[4] My Lady [SUDAH DITERBITKA...

By precious_unicorn91

17.7M 487K 61.4K

[CERITA SUDAH TERSEDIA DALAM BENTUK BUKU SEHINGGA SEBAGIAN BESAR BAB SUDAH DIHAPUS] Altair Julio Devan, lelak... More

PENGUMUMAN PENTING!!! HARAP DIBACA
1. All By Myself
2. She
3. Unrequited Love
4. Feisty Girl
5. His Smile
6. Untittled
7. Not So Perfect Man
Repost part 1-7
8. Between The Two
10. Aeris - Her Sadness
11. Seika - Her Loneliness
12. Devan - His Anger
13. Found You
14. Treat Me Right
Re-post part 8-14
15. Fear
16. New Assistant
17. If Only
18. Touch part 1
19. Touch part 2
20. Regret
22. Say It
23. Their Anxiety
24. Win His Heart
25. Missing You
26. The Choice is Yours (I)
27. The Choice is Yours (II)
28. Family or Lover? (I)
29. Family or Lover? (II)
30. Can't Breathe Easy
31. Nothing Hurts Like Love
32. Patience
33. Chance
34. Rejection
35. Try harder
36. Only You (I)
37. Only You (II)
38. Happy Ending???
39. I Love You
40. Special Woman
41. Will You Be My Lady
42. Call Me Baby (End)
Kesan-Kesan
Bonus Story - 3.6.5
Bonus Story - Baby
Bonus Story - Lucky
Bonus Story - XOXO
F.A.Q
Sneak Peek Novel My Lady
Sneek Peek 2 Novel My Lady
PO My Lady 2, LOTB 2, dan LMR
PEMESANAN BUKU DAN PUBLISH CERITA BARU

9. Gone not Around Any Longer

326K 11K 1.2K
By precious_unicorn91

Aeris POV

Suara kunci yang diputar pada pintu depan, membuat aku langsung beranjak dari sofa dengan cepat dan setengah berlari menghampiri pintu depan yang terbuka. Saat lelaki itu muncul, seperti yang selama ini aku lakukan, aku pun langsung menyergapnya bagaikan kucing menemukan sepotong ikan. Tapi yang ini ikan yang sangat tampan dan juga menawan.

"Selamat datang, MISTER!!!" seruku kelewat girang sambil memeluk tubuh kekarnya itu. Aku senang mencium bau tubuhnya yang sudah bercampur keringat setelah bekerja seharian.

Jangan dipikir Devan akan beraroma bagaikan abang-abang yang ga banget dan selalu berhasil bikin aku muntah di bis saat pulang kerja. Aroma tubuh Devan itu sangatlah menggoda, menggoda iman dan juga akal sehatku. Membuat aku harus menahan diri untuk tidak menelanjanginya dan menciumi seluruh tubuhnya yang seksi berat itu.

Aku wanita mesum dan selalu horny?? Well, kalian pun akan begitu kalau berada di dekat Devan. Dalam radius 1 meter saja di sekitar dia, orang akan mulai kehilangan akal sehat, pengendalian diri, dan insting hewan pun muncul. Insting untuk memproduksi keturunan saat itu juga.

Oke oke aku berlebihan. Tapi intinya sangat tidak dianjurkan berada di sekitar Devan, terutama saat dia sudah terlihat lelah seperti saat ini. Karena dia menjadi semakin seksi dan terlihat mudah ditaklukan begitu saja.

"Ai, minggir lah! Kamu berat" protes Devan saat dia berjalan memasuki apartemen dengan aku yang menempel padanya bagaikan koala.

Hanya saat seperti ini saja aku bisa memeluknya. Jadi aku selalu menggunakan waktuku sebaik-baiknya. Selama dia belum protes, aku tidak akan melepaskan pelukan. Dan lucunya, Devan selalu memberikan aku waktu selama beberapa detik untuk memeluknya sebelum dia mulai protes.

"Mister mau makan dulu atau mandi dulu?" tanyaku sambil melepaskan buruanku, lagi-lagi dengan berat hati, dan mengikuti dia yang berjalan masuk ke dalam.

"Aku sudah makan"

"Oh" Ini dia. Pasti dia makan sama wanita itu. LAGI. "Sama siapa?" tanyaku dengan suara sedikit tersendat. Menahan nyeri di dada yang belakangan ini sering aku alami.

Tidak. Aku bukan kena penyakit jantung. Hanya saja penyakit hati yang tidak bisa disembuhkan.

"Partner baru perusahaan. Tadi setelah meeting, aku menjamu mereka" jawab Devan sambil melihatiku dengan dahi berkerut. "Kamu pikir dengan siapa?"

"Ga ada" jawabku singkat.

"Aku mandi dulu" katanya sambil melepaskan dasinya dan membuka kancing kemeja atasnya.

Duh. Lanjutkan, Mas!!

"Kenapa kamu melihat seperti itu?"

Aku yang tersadar menatap tubuhnya terlalu lama hanya bisa menyengir. "Err, mau nungguin baju kamu? Biar aku masukin mesin cuci"

Devan mendengus geli dan menggeleng. "Lame excuse"

Sialan. Dia tahu banget kalau aku sebenarnya lagi nunggu dia menelanjangi diri di sini. Tapi ga akan mungkin dia lakukan, karena dia tahu aku bakal menerjang dia secara brutal.

Hah, kenapa aku kaya cewe mesum banget gini sih?? Serius deh, diriku dulu tak begini tapi sekarang kok mesum gini? Lagi-lagi iklan.

"Berhentilah berpikir mesum, gadis bodoh" kata Devan sambil menoyor pelan dahiku dengan telunjuknya dan berbalik badan memasuki kamarnya.

Aku hanya bisa menghela napas dan membanting tubuhku ke sofa dan terlentang di sana. Sambil menatap langit-langit apartemen dan kembali mengingat penyebab penyakit hatiku seminggu ini. Penyakit yang bikin aku ga enak makan, ga enak minum, ga enak kerja, untungnya ga sampai ga enak hidup. Karena kalau iya, aku mungkin sudah bunuh diri sekarang.

Seharusnya aku ga bangun saat itu. Ya, seandainya saja aku tidak terbangun saat tertidur di kursi belakang mobil Devan ketika kami pulang dari rumah Om Athan dan kemudian menyaksikan adegan tergempar sepanjang masa mengenal Devan, mungkin aku tidak akan mengalami ini.

Huh, aku sampai tidak yakin saat itu aku sedang bermimpi atau itu semua adalah nyata. Sampai setelah beberapa saat aku terjaga dan melihat pemandangan yang masih sama, yaitu Devan yang memeluk Seika dengan erat, barulah aku sadar kalau itu semua nyata adanya.

Devan memeluk Seika. Devan memeluk wanita. Devan memeluk mahluk hidup selain keluarganya.

Ini amazing banget. Aku saja tidak pernah dia peluk padahal aku selalu memeluknya. Aku selalu berharap dia mau membalas pelukanku walaupun hanya sekilas tapi mana? Dia tidak pernah melakukannya. Yang ada dia malah memeluk calon istri orang.

Sinting. Miring. Ga waras. Stress. Orang gila.

Cuma itu yang aku pikir mengenai kenekatan Devan saat itu. Men, kan bisa aja si Ares semprul itu nongol tiba-tiba. Ngamuk ga sih dia kalau liat cewenya di peluk cowo lain, even, itu adalah sepupunya sendiri??? Kalau aku jadi Ares, udah aku acak-acak mukanya si Devan. Ganteng sih ganteng, tapi masa lahan orang mau digarap juga.

Tapi aku jadi tahu arti tatapan dingin Devan saat kami pertama datang ke rumah Om Athan dan dia melihat Seika. Sepertinya dia ga siap dan merasa sebal melihat Seika dengan calon suaminya. Mungkin dia cemburu karena cewe yang dia suka bersama lelaki lain. Mungkin dia stress karena harus melihat kemesraan mereka berdua.

Wait, mesra? Aku rasa tidak. Walaupun dibilang keduanya mau menikah, aku tidak melihat sedikit pun interaksi yang menandakan mereka saling mencintai satu sama lain. Ares lebih sibuk dengan ponselnya dan Seika hanya diam mendengarkan orang lain. Bagaimana mungkin mereka berdua mau menikah dengan kondisi seperti itu?

Belum lagi perlakuan si Ares semprul pada Seika, gilak! Aku Cuma bisa bilang itu. Apa benar dia mencintai Seika? Soalnya ga keliatan sama sekali. Tapi kalau Seika sih keliatan banget head over heels sama Ares. Tipe-tipe cewe yang tergila-gila sampai tidak bisa menggunakan akal sehatnya dan mau aja dijahatin cowo yang dia sayang. Tipe cewe yang selalu bikin aku merinding jijik dan ga segan-segan untuk menamparnya dan berteriak

WAKE UP, YOU MORON!!!

Haaah, tapi itu juga kayanya yang bikin Devan jadi dekat sama Seika. Karena Seika dijajah sama cowonya sendiri. Devan mungkin yang selalu ada saat Seika lagi sedih karena perlakuan cowonya itu. Soalnya aku tahu kebaikan lelaki yang aku cintai itu, dia itu ga bisa liat orang susah, jadi bawaannya pengen nolongin terus. Mungkin pas hamil Devan, Tante Demi ngidam Gatot Kaca, jadinya dia berjiwa penolong banget. Tapi ga perlu pakai meluk juga kaliiiiiii.

ARGHHH!!!! KESALL!!!! MARAH!!!! BETEEE!!! SAKIT HATIIII!!!!!

"Pengen bunuh orang gue, serius!!"

"Bunuh siapa?"

Aku pun langsung duduk di sofa dan melihat Devan yang keluar kamar dengan kaos oblong putih yang membuat  tubuhnya terlihat makin aw aw aw dan celana training. Rambutnya yang masih setengah basah dia sisir asal dengan tangan.

Aku akan membelikan dia sisir besok. Kasihan sekali anak ini selalu nyisir pakai tangan.

"Ehehehe"

"Kenapa kamu tertawa seperti orang bloon begitu?" tanyanya heran. "Jangan membuatku takut"

Sembarangan. Di kirain gue setan apa!

Devan berjalan ke dapur, sepertinya untuk mengambil minum, dan kemudian melirik meja makan yang sudah kutata rapih tadi. Karena aku kira dia akan makan malam di apartemen, walaupun aku tidak yakin juga karena belakangan ini dia suka makan di luar. Dengan siapa? Ohoho tentu saja dengan calon istri orang alias Seika.

Dalam seminggu ini saja dia sudah dua kali makan malam berdua Seika. Padahal saat itu aku memasak kesukaannya tapi dia malah tidak makan dan langsung tidur begitu sampai rumah. Aku sebenarnya mau tanya kenapa dia makan sama cewe orang tapi ga mungkin kan. Nanti dia pikir aku pengen tahu urusan dia saja. Walaupun itu memang benar.

"Kamu belum makan?" tanya Devan yang melihat lauk pauk yang masih utuh di balik tudung saji.

"Nanti deh" jawabku tidak bersemangat.

"Kenapa nanti?"

"Aku ga laper" Bukan ga lapar sih tapi malas aja makan sendiri. Rasanya ga enak.

"Ai, makan" katanya dengan tegas

Keluar lagi si Mamak tiri.

"Ga ah! Besok aja"

"Aku perhatikan setiap aku tidak makan di sini kamu juga ga makan. Kamu harus makan, Ai. Nanti kamu sakit"

Cemas nih ceritanya? Kalau emang kamu cemas dan pengen aku ga sakit, bagaimana kalau dimulai dengan TIDAK MENEMUI CALON ISTRI ORANG!!!

"Ai!!" seru Devan dengan nada tinggi.

"Ogah" jawabku dengan malas sambil kembali tiduran di sofa.

Aku ga akan makan sampai Devan berhenti menjerumuskan dirinya dalam pertikaian hubungan orang lain. Aku tidak mau orang melihatnya sebagai lelaki yang menghancurkan hubungan saudaranya sendiri. Begitu banyaknya wanita di luar sana, kenapa harus Seika? Kenapa harus cewe yang udah punya cowo dan mau nikah pula? Please, gue juga available kali. Kenapa kamu ga melirik cewe yang jelas-jelas ada di depan mata? Apa aku ga keliatan sangking imutnya??

ARRGHHHH DEVAN BEGO

Saat aku sedang bergelut dengan pikiranku sendiri, tiba-tiba saja aku merasakan tubuhku terangkat begitu saja. Aku yang sedang memejamkan mata pun langsung membuka mata dan melihat Devan yang menggendongku ala pengantin baru.

"Loh, kamu mau gendong aku kemana?" tanyaku bingung namun kemudian tersenyum geli sama pikiranku sendiri. "Aaahh, aku tahu. Kamu mau gendong aku ke kamar ya?? Ih, so sweet banget! Udah ga tahan ya sampai pake gendong segala. Ga usah di kamar juga ga papa. Di luar juga seru kok. Lebih menantang"

"Berhenti berpikiran mesum, for God's sake!" geramnya sambil melihatiku tajam. Devan kemudian mendudukkan aku di kursi makan. "Sekarang makan lah"

Aku mengerucutkan bibirku kesal. "Ga mau"

"Kenapa? Biasanya kamu bisa makan porsi 10 orang sekaligus. Kenapa sekarang kamu tidak mau makan? Memangnya tidak lapar?"

"Aku mau diet" jawabku asal.

Padahal ga mungkin banget. Aeris diet sama saja dengan tanda dunia mau kiamat.

"Apa yang mau kamu dietin? Badanmu saja kecil mungil"

"Makasih" jawabku sambil  tersenyum manis.

"Itu bukan pujian!" katanya dengan tegas. "Kamu harus makan. Tadi pagi saja perutmu sakit kan? Itu pasti karena kamu tidak makan teratur. Sekarang makan dan setelah itu minum obat"

"Cemas nih ceritanya?" tanyaku iseng karena Cuma ingin buat Devan malu.

"Iya, aku cemas. Puas?"

Serius dia cemas? Demi apa?

"Aku cemas kalau kamu jadi aneh begini. Seminggu ini kamu tidak seperti biasanya. Kamu makan sedikit dan sering melamun. Kamu juga suka marah-marah sendiri. Mengenalmu dua bulan, baru kali ini aku lihat kamu begitu depresi. Aku tidak mau kamu sampai sakit"

Emang kamu pikir aku begini karena siapa, hah?? Aku juga ga pernah mengalami hal ini seumur hidupku. Sakit hati sampai ga nafsu ngapa-ngapain. Ini gara-gara kamu, Devan! Semua karena aku cinta sama kamu! Sayangnya kamu cintanya sama cewe lain.

"Suapin" kataku dengan manja. Sekali-kali manja boleh dong. Kalau dia cemas harusnya mau.

"Apa?" tanya Devan dengan shok.

Biasa aja kali. Aku kan nyuruh dia buat nyuapin aku, bukan nyuapin naga. Kenapa sekaget itu coba?

"Kalau ga mau juga ga apa-apa. Aku mau tidur" aku sudah akan berdiri dari kursi, tapi kemudian dia menahan bahuku dan membuatku terduduk kembali.

"Oke. Asalkan kamu makan"

Serius dia mau? Demi apa ini si Devan? Kenapa dia jadi sok care gini? Eh, ga sok sih, emang dia orangnya care. Tapi tetap aja! Aku mau disuapin sama Devan!! Harus direkam ini. Mana cameramennya? Jarang-jarang terjadi, majikan nyuapin pembantunya. Dimana lagi ada keajaiban alam seperti ini?

Devan kemudian duduk di sebelahku dan mengambil nasi, ikan tongkol balado, orek tempe, dan sayur capcay ke dalam piring. Dia kemudian menyendokkan semuanya sedikit-sedikit dan kemudian menyorongkannya ke depan mulutku.

Aku pun tersenyum senang dan membuka mulut lebar-lebar bagaikan kuda nil. Kalau tahu dia begini, dari dulu aku mogok makan. Dia dengan sabar menungguku menghabiskan makanan di mulut sebelum menyendokkan lagi. Dia tidak banyak bicara dan hanya melihatiku saja.

"Aku tidak akan memaksamu menceritakan apa yang membuatmu uring-uringan belakangan ini, tapi aku mohon agar kamu menjaga kesehatanmu. Kamu harus tetap makan. Aku tidak mau kamu sampai sakit" katanya dengan lembut.

"Soalnya kalau aku sakit ga ada yang beresin apartemen dan masakin kamu ya?"

"Bukan itu."

Jangan-jangan Devan mau bilang, 'kalau kamu sakit, aku jadi cemas dan tidak tenang. Aku tidak mau cewe yang berarti untukku sampai lemah tak berdaya'.

"Terus apa?" tanyaku dengan penuh antisipasi.

"Kalau kamu sakit, siapa yang mau urus? Karena aku tidak mau"

"Brengsek" cetusku begitu saja yang membuat Devan tertawa geli. "Aku ga butuh belas kasihan kamu. Biarin aja aku mati membusuk di sini"

"Iya iya" katanya sambil menyorongkan sesendok nasi lagi ke depan mulutku.

Aku pun melahapnya dengan geram. "Kawo nanti ahu mati" kataku susah payah karena mulut penuh makanan. "Ahu ahan menghentayangi hamu seumur hidup!!"

"Aku tunggu" kata Devan sambil tersenyum geli

"Bener ya??"

"Iya"

Asik. Berarti dia ga masalah dong kalau aku terus sama dia sampai kapan pun? Yes!

Devan kembali menyorongkan sendok ke depan mulutku. "Makan yang banyak, biar cepat gede" katanya sambil tersenyum geli.

Kurang ajar. Maksudnya aku masih anak-anak gitu? Tapi ga apa-apa deh. Dianggap anak-anak juga asal bisa dimanjain Devan. Kalau udah tua kan ga mungkin diginiin. Setidaknya untuk saat ini, aku tidak keberatan dia menganggapku anak bocah tapi ga tahu deh nantinya. Kita liat saja nanti.

***

"Ini film apaan sih, Ris?" tanya Devan dengan dahi berkerut dan muka jijik saat kami sedang menonton DVD yang aku beli kemarin saat keluar untuk interview pekerjaan.

Ya ya aku belum juga dapat pekerjaan walaupun sudah dua bulan mencari. Bukannya aku malas-malasan, tapi sulit mencari pekerjaan saat aku tidak punya ijazah. Karena ijazahku raib digondol tuyul.

Saat ini kami sedang bersantai di hari libur dengan menonton DVD. Devan yang memang selalu malas keluar apartemen setiap weekend, lebih memilih menghabiskan liburan dengan bersantai ria. Karena aku tahu begitu, kemarin aku membeli banyak DVD untuk kami tonton. Tapi rupanya dia tidak suka dengan genre film yang aku pilih, yaitu zombie. Dia terlihat berjengit geli setiap kali adegan menjijikkan dimana zombie memakan manusia ditampilkan.

Padahal aku suka sekali film seperti ini. Rasanya jadi laper kalau nontonnya. Hahaha. Aneh? Ya, kalau ga aneh bukan Aeris namanya.

"Mau diganti?" tanyaku yang tidak tega melihat raut wajah dia yang semakin jijik melihat adegan di TV. "Mau cinta-cintaan atau action atau komedi?" tanyaku sambil melihat tumpukan DVD di atas meja.

"Action"

Saat aku akan mengganti DVD-nya, bunyi bel pintu terdengar. Kami berdua saling berpandangan kebingungan. Siapa yang bertamu? Tinggal di sini selama dua bulan, tidak pernah sekalipun ada orang yang bertamu dan rupanya Devan pun sama bingungnya dengan aku.

"Kamu nunggu seseorang?" tanyaku pada Devan

Devan menggeleng bingung. "Kamu?"

"Ya kali"

Bel kembali terdengar.

"Aku aja yang buka" kataku kemudian melesat cepat ke pintu depan.

Aku kemudian melepaskan grendel dan membuka pintu. Saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu, tanganku refleks menutup pintu kembali dengan jantung berdebaran.

Shit, gue ga salah liat kan?

"Siapa, Ai?" tanya Devan melihati dari sofa ruang TV. "Kok langsung ditutup?"

Aku Cuma ketawa kaya orang bego sambil dalam hati berdoa kalau yang aku lihat tadi hanyalah halusinasi. Ya, pasti halusinasi.

Aku kembali membuka pintu perlahan dan mengintip keluar.

Damn it! Gue ga berkhayal. Ngapain ini orang ke sini?

"Aeris?" tanya tamu tak diundang itu dengan bingung. "Ini aku. Seika"

Iya, gue tahu sapa lo.

Aku pun menyengir lebar dan membuka pintu lebih besar. "Eh, Kak Seika. Kirain siapa"

"Tadi kenapa ditutup lagi?" tanya dia bingung.

"Oh itu" Ayo, Aeris. Cari alasan yang masuk akal dan ga terdengar seakan-akan lo hampir kena serangan jantung liat dia di sini. "Tadi ada kecoak di bingkai pintu. Jadi aku tutup lagi biar penyek"

Seika melihati bingkai pintu dengan bingung, mencari wujud kecoak yang gepeng.

"Ga ada" sahutnya pelan

Ada kok. Nih, di depan gue. Besar, nyata, dan sangat mengganggu.

"Ga usah dipikiran, Kak. Masuk yuk"

"Makasih"

Seika kemudian masuk ke dalam apartemen. Aku terus memaksakan senyuman yang sebenarnya tidak ingin kuperlihatkan. Bagaimana aku bisa tersenyum kalau cewe yang membuat perhatian Devan teralihkan dariku tiba-tiba muncul? Mengganggu saat-saat berduaku dengan Devan.

Lihat saja sekarang bagaimana Devan yang sadar kalau tamu tersebut adalah Seika, langsung berdiri dari sofa dan menghampiri Seika dengan wajah cemas.

Nyesss. Ya, itu bunyi pisau yang menghujam hatiku. Bukan bunyi kentut dari bokongku.

Sakit itu muncul kembali saat melihat Devan bertanya pada Seika dengan cemas. Dia terlihat begitu perhatian pada wanita ini. Walaupun saat ini hanya aku yang bisa melihat itu, karena bagi orang lain dia akan terlihat seperti biasa. Datar tanpa ekspresi.

"Ada apa? Kenapa kamu ke sini?"

"Tidak ada apa-apa." Jawab Seika sambil tersenyum lembut.

"Ayo, duduk lah"

Seika pun duduk di tempat aku semula duduk, di sebelah Devan. Aku melihati mereka berdua sambil menarik napas dalam-dalam. Mengendalikan diriku untuk tidak mengamuk dan memporak-porandakan apartemen ini. Bisa-bisa aku dibunuh si Mamak tiri kalau sampai itu terjadi.

"Ai" panggil Devan yang membuatku jadi kembali semangat. Ternyata dia masih ingat aku. Aku masih punya secercah harapan.

"Ya" jawabku sambil menghampirinya dengan senyuman lebar.

"Tolong buatkan minum untuk Seika"

You said what?? Di saat dia tidak pernah memperlakukan aku seperti pembantu, mendadak dia melakukannya dan lebih parahnya di depan saingan cinta aku pula! Oh, Devan, kau hancurkan hatiku. Kau hancurkan lagi. Kau hancurkan hatiku tuk melihatmu bersama wanita lain.

Dasar ga punya hati!!

"Mau pake racun apa ga?" tanyaku dengan sok manis.

Devan mendelik galak padaku. "Buat sekarang"

"Iya, Den" jawabku dengan ketus sambil berjalan ke dapur.

Sial banget nasib gue. Udah ga disambut cintanya, malah disuruh-suruh kaya pembantu.

Aku mengambil dua gelas kaca di lemari dapur dengan mata terpaku terus pada keduanya. Mencuri dengar apa yang sedang dibicarakan. Tapi aku tidak bisa mendengar mereka karena suara mereka yang pelan. Aku pun membuatkan dua gelas sirup ditambah racun –bonus dariku karena aku sangat baik hati- dengan cepat dan membawakannya ke ruang TV.

Mereka menghentikan obrolan dan melihatku yang meletakkan kedua gelas dihadapan mereka. Aku kemudian duduk di kursi lain, mencoba bersikap biasa saja padahal pengen tahu mereka bicara apa.

"Makasih ya, Ris" kata Seika sambil tersenyum hangat.

"Iya"

"Apa kabar, Aeris? Kamu selalu keliatan ceria ya?"

"Biasa aja kok." Jawabku sambil berusaha tersenyum. Aku tidak mau Seika merasa aku membencinya. Karena aku memang tidak membencinya hanya saja aku tidak suka dia semenjak dia merebut Devan dariku.

Well, itu sama aja, pinter!

"Kak Seika ga sama Kak Ares?" tanyaku penasaran. Weekend begini, biasanya orang pacaran kan berduaan. Kenapa yang satu ini malah di sini? Kemana lakinya?

"Aresnya lagi keluar kota" jawab Seika tersenyum kecil. Aku bisa menangkap sorot sedih di mata dia saat mengatakannya. Dia rupanya sedih ditinggalin Ares. Pasti kesepian di Negara yang tidak dia kenal dan tanpa saudara satu pun. Aku bisa mengerti karena aku pun begitu di saat pertama kali menginjakkan kaki di ibukota ini.

Tapi bukan berarti dia jadi nyari kesempatan buat gangguin cowo lain donk!

"Oh, kasihan Kak Seika ditinggal" gumamku tanpa pikir panjang yang kemudian kusesali karena aku terdengar jahat sekali. Seakan-akan mengasihani dia yang ditinggal sendiri.

Devan kemudian melihatiku dengan tajam di saat Seika hanya tersenyum kecil. Aku menatap Devan dengan sorot mata –Apa?- ku, yang dia balas dengan tatapan yang menyiratkan perintah –pergi lo jauh-jauh-. Devan ngusir aku?? Setidak suka itu dia dengan kehadiranku? Aku yang pasang muka tebal akhirnya hanya cuek dan tetap duduk sambil memperhatikan TV yang masih menyetel film zombie tadi.

Sorry sorry aja ya kalau aku harus hengkang dari sini. Aku ga akan biarin kalian berduaan. TIDAK AKAN PERNAH. Over my dead body!

"Ai" panggil Devan dengan dingin. Tapi aku tidak merespon dan pura-pura budeg. "Aeris!"

La la la la la ga denger. Ga denger.

"Aeris Valindra Ghani!!"

Huh, kalau udah manggil nama panjang, udah ngamuk berarti ini orang. Mau ga mau aku pun menoleh dan melihati dia dengan malas.

"What?" tanyaku dengan songong.

"Bisakah kamu tinggalkan aku dan Seika sebentar?" katanya dengan pelan tapi penuh penekanan.

"Kenapa?"

Devan menarik napasnya dalam-dalam sebelum menjawab. Aku tahu dia sedang menahan diri untuk tidak meneriakiku saat ini. Karena ada Seika tidak mungkin sifat iblisnya itu keluar. Dia pasti mau tampil sempurna tanpa cela di depan wanita yang dia suka. Cuih.

"Karena ada sesuatu yang perlu kami bicarakan"

"Terus?" Masalah buat gue?

"Kamu nonton di kamar"

"TV-nya kecil" kataku beralasan.

"Di kamarku saja"

"Ga enak ah"

"Ai!"

"Ga mau"

"Aeris!"

"Ga mau. Ga mau. Ga mau!!!!" seruku mulai kesal. Dadaku sudah semakin sesak dan mataku mulai panas. Apa setidak peka itu Devan pada perasaanku? Apa dia ga tahu kalau aku ga suka ngeliat dia sama Seika? Apa perlu aku teriak biar semua orang tahu?

"AERIS!! Berhentilah bersikap seperti anak kecil" bentak Devan yang mengejutkan aku dan Seika.

"Dev, udahlah. Jangan marah begitu. Aku yang salah karena mengganggu weekend kalian"

Seika kemudian berdiri dan tersenyum menyesal padaku. "Maaf ya, Ris. Aku datang tanpa diundang"

Aku sebenarnya kesal sama Seika, tapi jadi ga enak hati juga karena gara-gara sikapku dia jadi merasa bersalah. Tapi emang dia salah! Ngapain udah punya cowo malah ketemu cowo lain?

"Seika, maaf ya" kata Devan dengan lembut

"Aku yang minta maaf. Lain kali aja kita bicaranya."

Aku melihat Seika yang berjalan menuju pintu depan diikuti Devan. Tidak berapa lama, Seika pun pergi. Aku tinggal tunggu waktu saja sampai Devan memuntahkan lahar panasnya itu. Dia pasti akan mengomeliku habis-habisan.

"Kenapa kamu bersikap seperti itu pada Seika?" tanya Devan sambil menatapku tajam.

"Bersikap seperti apa?" Aku memasang muka pura-pura bodoh.

"Seakan-akan kamu tidak suka dengan kehadiran dia di sini"

EMANG

"Perasaan kamu aja" jawabku sambil menatap TV. Menyembunyikan mataku yang mulai berair. Jangan nangis, Aeris. Lo harus pertahankan harga diri.

"Kenapa kamu benci dia?"

"Aku tidak benci Seika"

"Lalu kenapa kamu begitu?"

"Aku ga begitu-begitu. Kamu aja yang berlebihan"

"Kamu ga kasihan sama dia? Dia Cuma sendiri di Negara ini"

Aku juga. Aku juga Cuma sendiri. Apa bedanya?

"Dia ga punya siapapun yang bisa dia tuju saat sedang ada masalah"

Setidaknya dia punya Ares. Sedangkan aku? Aku tidak punya siapapun. Orang yang aku anggap bisa menjadi tempatku mengadu, malah memperlakukan aku seperti ini. Sebenarnya siapa sih yang harusnya lebih dikasihani?

"Aeris"

"Aaaah, udahlah! Kenapa sih Seika Seika Seika mulu? Ga ada yang lain?" seruku frustasi. Aku berdiri dan berjalan menuju kamarku. Aku ga peduli kalau saat ini aku terdengar seperti pacar yang sedang cemburu buta karena cewe lain mendekati pacarnya. Ya, emang aku bukan pacar Devan. Tapi aku punya hak untuk sakit hati kan? Aku sakit melihat cowo yang aku cintai bersama cewe lain.

"Ai!" panggil Devan dengan nada tinggi.

Lihat, dia jadi sampai menarik uratnya saat berbicara denganku. Padahal sebelumnya tidak pernah. Ini semua karena Seika. Karena cewe satu itu!

"Terserah kamu! Ga usah urusin aku, urus sana Seika!" ketusku sambil masuk ke dalam kamar dan kemudian membanting pintu.

Aku membanting tubuhku ke tempat tidur dan air mataku pun mulai mengalir. Ini kedua kalinya aku menangis karena Devan. Pertama kalinya saat aku melihat dia memeluk Seika dan kedua sekarang. Apa sih lebihnya Seika? Kenapa dia belain Seika terus? Kenapa dia baik sama aku di saat kami hanya berdua, tapi saat di depan orang lain dia akan memperlakukan aku dingin. Kenapa kalau Seika tidak?

Di depanku sekalipun, dia memperlakukan Seika dengan begitu lembut dan perhatian. Kenapa harus dibedakan?? Kenapa dia ga bisa begitu juga sama aku?

ARRGGHHHH!!! Bego! Dasar Devan bego!

Kenapa aku harus jatuh cinta sama cowo bego dan ga peka seperti dia?

***

"Aku mau pulang ke Cimahi" kataku dengan tegas pada Devan yang sedang menyantap sarapan paginya. Ini adalah pertama kalinya aku berbicara dengannya setelah dua hari lalu kami bertengkar. Seharian kemarin, aku tidak mengajaknya bicara sama sekali. Dia berusaha untuk bicara denganku tapi aku mendiamkannya. Aku terlalu sakit hati dengan sikapnya.

"Kenapa? Karena pertengkaran dua hari lalu?" tanya Devan kaget. Dia sampai meletakkan sendok dan garpunya dan menghentikan makannya. "Aku minta maaf karena sudah kasar sama kamu."

"Bukan karena itu. Jangan terlalu percaya diri" jawabku dengan galak. "Ada yang perlu aku urus"

Aku tidak bohong. Aku memang ingin mengurus sesuatu di sana. Selain itu juga untuk menjernihkan pikiran sementara waktu. Mungkin kalau aku tidak melihat Devan selama beberapa hari, aku akan merasa lebih baik. Aku tidak akan teringat lagi dengan sakit di hatiku ini.

"Biar aku temani"

"Tidak perlu. Aku akan di sana seminggu, kamu tidak mungkin meninggalkan pekerjaanmu selama seminggu kan?"

Devan lagi-lagi terlihat kaget. "Seminggu? Apa kamu bahkan ada keinginan untuk kembali ke sini lagi?"

Aku ga salah dengar kan? Dia menungguku kembali? Bukannya dia harusnya senang kalau aku ga ada, jadi dia bisa puas berduaan sama Seika tanpa gangguanku?

Grrrr, aku jadi emosi lagi mengingat itu.

"Memangnya kamu masih mau aku kembali? Kan lebih enak kalau kamu sendirian di sini. Ga ada yang ganggu. Bisa ngapain aja dan bisa bawa siapa saja" kataku dengan jutek.

Devan terdiam dan menghela napas panjang sambil menggosok pelipisnya. "Aku tidak pernah menganggap kehadiran kamu itu gangguan. Selama kamu belum dapat pekerjaan, kamu bisa tinggal di sini. Aku tidak keberatan. Aku malah senang"

Ya, aku tahu dia senang aku di sini. Karena dia bilang, apartemen tidak terasa sepi lagi sejak ada aku. Dan itu membuat dia betah untuk berada di sini lama-lama. Tapi masalahnya sekarang, aku jadi makin bergantung sama dia. Aku jadi susah lepas dan jadi terlalu nyaman di sini. Padahal tidak mungkin kan aku selamanya tinggal sama dia? Dia sendiri bilang aku bisa pergi kalau aku sudah dapat pekerjaan. Jadi artinya, begitu aku bekerja aku harus angkat kaki dari sini kan? Jadi mungkin ada baiknya, aku pergi sekarang. Memang aku belum dapat pekerjaan, tapi aku bisa tinggal di Cimahi dulu sampai aku bisa mendapatkan uang untuk ngekost lagi. Lagipula aku tidak tahu sampai kapan aku bisa kuat melihat dia memperhatikan cewe lain. Aku tidak mau Devan sampai membenciku. Lebih baik aku pergi sebelum keadaan semakin tidak enak.

"Kamu tidak pernah menyusahkanku. Aku sangat terbantu dengan kehadiran kamu. Kamu sudah aku anggap sebagai saudaraku sendiri, Ai"

Saudara? Jadi itu yang dia pikirkan mengenai diriku? Hanya seperti saudara. Ga lebih

"Iya, aku ngerti kok."

"Kapan kamu pulang?"

"Besok pagi. Naik kereta"

Devan mengangguk pelan. "Besok biar aku antar kamu sebelum ke kantor"

"Tidak perlu. Nanti kamu terlambat"

"Aku akan mengantarmu" katanya dengan tegas.

"Oke"

Setidaknya aku bisa melihatmu terakhir kalinya sebelum kita berpisah.

***

"Keretamu berangkat jam 8.45" kata Devan sambil melihat tiket kereta, yang dia belikan dengan memaksa padahal aku sudah menolaknya, dan kemudian melihat jam di tangannya. "10 menit lagi"

"Iya"

Sejak tadi aku menahan diri untuk tidak nangis kejer dihadapan Devan. Rasanya dadaku sesak mengingat ini adalah terakhir kalinya aku bisa melihat dia. Karena setelah ini, aku akan menetap di Cimahi untuk sementara waktu. Ya, aku sudah memutuskannya. Ini yang terbaik untukku dan Devan. Aku tidak ingin membebani dia lebih lama lagi. Walaupun rasanya berat dan perih karena aku tidak akan bisa melihatnya lagi.

Dan Devan tidak tahu sama sekali mengenai hal ini. Dia tidak boleh tahu. Karena kalau dia tahu, dia pasti akan melarangku.

"Kamu kabari kalau sudah sampai sana" katanya dengan lembut.

Saat seperti kenapa dia malah bersikap begitu baik dan lembut padaku? Aku jadi semakin sulit untuk pergi. Sejak tadi saja aku yang biasanya banyak bicara jadi diam karena takut sekalinya aku berbicara, yang ada isakan tangis yang keluar.

"Hati-hati di sana. Jangan nakal" katanya sambil mengusap puncak kepalaku. "Jangan terlalu sedih karena kamu belum bekerja, nanti kamu pasti mendapatkan yang terbaik. Hanya tunggu waktu saja. Katakan itu pada orang tuamu dan sampaikan salamku pada mereka"

Aku Cuma bisa mengangguk pelan. Tidak mampu melihat wajahnya.

"Kenapa kamu diam begini? Kamu begitu sedih berpisah denganku?" katanya sambil tertawa kecil.

Lagi-lagi aku Cuma bisa mengangguk sambil menahan air mataku.

"Kalau memang begitu, cepatlah kembali. Jadi kamu tidak sampai merindukanku seperti itu"

Sejak kapan dia bisa gombal begini?

"Aeris"

"Hm"

"Angkat wajahmu. Apa yang kamu lihat di bawah sejak tadi?"

Kaki lo yang seksi itu, Bang. Biar aku ga lupa seperti apa bentuknya nanti.

Aku pun mengangkat wajahku dan melihatnya. "Apa?"

"Aku akan menunggumu. Jadi jangan terlalu lama di sana. Kalau kamu kelamaan, aku yang akan menjemputmu sendiri"

Mataku melebar mendengarnya. "Bohong"

"Aku serius"

"Kenapa?"

"Kalau kamu tidak ada siapa yang membereskan apartemen dan memasak untukku?" katanya sambil tersenyum.

"Sialan! Cari pembantu sana!" seruku kesal. Aku kira dia akan mengatakan sesuatu yang bisa membuatku jauh lebih senang saat ini. Tapi dia malah bercanda.

"Aku serius! Kalau kamu tidak kembali, aku yang akan membawamu ke sini sendiri" katanya dengan serius. Aku sampai kaget melihat dia terdengar begitu ... ehm ... posesif? Kenapa aku tidak boleh tidak kembali? Aku kan bukan istrinya.

Apa aku boleh berharap? Kalau setidaknya, Devan memiliki perasaan padaku sedikit saja.

Tapi Devan kan rajanya tukang PHP-in orang. Ngasih harapan ke semua cewe. Dia sebenarnya punya bakat jadi playboy, tapi untungnya dia punya kesadaran diri yang tinggi. Kalau nggak mungkin entah berapa cewe sudah jatuh ke rayuan mautnya itu.

Dan saat ini dia hanya berusaha untuk bersikap baik padaku. Karena kemarin dia sudah membuatku merasa tidak enak hati.

Bunyi panggilan yang mengumumkan keretaku akan berangkat terdengar. Aku pun menyandang tas ranselku dan memasang ekspresi terbaikku.

"Aku pergi ya."

"Ya. Hati-hati"

"Iya"

"Jangan ceroboh dan melamun terus. Nanti kamu dijahatin orang"

"Iya"

"Kalau lapar beli makanan. Jangan ditahan"

"Iya"

"Sampai sana langsung kabari aku"

"ASTAGA! Iya! bawel amat sih Mamak tiri" seruku kesal dengan kebawelannya. Kalau seperti ini aku jadi percaya kalau dia anak Tante Demi. Soalnya sama-sama bawel.

Devan memukul pelan puncak kepalaku sambil tertawa. "Aku Cuma khawatir kamu diculik dan dijual"

"Ga akan ada juga yang mau"

"Kenapa tidak? Kamu kan manis"

Si Devan kenapa sih hari ini? Jadi sok manis begini? Padahal kemarin aja kaya iblis bertaring. Jangan-jangan dia sengaja biar aku balik lagi nanti, jadi dia sok manis yang bikin geli gini.

"Aku manis juga kamu ga suka" gumamku tidak jelas.

"Apa?"

"Ga ada apa-apa"

"Ya sudah, sana" katanya dengan senyuman lebar.

Dia bisa tersenyum karena ga tahu kalau ini kali terakhirnya kami akan bertemu. Dia bisa tersenyum karena dia ga akan kehilangan sekalipun aku tidak kembali. Dia bisa tersenyum karena dia memang tidak punya perasaan seperti yang aku rasakan padanya.

Aku memandangi wajah Devan terakhir kalinya. Mengingat setiap sudut wajah tampannya itu dan merekamnya baik-baik di kepalaku. Agar aku tidak akan melupakannya saat aku jauh darinya nanti. Lelaki pertama yang aku cintai dan yang pertama pula yang bikin aku patah hati.

"Kenapa? Belum puas juga melihatku?"

"Aku ... hem ... boleh meluk kamu?" tanyaku pelan.

"Sejak kapan kamu meminta izin untuk memelukku?" tanyanya sambil mendengus geli.

"Ya ini kan di tempat umum" kataku dengan mengerucutkan bibir. "Mana tahu kamu ga suka"

"Kalau hanya pelukan aku tidak keberatan. Kecuali kalau kamu memintaku untuk menciummu di sini"

"Emangnya kalau bukan di tempat umum kamu mau?"

"Ga juga"

Tuh kan. Tukang PHP.

"Ayo cepat. Nanti keretamu keburu berangkat" Devan mendekatiku dan sebelum aku duluan yang bergerak untuk memeluknya, dia sudah memelukku terlebih dahulu.

Devan memelukku. Pelukannya terasa hangat tapi juga terasa menyakitkan di saat bersamaan. Pelukan yang dia juga dia berikan pada wanita lain sebelumnya. Air mataku sudah akan mengalir tapi aku masih menahannya setengah mati. Aku memeluk tubuhnya dengan erat. Menikmati saat terakhir aku bisa melakukannya.

Bunyi panggilan terakhir membuatku tersadar dan melepaskan pelukan dengan segera. Aku harus pergi.

"Terima kasih ya, Dev." Kataku dengan suara bergetar. "Terima kasih untuk bantuannya selama ini"

"Sama-sama. Aku juga berterima kasih sama kamu"

Aku menatapnya terakhir kali dan memberikan senyuman terbaikku padanya. "Bye"

"Sampai jumpa lagi, Ai" katanya dengan senyuman terlembut yang pertama kali aku lihat.

Tidak. Kita tidak akan berjumpa lagi, Dev.

Aku kemudian berjalan menuju pintu masuk dengan langkah berat. Saat aku memberikan tiket untuk diperiksa petugas, aku menoleh melihat Devan yang masih melihatiku dari tempat tadi sambil tersenyum lebar. Dia melambaikan tangan yang kubalas dengan lambaian lemah.

Aku pun melewati pintu tanpa menoleh kembali karena air mataku sudah mengalir deras di pipiku. Kalau tahu akan sesakit ini, lebih baik dari awal aku tidak jatuh cinta padanya. Tapi aku tidak bisa mengatur kemana cintaku berlabuh kan? Aku tidak bisa memilih dengan siapa aku jatuh cinta. Seandainya saja bisa, aku tidak akan memilih Devan yang jelas-jelas tidak akan pernah bisa aku jangkau. Seandainya bisa, aku pun yakin Devan tidak akan memilih Seika yang merupakan milik lelaki lain, untuk dia cintai.

Benar kata Devan, cinta itu terlalu kejam.

Jadi selamat tinggal, Devan. Selamat tinggal, cinta pertamaku.

TBC

---

Continue Reading

You'll Also Like

1.8M 88.4K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
26.2M 1.5M 76
Anggy Putri Sandjaya, berusaha membebaskan diri saat namanya digunakan untuk menutupi skandal mantan tunangan seorang pewaris tunggal keluarga Leonid...
379K 30.8K 69
"Oh, so you're a bad boy? Don't worry, I love bad boy." --- Gretchen Himmerstrand tak pernah--dan tak bisa--punya pacar. Menurutnya, amat sulit menem...
171K 12K 38
Tentang rumah yang tak lagi berbentuk bangunan. Tapi Jeno menemukannya dalam bentuk satu sosok dengan sebuah pelukan hangat yang memenangkan. Sosok p...