sebentar lagi dateng, beliau menyuruh supaya non siap-siap,"

Kernyitan didahi Stella muncul, "Siap-siap mau kemana? Mau ngapain bi?" tanyanya.

"Waduh saya kurang tau. Nanti coba deh tanya sendiri, ayo siap-siap. Non mau mandi pake air dingin atau anget?"

"Aku mandi sendiri aja deh. Makasih bi" Stella berangkat dari taman belakang menuju kamar mandi yang ada didalam kamarnya.

Berendam mungkin ide yang bagus, pikirnya sambil melucuti pakaiannya lalu, Stella mengambil bola di keranjang didekat bathup lalu membuka bungkusnya dan memasukan bathboom ke bathupnya, sambil menunggu, dia menuju wastafel dan menggosok giginya.

Setelah menggosok gigi, akhirnya dia menuju bathup dan berendam.

Empat puluh lima menit kemudian, Stella keluar dari bath up dan disambut ketokan pintu beruntun dari luar.

"Stella, ayo cepat kita akan terlambat," Stella menganggukan kepalanya, "Sebentar lagi, dad," Stella hafal sekali dengan suara ayahnya.

Setelah berganti baju di walk-in-closet, Stella segera keluar dan menyambut ayahnya.

"Apa kabar dad?" tanya Stella ketika dia keluar dari kamar mandi dan menuju meja riasnya.

"Keadaan tidak terlalu bagus dikantor, juga di rumah, ibumu ini~"

"She's not my mother," potong Stella segera, ayahnya yang menatap pantulan Stella di cermin, memijat pelipisnya.

"Don't start a fight, Stella,"

Stella hanya menatap pantulan ayahnya dari cermin dengan tatapan datar, "You were the one who start a fight, dad," balas Stella.

Ayahnya berdiri, menggoyangkan tangannya, "Just forget it. Dengar, Stella. Sampai kapan kau akan berada di sini?"

"Entahlah, tapi apapun alasannya aku tidak mau tinggal dirumah itu," kata Stella yang masih menatap pantulan ayahnya dari cermin.

"Baiklah, sekarang, apa kau siap melihat sekolah barumu?" Stella tersenyum, "Benarkah? Tentu saja. Ayo," kata Stella berdiri dari kursi meja rias lalu berbalik menghadap ayahnya.

"Tapi, dad, sekolah pasti akan sangat sepi, ini memasuki minggu kedua liburan," kata Stella memasang wajah sedikit kecewa.

"Siapa yang mengatakan hal itu padamu?" Tanya Ayahnya sambil mengangkat dagu Stella.

"I heard it somewhere," kata Stella menatap ayahnya tak berdosa.

"Well, this one is gonna be different," kata ayahnya tersenyum lalu mengajak Stella menuju sekolah yang dimaksudkan pria paruh baya itu.

-+-

Menempuh perjalanan sekitar lima belas menit, mereka akhirnya sampai di sekolah yang mereka tuju, dan benar yang dikatakan ayah stella, sekolah ini tidak sepi karena beberapa murid sedang berseliweran mengenakan pakaian bebas, seperti yang dikenakan Stella saat ini.

"Apakah ada event di hari mendatang?" tanya Stella menoleh pada ayahnya.

"Entahlah, tapi aku tahu orang yang akan memberi tahu kita," kata ayahnya lalu mengajak Stella masuk lebih dalam ke sekolah itu.

"Sejak mom meninggal, aku ragu dan mulai berfikir keras bagaimana nantinya jika aku tidak bisa bertahan hidup, lalu dad datang dan menenangkanku, berkata semua akan baik-baik saja sampai~"

"Enough, let's take a look for old friend," kata ayah Stella lalu mengetuk pintu kayu yang pinggirannya di ukir.

Seseorang perempuan membuka pintu dan tersenyum melihat kedua orang didepannya.

"Hai, Gerard , apa kabar? And your daughter," kata perempuan yang mengenakan kacamata itu setelah memeluk ayah Stella lalu menatap Stella dari atas sampai ke bawah.

Stella hanya tersenyum lalu menjabat tangan perempuan itu.

"Well, come in," kata perempuan itu mempersilahkan keduanya masuk ke ruangan, "Ada sesuatu yang bisa ku bantu?" tanya perempuan itu.

"Well, Stella, meet Geraldine, my old friend and this school owner," Stella tersenyum mengangguk.

"You grew up so fast, and pretty much look like your mother, you were 8 when last time I met you," Stella hanya tertawa kecil, "Terimakasih," balasnya.

"So, liburan ini kenapa kau memilih berada sini Gerald?" tanya Gerard.

"Kami memilih libur lebih awal dan kami tidak ingin libur lebih lama dan membuat para murid tiba-tiba lupa cara menulis," mereka bertiga tertawa.

"Anda sangat mengerti bagaimana memperlakukan para murid Mrs. Geraldine," kata Stella setelah tertawa.

"Oh, terimakasih, karena aku pernah mengalami itu, ayahmu juga, dan aku juga punya anak, itu sebabnya aku menarik kesimpulan untuk membuat jalan pintas seperti ini," katanya.

Stella menatapnya dengan decak kagum, dia ingin sekolah disini.

"Apakah guru disini ramah?" tanya Gerard.

"Tentu saja, aku mengadakan test psikologi dan beberapa test lain untuk menyeleksi dan akhirnya menerima para guru tersebut," jelas Geraldine.

"Seperti test kejujuran dan kepribadian?" Geraldine mengangguk.

Tidak di ragukan lagi.

"Tapi bagaimana jika seorang guru yang memiliki affair dengan muridnya dan melakukan hal terlarang disekolah, apa itu akan di biarkan?"

Geraldine tertawa, "Oh dear, kau mengingatkanku akan teman lamaku, aku tahu cinta itu buta tapi aku akan tetap mengeluarkan mereka, aku akan menjamin hidup mereka tidak tenang setelah keluar dari sekolah ini, entah selama sebulan maupun setengah tahun, tergantung berapa lama mereka memiliki affair itu," jawab Geraldine yakin.

Stella bergetar, banyak sekali plus minus sekolah ini, tapi Stella merasa nyaman dan dimanjakan disini.

"Apa kantin sekolahnya besar?" tanya Stella.

"Sangat, kau mau melihatnya? Biar aku antar, kebetulan aku sedang lapar, kita bisa mengobrol disana," Stella dan Geraldine tertawa, sedangkan Gerard mulai berdeham dan berdiri mengikuti kedua perempuan didepannya.

-+-

Bertemu dengan beberapa siswa yang terlihat sibuk, hati Stella tergerak ingin membantunya, apapun bebannya, apapun masalahnya.

Entahlah, Stella ini tipe-tipe orang tidak bisa diam.

"Darrell!" Stella menoleh pada Geraldine, kemudian menoleh pada seseorang yang datang ke arah mereka dengan berjalan santai.

"Selamat pagi Mrs. Geraldine," Geraldine tersenyum, "Pagi,"

Lalu dia menoleh ke arah Stella, "Stella, meet Darrell, he and his twin were the one who held this event, what it called Darrell?" tanya Geraldine.

"Hi," sapa Darrell kemudian dia menoleh ke panggung yang mulai di dekor oleh beberapa anak, "This event called 'Freedom', Freedom sendiri diadakan bukan berdasarkan pendapat siswa di sekolah ini saja, melainkan kami melakukan pengamatan pada remaja pada umumnya yang kau tau~ merasa bosan dan terkekang, agar mereka bisa sehari semalam menikmati kebebasan, kami mengadakan ini, dan pendapatan yang akan kami peroleh akan disumbangkan," jelas Darrell, beberapa kali Stella hanya mengangguk.

Dia semakin betah dan teringin segera bersekolah disini.

"Kapan ini akan dimulai?" tanya Stella.

"Besok, jumat sore hingga tengah malam," Darrell tersenyum di akhir jawabannya.

"Dad, can I join?" tanya Stella berbalik pada Gerard.

"Sure, tapi jangan pulang terlampau malam, aku ingin jam sembilan, kau sudah harus berapa dirumah,"

"Aye-aye captain," kata Stella lalu memberi hormat pada Gerard. Gerard yang geli akan tingkah laku putrinya hanya bisa mengusap puncak kepala putrinya.

-+-

"Kantin disini bernuansa food court-kafetaria, aku juga bingung pada awalnya karena konsep itu terdengar gila, tapi aku berhasil menjadikannya," kata Geraldine dengan bangga memasuki kantin dan merentangkan kedua tangannya bak mempersembahkan.

"Ini keren," kata Stella.

"Minimalis, terlalu kafe dan ramai, terlalu food court," Geraldine langsung menoleh pada Gerard dan memberikan tatapan 'itu yang kumaksud ide gila tadi'.

Kursi-kursi kosong didekat mereka memantulkan suara sampai ujung sisi lain kantin yang terdapat beberapa murid yang sedang memakan makan siang.

"Darren!" Panggil Geraldine.

Seseorang mirip Darren datang ke arah mereka, kali ini dengan gugup dan sopan.

"Selamat pagi, Mrs. Geraldine," sapa Darren . "Pagi,"

"Stella, meet Darren, Darrell twin, he was the one help me to choose these theme," kata Geraldine.

"Hai," Stella tersenyum ramah padanya, "Hai,"

"Aku kurang menyukai warna abu-abu di langit-langit ini, bagaimana jika diganti dengan warna krem?" tanya Gerard.

"Bagaimana menurutmu Darren ?" tanya Geraldine melemparkan pertanyaan.

Darren mengamati langit-langit, pinggiran plafon yang berwarna abu-abu sangat kontras dengan lampu bohlam yang menggantung indah.

Darren kemudian tersenyum, "Saya setuju dengan anda tuan, saja juga merasa langit-langi itu sangat kontras warnanya dengan bohlam yang menggantung," katanya.

"Perbaiki, then," Darren mengangguk kemudian undur diri, memanggil teman-temannya dan kemudian mereka semua meninggalkan kantin kecuali Darren.

Geraldine sudah memesan makanan semenjak Darren dan Gerard juga Stella asik memandangi langit-langit.

"Mrs. Geraldine, apakah lampu-lampu ini dinyalakan setiap hari?" tanya Stella.

"Tidak, biasanya hanya ketika pagi hari, saat hujan dan sore hari, dan malam, jika ada kegiatan sekolah," Stella pikir, lampu gantung itu hanya hiasan, karena Stella pernah datang ke kafe yang lampu bohlamnya hanya untuk hiasan dan spot foto.

"Bagaimana Stella? Kau menyukai sekolahnya?" Tanya Gerard.

"Tentu Dad, aku suka disini, nyaman dan mirip rumah sendiri, aku ingin melihat ruang kelasnya setelah ini,"

Setelah Stella selesai berbicara, Gerard dan Geraldine mulai berbincang soal keluarga masing-masing dan kesibukan mereka saat ini.

Ternyata selain Geraldine pemilik sekolah ini, Geraldine juga membuka toko kue di perempatan jalan yang tidak jauh dari rumah Stella.

"Aku juga mengirim kuenya ke sini setiap pagi," kata Geraldine.

"Bagaimana anak-anakmu?"

"Thomas sedang kuliah di negeri orang, Phoenix barusaja  bersekolah disini juga, dan Tim yang baru saja bersekolah dasar,"

"Apa Phoenix ada disini sekarang?" Geraldine menggeleng menjawab pertanyaan Gerard.

"Dia bocah yang sibuk, entah dengan game, buku, anime, aku heran dengannya, dia tidak ingin mengikuti ospek hanya karena ingin menghadiri premier film kesukaannya bersama para artis," kata Geraldine.

"Dia sebaya denganku?" Geraldine mengangguk dan tersenyum.

"Kalian akan manjadi teman baik, aku yakin itu," Stella hanya meringis kemudian mengangguk.

Kemudian suara ponsel berdering memecah keheningan, Geraldine permisi untuk mengangkatnya, meninggalkan ayah dan sang anak ditempat.

"Jadi, kau suka disini?" Stella mengangguk.

"Tapi jika dad tidak memperbolehkan, aku tidak apa, aku bisa bersekolah di tempat yang lebih sederhana,"

"Dad suka sekolahnya, lagipula, dad kenal dengan pemiliknya, kau akan baik-baik saja disini, Geraldine pasti sedang menyusun rencana di otaknya untuk memasangkanmu dengan anaknya,"

Wajah Stella memerah, kemudian dia memukul lengan besar ayahnya yang tertutup jas, "Hey, sebagai teman, atau sahabat, bukan pacar," kata Gerard akhirnya.

"Jika ada laki-laki yang mendekatimu, persiapkan saja mereka bertemu dengan dad," kata Gerard sekali lagi.

Geraldine datang, "Maaf, para tamuku, aku tidak bisa melanjutkan tour kecil kita pada hari ini, aku harus menjemput adikku yang akan pindah ke sini,"

"Tidak apa Mrs. Geraldine, kami bia lanjutkan sendiri," kata Stella.

"Baiklah, jika kalian tersesat, panggil saja Darren atau Darrell untuk mengantar kalian keliling," Gerard mengangguk, "Jangan buat adikmu menunggu Geraldine," Geraldine segera pergi dari kantin lalu menuju mobilnya dan memacu kendaraannya menuju bandara.

"What now?"

-+-

"Dimana ruang kelasnya, seharusnya ada disini," kata Stella setelah sampai di beberapa ruangan kosong berpapan tulis

"Mungkin ini benar kelasnya, hanya bangkunya mungkin di keluarkan," kata Gerard melongok kedalam kelas.

"Hei!" Stella berteriak, "Kau! Kemarilah," katanya.

"Hai lagi, Stella," Sapa orang itu.

"Hai, um, kau tau dimana ruang kelasnya?" tanya Stella.

"Ini ruang kelasnya," kata orang itu sembari masuk ruangan, mengajak Stella.

"Tapi bangkunya~" omongan Stella terpotong dengan suara beruntun dari sesuatu yag ditarik orang tadi. Bangku.

"Ini bangkunya,"

Stella menatap takjub, bangkunya seperti, tribun di lapangan basket yang bisa dilipat.

"Simpel," kata Gerard.

"Dengan ini, tidak akan ada lagi anak yang duduk di bangku paling pojok dan terpencil," jelas orang itu.

"Kau ini Darren atau Darrell?" tanya Gerard.

"Darren, jangan bingung membedakan kami, Darrell tidak punya tahi lalat di sini," katanya menunjuk arah atas bibirnya yang terdapat tahi lalat.

"Oh, okay, terimakasih sudah menunjukan ruang kelasnya," kata Gerard.

"Sama-sama tuan," katanya lalu mengembalikan bangku seperti semula dan keluar bersamaan dengan Stella dan ayahnya.

Continue Reading

You'll Also Like

My sekretaris (21+) By L

General Fiction

254K 2.5K 19
Penghibur untuk boss sendiri! _ Sheerin Gabriella Gavin Mahendra
6.1M 706K 53
FIKSI YA DIK! Davero Kalla Ardiaz, watak dinginnya seketika luluh saat melihat balita malang dan perempuan yang merawatnya. Reina Berish Daisy, perem...
928K 18.4K 42
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...