On The Way To The Wedding

By tjitsar

88.4K 6.6K 751

SIDE STORY DARI LOVE OR DIE Manusia boleh punya rencana. Pada akhirnya, ketentuan bukan milik kita. This work... More

About OTWTTW
#1 Stop
#2 Stop
#3 Stop
#4 Stop
#5 Stop
#6 Stop
#7 Stop
#8 Stop
#9 Stop
#10 Stop
#11 Stop
#12 Stop
#13 Stop
#14 Stop
#15 Stop
#16 Stop
#17 Stop
#18 Stop
#20 Stop
#21 Stop
#22 Stop
#23 Stop
#24 The Last Stop

#19 Stop

2.1K 244 41
By tjitsar

Nades akhirnya bisa kembali ke kamarnya setelah membantu Ata dengan segala kebutuhan resepsi pernikahannya malam ini. Semuanya sudah final, Ata hanya tinggal di make up dan menunggu waktu.

Nades duduk di ujung tempat tidur, membuka tas dan membereskan barang-barangnya. Dia juga tinggal menunggu waktu untuk pulang. Sudah selesai semua urusannya. Dia mengusap wajahnya, teringat Trevin. Lelaki itu sudah tak ada saat dia bangun tadi pagi. Bodohnya dia mengaku menyukai Trevin, padahal lelaki itu sangat membencinya. Mungkin, Trevin mengutuk pertemuan mereka di koridor hotel waktu itu. Mana mungkin Trevin menerimanya. Ya, Nades sadar kalau Trevin benar. Dia orang bodoh.

Suara ketukan pintu membuat Nades menoleh. Tanpa menunggu dibukakan, handel pintu ditarik ke bawah dan pintu terbuka. Ata masuk dengan kotak di tangannya. Dia meletakkannya di sebelah koper Nades.

"Dari Trevin!" katanya sambil tersenyum.

"Trevin?" ulang Nades.

Ata mengangguk.

Nades membuka penutupnya, lalu menarik kertas tipis di dalamnya. Tanpa membawanya keluarpun Nades tahu Trevin mengiriminya sebuah gaun pesta. Gaun berwarna oranye muda dengan aksen berupa deretan kancing kecil di dadanya.

"Dia pasti ingin melihatmu dengan dress ini nanti malam,"

Nades menelan ludah. Kenapa Trevin melakukan ini? Kenapa?

"Nades?"

"Umh-" Nades menutupnya kembali. "Maaf, tapi apa aku boleh pinjam ponselmu?"

"Tentu saja!" seru Ata seraya mengambil ponsel dari saku celananya. "Oke, istirahat. Sampai nanti malam,"

Setelah Ata keluar, Nades segera menekan deretan nomor yang sudah dihafalnya. Pada nada panggilan terakhir, terdengar suara malas di ujung sana.

"Marsa, ini Nades! Aku butuh bantuanmu."

Resepsi pernikahan Ata dan Jed dilakukan di halaman gedung di pinggir tebing. Dekorasi rustic yang dipilih Ata memang sesuai dengan mereka berdua. Tatanan lampu dan dekorasi floral dipadu unsur kayu dan akar tanaman yang diatur sedemikian rupa membuat penampakan gedung ini berubah drastis. Rumputnya dipenuhi kelopak bunga segar serta dedaunan berwarna keemasan yang kontras dengan hijaunya rumput. Deretan kursi yang dibalut kain putih terisi penuh dengan tamu undangan keduanya. Langit sudah berubah jingga saat keduanya berciuman di depan sana, tanda mereka sudah sah menjadi suami istri.

Ata mengangkat cincin yang melingkar indah di jari manisnya, dan adalah Dr. Theon yang pertama kali dipeluknya. Nades tersenyum, ikut merasakan bahagia Ata. Dia tahu bagaimana Dr. Theon menyelamatkannya dulu. Wanita itu menceritakan kisah mereka sebelum akhirnya Dr. Theon yang memilih cincin untuk menantunya itu.

Ata mengenakan wedding dress yang jatuh pas sampai mata kakinya. Berpotongan simpel namun begitu memukau, seperti ada mantra di baliknya. Rambutnya dibiarkan jatuh tergerai, namun diberi pita pada salah satu sisinya. Jed tak kalah menawan dengan jas berwarna hitam murni dari atas hingga sepatunya. Jed tetaplah Jed yang tampan dan berkharisma. Tak ada kekurangan dari pria itu malam ini. Rambutnya rapi tersisir dan senyumnya, kau tak bisa tak iri pada Ata saat melihat senyum Jed malam ini.

Lalu, tatapan Nades pindah pada seseorang yang masih berdiri di depan sana. Trevin berdiri melihat Jed dan Ata dengan senyum tipis. Dia mengenakan setelan warna merah marun dengan aksen hitam pada kerah jasnya. Sama seperti Thomas. Nades tak bisa menggambarkan bagaimana perasaannya sekarang. Ada perasaan campur aduk yang membuat pikirannya tak karuan. Dia menunduk, mengusap pelan dress yang dikenakannya. Entah dari mana Trevin tahu, yang jelas dress ini begitu pas dan nyaman untuk Nades. Dan bagaimana Nades pergi setelah ini? Ah.

Alih-alih menerbangkan balon, pasangan Jed Ata menyalakan kembang api dan musik mulai mengalun pelan. Beberapa tamu berpindah tempat, menyalami pasangan yang berbahagia malam ini. Nades berdiri dari kursinya dan membantu beberapa orang dengan kelengkapan pesta. Dia turut mengatur gelas minuman di meja, atau memastikan sajian aman di meja makan. Setelah itu, dia kembali duduk dengan minuman di tangannya. Memerhatikan semua orang yang dapat dia tangkap dengan matanya.

Malam melingkupi dan lampu makin banyak dinyalakan. Suasana romantis begitu terasa saat suara merdu penyanyi mengalun pelan, berpadu dengan suara debur ombak di bawah sana. Pandangan Nades terkunci pada pria yang kini duduk di meja bersama beberapa wanita. Nades berdiri, mencari tempat lain. Tempat dimana dia bisa melihat Trevin, namun pria itu tak bisa melihatnya. Dia jelas tahu posisinya malam ini, tak ada yang benar-benar mengenalnya di sini, dan tak perlu juga dia terlihat di area resepsi.

Di meja itu, Trevin kelihatan santai dan akrab menemani para wanita bercerita. Sesekali, dia tertawa, menunjuk teman wanitanya dengan gelas, lalu bercerita lagi. Nades melengos. Dia bahkan belum bicara dengan Trevin sejak malam itu. Sungguh menyedihkan.

"Kau baik-baik saja?"

Nades menoleh mendengar suara familier itu. Thomas berdiri di belakangnya.

Nades mengangguk, menggoyang gelas di tangannya. "Ya, kau butuh sesuatu?"

"Dan kalau aku butuh, kau akan mengambilkannya untukku?"

"Ya, tentu saja. Kau mau minum?" tanya Nades.

Thomas tertawa pelan. "Nades, kau tamu di sini. Tak perlu melakukan hal itu."

"Tidak masalah. Mereka kelihatan repot," ujarnya seraya menunjuk beberapa pelayan yang mondar mandir.

"Ingin berjalan-jalan?" tawar Thomas.

"Sure, why not."

Thomas mempersilakan Nades berjalan dulu. Mengikuti garis horizon tebing, mereka berjalan pelan. Angin malam berembus pelan, membawa aroma bahagia dan suka cita di udara.

"Kau bekerja?" tanya Thomas.

"Aku melakukan hobi, lebih tepatnya. Dan ada bayaran untuk itu,"

"Dan itu adalah?"

"Menulis."

"Cool!" kata Thomas. "Kau bisa menjadi sekretarisku. Kau suka seni?"

Nades tertawa, matanya melihat Thomas sebentar. Apa kesalahannya sekarang hingga cobaannya begitu berat? Kenapa ada pria macam Jed, Trevin dan Thomas di dunia ini? Kenapa pula mereka bertiga harus berteman? Bagaimana bisa tidak menyukai mereka bertiga? Nades bisa gila!

"Seni bukan keahlianku." jawabnya. "Kau suka seni?"

Langkah mereka berhenti di sebelah barat tebing. Tak begitu jauh dari tempat dimana Ata dan Jed kini tengah duduk bersama keluarga mereka dan menikmati makan malam.

"Aku mengelola sebuah galeri. Royal Galeri, kau tahu?"

"Tak mungkin!" seru Nades kaget. "Kau tak mungkin Thomas yang itu!"

"Apa rumor yang beredar tentangku di luar sana?"

"Thomas yang-" Nades menjentikkan jarinya. "dan langsung jadi uang. Kau milyader, itu yang kudengar. You're the whole eater!"

"Whole eater?" Thomas mengulang. "What the fuck is that?"

"Money, woman, and pride!"

Thomas tertawa kemudian. Dia mengangguk paham dengan istilah itu. Rupanya ada banyak orang yang tahu tentang dirinya.

"Tapi, kupikir sekarang rumor itu tidak benar. You're alone now, right?"

"I got you!" kata Thomas tak mau kalah. Faktanya, dia gagal membawa Rinchi karena pekerjaan kekasihnya begitu penting. "Trevin is alone,"

Nades tertawa sumbang. Dia lalu melihat Thomas dan menggeleng. "Bagaimana kalian bisa berteman? Kalian dari latar belakang yang berbeda,"

"Tidak, kami dari latar belakang yang sama sebenarnya, namun memilih jalan yang berbeda-beda." jelas Thomas. "Trevin pria yang baik, asal kau tahu. Dia hanya tak suka menunjukkan itu. Dia mungkin saja bicara yang tidak-tidak, tapi kujamin tindakannya selalu lebih baik dari ucapan anak itu."

"Why Trevin all of sudden?"

"Entahlah, kurasa karena aku melihat keanehan dalam dirinya sejak malam kemarin. Kalian mengalami hal yang berat, aku bahkan masih bisa melihat luka-lukamu sekarang. Dan tak bermaksud mengungkitnya, Trevin selalu mengutamakanmu setelah itu. Dia ingin kau selalu aman. Sejauh itu, ya aku tahu."

"I don't get the idea, Thomas. Just-" Nades menarik nafasnya pelan. "Karena dia pria baik seperti yang kau katakan. Jangan kira dia aneh hanya karena mengutamakan keselamatanku bahkan setelah apa yang kami alami." Nades meneguk isi gelasnya sampai habis. "Kau mau minum? Aku haus," katanya.

Thomas tertawa mengikuti Nades yang berlalu. Perempuan itu berjalan menuju meja panjang dimana gelas berisi wine berjajar. Cengkaramannya pada kaki gelas menguat saat dilihatnya Trevin tengah berjalan ke arah meja minuman dari arah yang berbeda.

You got this, Nades.

"Hai," sapa Trevin saat jarak mereka sudah dekat.

Nades meletakkan gelas kosongnya, "Hai, Trevin."

Trevin tersenyum. "You look beautiful," ujarnya.

"Game on, Man!" goda Thomas sambil berlalu dari dekat mereka berdua dan menuju Jed.

"Thanks to you," ujar Nades. "And for everything."

Trevin menggeleng.

Hening.

Satu intro lagu masuk. Lagu slow dengan petikan gitar dan piano yang familier di telinga Nades. Trevin sudah meninggalkan wanita-wanita di meja tadi. Kini, pria itu datang padanya. Bukan untuk deretan gelas berisi anggur.

"Care for a dance?" tanya Nades.

Trevin mengerutkan dahinya, melihat Nades seolah tak percaya. "Kau serius?" tanya Trevin.

"Let go and just be free-" potong Nades saat dia tahu potongan lagu yang sedang dinyanyikan di panggung.

Tangan Trevin terulur pada Nades, dan Nades tak membiarkannya menunggu. Trevin membawa Nades ke pinggir panggung, untuk berdansa di sana.

Semuanya berjalan sempurna. Nades meletakkan kedua tangannya di bahu Trevin, sementara Trevin meletakkan tangannya di punggung Nades. Langkah mereka seirama, lambat, dan terukur. Saat intro berubah menjadi lebih cepat, mereka tak mengubah langkah.

Tatapan Trevin hanya pada Nades, begitu pula sebaliknya. Nades menelan ludahnya susah payah. Susah untuk percaya kalau dia akan mengakhiri ini semua. Payah untuk mengaku lagi kalau dia ingin berada di dekat Trevin. Pria itu tak menginginkannya.

Game over.

Lalu, Nades menghentikan langkahnya. Kedua tangannya dia tautkan di belakang leher Trevin. Lelaki itu menunggu.

"Aku berhutang banyak padamu, Trevin. Aku tak tahu bagaimana membayarnya. Malam itu, di hotel, pertama kali kita bertemu. Maaf aku membawamu sejauh ini. Membuatmu luka-luka seperti sekarang. Aku tak tahu kalau akan separah ini. Maaf karena selalu membuatmu kesal dan marah-marah. Aku memang bodoh seperti katamu. Terima kasih tak akan cukup."

Trevin memainkan tangannya di punggung Nades.

Jangan terpengaruh, Nades.

"Aku tahu siapa kau sekarang. Aku tahu apa pekerjaanmu dan dimana kau bekerja. Aku tahu teman-temanmu. Kau tenang saja, aku akan menepati janjiku. Aku tak akan menganggumu. Aku tak akan menghubungimu. Setelah ini, kita adalah orang asing."

"Kau yakin?" tanya Trevin.

Satu lagu baru menggantikan lagu yang Nades hafal barusan. Beberapa pasangan bergabung bersama mereka di dekat panggung dan berdansa. Sementara keduanya, hanya berdiri statis.

"Tak perlu cemas."

Tangan Nades terulur untuk mengusap ujung rambut Trevin yang jatuh di dahinya, lalu menyentuh goresan luka di batang hidungnya.

"Ini akan sembuh beberapa hari lagi. Lalu, kau akan lupa. Thank you Trevin. Sudah membawaku ke sini, memastikan aku nyaman dan aman, dan menyelesaikan apa yang aku mulai." Nades tersenyum.

Trevin menahan dirinya sekuat tenaga. Menahan tangannya agar tak menarik tubuh di depannya ini mendekat. Trevin menekan rahangnya kuat. Tak akan menyerah duluan. Meski, demi Tuhan dia tak sanggup mendengar kalimat Nades lagi. Tak sanggup dia melihat mata Nades dengan senyuman itu. Tuhan! Trevin ingin memeluknya!

Tangan Nades lalu turun ke rahang Trevin yang menegang. Dia mengusapnya dengan ibu jari, lalu memajukan wajahnya.

Di ujung bibir Trevin.

Tak sampai tiga detik.

Bibir Nades menyentuh ujung bibir Trevin, tak sampai tiga detik. Ditariknya wajahnya pelan, lalu dia tersenyum lagi.

Sialan! rutuk Trevin. Apa barusan?

"Ada yang rindu padamu," kata Nades sambil mengambil bulu mata Trevin yang jatuh di pipinya. "Lihat,"

"Na-des!"

Nades tersenyum tipis. "Chelsea kelihatan repot dengan makanan penutup, aku akan membantunya dulu,"

Trevin menggeleng. Tak bisa mengucapkan kalau dia tak mau Nades pergi membantu Chelsea, atau Atlanta sekalipun. Dia ingin Nades di depannya, seperti sekarang.

Tangan Nades menepuk dada Trevin sekali. "Trevin, jangan mati!"


READ. VOTE. COMMENT. RESPECT. THANKS

Continue Reading

You'll Also Like

22K 3.3K 30
Martha Goenawan, seorang ibu muda secara anonim mengelola akun Twitter yang mengulik background Caleg. Ia terjerat kasus hukum karena memalsukan doku...
114K 7.2K 23
"Hestama berhak tahu kalau ada bagian dari dia yang hidup di dalam rahim lo, Run." Cinta mereka tidak setara. Pernikahan mereka diambang perceraian...
4.6K 657 7
Bagi Kaia, dia tahu di dunia ini dia paling menyukai baking. Ah, dan tentu saja Tyaga. Dia bahkan ingin menikahinya. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Sedang bagi Tyaga, dia ha...
5.7K 208 33
[SEBELUM BACA JANGAN LUPA UNTUK VOTE CERITA INI!] ~MAHENDRA EVAN ADIJAYA atau yang sering di panggil mahen tapi nama mahen hanya di panggil oleh oran...