On The Way To The Wedding

By tjitsar

88.4K 6.6K 751

SIDE STORY DARI LOVE OR DIE Manusia boleh punya rencana. Pada akhirnya, ketentuan bukan milik kita. This work... More

About OTWTTW
#1 Stop
#2 Stop
#3 Stop
#4 Stop
#5 Stop
#6 Stop
#7 Stop
#8 Stop
#9 Stop
#10 Stop
#11 Stop
#12 Stop
#13 Stop
#14 Stop
#15 Stop
#16 Stop
#17 Stop
#18 Stop
#19 Stop
#20 Stop
#22 Stop
#23 Stop
#24 The Last Stop

#21 Stop

1.9K 223 15
By tjitsar

Layar laptop menampilkan hal yang sama. Hasil pencarian Trevin, laman history, juga bookmarked. Dia menatap layar itu dengan malas. Sudah tak ada lagi kata kunci untuk mencari Nades. Jemarinya mengetuk-ngetuk keyboard, mencoba memasukkan kata bantu lain. Tapi, dia tak punya ide lagi. Perempuan itu terlalu pintar bersembunyi. Trevin juga tak percaya tak ada jejak Nades di dalam mesin pencari. Kalau dia penulis, pastilah ada satu dua orang yang membahasnya. Setidaknya penerbitan tempat dia bernaung! Mungkin tulisannya begitu payah.

Lelaki itu mengusap kepalanya kasar. Sebelah tangannya mengambil rokok yang dia abaikan di pinggir asbak. Menyesapnya dalam satu tarikan panjang, dia mengembalikan batangan itu ke asbak lagi. Menarik nafas panjang, Trevin menutup semua laman aktif di laptopnya. Dia bangkit dari kursi, berjalan ke dekat jendela. Dia melepas pandangan dari balik jendela kacanya. Pada awan hitam yang menggantung di ujung gedung asuransi di depannya, pada helikopter yang baru mendarat di gedung milik bank pemerintah, juga pada jalan layang yang tak sepadat biasanya siang ini.

"Trevin, jangan mati!"

Jangan mati. Jangan mati.

Tidak, aku tak akan mati sebelum menemukanmu. Kau akan kubuat merasakan betapa bodohnya aku sekarang. Apa kau sedang menghukumku karena aku menolakmu? Apa kau senang sekarang? Apa kau bisa melupakanku selama sebulan ini, Nades? Bedebah! Mana mungkin kau bisa! Sialan kau!

Tangan Trevin terkepal. Tidak tahu kenapa dia begitu kesal saat ingat Nades meninggalkannya di pesta pernikahan Ata. Ya, karena perempuan itu tak berpamitan padanya. Perempuan itu tak menganggapnya. Bukankan itu kurang ajar?

Trevin kembali menarik nafas. Dia menoleh saat pintu ruangannya diketuk.

Berdeham sekali, dia bersuara "Masuk,"

Kim tersenyum saat dia melihat Trevin. Dia berjalan ke meja dan meletakkan sebuah map.

"Anda perlu menandatangani ini, Sir."

Trevin berjalan mendekat, memutari mejanya untuk duduk di kursi. Dibukanya map dan dibacanya surat perintah dengan teliti. Ada tiket pesawat terselip di lampiran amplop. Pesawatnya sore ini. Dia akan berada di Fanning selama lima hari efektif. Mengambil pena, dia membubuhkan tanda tangannya di atas surat perintah.

"Ada lagi?"

"This will be all, Sir."

Kim lalu melepas tiket pesawat dan meletakkanya di dekat laptop Trevin. Ditutupnya map setelah Trevin selesai.

"Thank you, Kim!" tangan Trevin memasukkan tiket ke dalam agendanya.

"No problem, Sir. Enjoy your trip. Don't forget to have some fun!"

Trevin tertawa sambil mengangguk. Setelah Kim pergi, dia menutup laptop dan membereskan barang-barangnya di meja. Suara dering membuat Trevin batal memasukkan laptop ke dalam tas. Satu pesan singkat membuat Trevin melengos, lalu menghidupkan lagi laptopnya. Butuh tiga menit bagi Trevin untuk siap menerima panggilan via skype dari Ata.

"Trevin!" sapanya saat wajah Trevin terlihat.

Trevin tersenyum. "Hi, there," sapa Trevin. "How have you been? Mana Jed?" tanyanya tak mendapati Jed di dekat Ata.

"Hei, apa kabar kau?" tanya Ata. "I am good. Beyond good if you want to know."

Trevin mengusap rambutnya. "I can tell. Apa yang bagus di sana?"

"Ada banyak. Trevin, makanan mereka luar biasa. Sea food mereka!" Ata mengacungkan dua jempol. "You're gonna love it! Kau harus ke sini kapan-kapan!"

Trevin mendengus. Lalu, penampakan Ata diinterupsi oleh kedatangan Jed.

"Hei, Man!" sapa Jed.

Trevin melambaikan tangannya. Jed terlihat luar biasa dari dalam layar.

"Kau sudah menemukan temanmu itu?"

Trevin mendengus. Dia bisa melihat Jed mengelus pelipis Ata, lalu menciumnya ringan. Membuat Trevin kesal. "Apa kau ikhlas bertanya padaku sekarang?"

Jed tertawa tanpa melihat Trevin. Ata mendorong Jed menjauh, lalu dia memperbaiki posisi laptopnya. "Bagaimana Nades?" tanya Ata lagi. "Jed, stop! I am talking right now!" protes Ata.

"Jed, just fucking disappear from the screen!" Trevin ikut protes.

Seketika layar yang dilihat Trevin berubah menjadi hitam. Dia mendengus, tahu kalau Jed sedang menutupi web cam dengan tangannya. Trevin mesti bersabar, menunggu mereka selesai.

"Guys!" panggilnya. "Kalau kalian masih tak bisa berhenti satu sama lain, don't bother to call me, okay! I am fucking mad right now!"

"Umh-" suara Ata terpotong. "Trey," terpotong lagi.

Shit.

"Go on guys! I am here to listen!" Trevin sarkatis.

"Trevin!" seru Ata dan kemudian dia muncul di layar. Jed sudah tak ada. Tapi, Trevin jamin Jed mendapatkan apa yang dia mau. Lihat saja Ata sekarang. Perempuan itu sedang merapikan rambutnya. "Maaf," dia nyengir. Lalu, dia membenarkan letak lengan bajunya yang turun.

"Nah, you sure had a good time, Baby!" sindir Trevin.

Ata tertawa lalu mengusap wajahnya. "Sorry. Jadi, bagaimana? Nades belum terdeteksi?"

Trevin mengangkat bahu. "Kukira dia berbohong soal namanya. I searched all over the internet and found nothing!"

"You did that?" Ata kaget. "Waw, luar biasa! Kau ahlinya, kenapa sampai gagal?"

Trevin menggeleng. "Entahlah, memang tak ingin ditemukan barangkali."

"Dia tak bilang apa-apa malam itu. Kukira kau tahu dia akan pulang malam itu, makanya aku tak bertanya panjang lebar." Ata terlihat sedih. "Aku harap aku bisa membantumu, kau sudah mengecek tiket pesawat kepulangannya malam itu?"

"Dia tidak naik pesawat, aku tak tahu. Tak ada penumpang dengan nama Nades."

"She is amazing!"

Trevin mengerucutkan bibirnya, lalu tersenyum tipis. "Here he goes again!" ujarnya saat melihat Jed bergabung lagi.

"Ayo Ata, lama sekali," rengeknya.

"Kau menjijikkan, Jed!" umpat Trevin.

"Urus saja urusanmu, Trey!" Jed tertawa pelan, lalu dia duduk di samping Ata. "Kau butuh bantuanku?"

"Tidak, terima kasih. Pergi saja kau sana!"

"Mana bisa aku membiarkan Ata menikmati waktu sendirian." dia menarik Ata mendekat. "Jadi, apa yang kau lakukan sampai dia tak meninggalkan jejak sedikitpun? Kau pasti mematahkan hatinya, kan?" tebak Jed.

Hah, Jed selalu tahu semua hal. Pikir Trevin.

"Oke, kurasa kalian punya hal yang lebih penting dan aku tak ingin tahu apa itu. Have fun!" ujar Trevin malas.

"Trevin?" Ata memaksa jawaban untuk tebakan Jed tadi. "Apa iya?"

"I am gonna sign out!"

"Kau pengertian sekali Trevin!" ujar Jed yang langsung memagut bibir Ata tanpa peringatan.

Suara jeritan manja Ata terdengar sebelum Trevin mengakhiri panggilan dan segera menutup laptopnya. Dia memasukkan benda tipis itu ke dalam tas, lalu berdiri. Melangkah ke pintu dan keluar. Dia akan menemui Thomas sebelum berangkat nanti sore.

Meski tak diminta, Thomas bersikeras mengantar Trevin ke bandara. Padahal, Trevin mengatakan kalau akan ada rekannya yang akan mengantarnya, Thomas tak peduli.

"Aku akan terlambat kalau kita tak pergi sekarang, Tom!" ujar Trevin yang mulai tak sabaran di bangku kafe.

"Sebentar," kata Thomas. "Dia sudah dekat. Sebentar lagi juga sampai. Memangnya berapa jauh dari sini ke bandara?"

"Oh ya, apa kau tak memikirkan jam sibuk pada sore hari?"

Thomas nyengir. "Sabar dulu,"

Thomas mendesah berat. Mereka sedang menunggu Rinchi yang membawa mobil Thomas pagi tadi hingga menjelang sore ini. Thomas bilang pacarnya sudah dekat sejak sepuluh menit lalu, dan itu membuat Trevin berang. Karena Rinchi tak kunjung tiba, sementara dia harus mengejar penerbangannya.

Ponsel Thomas berdering dan Trevin bisa melihat nama Rinchi yang muncul di layar. Lelaki yang duduk di depannya itu tersenyum, lalu menerima panggilan. "Kau sudah sampai, kan?" dia meneguk kopinya. "Masuk ke ruanganku saja dan biarkan mobilnya di luar gerbang,"

Thomas menutup panggilan dan berdiri. "Ayo berangkat!"

Trevin ikut berdiri, mengambil tas di kursi sampingnya dan berjalan di sebelah Thomas. Mereka melewati jalan samping galeri untuk sampai di bagian depan. Seorang petugas keamanan memberikan kunci mobil saat dia melihat Thomas.

Secepat Thomas menekan remote pada kunci, Trevin segera masuk dan melemparkan tas di bangku belakang. Butuh sepuluh menit lagi bagi Thomas untuk masuk ke mobil, setelah dia berbicara pada seorang tamu yang baru saja datang.

"Great. Memang harusnya aku pergi dengan Barry saja tadi!" Trevin terdengar kesal.

Thomas mendengus. Saat mesin mobil menyala, dia tak menyia-nyiakan untuk segera memacu mobilnya dan membungkam mulut Trevin dengan segara sampai ke bandara.

Jalanan rapat seperti dugaan Trevin. Ini jam transisi antara jam pulang dan coffee break terakhir para karyawan. Maka, jalanan penuh oleh kendaraan pribadi, atau angkutan massal yang berkeliaran. Trotoar dipenuhi pejalan kaki yang kebanyakan adalah karyawan, menenteng snack yang baru saja mereka beli. Thomas makin tak sabaran saat Trevin terus-menerus melengos dan mengoceh tak jelas.

"Chill, Trey. Kau masih punya sejam!" katanya. "Telepon maskapainya dan katakan kalau mereka tak bisa terbang tanpa kau!"

"Kau pikir aku pilotnya?" tangan Trevin terulur pada sebuah buku di dashboard mobil Thomas.

"Kita akan sampai tanpa kau sadari, tenang saja. Kau sudah hafal kata sambutanmu untuk besok pagi?"

Trevin menelan ludah. "Huh?" ujarnya pendek. Tangannya menyingkap halaman secara acak, mencoba menemukan kepingan yang cocok.

"Mereka pasti akan memintamu untuk memberi sambutan sebelum presentasi dan kuliah umum. Kau sudah membuatnya? Kau tahu kan wali kota Finning seorang wanita?"

Tidak mungkin. Cepat tangan Trevin membalik halaman terakhir buku.

"Kudengar beliau tidak suka lelaki yang bertele-tele. Kuharap kau menyampaikan sambutan dengan jelas besok. Apa Henry akan ikut ke Finning?"

Dia merogoh saku celananya dan mengambil ponselnya. Cepat dicari aplikasi media sosial dan diketiknya sebuah nama pada kolom pencarian. Degupan jantungnya bertambah seiring dengan proses pencarian nama.

"Thomas," panggilnya pelan.

Thomas menoleh pada Trevin, lalu pada buku di tangan lelaki itu. "Rinchi pasti tak sengaja meninggalkan bukunya." ujar Thomas sekali lalu.

"Stop the car!" perintah Trevin tiba-tiba.

"Huh?" Thomas menoleh lagi. Mobilnya baru saja lepas dari antrian lampu lalu lintas dan Trevin mau berhenti. "Siapa yang menelepon? Kau bilang kau sudah terlambat!" kata Thomas. "Kenapa?"

"Stop the damn car!" bentak Trevin.

Thomas mengerutkan dahi, lalu menepikan mobil ke sebelah kiri. "What the hell, Trey?"

"Keluar!" perintahnya.

"Wait!" kata Thomas. "Kau hanya perlu menyebutkan arah dan aku yang akan menyetir! Kau tak punya hak menyuruhku keluar dari mobilku sendiri!"

Trevin melihat Thomas. Lelaki di hadapannya mengangkat sebelah alis, tak ingin ditantang.

"Galaxy Shopping Mall, ke sana!" kata Trevin.

"Kau gila? Kita sudah hampir sampai, dan mallnya jauh dari sini. You're going to miss your flight!"

"Drive or out?"

Thomas mengangkat bahunya, menyalakan lampu sign untuk berjalan lurus, lalu berbelok di U turn. Tatapan Thomas jatuh pada buku yang dipegang Trevin untuk sesaat. Bersampul putih dengan gambar buket bunga pengantin, sepatu dan tas di bagian depannya. Tak begitu jelas apa yang menjadi alasan Trevin ingin pergi ke sana. Buku itu, atau apa yang dia lakukan dengan ponselnya tadi. Terserah, tapi Thomas tak akan bertanggung jawab atas terlambatnya Trevin untuk penerbangannya.

"Cepat, Tom!"

"I am trying!"

Tanpa menunggu mobil Thomas masuk ke gerbang mall, Trevin sudah lebih dulu keluar dari mobil. Lelaki itu berlari menuju pintu masuk, sempat memaksakan tubuhnya diantara ramainya pengunjung dengan mendesak beberapa orang di depannya. Dia segera menuju eskalator, entah arahnya benar atau salah. Menaikinya satu-satu seolah benda itu tak bisa bergerak otomatis untuk mengantarnya ke lantai satu.

Ini pertama kalinya Trevin masuk ke dalam sini. Jadi, dia tak terlalu yakin harus kemana. Tangannya terkepal kuat, membuat buku yang dia genggam ikut terlipat. Rahangnya terkatup keras dengan nafas yang memburu.

"Dimana Spectrum Lounge?" tanyanya pada petugas informasi.

"Lantai empat, Tuan." jawabnya. "Ada yang bisa-"

Tak sempat pertanyaan itu terucap seluruhnya, Trevin sudah berlari lebih dulu menuju eskalator selanjutnya. Dia tak menunggu. Meminta jalan pada pengunjung di barisan eskalator, dia harus segera ke Spectrum Lounge. Dia harus menuntaskan sakit hatinya.

Saat dia tiba di lantai empat, tak susah mencari Spectrum Lounge, karena ada keramaian yang terjadi di depan pintu masuknya. Trevin mengusap wajahnya, seraya berjalan mendekat. Dia terengah-engah, mengimbangi deru jantungnya yang deras. Berjalan lebih dekat, ada banner yang dipasang di dekat pintu.

Trevin mencari celah agar bisa masuk ke dalam.

Duduk di bangku di depan, menghadap pada para pengunjung. Trevin menemukannya.

Kau akan membayar ini, Nades.

Semuanya memang butuh waktu yang tepat. Trevin menyunggingkan senyumnya. Dia menunduk, melihat buku di genggamannya.

On The Way to The Wedding novel.



READ. VOTE. COMMENT. RESPECT. THANKS

Continue Reading

You'll Also Like

562K 77.6K 24
"If two points are destined to touch, the universe will find a way to make a connection, even when all hope seems to be lost." That's what Savi Sharm...
541K 4.4K 17
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...
57.3K 9.7K 37
Tervonis amnesia disosiatif, Dokter Chadi Kharisma melanjutkan hidup "normal"-nya penuh teka-teki. Hingga terkuak bahwa ia duda dan punya mantan istr...
117K 21.1K 16
DRUNK DIAL verb past tense: drunk dialed; past participle: drunk dialed: make a phone call to (someone) while drunk, typically one that is embarrassi...