The Queen of Ice [ The Dark S...

By Lunar_Mala

480K 3.8K 521

T A M A T Cerita ini di private. Please follow if u want to read. Mengisahkan tentang seorang wanita bernama... More

Note
Good For You
Cast of TQOI
Idul Fitri 1438H
Intermezzo
Video
Trailer
Her Secret
Dedikasi
Victoria's Past 2
Break
Break 2
Holiday
Info

The Truth Revealed

3.9K 404 25
By Lunar_Mala

The Queen of Ice
Part 44

"Mulai sekarang, kamu tinggal di sini bersamaku, ingat itu!"

Mengambil kemejanya lalu mengenakannya sambil melangkah pergi meninggalkan Isabella yang terbaring tak berdaya dan telanjang di atas ranjang.

Setetes air mata mengalir kembali di sudut mata Isabella. Menangisi keadaannya yang nampak mengenaskan saat ini. Bukan hanya tubuhnya yang merasa sakit tapi juga batinnya. Merasa jijik dengan dirinya sendiri yang sudah dinodai oleh pria brengsek bernama Edmund Wagner. Isabella merenungi perkataan pria itu yang benar adanya.

Dia akan tinggal bersama pria itu karena sudah tidak memiliki tempat tinggal lagi apalagi untuk kembali ke yayasan, rasanya sudah tidak mungkin lagi.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sejak saat itu, Isabella menjadi pelampiasan nafsu bejat Edmund. Hingga suatu ketika, Edmund mencuri dengar pembicaraan suster Agatha dengan seorang pria yang diperkirakan usianya sama dengannya. Dia tidak dapat melihat wajah pria itu karena posisi duduknya yang membelakangi Edmund.

Tubuhnya menegang saat telinganya menangkap nama Isabella disebutkan.

“Maafkan saya, Sir. Saya pun sedang mencari gadis yang bernama Isa... maksud saya, Victoria Hayes. Dia sudah satu bulan menghilang entah ke mana dari yayasan ini. Sudah semampu kami mencarinya bahkan sudah melaporkannya ke polisi. Namun, sampai sekarang belum ada kabar satu pun tentang keberadaan gadis itu.”

Pria bersetelan jas serba biru tua itu hanya mengangguk pelan merespon perkataan suster Agatha sambil menatap foto Isabella yang berusia 2 tahun dan 15 tahun.

“Aku akan ikut membantu anda untuk mencari keberadaan adikku,” ucapnya tegas dan penuh janji. “Kalau begitu aku permisi,” ucapnya dingin.

Pria itu berdiri lalu menjabat tangan suster Agatha dan melangkah pergi dari sana. Sedangkan Edmund sudah lebih dulu menyingkir dari sana setelah merasa cukup untuk mendengar semua itu. Dia segera meluncur ke tempat di mana dia menyembunyikan Isabella selama sebulan ini. Dengan langkah tergesa, dia menaiki lantai dua menuju kamarnya.

“Siapa kamu sebenarnya?” tanyanya dengan suara meninggi seraya mencengkeram erat lengan Isabella dan sedikit mengguncang tubuhnya.

Isabella tersentak kaget mendengar suara pintu yang dibuka kasar lalu ditambah dengan teriakan pria di hadapannya yang kembali menyakitinya.

“Aku tidak mengerti dengan pertanyaanmu, Ed.” Matanya membulat dan beradu pandang dengan Edmund.

“Jangan berdusta, Isabella. Katakan padaku, siapa kamu sebenarnya?”

“Namaku Isabella! Suster Agatha yang memberiku nama itu karena aku tidak dapat mengeja apalagi mengingat namaku sendiri saat aku ditemukan di tengah reruntuhan gempa 13 tahun silam.”

Kali ini, Edmund yang tersentak kaget mendengar penuturan Isabella. Dia melepaskan cengkeramannya pada gadis itu lalu menjauhinya. Kedua tangannya meremas kuat tatanan rambutnya yang tertata rapi.

“Ternyata yang dikatakan pria itu benar kalau namamu adalah Victoria bukan Isabella,” gumamnya melangkah bolak balik dengan gusar. Pikirannya berspekulasi antara jawaban Isabella dan perkataan pria yang tidak diketahui identitasnya.

“Vi... Vi... Vic-toria?”

Dan, seketika Isabella teringat ada seseorang... ah bukan, melainkan beberapa orang yang selalu memanggilnya dengan nama itu.

Dia menghampiri Edmund lalu memegang kedua lengannya. “Siapa pria itu? Di mana kamu bertemu dengannya? Jangan-jangan dia Daddy.” Mata biru Isabella berbinar karena dia mendapatkan secercah harapan untuk bisa keluar dari tempat terkutuk itu dan bersatu lagi dengan keluarganya.

Emosi Edmund menaik saat menyadari ada binar kebahagiaan di wajah Isabella. “Jangan harap aku akan memberitahukanmu keberadaan pria itu apalagi melepaskanmu. Kamu adalah milikku, Isabella. Selamanya!”

Daripada terus meladeni Isabella, Edmund lebih memilih menjauh dari kamar. Namun, tidak bagi Isabella. Dia mengejar dan mencecar Edmund agar mau memberitahukannya.

“Kumohon, Ed. Beritahu aku,” ucapnya sambil menangkupkan kedua tangannya membuat permohonan.

Sejenak Edmund menatap lekat mata biru Isabella yang terlihat penuh pengharapan. Namun, sedetik kemudian dia mengeraskan hatinya dan kembali melangkah pergi.

Isabella tidak menyerah. Dia menarik pergelangan tangan Edmund sebelum pria itu melangkah pergi. Akan tetapi, Edmund menatapnya tajam. Mata sebiru langit itu dipenuhi kilatan amarah yang bergemuruh.

“Jangan memancing kemarahanku, Bella!” Edmund berkata sebelum Isabella mengatakan keinginannya.

Bibir Isabella langsung menutup dan seketika nyalinya menciut melihat mata Edmund yang menyala bak api biru. Siap membakar siapapun. Namun, dia tidak gentar. Sudah cukup selama ini dia menjadi mainan nafsu dari pria di hadapannya.

“Fine! Biar aku cari sendiri.”

Baru saja Isabella hendak melangkah menuju pintu, Edmund sudah menangkap pergelangan tangannya.

“Kenapa kamu selalu saja memancing kemarahanku, Isabella?” Menatap tajam mata safir di hadapannya.

“Aku harus pergi, Ed. Aku harus bertemu dengan keluargaku,” ucap Isabella kekeh. Tatapannya penuh perlawanan.

“Tempatmu di sini! Bersamaku!” bentak Edmund dan semakin menekan cengkeramannya di pergelangan tangan Isabella. Dan, gadis itu yakin kalau perbuatan pria itu akan meninggalkan bekas kemerahan di sana.

“No! Aku tidak mau jadi budak seksmu lagi! Aku harus pergi.”

Isabella terbungkam dan tidak kembali melawan setelah sebuah tamparan mendarat di pipinya yang mulus. Warna merah bekas tangan Edmund tercetak jelas bahkan sudut bibirnya sedikit berdarah.

“Itu akibatnya jika kamu sudah memancing kemarahanku, Bella sayang!”

Usai mengatakan itu, Edmund keluar dari kamarnya dan melangkah menuju ruang kerjanya. Dirinya sibuk mencari bukti mengenai siapa Victoria Hayes yang dibicarakan oleh suster Agatha dan pria yang tidak diketahui identitasnya itu. Selama dua jam mengurung diri di ruang kerjanya, hanya sedikit informasi yang Edmund temukan dari website. Frustasi menderanya hingga tercetus sebuah ide untuk memerintah seseorang untuk mencari tahu yang berkaitan dengan nama Hayes.

-----

Diperlukan waktu dua hari bagi seseorang yang diperintahkan Edmund untuk mencari tahu tentang Victoria Hayes atau apapun yang berkaitan dengan nama Hayes.

Betapa terkejutnya Edmund setelah mengetahui identitas Isabella yang sebenarnya. Wajahnya semringah. Malahan senyumnya sangat lebar bak senyum Joker yang berhasil mengalahkan Batman untuk sementara waktu.

“I got you, Isabella. Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Karena kamu adalah milikku!

Tawa iblis pun terdengar.

------

Sebulan kemudian

Entah ini sudah yang keberapa kalinya, Isabella memuntahkan isi perutnya pagi ini. Dua hari belakangan tubuhnya merasa lemas dan sangat malas sekali bergerak turun dari ranjang. Malahan hidungnya sangat sensitif terhadap bau-bauan. Terutama parfum milik bajingan yang sudah memenjarakannya selama dua bulan di rumah terkutuk yang lokasinya entah berada di mana.

Dia ingin segera keluar dari sini. Ingin bebas, ingin pulang karena sudah nyaris gila selama ini. Berkali-kali ingin bunuh diri, berkali-kali itu pula pria itu berhasil menggagalkannya. Seolah-olah pria itu memiliki mata-mata di seluruh penjuru rumah itu.

Ya, pria itu memang memilikinya. Dia mempunyai beberapa orang bertubuh kekar dan bersetelan jas hitam yang selalu menjaganya selama 24 jam jika pria itu sedang tidak berada di rumahnya. Mereka baru akan pergi jika majikannya berada di rumah.

Dirasa sudah tidak akan memuntahkan isi perutnya lagi, Isabella membersihkan mulut dan mencuci wajahnya lalu keluar dari kamar mandi. Namun, baru beberapa langkah, perutnya sudah bergejolak lagi.

“Kenapa kamu?” tanya Edmund berdiri di depan pintu kamar mandi dengan wajah tegang saat melihat Isabella sedang memuntahkan makanannya di depan wastafel.

Bukan hanya Edmund yang tegang, Isabella pun demikian. “Tidak apa-apa,” jawabnya enteng sambil menggeleng setelah membasuh mulutnya lebih dulu.

“Tidak apa-apa bagaimana? Pasti telah terjadi sesuatu padamu!” Edmund menoleh saat Isabella melangkah keluar dari kamar mandi.

“Tenanglah, Ed. Aku tidak apa-apa. Aku akan enakan setelah tiduran lagi.” Meminum segelas air putih di atas nakas untuk membersihkan tenggorokannya dari sisa muntahan yang masih terasa.

Edmund memicingkan matanya. Memperhatikan Isabella dari belakang. Bagaimana tubuh gadis itu mengurus dari pertama kali melihatnya. Meskipun dia sudah menyediakan banyak makanan enak namun hanya sedikit yang disentuh olehnya. Kadang harus sedikit dipaksa atau diancam agar Isabella mau makan.

“Akan kupanggilkan dokter.” Baru saja Edmund mengeluarkan ponsel, suara Isabella menahan gerakannya untuk menelepon. “Ed... please. Aku sungguh tidak apa-apa. Mungkin karena pengaruh pergantian cuaca yang sudah memasuki musim dingin.”

“Jangan membantahku, Bella! Aku akan tenang setelah dokter memeriksamu,” ucapnya diakhiri tatapan tajam.

“Ed—”

Edmund menaikkan tangan kirinya ke udara sebagai tanda untuk Isabella berhenti berbicara.

Isabella menggerutu. “Lagipula, ini semua salahmu telah membuatku sakit. Karena kamu selalu membangunkanku ditengah malam untuk memuaskan nafsu bejatmu hingga menjelang pagi,” lanjutnya tanpa memikirkan dampak omongannya terhadap pria yang berdiri di depannya.

Edmund bergerak cepat mendekati Isabella dan mencengkeram rahangnya dengan jemarinya yang panjang dan besar. “Bukankah kamu juga menikmatinya, Bella sayang? Bagaimana sentuhanku di tubuhmu membuatmu mengerang dan mendesahkan namaku saat penyatuan kita mencapai puncak kenikmatan.” Edmund sengaja mengatakan perlahan dengan nada menggoda. Membuat Isabella kembali mual saat kenangan menjijikkan itu kembali terulang.

Isabella mendengkus geli. “Menikmati katamu?” Memancarkan wajah mengejek. “Sedikit pun aku tidak pernah menikmatinya. Itu hanya akting. Berpura-pura menikmatinya padahal aku merasa jijik setiap kali kamu menyentuh tubuhku.”

Edmund yang awalnya bersikap tenang,  emosinya langsung tersulut. Merasa tersinggung dengan perkataan Isabella. Dengan sekali sentakan ditekannya tubuh Isabella di salah satu dinding. “Jijik katamu?” tanyanya berang dengan mata birunya yang membulat sempurna.

Isabella menjawabnya dengan anggukan dan mata terpejam sambil meringis. Menahan sakit di punggung dan kepalanya akibat benturan yang cukup keras.

“Menurutmu mungkin menjijikkan. Tapi, tidak bagiku.” Mengecup pipi Isabella yang diakhiri dengan jilatan. “Akan kuberikan arti jijik yang sebenarnya padamu. Agar kamu mengingat setiap sentuhan yang kutebarkan di seluruh tubuhmu merupakan kenikmatan yang menjijikkan.” Suaranya merendah, penuh gairah dan ancaman.

Isabella sudah memasrahkan dirinya ketika pria itu akan melakukan kehendaknya. Namun, firasatnya salah. Tiba-tiba saja, Edmund mengurungkan niatnya untuk mencumbu Isabella lalu menjauhinya.

“Tidak sekarang, Bella sayang. Tapi, nanti....” Memutar tubuhnya saat berada di depan pintu lalu menatap Isabella yang masih tertahan di dinding. “... akan kubuat kamu mengingat rasa menjijikkan itu... se-tiap de-tik-nya,” lanjutnya lamat-lamat seraya memberikan senyum mengejek kemudian meninggalkan Isabella sendirian di kamar sambil menelepon seseorang.

-----

“Sejak kapan periodemu tidak datang?” tanya seorang dokter yang sedang memeriksa Isabella.

Isabella mengerutkan kening. Tanda dia tidak mengerti dengan ucapan dokter wanita yang kelihatan muda itu.

Dokter yang bernama Jenna Kruger itu menatapnya sejenak lalu kembali menekuni aktivitasnya. “Kapan kamu terakhir kali mengalami haid?”

Isabella sedikit kaget mendengarnya.  Namun, dia tetap memikirkan jawabannya. “Seminggu yang lalu.” Suaranya terdengar lesu dan ketakutan.

“Sepertinya kamu sedang hamil. Untuk lebih jelasnya, akan kurekomendasikan dokter kandungan kenalanku untuk memeriksa kehamilanmu,” ujarnya seraya menuliskan sesuatu di atas kertas putih.

Isabella tidak lagi mendengarkan perkataan dokter di depannya. Tatapannya kosong namun berbeda dengan pikirannya yang terus menerus meneriakkan kata ‘hamil’.

Astaga! Aku hamil? Hamil anak bajingan, brengsek, dan keparat itu!

“Aku akan menyuruh Edmund untuk menebus obatmu dan juga mengantarkanmu ke dokter kandungan. Kalau begitu aku permisi dulu,” ucapnya setelah membereskan peralatannya lalu berdiri dan menyodorkan tangannya.

Masih dengan raut terkejutnya, Isabella menyalami dokter itu.

“Ah iya, hampir saja aku lupa. Jika kamu memang benar hamil, tolong jaga kesehatanmu dan hindari stress. Diusiamu yang masih sangat muda ini, sangat beresiko tinggi mengalami kondisi kesehatan yang buruk saat hamil.” Setelah mengatakannya sambil tersenyum, dokter itu segera keluar dari kamar.

Sayup-sayup sebelum pintu kamar tertutup, Isabella mendengar suara pertengkaran kecil antara dokter yang bernama Jenna itu dengan Edmund.

“Apa kamu sudah gila, Ed? Menghamili anak di bawah umur?” bentaknya sambil memijat kening.

“Ha-hamil katamu?” Edmund yang tersentak kaget, mengguncang tubuh wanita di hadapannya.

Jenna mengangguk lalu menatap iba pada Edmund. “Aku tahu kamu maniak seks, tapi tidak juga melakukannya dengan gadis sepertinya.” Tatapannya menoleh ke arah pintu yang terbuka sedikit dan bertatapan dengan Isabella yang masih berada di atas ranjang. Menyadari apa yang dilihat oleh Jenna, Edmund segera menutupnya.

Tangan Jenna terulur untuk menyentuh pipi Edmund. “Jika kamu memang menginginkan seorang anak. Kenapa tidak melakukannya denganku? Dengan senang hati aku akan memberikannya padamu. Kamu tahu kan kalau aku mencintaimu, Ed?”

Edmund melepaskan tangan Jenna dengan raut dingin. “Sayangnya aku tidak mencintaimu. Hanya ingin mencicipi tubuhmu saja yang kamu sodorkan kepadaku secara sukarela.”

Terdengar suara tamparan di udara. Jenna menatap marah pria di hadapannya. Dia tidak menyangka jika pria itu akan merendahkannya seperti itu. Mengingat apa yang sudah diberikannya kepada Edmund meskipun tahu resikonya akan seperti ini jika berhubungan dengannya. Pria itu akan mencampakkannya jika dia sudah bosan. Namun, batin Jenna seolah tidak peduli dengan hal itu karena hatinya sudah dipenuhi oleh rasa cintanya kepada Edmund.

Edmund menjauhi Jenna sambil memegang pipinya yang terasa pedih dengan senyum mengejek dan berhenti di depan pintu kamar. “Dialah gadis yang kucintai dan yang kuinginkan untuk menjadi istriku.”

-----

Setelah kepergian dokter cantik berambut hitam pendek itu, pikiran Isabella mendadak blank. Tubuhnya syok setelah mendapati kenyataan yang ada. Sambil terus menggelengkan kepalanya, dia meneriakkan, “Tidak! Tidak! Tidak!” Mengacak-acak rambutnya. “Aku tidak mau hamil! Aku tidak mau hamil sekarang atau pun nanti! Aku masih mempunyai mimpi yang harus kukejar,” ucapnya dengan derai air mata mengetahui kalau impiannya menjadi seorang chef sudah hancur. Tubuhnya berguncang hebat dengan kedua tangan memukul-mukul perutnya.

Seketika Isabella tersadar. Dia berdiri dari ranjang lalu mencari sesuatu di kamar. Setelah menemukan, ditatapnya benda itu dengan raut frustasi.

“Aku harus melenyapkanmu meskipun kamu darah dagingku sendiri!”

Ketika Isabella mengarahkan gunting ke perutnya, bertepatan dengan masuknya Edmund ke kamar. Dengan wajah kaget melihat pemandangan di hadapannya, dia segera berlari dan menangkap Isabella untuk melepaskan benda yang ada di tangannya.

“Lepaskan, Bella! Apa kamu sudah gila mau membunuh anak kita?”

Isabella langsung tersadar saat mendengar Edmund mengatakan anak kita.

Edmund memanfaatkan situasi itu untuk mengambil gunting yang ada di tangan gadis itu.

“A-nak ki-ta? Ternyata kamu sudah merencanakan semua ini.” Isabella menatap Edmund dengan tatapan kosong. “Kamu sengaja melakukannya, bukan?!” teriaknya sambil meronta di pelukan Edmund.

Dengan raut tenang dan bahagia, Edmund menjawab, “Tentu saja, Bella sayang. Agar kamu terus bersamaku.”

Setelah mengetahui siapa Isabella sebenarnya, Edmund tidak lagi memakai pengaman untuk melakukan aksi bejatnya. Dia ingin gadis itu terjebak bersamanya selamanya. Bahkan, ibunya—Jacqueline Wagner sudah memberikan restunya begitu mengetahui kalau calon mantunya adalah pewaris Hayes yang sangat terkenal di Austria.

“You BASTARD!” makinya dengan penuh kemarahan. “Aku tidak sudi memiliki anak dari pria bejat, bajingan, dan brengsek sepertimu!” hardiknya lalu menerjang Edmund. Melayangkan pukulan-pukulan yang tentunya tak dirasakan sakit oleh pria berambut pirang itu.

“Terima kasih untuk pujiannya, Bella sayang. Aku tidak menyangka kamu begitu mencintaiku sampai memberikan panggilan sayang untukku,” ucapnya semringah lalu matanya tertuju kepada bibir Isabella yang terbuka.

Melihat ke arah mana tatapan Edmund terpaku, Isabella segera memalingkan wajahnya begitu kepala Edmund menunduk. Alhasil, kecupan itu mendarat di pipi Isabella dan perlakuannya itu malah memberi akses kepada Edmund untuk lebih leluasa menciumnya.

Kecupan itu tidak berhenti sampai di situ. Edmund terus mencium sisi kiri leher Isabella bahkan meninggalkan beberapa jejak kemerahan. Membuat gadis itu di antara rasa jijik dan erangan tersiksa saat tangan Edmund mulai menjamah bokongnya.

Merasa akan adanya perlawanan dari gadis yang sedang dicumbunya, Edmund menarik kedua tangan Isabella ke atas dan menahannya di sana dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya digunakan untuk menahan kepala Isabella agar gadis berkulit putih itu berhadapan dengannya.

“I want you, I-SA-BEL-LA,” ucapnya sambil menatap kedua mata safir Isabella lalu bibirnya dan kembali kepada matanya. “Sudah dua hari, aku tidak menyentuhmu. Membuatku sangat merindukanmu....”

Isabella merasa jijik dengan panggilan Edmund yang bernada mendesah seperti itu. Itu tandanya dia harus menyerah kepada keinginan terkutuk pria itu.

Segera dikecupnya bibir bak bunga merekah di pagi hari. Sementara, Isabella masih mencoba melawan namun, Edmund semakin mendesak tubuh mungilnya ke dinding.

“Jangan melawan, Bella sayang,” pintanya disela mengecup sudut bibir Isabella. “Nikmatilah seperti yang sudah-sudah.”

Untuk kali ini, Isabella tidak mau pasrah kepada kehendak Edmund. Dia melawan meski sulit. Disaat Edmund sedang terbuai dengan permainan yang diciptakannya sendiri, Isabella menggerakkan kakinya dan sekali sentakan dia menendang bukti gairah Edmund dengan lututnya. Seketika itu juga pria itu mengerang kesakitan dan melepaskan Isabella untuk memegang aset keperkasaannya. Gadis itu pun memanfaatkan situasi itu untuk melarikan diri.

“Mau kabur ke mana kamu, Bella sayang? Tempatmu di sini, bersamaku,” ucap Edmund disela-sela menahan kesakitan sambil melangkah turun dari lantai dua.

Seringai sinis terpatri di wajahnya saat melihat Isabella yang berusaha untuk kabur dari rumahnya.

“Kamu tidak akan bisa pergi dari sini, Bella sayang. Karena kita sangat jauh dari peradaban,” desis Edmund pelan dan menyeringai seperti iblis.

Isabella membalikkan tubuhnya ketika mendengar suara Edmund yang terasa dekat. Dan, bergidik ngeri dengan perkataan pria itu. Kengeriannya pun bertambah saat melihat pria itu mulai melepaskan ikat pinggangnya. Spontan Isabella menggeleng seraya berkata, “Tidak, Ed. Tidak lagi....” Bayangan penyiksaan dan menjijikkan kembali melintas di benaknya.

“Oh... iya, Bella sayang. Kamu harus bertanggung jawab atas apa yang sudah kamu lakukan terhadap milikku yang berharga.”

Isabella mundur selangkah saat melihat kemarahan di mata Edmund dibalik suaranya yang tenang.

“Kamu memang pantas mendapatkannya, bajingan brengsek!” umpat Isabella dengan tatapan menantang meski batinnya gemetar ketakutan.

“Ohh, sudah pandai melawan dan mengumpat rupanya.” Suara Edmund sedikit menggeram seraya tersenyum mengejek.

“Mulai sekarang, aku tidak akan tunduk kepadamu lagi, bajingan brengsek!” ucapnya dengan lantang dan tatapan penuh amarah. “Aku bukanlah budak seks-mu yang selalu diperlakukan saat kamu butuh!”

“Budak seks, katamu?” Isabella refleks mundur selangkah lagi melihat Edmund yang melangkah maju. “Akan kutunjukkan apa yang biasanya kulakukan kepadamu sebagai budak seks-ku!”

Isabella merasa ketakutan mendengar nada ancaman Edmund. Ketakutannya bertambah ketika matanya beradu pandang dengan mata Edmund yang menyala bak api biru. Seketika Isabella tersadar kalau ancaman pria itu tidaklah main-main. Terbukti dari seringai iblis yang terpancar dari wajahnya dan Edmund tidak pernah segan-segan untuk berbuat kasar kepadanya.

Seperti waktu itu, ketika pria itu menginginkannya, Isabella sedang tidak dalam kondisi memungkinkan untuk melayaninya karena sedang dalam masa siklusnya. Edmund tidak terima dan menganggap Isabella mengada-ada untuk menghindar darinya. Pria berambut pirang itu menampar dan menjambak rambutnya. Bahkan, tak segan untuk memukulnya dengan ikat pinggang. Namun, tubuhnya berubah tegang saat mengetahui kebenarannya. Gairah yang sudah menggebu-gebu minta dipuaskan, mendadak pupus. Pria itu pun bergegas pergi meninggalkannya begitu saja seorang diri.

“Kamu sudah bermain api, Isabella!” Mengutuk dirinya sendiri dalam hati.

“Kemari, Bella sayang. Kita akan memainkan permainan yang sangat menyenangkan.” Edmund mengatakannya sambil terus melangkah maju dengan kedua tangannya yang memainkan ikat pinggang.

Dengan ketakutan yang masih menghiasi wajahnya dan jantungnya yang berdetak kencang, Isabella juga melangkah mundur menjauhi Edmund. “Tidak! Aku tidak mau!” ucapnya marah dengan air mata hampir menetes. Tidak mau dirinya direndahkan lagi.

Edmund menggertakkan gerahamnya untuk menahan amarah yang sudah menguar ke udara. Dia melangkah maju dengan cepat. Isabella pun dengan sigap juga ikutan bergerak untuk menghindari Edmund yang mulai mengejar dirinya.

Karena kurang waspada, kaki Isabella kesandung karpet dan membuat perutnya terbentur sudut meja. Menunduk dengan mata terpejam, dia meremas perutnya yang terasa amat sangat menyakitkan seperti tercabik-cabik. Lebih menyakitkan dibandingkan ketika mengalami datang bulan.

Seketika wajah iblis Edmund memudar dan digantikan dengan wajah khawatir melihat gadisnya kesakitan seperti itu. Dilemparkan ikat pinggang yang berada di tangannya ke sembarang arah lalu segera menghampiri Isabella. Namun, langkahnya terhenti saat Isabella melemparkan sebuah benda ke arahnya.

“Aarrgghhh!” rintihnya merasakan kesakitan di pelipisnya. Dia memegangnya dan terkejut saat melihat warna merah di tangan.

“Rasakan itu!” cerca Isabella setelah melemparkan sesuatu yang bisa diraihnya.

“Kenapa kamu melakukannya?”

Isabella mengerut takut mendengar suara Edmund. Pria itu selalu tampak marah dan jika tersenyum yang tercipta hanyalah senyum yang sedang menginginkan tubuhnya.

“Karena kamu memang pantas mendapatkannya.” Isabella mengangkat dagunya angkuh. Menantang pria itu yang seharusnya dilakukan sejak dulu.

Bukannya marah Edmund malah tertawa. Sambil menatap Isabella, dia berkata, “Sebenarnya apa yang sedang kamu lakukan ini, Bella sayang?” Menghela napas sambil berpikir sejenak. “Kamu tahu? Meskipun kamu berhasil kabur dariku namun, aku akan selalu menemukanmu di mana pun kamu berada....” Edmund sengaja menggantungkan kalimatnya untuk melihat reaksi gadis di depannya yang masih merintih kesakitan.

Isabella memilih bergeming, untuk tidak menjawab pertanyaan pria di hadapannya. Pikirannya terpusat kepada rasa sakit di perutnya.

“... itu karena aku sudah mengetahui siapa dirimu sebenarnya, Isabella.”

Tubuhnya menegang. Mengabaikan rasa sakitnya. “A... a-apa maksudmu?” tanyanya terkejut. Menatap Edmund dengan tatapan menuntut jawaban.

“Kamu pikir apa alasanku memenjarakanmu di sini selain karena aku mencintaimu?”

Edmund berhenti berkata ketika suara tawa Isabella menggantikannya. “Itu bukan cinta! Itu pemaksaan terhadap tubuhku yang kamu anggap sebagai kepemilikan atas diriku.”

Edmund tersenyum. Senyum sinis tepatnya. “Kamu benar, Bella sayang. Tubuhmu terlalu sayang untuk disia-siakan.”

Perkataan Edmund barusan membuatnya semakin membenci pria di hadapannya itu. Sekaligus memperbesar keinginannya untuk membunuh bajingan itu.

Raut Edmund berubah serius dengan tatapan tajam. Melangkah perlahan seperti predator yang sedang menargetkan buruannya. “Apa kamu tahu arti pentingnya dirimu untukku selain karena aku mencintaimu dan memuja tubuhmu yang selalu terasa nikmat itu?”

“Tidak! Dan, aku tidak mau tahu!” jawab Isabella tak peduli dan terkesan jengkel.

Edmund mengeluarkan seringaian iblisnya. Menatap Isabella secara keseluruhan. Memberi tatapan menilai. “Itu karena selama ini aku sudah mengetahui identitasmu yang sebenarnya. Vic-to-ria Jo-se-phi-ne Ha-yes, pewaris tunggal dari Hayes Company yang sangat terkenal dan terkaya di negara ini. Pewaris tunggal yang yatim piatu dan terpisah dari kedua orang tua angkatnya.”

Rasa sakit yang dialami Isabella sudah tidak lagi dirasakannya. Tergantikan oleh rasa terkejutnya yang lebih besar. “A... apa kamu bilang?”

Edmund tersenyum licik. “Jika ingin mengetahui siapa dirimu, tetaplah bersamaku.” Menyodorkan tangannya.

Peperangan di dalam diri Isabella kembali terjadi. Haruskah dia percaya kepada pria itu kali ini?

Tidak!

Isabella menggeleng. Dia tidak mau percaya lagi kepada pria brengsek itu. Menahan sakit di perutnya, Isabella bergerak menjauhi Edmund. Namun, gerakannya kalah cepat. Pria itu sudah menguncinya dengan mendorong tubuhnya ke dinding. Isabella mencoba bergerak untuk membebaskan dirinya namun, Edmund sudah lebih dulu menahan tubuhnya dengan menelikung kedua tangannya ke belakang.

Dengan napas terengah-engah, Edmund berbisik, “Aku sangat menyukai tingkahmu yang selalu melawanku. Membuatku semakin bergairah untuk melepaskan hasratku kepadamu. Apalagi....” Edmund mengamati bagaimana posisi mereka saat ini. “Kamu baru saja memberikanku ide untuk bercinta sambil berdiri, Bella sayang.” Bisikan Edmund di telinga Isabella menghantarkan kengerian yang tidak ingin dialaminya lagi.

“Apa kamu akan memaksakan kehendakmu lagi, Ed?” Air mata Isabella sudah menetes. “Kamu tak ubahnya dengan pria brengsek di luar sana yang selalu melakukan pemaksaan demi mendapatkan keinginannya.”

Kata-kata Isabella rupanya berhasil menyulut kemarahan Edmund. Membakar habis emosi pria itu. Dengan cepat, diangkatnya tubuh Isabella yang mungil dengan tangan kanannya. Isabella kembali menolak, dia melawan pria itu. Kedua kakinya meronta di udara dan menjatuhkan beberapa lilin yang menyala di atas meja.

Api dari lilin segera membakar tirai gorden yang tipis. Menyadari adanya bau terbakar, Edmund menoleh. Menatap kobaran api kecil yang perlahan membesar. Merasakan cengkeraman Edmund melonggar, Isabella memanfaatkan itu untuk membebaskan dirinya dan mengambil sesuatu untuk melindungi dirinya jika pria itu kembali menangkapnya.

Ketika menyadari Isabella sudah tidak ada dalam genggamannya, Isabella sudah lebih dulu menghantam kepala Edmund dengan tongkat baseball dan dia pun jatuh tersungkur ke lantai beralaskan karpet.

“Mati kau!” cerca Isabella. Menatap nyalang kepada Edmund yang terkapar.

Edmund tertawa mendengar cercaan dari gadis yang sudah digaulinya selama dua bulan.

“Aku tidak akan bisa mati, Bella sayang. Aku akan terus hidup to hunt you!” ujarnya percaya diri.

“Tuhanlah yang mengatur kematian seseorang.”

Edmund kembali tertawa. “Gadisku sudah pandai berceramah ternyata.” Raut wajahnya berubah serius. “Meskipun aku mati dan kamu hidup, kamu tidak akan pernah bisa menikmati apa yang menjadi keinginanmu selama ini. Karena....” Edmund terbatuk karena kepulan asap hitam mulai menyerubungi dalam rumah.

Seorang Hayes akan selalu sendiri dan tidak akan pernah merasakan kebahagiaan. Itu merupakan kutukan yang harus ditanggung setiap keturunan Hayes—

“Kutukan apa itu? Menggelikan.” Isabella mendengkus geli. Mengabaikan Edmund yang terkapar di antara kesadarannya yang menipis.

“Bersamaku, kamu tidak akan pernah merasakan kesendirian itu dan kita akan bahagia bersama selamanya, Bella sayang.”

“In your dreams, Bastard!” Usai mengatakan itu, Isabella mendekati jendela lalu mengayunkan tongkat baseball yang masih digenggamnya.

Kutukan itu benar adanya, Bella sayang. Aku akan kembali untuk mendapatkanmu di sisiku lagi. Itu janjiku padamu,” ucap Edmund sebelum kegelapan mengambil alih kesadarannya.

Setelah berhasil keluar dari rumah bergaya Austria itu, Isabella menatap kobaran api yang mulai melahap bangunan rumah yang terbuat dari kayu itu. Pikirannya berperang antara kutukan Hayes dan janji pria itu.

Semoga para iblis mengambil jiwamu yang terkutuk itu!

Usai mengatakan itu Isabella melangkah pergi menjauhi rumah yang hampir habis dilalap si jago merah. Rasa sakit di perutnya kembali terasa ketika dia sudah berjalan cukup jauh. Sendirian di kelamnya malam dan hawa musim dingin yang mulai terasa semakin menambah penderitaannya.

Isabella menyadari kalau ucapan pria brengsek itu, benar adanya. Rumah Edmund terletak di atas bukit dan hanya ada rumahnya seorang. Rasa sakit di perutnya semakin tidak tertahankan. Rasanya seperti diremas-remas dan tiba-tiba saja terasa sesuatu mengalir di antara kedua pahanya. Betapa terkejutnya Isabella saat melihat cairan warna merah pekat mengalir turun menuju kakinya.

“Darah....” ucapnya sambil menatap cairan merah itu di tangannya.

Dia berteriak namun, tidak ada satupun yang dapat mendengar rintihannya meminta tolong ataupun rintihan kesakitannya. Hanya suara lolongan serigala yang mengisi sepi dan kelamnya malam yang semakin larut dan dingin.

Dengan tenaga yang tersisa, Isabella mencoba berdiri dan kembali berjalan sambil merapatkan kedua tangannya di tubuh berharap agar mendapatkan sedikit kehangatan.

Baru beberapa melangkah, tubuhnya ambruk dan tergeletak di aspal karena sakit yang semakin tak tertahankan.

“Seperti inikah akhir hidupku? Jika ya, tolong bawa pergi semua penderitaanku. Aku sudah tidak sanggup lagi....” gumamnya dengan derai air mata yang mulai menetes dan tatapan kosong ke langit hitam yang mulai menurunkan butiran salju perlahan mengikis kesadaran Isabella.

-----

“Lalu, bagaimana kamu bisa terselamatkan?” Darren bertanya sambil mengusap punggung Victoria. Tatapannya mengarah ke langit-langit kamar tidur yang dipenuhi dengan ukiran rumit dan berwarna putih.

Darren dapat merasakan wanita yang dicintainya sedang menarik napas dari gerakan tubuhnya. “Aku mengira kalau aku sudah mati saat pertama kali membuka mataku. Namun, nyatanya aku terbangun di rumah seseorang. Seorang pria tepatnya. Aku kembali marah karena aku masih hidup dan baru saja terbebas dari mulut buaya untuk masuk ke dalam kandang singa. Rupanya, pemikiranku salah setelah dia menceritakan siapa dirinya dan siapa diriku yang sebenarnya. Juga alasannya kenapa dia mencariku. Ternyata pria itu....” Victoria sengaja menggantungkan kalimatnya untuk mengetahui reaksi Darren. “Tanpa kuberitahu, kamu pasti sudah mengetahui siapa pria itu.” Ada nada jenaka di suara Victoria. Bibirnya menyunggingkan senyuman.

Pergerakan Darren mengelus punggungnya terhenti. “Yeah. I know who he is,” jawabnya kesal sambil memutar bola matanya. “Jangan kamu sebut namanya jika sedang bersamaku,” lanjut Darren memberi ancaman.

Victoria menggerakkan kepalanya untuk menatap wajah pura-pura marah kekasihnya lalu tersenyum geli. “Jika bukan karena dia yang menyelamatkanku, maka aku tidak akan berada di sini bersamamu saat ini.” Menyentuh pipi Darren dan mengelusnya dengan ibu jari.

“Maafkan aku, Liebe,” ucap Darren menyesal setelah melihat kilat kesedihan di mata safir Victoria.

Victoria tersenyum. “Kamu masih mau mendengarkan ceritaku?”

Darren segera menganggukkan kepalanya.

“Dia—pria yang namanya tidak boleh kusebutkan—” Victoria tersenyum geli. “Benarkah aku harus memanggilnya seperti itu? Astaga... Dia itu kakakku, Darren!”

“Kakak sepupu!” jawab Darren bernada tinggi. Alhasil, dia hadiahi pelototan oleh Victoria.

“Baiklah! Kamu boleh menyebut namanya,” ujar Darren pasrah. “Lanjutkan, Liebe.”

“Ternyata pria yang mencariku selama ini adalah Romeo. Dia berhasil menemukanku yang nyaris mati di jalanan yang penuh salju. Bahkan, tubuhku hampir tertutupi oleh salju dan mulai didatangi oleh serigala hutan. Jika, dia tidak datang tepat saat itu maka....” Victoria menunduk dan Darren mengangkat dagunya agar kembali bertatapan dengannya. Dirapatkan pelukannya untuk menghantarkan kekuatan. “Dia membawaku ke rumahnya dan merawatku selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Entahlah. Saat aku tersadar, yang kuinginkan saat itu hanyalah ingin menghabisi diriku sendiri. Namun, aku tersadar kalau di tubuhku ada jiwa lainnya yang sedang hidup. Tapi, sepertinya Tuhan mendengarkan doaku. Aku keguguran... Aku telah membunuh bayiku sendiri, Darren.”

Victoria menunduk dan air matanya saling berjatuhan. Darren memeluknya lebih erat. Mengecup kepalanya dan mengelus punggung Victoria saat tangisannya membesar.

“Itu bukan salahmu, Liebe.”

“Aku membunuhnya, Darren. Aku seorang pembunuh. Bukan hanya membunuh bayiku, tapi aku juga sudah membunuh bajingan itu!” makinya saat kembali teringat pria yang sudah menodainya berkali-kali.

Kedua tangan besar Darren menangkup pipi Victoria. Menatap mata safirnya yang semakin pekat dan dipenuhi air mata. “Kamu bukan pembunuh. Apa yang terjadi pada bayimu, itu sudah menjadi kehendakNya. Jika, bayi itu hidup. Apakah kamu akan bisa mengurusnya dengan ikhlas? Karena kamu akan terus terbayangi oleh sosok pria brengsek itu meskipun bayi itu adalah anakmu sendiri.” Victoria memikirkan perkataan Darren yang ada benarnya. Dia masih muda kala itu. Jiwanya masih labil. Dia akan lebih berdosa lagi jika menganiaya bayi itu setelah dia lahir.

“Untuk bajingan itu....” Suara Darren memecah lamunannya. “Kamu melakukannya untuk melindungi dirimu sendiri. Jadi, jangan lagi merasa seperti itu, Liebe. Itu semua adalah Takdir.”

Victoria menautkan keningnya dengan kening Darren lalu memejamkan mata sambil berkata, “Kamu tahu kalau perkataanmu itu mengingatkanku dengan ucapan seseorang. Dia adalah....”

“Vic!” panggilan Darren yang terkesan kesal dan marah, membuat Victoria menghentikan ucapannya.

Entah kenapa emosi Darren selalu tersulut jika nama suami dari Frida Natalya Valentine disebutkan.

Victoria tersenyum geli melihat kilat cemburu dan keposesifan Darren yang tercipta jelas di mata abu-abunya.

Oh, warna mata yang sangat dirindukannya dan berhasil memikat hatinya.

“Aku senang melihatmu yang cemburu dan posesif seperti ini, Darren. Menandakan kalau kamu benar-benar mencintaiku sepenuh hati.”

“Aku sangat mencintaimu, Liebe. Mencintai dirimu yang sebenarnya. Apa adanya kamu tanpa nama Hayes di belakang namamu ataupun....”

Ucapan Darren terhenti karena bibir Victoria membungkam bibirnya. Darren terkejut mendapati Victoria yang lebih dulu menciumnya. Bahwasanya, dialah selalu duluan atau mendominasi disetiap ciuman mereka.

Ciuman terhenti saat Darren tersadar kalau tangannya sudah bergerak jauh dari batas kewajarannya.

“Maafkan aku, Liebe.”

Victoria menggeleng. “It’s okay, Darren. Seharusnya akulah yang meminta maaf karena sudah meragukan ketulusan cintamu.”

Kali ini, Darren yang menggeleng. “Sekarang yang terpenting adalah aku mengetahui kalau cintaku tidak bertepuk sebelah tangan.” Darren tersenyum begitu pula dengan Victoria.

Keduanya terdiam sejenak. Saling berpikir apa yang ingin dikatakan atau dilakukan selanjutnya hingga suara Victoria memecah kesunyian itu.

“Kamu masih ingin aku bercerita?”

“Lanjutkan, Liebe. Aku ingin mengetahui semuanya. Apa yang kamu rahasiakan selama ini dariku hingga membuatmu meragukan cintaku.”

Victoria langsung menutup mulut yang tadinya ingin mengeluarkan sepatah kata lalu menunduk. Rasa penyesalan itu kembali datang.

Melihat keterdiaman Victoria, Darren menyadari kalau dirinya sudah salah berucap.

Jemari Victoria membungkam mulut Darren saat pria itu ingin mengucapkan kata maaf. “Let me finish my story first and then you can talk or do what you want to do.” Darren mengangguk untuk menuruti perintah wanita di hadapannya.

Victoria kembali melanjutkan ceritanya. “Kukira hidupku akan baik-baik saja ke depannya setelah tinggal di rumah Romeo. Nyatanya, tidak. Hidupku selalu dibayangi oleh rasa bersalah dan ketakutan. Tiap malam, selalu mengalami mimpi buruk yang sama karena aku merasa pria itu akan kembali datang sesuai janjinya untuk mengambilku dan kembali hidup bersamanya. Romeo yang tidak tahan dengan penderitaanku, memutuskan membawaku untuk menemui psikiater pribadinya yang pernah mengobati traumanya. Akan tetapi, hal itu tidak berhasil untukku. Disaat aku menyerah dengan semuanya, akhirnya Romeo terpaksa mempertemukanku yang kondisinya masih kacau balau dengan seorang pria dan wanita yang ternyata mereka adalah sepasang suami istri. Berharap dengan bertemunya mereka, traumaku akan segera terobati.”

“The Smith?”

Victoria mengangguk membenarkan tebakan Darren.

Darren terlihat berpikir karena merasa ada keanehan dengan cerita Victoria dimana masih ada benang merah yang terputus. “Kenapa mereka tidak mencarimu setelah mengetahui kalau kamu terpisah dari mereka?”

Victoria menarik napas lalu membuangnya perlahan. “Daddy Adam mengalami koma selama enam bulan dan membuat Mom Melanie yang mengalami patah tulang di kakinya diambang keputusasaan kalau suaminya tidak akan bertahan hidup. Satu bulan pertama Daddy koma, Mom Melanie meminta untuk dipulangkan ke New York meskipun kondisi Mom sendiri masih membutuhkan pengobatan. Akan tetapi, mereka tidak berhenti mencariku setelah mengetahui kalau aku terpisah dengan mereka. Saat mereka menyerah untuk mencariku dan mengira kalau aku mungkin sudah mati, tanpa sengaja mereka berdua bertemu dengan Romeo yang kebetulan juga sedang mencariku. Romeo-lah yang mengambil alih untuk mencariku di sini sementara Daddy Adam dan Mom Melanie tetap di New York untuk masa penyembuhan sambil menunggu kabar darinya. Setelah mengetahui keberadaanku, kami pun dipertemukan.” Victoria berhenti sejenak untuk mengambil napas. Apa yang diceritakannya sungguh menguras emosi dan pikirannya.

“Tidak lama kemudian, Daddy Adam dan Mom Melanie membawaku ke New York. Berharap dengan berada di sana aku dapat memulai kehidupanku yang baru untuk menghilangkan trauma-ku.” Raut Victoria berubah sendu. “Rupanya, nasib buruk terus membuntutiku ke mana pun aku pergi. Seperti yang telah kamu ketahui kalau aku nyaris mengalami pemerkosaan lagi jika kamu tidak ada di sana untuk menolongku. Aku mengira hidupku akan semakin baik setelah 3 tahun hidup bersama pasangan suami istri Smith. Lagi-lagi, nasib buruk mendatangiku. Sepertinya Tuhan tidak memperbolehkanku merasakan sedikit saja kebahagiaan. DIA mengambil Daddy Adam dan Mom Melanie pergi selamanya. Malam itu merupakan malam natal, dimana mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah menghadiri acara perjamuan makan malam dengan kolega mereka. Aku tidak ikut karena sedang flu. Mobil mereka mengalami kecelakaan tunggal karena jalanan licin oleh salju lalu menabrak pembatas jalan dan masuk jurang. Namun, setelah ditelusuri, kecelakaan itu murni bukan kecelakaan tunggal. Melainkan rencana pembunuhan karena mobil Daddy Adam sudah disabotase oleh lawannya di pengadilan. Rasa frustasi dan keputusasaan kembali menderaku karena aku baru saja mendapatkan kebahagiaanku dari sebuah keluarga yang utuh. Keinginan untuk bunuh diri pun kembali datang. Namun, Isaac selalu berhasil menggagalkanku.”

“Sepertinya kamu sangat menyayangi mereka.” Darren menarik kesimpulan setelah mendengarkan cerita Victoria.

“Mereka berdua sangat menyayangiku seperti anak kandung mereka sendiri. Aku bagaikan memiliki sebuah keluarga yang utuh.” Raut sendunya masih menghiasi wajah Victoria.

Darren mengeratkan pelukannya saat melihat wajah Victoria yang kembali dirundung kesedihan. “Aku rasa sudah cukup kamu bercerita, Liebe. Aku tidak ingin ka—”

Jemari Victoria kembali membungkam bibir Darren. Seraya menggeleng, Victoria berkata, “Aku ingin kamu mendengarkan ceritaku hingga tuntas karena aku tidak ingin menyimpan rahasia apapun lagi darimu.”

“Tapi, Liebe—”

“Masih ada satu rahasia lagi yang belum kuceritakan padamu.” Menatap kedua mata Darren bergantian. “Baiklah. I’m listening. Tapi, jika kamu mulai—”

“Darren!”

Okay, My Queen. I will shut up my mouth.” Membuat gerakan mengunci mulutnya dengan raut jengkel.

Victoria menggeleng geli melihat raut kesal Darren di wajahnya. Apalagi jika dia sudah memanggilnya dengan My Queen, itu berarti kekesalannya sudah pada level tertinggi.

“Seorang pengacara kepercayaan keluarga Hayes, tiba-tiba saja datang menemuiku dan mengatakan suatu kenyataan. Sebuah rahasia besar kalau aku bukanlah anak dari pasangan Smith melainkan dari Lucas Maximilian Hayes dan Vivienne Aigner. Saat usiaku 2 tahun, hak asuhku diberikan kepada sahabat mereka—Daddy Adam dan Mom Melanie setelah Ibuku meninggal. Ketidakberdayaan mereka untuk bisa memiliki anak maka mereka dianggap bisa dipercaya untuk mengasuhku. Baru sebulan bersama mereka, aku sudah dipisahkan karena gempa bumi yang mengguncang Austria kala itu. Mereka sengaja menyembunyikan fakta itu dan baru akan mengatakannya bertepatan dengan hari ulang tahunku yang ke 21. Hari di mana, aku berhak mewarisi seluruh harta kekayaan Hayes karena aku satu-satu keturunan Hayes yang masih hidup. Dan sekarang, here I am. Victoria Josephine Hayes yang kamu kenal.”

Akhirnya!

Kepingan puzzle dan benang merah dari teka teki tentang misteri kehidupan seorang Victoria Hayes, terjawab sudah.

Kini, Darren mengerti kenapa wanita itu dijuluki The Queen of Ice.

Bukan tanpa sebab kenapa dia bersikap dingin kepada pria. Wanita manapun pastinya akan bersikap sama sepertinya jika mengalami hal semengerikan itu. Merasa takut jika ada pria yang mendekatinya dan meragukan pernyataan cinta mereka meskipun ada beberapa perasaan mereka untuknya, tulus.

Astaga betapa kelam hidup kekasihnya. Penuh dengan siksaan, keputusasaan, kesedihan dan sendirian. Andai jadi dirinya, entah apakah dia dapat menghadapinya dan selalu merasa kalau menghabisi dirinya sendiri adalah jalan keluar terbaik untuk membuang penderitaannya. Tapi, sekarang ada dirinya yang akan selalu bersamanya. Bersama mereka akan menaklukkan rasa trauma itu.

Darren menangkup kedua pipi Victoria dan menatap tepat di matanya. “Aku benar-benar mencintaimu dan jangan lagi kamu meragukan perasaanku itu. Mulai saat ini, aku akan terus menggenggam tanganmu untuk melangkah bersama menuju masa depan. Kamu tidak akan merasa sendirian lagi karena ada aku yang akan selalu berusaha berada di sisimu.”

Sungguh manis kata-kata yang diucapkan oleh pria di hadapannya. Hatinya menghangat saat menatap iris mata abu-abu milik Darren. Tidak ada kepura-puraan ataupun kedustaan di sana. Membuat semua keraguan Victoria kepadanya memupus. Terlebih lagi saat ini, pria itu menyusulnya ke sini untuk memperjuangkan cintanya. Cinta mereka berdua.

Seketika alarm di kepala Victoria langsung berbunyi menyadari hal itu.

"Sebenarnya, apa yang membawamu ke sini?" tanyanya dengan kening mengerut.

"Bukankah sudah kukatakan sebelumnya kalau aku ke sini untuk menjemput calon istriku pulang?" desah Darren sambil menatap Victoria dan mengelus pipinya.

Hati Victoria menghangat mendengar kata calon istri namun, detik itu pula sebagian hatinya kembali hampa.

"Tapi, sekarang aku sudah pulang."

Menunduk lesu lalu melepaskan kehangatan pelukan Darren yang melingkupi dirinya. Menjauhi pria itu lalu berdiri di belakang jendela besar yang membingkai kemegahan Hohe Tauern—puncak tertinggi yang terletak di gugusan utama Pegunungan Alpen Timur bagian tengah.

Kening Darren mengerut tak mengerti. Namun, sedetik kemudian dia tersadar di mana dirinya berada sekarang.

"But, why?" Berdiri di belakang Victoria. Mengamatinya sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

Dari sekian tempat yang dapat digunakan oleh Victoria untuk bersembunyi, kenapa dia lebih memilih untuk kembali ke negara kelahirannya.

"Karena...."

================================================================

Lullaby by Nickelback

Well, I know the feeling
Aku tahu rasanya
Of finding yourself stuck out on the ledge
Dapati dirimu terjebak di tebing
And there ain't no healing
Dan tak ada yang mampu mencegahmu
From cutting yourself with the jagged edge
Untuk bunuh diri
I'm telling you that, it's never that bad
Kukatakan padamu bahwa, tidaklah seburuk itu
Take it from someone who's been where you're at
Belajarlah dari seseorang yang sudah pernah berada di tempatmu sekarang
Laid out on the floor
Terbaring di lantai
And you're not sure you can take this anymore
Dan kau tak yakin bisa jalaninya lagi

So just give it one more try to a lullaby
Maka cobalah sekali lagi tuk dengarkan lagu pengantar tidur
And turn this up on the radio
Dan keraskanlah suara radio
If you can hear me now
Jika kau bisa mendengarku
I'm reaching out
Sedang kurentangkan tanganku
To let you know that you're not alone
Agar kau tahu bahwa dirimu tak sendiri
And if you can't tell, I'm scared as hell
Dan jika kau tak tahu, aku juga sangat takut
'Cause I can't get you on the telephone
Karena aku tak bisa mengobrol denganmu di telepon
So just close your eyes
Maka pejamkanlah matamu
Oh, honey here comes a lullaby
Oh, kasih inilah lagu pengantar tidur
Your very own lullaby
Lagu pengantar tidurmu

Please let me take you
Biarkanlah kubawa dirimu
Out of the darkness and into the light
Dari kegelapan dan ke dalam cahaya
'Cause I have faith in you
Karena aku percaya padamu
That you're gonna make it through another night
Bahwa kau kan bisa lewati malam
Stop thinking about the easy way out
Berhentilah berpikir tentang jalan keluar yang mudah
There's no need to go and blow the candle out
Tak ada perlunya untuk pergi dan meniup lilin
Because you're not done
Karena kau belum usai
You're far too young
Kau masih terlalu muda
And the best is yet to come
Dan yang terbaik belum datang

Well, everybody's hit the bottom
Semua orang pernah jatuh
Everybody's been forgotten
Semua orang pernah dilupakan
When everybody's tired of being alone
Saat semua orang lelah sendiri
Yeah, everybody's been abandoned
Yeah, semua orang pernah putus
And left a little empty handed
Dan tak berdaya
So if you're out there barely hanging on...
Sehingga jika kau menyerah, maka tak ada lagi harapan...

Continue Reading

You'll Also Like

673K 1.3K 15
WARNING!!! Cerita ini akan berisi penuh dengan adegan panas berupa oneshoot, twoshoot atau bahkan lebih. Untuk yang merasa belum cukup umur, dimohon...
1.2M 62K 50
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
4.8M 178K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
375K 19.8K 49
Ravena Violet Kaliandra. Mendengar namanya saja membuat satu sekolah bergidik ngeri. Tak hanya terkenal sebagai putri sulung keluarga Kaliandra yang...