My Bad Ify

By Elinwhyn

956K 30.9K 1.6K

[SUDAH TERBIT] "Lo tau? Setidaknya hidup gue nggak hancur-hancur amat semenjak kehadiran lo. Lo... buat hidup... More

ONE: "MR. & MRS. ABSURD"
TWO : SAMBALADO
THREE : MALAM JUMAT KLIWON-AN
FOUR : SHIT! SMOKE!
FIVE : GURIH-GURIH NYOI!!!!
SEVEN : SAHABAT LAMA
NINE : RUMAH SAKIT
TWELVE : ILANA
PENG-UMUM-AN-_-!
THIRTEEN : CEMBURU
EIGHTEEN : SEPERTI POHON
TWENTY : APOTEK STORY
TWENTYONE : COCKROACH
Baca dong...
TWENTYTHREE : THE POWER OF SEEMPACK
TWENTYFOUR : WHATS WRONG?!
TWENTYSIX : AFRAID
^Mbrehe-mbrehe^
THIRTYSIX : QALQALAH
THIRTYNINE : MENYERAH...
FORTYSIX : PULIH
FIFTY : STUCK
FIFTYONE : GOODBYE! (Last Part)
SELESAI
MAU SEQUEL?
OutDaughtered!!!
"Mohon Dibaca"
Si item OPEN PO!!!

FORTYFOUR : WHEN I'M HOME

11.1K 1K 103
By Elinwhyn

Yang gak paham gue yakin bakalan pusing baca part terngaret ini wkwkwk 😂😂

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Ini untuk untuk pertama kalinya bagi Ify setelah beberapa hari tidak dapat masuk ke dalam tubuhnya sendiri dan menikmati tidur yang panjang. Dan ini juga pertama kalinya Ify bangun di tempat yang asing namun sangat nyaman. Padang rumput di atas bukit dengan angin yang berhembus lembut.

"Gue... masih mimpi." Gumam Ify untuk yang kesekian kalinya. Tempat ini sangat indah, semuanya tampak seperti negeri dongeng dengan air terjun besar ditengah danau. Banyak angsa disana serta beberapa rusa.

"Gue... masih mimpi. Gue ngingo!" gumam Ify lagi sambil menangkup pipinya sendiri. Beberapa saaat kemudian ia merasakan panas pada punggungnya. Gadis itu membalikan tubuhnya dan tercengang ketika melihat pemandangan didepannya. Seperti sebuah hutan lebat yang terbakar. Lalu ada bukit ditengah kobaran api yang diatasnya terdapat sebuah rumah yang menyeramkan. Berbeda sekali dengan keadaan dibelakangnya.

"Astaga, gue ini sebenernya ada dimana?" Tanya Ify pada dirinya sendiri.

"Itu tempat buat orang-orang yang berdosa, Sayang."

"ASTAGHFIRULLAH!!!" Ify terlonjak kaget ketika mendapati ada wanita disebelahnya yang berkata demikian. Wanita itu terkekeh geli dan mengusap puncak kepala Ify.

Eh? Tunggu...

"Mam-Mami?" mata Ify membelalak, "Ini Mami kan?!"

Wanita itu mengangguk membuat Ify langsung berkaca-kaca dan sedetik kemudian ia mulai menangis.

"Loh? Kok nangis, sih?" Regina menangkup pipi Ify dan menghapus air mata yang meluruh disana. Dengan sekali tarikan lembut, ia memeluk Ify dan mengusap punggung gadis tersebut yang bergetar. Lama ia memeluknya sampai tangis itu berhenti dan hanya menyisakan isakan kecil.

Ify tidak tahu apakah ini mimpi atau hanya khayalannya belaka, karena disini Mami Regi-nya terasa sangat nyata. Rasa hangat peluknya masih sama seperti yang dulu, dan aroma segar tubuhnya tak berubah sedikitpun. Semakin lama Ify semakin tenang dan mengeratkan pelukannya. Seerat rindu yang selama ini selalu mencekalnya.

"Ify kangen Mami." Kata Ify dengan nada merajuk. Regina tersenyum dan mengelus rambut panjang Ify yang tergerai kusut, lalu dilepasnya rengkuhan tersebut. Ify mengerucutkan bibirnya, tak rela karena pelukan mereka dilepas.

"Mami juga kangen banget sama Ify. Sama Papi juga. Mami kangeeen banget." Balas Regina.

"Ify senang bisa bertemu Mami." Kata Ify dengan mata yang masih basah.

Regina tersenyum lagi dengan senyum yang tak mirip dengannya, namun manis. Wanita itu menyelipkan sejumput rambut ke telinga kiri dan kanannya. "Tapi... Mami nggak senang Ify berada disini." Ujarnya dengan sendu.

Ify mengernyit, "Kenapa? Emangnya Ify bikin kesalahan?"

"Bukan. Tapi kalau Ify disini, Papi sama siapa?" tanya Regina balik.

"Alaah... Orang tua satu itu masih punya istri dan anak. Jadi nggak us---"

"Heh!" tegur Mami, "Ini bibir kok masih tajem aja sih, Nak?" Regina menarik bibir Ify gemas. Ify langsung cengengesan dan kembali memeluk tubuh Maminya.

"Mami, aku mau sama Mami." Kata Ify.

"Mami juga mau Ify disini, nemenin Mami disini." Balas Regina membuat Ify langsung tersenyum senang. "Tapi nanti, bukan sekarang."

"Kenapa nggak sekarang? Apa lagi yang salah?"

"Kamu nggak salah, Sayang. Kamu cuma belum pantas disini." Jawab Regina.

"Emangnya ini dimana? Kenapa Ify dibilang belum pantas disini? Ya elahh, pake syarat apa pula supaya bisa sama Mami?" gerutu Ify.

"Yang jelas kamu kembali ke Papi kamu. Kasihan beliau." Kata Regina.

"Papi nggak akan kesepian, Mi. Justru Mami yang sendirian disini. Ify mau nemenin Mami." Balas Ify. Regina tersenyum dan kembali mengusap rambut Ify dengan sayang. Putri semata wayangnya telah tumbuh dengan cantik.

"Mami bersama Mama kamu." Ujar Mami membuat Ify mengernyitkan dahinya.

"Maksud Mami?" tanya Ify.

Ify menunggu Maminya menjawab, namun wanita itu tak kunjung menjawab. Ify malah merasakan sebuah pelukan dari belakang tubuhnya. Rasa hangatnya menjalar ke seluruh tubuh dan berpusat didadanya. Ify membalikkan badannya dan mendapati sosok wanita yang selama ini hanya dapat ia lihat di selembar foto lusuh didalam kotak pandoranya.

Wanita itu tersenyum dengan senyum yang sama dengan miliknya membuatnya semakin yakin darimana bentuk dagunya berasal. Dagu wanita didepannya runcing dan indah seperti miliknya. Yang membedakan mereka berdua hanyalah tubuh wanita tersebut lebih berisi dan terlihat lebih dewasa.

Regina memegang bahu Ify, "Ini Mama kamu, Sayang. Ayo bilang sesuatu." Ujar Regina di telinga Ify.

"Sesuatu." Kata gadis itu dengan wajah yang seperti baru melihat hal yang mencengangkan didunia.

Regina dan Zanetta sontak tertawa mendengarnya.

Ify masih mematung ditempatnya, sementara Zanetta mulai menggerakan tangannya untuk menyentuh wajah tirus gadis didepannya. Menyentuh anak yang beberapa tahun silam ia lahirkan di rumah kontrakannya sendirian, yang kemudian ia tinggalkan didepan pintu rumah sahabatnya sebelum ia memilih meminum racun tikus.

Ify dapat merasakan getaran itu lagi. Rasanya berbeda seperti ketika Mami Regi menyentuhnya.

"Mama?"

"Iya, ini Mama, Sayang." Kata Zanetta. "Maafin Mama, Nak."

Ify menyentuh tangan Zanetta yang ada diwajahnya, lalu mulai menggenggamnya. Oh, betapa hangatnya kulit wanita ini. Meski berpakaian lusuh dan wajahnya sedikit kusam, tapi wanita didepannya ini masih cantik.

"Ify..." panggil Zanetta membuat gadis tirus itu kembali terfokus padanya.

"Ma-Mama..."

"Maaf karena Mama malah meninggalkan kamu dengan orang lain, bukannya merawat kamu. Maafin Mama, Nak." Dan hati Ify mulai sesak ketika wanita ini menangis. Maka disekanya air mata yang mengalir deras dipipi Mamanya, lalu ia masuk ke dalam dekapan wanita tersebut. Memeluknya erat seerat pelukannya terhadap Regina. Namun kali ini dengan perasaan yang lebih membuncah dan luar biasa.

"Ify cuma lihat wajah Mama dari foto yang Papi kasih." Ujar Ify. Zanetta kembali menitikkan air mata.

"Ify selalu ingin dimimpikan Mama barang sekali. Tapi Mama nggak pernah datang." Kata Ify lagi yang kemudian ikut menangis.

"Sayang..." Zanetta mencium kening Ify lalu membawanya ke dalam pelukannya. Ya Tuhan. Bayi yang dulu ia tinggalkan kini telah tumbuh menjadi gadis cantik yang selalu membuat orang -orang disekitarnya terkejut dengan tingkahnya. Zanetta semakin mengeratkan pelukannya ketika Ify memanggilnya dengan isakan.

"Mama..." isak Ify.

Regina tersenyum haru melihat mereka berdua yang ia sayangi. Di elusnya rambut Ify, lalu ikut bergabung memeluk keduanya.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Papa, kenapa Papa belum ngelakuin apapun buat nyelakain Ify?" tanya Acha tiba-tiba ditengah acara makan malam mereka. Hal itu sontak membuat Fahmi terkejut dan menatap anaknya dengan tak percaya.

"Kamu masih memikirkan hal itu?" tanya Fahmi tak percaya.

"Iyalah. Sebelum Papa berbuat sesuatu, aku bakal tagih terus." jawab Acha dengan santainya.

Brak!

Acha tersentak kaget ketika Papanya tiba-tiba menggebrak meja sembari menatapnya tajam. "Pikiran kamu sudah benar-benar keterlaluan, Cha. Kamu itu terlalu terobsesi dengan Rio!"

Acha terdiam sebentar, ia terkejut karena ini pertama kalinya Papanya membentaknya. biasanya pria itu selalu berbicara lembut padanya. "Aku cinta sama Rio, Pa."

Fahmi mengurut pangkal hidungnya. Kepalanya terasa pusing menghadapi kenyataan bahwa kedua putrinya terpaut hati dengan laki-laki yang sama hingga menyebabkan keduanya dirundung masalah. Ify dengan sakitnya, sementara Acha dengan obsesi yang cenderung membayakan dirinya dan orang lain.

Lihatlah bagaimana teganya gadis itu meminta Ayahnya sendiri mencelakakan orang lain. Gadis itu belum tahu saja siapa yang ingin ia celakakan itu. Mau sampai gadis ini bersujud pun Fahmi takkan mengabulkannya. Sudah cukup dengan kesalahannya dimasa lalu. Sekarang yang ingin ia lakukan adalah bagaimana caranya memperbaiki kesalah tersebut.

Bagaimana caranya agar Ify dapat menerimanya. Dan memanggilnya Papa.

"Lupakan semua itu, Cha. Lupakan Rio. Hubungan kamu dengan dia itu cuma menyebabkan munculnya masalah."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Namun sayangnya penolakan sang Ayah membuat Acha tak puas. Ia ingin menjenguk gadis tirus yang merebut hati pujaan hatinya. Seberapa lebihkah gadis itu dibandingkan dengan dirinya ini?

"Ruang VIP nomor 10."

"Terimakasih, Sus." Acha berlalu dari meja resepsionis dan berjalan menuju lift. Didentingan ke empat, pintu lift terbuka dan ia segera masuk ke dalamnya.

Acha merasa kosong saat ini. Ia ingin melakukan sesuatu tapi entah ingin melakukan apa. Yang jelas kakinya membawa dirinya hingga ke depan ruangan yang di sebut oleh resepsionis rumah sakit tempatnya berada saat ini. Perlahan didorongnya pintu kamar tersebut dan ia mulai berjalan masuk.

"Eh, maaf Mbak! Tunggu sebentar!"

Acha menoleh ketika seseorang berseru demikian padanya. "Ada apa?"

"Tolong pakai masker dan jas ICU dulu." Kata seorang perawat sambil menyerahkan kedua benda tersebut. Acha menerimanya dengan malas, lalu memakainya. Setelah itu ia masuk ke dalam ruangan dan menutupnya rapat... rapat.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Mama kenapa pergi?" Tanya Ify dari pangkuan Mamanya. Kepalanya berada dipaha Zanetta, sementara kakinya disanggah oleh Regina. Kedua wanita itu tadi menarik Ify untuk merebahkan diri dipangkuan mereka.

Zanetta tersenyum, ia menggeleng pelan. "Mama nggak tau kenapa Mama bisa sebodoh itu dan memilih pergi."

"Padahal jika Mama tetap memilih hidup, mungkin Mama nggak akan melewati masa pertumbuhan kamu. Mama bisa merawat kamu seperti ibu-ibu yang lainnya." Zanetta menghela nafas pelan, "Tapi Mama malah bunuh diri dan menyerahkan kamu dengan orang lain."

Ify memperhatikan rauh wajah Mamanya yang sendu. Benar, jika saja dulu Mamanya tidak pergi, mungkin Ify akan merasakan hangatnya pelukan Ibu Kandung sejak bayi. Namun tak dapat dipungkiri kalau dirinya juga bahagia bersama Mami Regina.

"Tapi, Ma... makasih karena Mama udah nitipin Ify ke Mami Regi. " kata Ify.

"Ya... Mama hanya mau menitipkan kamu dengan Mami kamu. Karena Mama cuma percaya sama dia."

Ify tersenyum, "Makasih karena Mama tetap memikirkan hal yang baik untuk Ify. Kalau Mami menitipkan Ify dengan orang lain, Ify nggak tahu gimana kehidupan Ify."

Zanetta mengangguk dan menunduk untuk mengecup kening Ify dengan sayang.

Ify beralih menatap Regina, tangannya menggenggam tangan Maminya tersebut. "Mami, makasih juga karena Mami udah mau rawat Ify dan menyayangi Ify dari bayi sampai besar. Kalau nggak ada Mami, Ify nggak tau harus gimana."

Regina mengangguk, "Kamu itu putri kesayangan Mami. Jelas Mami sayang banget sama kamu."

Ify tersenyum lebar. Huhh, betapa bahagianya memiliki dua Ibu seperti mereka. "Gimana pendapat kalian tentang Mami Nia?" Tanya Ify tiba-tiba. Karena jangan lupakan wanita yang satu itu. Ia juga ibu yang terbaik dihidupnya selain dua ibunya yang lain.

"Dia baik."

"Dia cantik."

"Dia sayang banget sama kamu."

"Dan lagi-lagi kamu harus bersyukur memiliki ibu tiri seperti dia."

Ify mengangguk dan tersenyum. Benarkan, berarti Papinya benar-benar tidak salah pilih. Ify tidak mau menanyakan bagaimana perasaan Mami Regi mendapati Papi menikah lagi, karena Ify yakin wanita itu ikhlas setelah melihat rona bahagia dan kerelaan itu terpancar di wajahnya.

"Ify mau disini." Kata Ify, "Bersama kalian."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Dan Acha meraih bantal yang ada dibawah kepala Ify. Mengambilnya dengan kasar dan kemudian melepas alat bantu pernapasan Ify dengan sekali tarikan. Ia letakkan bantal tadi di atas kepala Ify lalu... ia tekan.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Tanah berumput yang mereka duduki tiba-tiba bergetar. Dan Ify merasakan sesak yang amat sangat didadanya, seperti nafasnya akan terputus saat itu juga.

"Ify, kamu kenapa, Nak?" Tanya Zanetta cemas.

"Hhhk... If-Ifyhh... hhh..." Ify tak sanggup melanjutkannya, rasanya seperti tercekik oleh tangan yang tak kasat mata.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Mati lo Ify!" Hilang sudah akal sehat Acha. Gadis berponi itu menekan bantal di wajah Ify dengan kuat hingga tubuh Ify mengejang. Bahkan gadis itu menduduki perut Ify agar memudahkannya untuk menghilangkan nyawa gadis tersebut.

Tit... tit... tit...

Detak jantung Ify mulai melemah, seiring dengan lemahnya kejangan tubuh gadis itu. Acha tertawa puas, namun ia masih belum melepas bantal dari wajah Ify.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Kobaran api semakin membesar, sementara air terjun di seberangnya tiba-tiba berhenti. Angsa dan rusa berlarian meninggalkan danau, serta rumah diatas bukit berapi itu runtuh sendiri bersamaan dengan semakin sulitnya Ify bernafas.

"Jangan biarkan nafas kamu berhenti, Sayang." Kata Regina, "Tarik nafas kamu dengan teratur."

Ify berusaha mengikuti kata-kata Maminya, namun semua itu sangat sulit.

"Jangan, Sayang. Kamu belum boleh ada disini." Kata Zanetta.

"Jangan biarkan dia membunuh kamu."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Tiiiiiiiiiiitttttt....

Acha tertawa puas, ia bertepuk tangan dengan heboh dan menepuk bantal dengan kuat. Ia terlihat senang sekali, namun terlalu berlebihan. Setelah ini tidak akan ada lagi Ify yang mencuri Rio-nya. Rio akan kembali padanya. Begitu yang gadis ini pikirkan. Ia menggeram senang, namun terlihat mengerikan.

Ceklek...

Bersamaan dengan hal itu, pintu ruangan terbuka lebar dan munculah sosok Rio bersama Papanya dan orang tua Ify.

"ACHA?!" Seru Rio dengan mata terbelalak melihat bagaimana posisi duduk Acha yang dengan kejamnya menindih Ify. Rio menatapnya dengan tak percaya, apalagi melihat tangan Acha bertengger di atas bantal.

Tiiiiiiiiiiitttttt....

"APA YANG LO LAKUIN, BRENGSEK?!" Rio mendorong Acha dengan kasar sehingga gadis itu jatuh tersungkur ke lantai. Buburnya terhantuk lantai dan berdarah. Gadis itu meringis kesakitan.

"APA YANG LO PERBUAT, HAH?!" Rio tampak cemas dan nyaris kalap ketika melihat mesin pendeteksi detak jantung milik Ify menunjukkan garis lurus dengan suara yang begitu nyaring. Cowok itu melempar bantal yang digunakan Acha tadi sembarangan dan menangkup wajah Ify.

"Bun?! Bundaa?" Rio mengguncang tubuh Ify. Salah satu tangannya memencet bel dengan tak sabaran. Namun ia sudah terlanjur kesal dan melempar kotak tisu yang berada di nakas ke arah Acha.

"BRENGSEK LO!!!" Amarahnya meluap. Sementara itu, Nia dan Hendra juga menghampiri Ify yang terbaring di ranjang namun seperti tak memiliki kehidupan lagi. Nia menjerit histeris dan ketakutan.

Bukan hanya mereka, Fahmi yang juga melihat bagaimana putri bungsunya itu mencoba untuk membunuh kakaknya sendiri. Itu sangat menyeramkan dan berhasil membuat kakinya lemas. Ia terduduk dilantai dengan perasaan hancur.

Tiiiiiiiiiiitttttt....

"PANGGIL DOKTER! CEPAT!" teriak Hendra dan Rio langsung bergegas keluar memanggil pihak medis. Tak berapa lama kemudian mereka datang dan langsung melakukan penanganan terhadap Ify.

"Semuanya silahkan keluar dulu, kami akan mencoba membantu Ify." Kata salah satu perawat.

Nia yang masih menangis mencoba menarik Hendra yang sedari tadi tampak kosong menatap tubuh Ify. Lalu ia juga menarik Rio yang terlihat hampir kalap dengan rahang yang mengeras.

Sementara Acha masih terdiam di lantai, seperti baru tersadar akan sesuatu. Beberapa meter didepannya, Papanya menatapnya dengan nanar. Lalu laki-laki tersebut berdiri dan keluar dari ruangan tanpa mempedulikannya.

"Mbak, maaf. Tolong keluar dulu, kami akan menangani Ify terlebih dahulu." Seorang perawat menuntunnya keluar, lalu menutup pintu ruangan dengan rapat sehingga ia harus berhadapan dengan orang-orang yang menatapnya tajam.

"Apa yang udah lo lakuin brengsek?!" Rio tiba-tiba mendorongnya keras hingga terpojok di dinding. "Lo mau coba bunuh Ify?!"

BUUGH!

"Arghhh!!!"

BUUGH!

Kepalan tangan Rio langsung mengeluarkan darah setelah ditinjunya dinding disebelah kepala Acha dengan kuat. Hal itu membuat Acha ketakutan setengah mati. Wajah Rio memerah karena amarah dan tatapan matanya benar-benar buas.

"Sudah gue bilang kalau GUE... GAK AKAN PERNAH CINTA SAMA LO!"

BUUGH!

"Urusan lo itu dengan gue! Bukan dia! Dia gak punya salah apa-apa sama lo dan LO DENGAN BANGSATNYA mau ngebunuh dia!" Rio menunjuk wajah Acha. Hampir saja tangannya bergerak memukul wajah cantik tersebut, namun hal itu masih dapat ia tahan.

Nia mendekati Rio dan mengusap punggungnya, "Rio, sudah, Nak."

Rio berusaha mengatur laju nafasnya yang terseng-sengal, namun tatapan bengisnya tak hilang sedikitpun menghunus bola mata gadis didepannya.

"Lo gila, Cha! Dan ini gak bakal bikin gue suka sama lo!" Kata Rio tajam, "Yang ada gue bakal semakin benci dengan lo!"

Rio mengusap wajahnya dengan frustasi, "Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Ify... Gue bersumpah ini terakhir kalinya lo melihat gue dan gue pastikan lo nggak akan pernah bisa keluar dari penjara!"

Lalu cowok tersebut membiarkan Nia menarik tubuhnya dan duduk di kursi koridor, disebelah Papi Ify. Meski juga dirundung ketakutan, tapi ia harus berpikir positif dan menenangkan orang tua Ify yang tentunya lebih merasa ketakutan dibandingkan dirinya.

Yang bisa ia lalukan sekarang hanyalah berdoa agar gadis itu masih mau bertahan dan tidak meninggalkan dirinya.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Ify sudah tenang dan dapat duduk kembali diantara kedua Ibunya. Kobaran api masih membesar, air terjun didanau masih mengering, namun tanah tak lagi bergetar. Ify menatap Regina dan Zanetta bergantian, "Ify mau disini, bersama kalian." Katanya penuh harap.

Hal itu sontak membuat dua wanita dewasa itu terkejut. Zanetta menggelengkan kepalanya, "Tempat kamu bukan disini, Sayang. Pulanglah. Kasihan Papi kamu. "

"Betul, Fy. Mami melarang kamu untuk disini lebih lama lagi. Rio juga pasti menunggu kamu."

Ify menatap keduanya dengan bimbang.

Air terjun perlahan mengalir lagi.

Api di seberang hampir berkobar normal.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Siapkan defribillator!" Kata dokter yang menangani Ify. Perawat disampingnya langsung mengambilkan alat kejut tersebut dan memberikannya kepada sang dokter. Dokter tersebut menurunkan selimut yang menutupi tubuh Ify, lalu mengoleskan gel bening didadanya.

"200 Joule, all clear?!" Seru sang dokter membuat semua perawat menjauh dari ranjang dan membiarkan dokter itu saja yang berada didekat Ify.

"Clear!" Sahut mereka.

Dan segera dokter tersebut menempelkan dua alat seperti setrika ke dada Ify hingga tubuh gadis itu terangkat dan kejang, lalu kembali lunglai. Namun garis di alat rekam jantungnya masih menunjukkan garis lurus dengan bunyi nyaring, menandakan tak ada pengaruh apa-apa.

.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Tapi Ify mau bersama kalian." Kata Ify penuh harap.

Zanetta berdiri dan menarik Ify bangkit dari tanah. Ia menangkup pipi tirua gadis itu dan menatap matanya dengan lekat. "Bahkan Mama ingin sekali bisa bersama Ify selamanya, mengganti tahun-tahun yang terbuang karena Mama pergi." Ujarnya.

"Tapi itu bukan sekarang. Ify harus pulang. Dan Mama pun masih harus menjalani hukuman disana." Zanetta menunjuk kobaran api yang menyala ketika telunjuknya mengarah ke sana. Jauh dibawah bukit yang mereka pijak saat ini.

Ify mengernyitkan dahi, "Maksud Mama?"

"Kamu sudah besar untuk bisa mengerti kalau baik dan buruk itu adalah hal yang sangat berbeda. Kamu akan tinggal nyaman disini kalau kamu berbuat baik, dan kamu akan dihukum disana kalau kamu berbuat buruk." Zanetta kembali menunjuk kobaran api tersebut.

"Neraka?"

"Ya."

Ify terdiam. Sekarang ia tahu mengapa Mamanya tampak berbeda dengan Mami yang berpakaian bersih dan wangi. Apakah ini karena dosa yang berkaitan dengan kehadirannya?

"Kamu bukanlah kesalahan yang buruk, Sayang. Walaupun orang-orang bilang kamu lahir karena kesalahan, tapi kamu kesalahan terindah Mama. Yang salah disini Mama, bukan kamu." Ujar Zanetta, "Pulang, Sayang. Perbaiki hidup kamu."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"270 Joule! All clear?!" Seru dokter itu lagi setelah melihat tak ada perkembangan dari jantung Ify.

"Clear!" Sahut perawat lainnya. Dan lagi, tubuh mungil itu terangkat dan terhempas ke ranjang tanpa memberikan harapan.

"360 Joule! All clear?!"

"Clear!" Seru yang lain. Sekali lagi tubuh itu terangkat dan terhempas. Lalu sekali lagi dan.... dokter itu meletakkan alat kejut jantung tersebut.

Tiiiiiiiiiiitttttt....

Namun sepertinya tidak ada lagi harapan untuk kehidupan yang selanjutnya karena jantung Ify telah berhenti.

Para perawat kembali mendekati tubuh Ify dan mulai melepas alat-alat medis yang meliliti Ify.

"Catat, Sus. Selasa, 12 September pukul..." dokter tersebut melirik jam tangannya, "Pukul 16:25."

Dokter tersebut mengusap wajahnya pelan dan perlahan berjalan keluar ruangan. Namun saat ia hendak membuka pintu...

Tit... tit... tit...

"Dokter! Jantungnya kembali berdetak!"

Dokter itu membalikan tubuhnya dan kembali menghampiri tubuh Ify. Dilihatnya alat rekam jantung yang belum terlepas telah menunjukkan jantung gadis tersebut kembali berdetak dengan signifikan. Semuanya bernafas lega dan mengucapkan syukur. Segera dokter tersebut melangkah keluar untuk memberitahukan hal ini.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

--
"Jaga diri kamu baik-baik, Sayang." Ujar Mamanya.
--

Perlahan kelopak mata itu bergerak, dan sedetik kemudian terbuka sedikit.

--
"Jangan tinggalkan Papi kamu." Kata Mami Regina.
--

Matanya menyipit, berusaha menghalau silau cahaya lampu yang menyala. Beberapa saat kemudiam ia baru bisa membuka mata, namun semua terlihat kabur. Sekujur tubuhya terasa sakit dan ia tidak mampu mengeluarkan suara.

--
"Lebih hargai hidup kamu setelah ini."
--

Ify memejamkan matanya sebentar saat kata-kata Mama dan Mami Regi-nya kembali terngiang di kepalanya. Entah kapan itu terjadi, namun Ify masih sangat ingat jelas tentang pertemuan mereka. Sangat indah dan Ify ingin kembali kesana. Suatu saat nanti yang pasti.

Matanya menatap langit-langit ruangan yang putih. Ia tak ingat mengapa dirinya berada disini, namun yang jelas saat ini ia ingin melihat seseorang. Seseorang yang beberapa waktu yang lalu menjadi orang yang paling dibencinya. Namun demi Mama, Ify ingin bertemu dengannya.

--
"Papa kamu juga menunggu kamu, Sayang. Dia ingin bertemu kamu." Ujar Mamanya. Ify mengernyit tak percaya, ia menggelengkan kepalanya.

"Dia nggak pernah peduli dengan Ify, Ma." Balas Ify. Benarkan? Bahkan laki-laki itu berusaha memisahkannya dengan Rio walau ia tak yakin beliau tahu siapa dirinya.

"Dia mengenali kamu." Kata Zanetta seolah dapat membaca pikiran Ify. Ify menatap Mamanya tersebut lama.

"Dia nggak tahu Ify ini anaknya." Ujar Ify.

"Dia tau, Sayang. Dan dia sedang menunggu kamu bangun." Balas Zanetta, "Bangun dan temui dia, Sayang. Dia Papa kandung kamu."
--

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

PLAK!

PLAK!

PLAK!

Lorong koridor yang sepi tersebut menjadi saksi bagaimana brutalnya Fahmi memukul dirinya sendiri.

BUGH!

BUGH!

"PAPA!"

BUGH!

PLAK!

"PAPAA, BERHENTI PA!"

PLAK!

"PAPA, STOP IT! Hiks...."

Fahmi terduduk dilantai, punggungnya seakan luruh bersama beban yang terasa semakin berat. Sudut bibirnya mengeluarkan darah karena robek akibat tamparan tangannya sendiri serta beberap lebm yang ia ciptakan dibawh mata.

Bukankah ia Ayah yang buruk?

Harusnya yang sekarat didalam sana adalah dirinya! Harusnya yang Acha coba bunuh itu adalah dirinya! Dan tak seharusnya Tuhan menitipkan dua putri kepada laki-laki pecundang macam dirinya.

Hukuman ini memang pantas untuknya, tapi yang ia sayangkan mengapa harus melalui kedua putrinya? Kenapa Tuhan tidak langsung memberi hukuman langsung ke dirinya. Ia tidak becus mendidik Acha, dan dirinya tidak pernah menjadi pelindung bagi Ify. Justru mungkin dirinya yang menggiring gadis itu bertemu dengan celaka.

Sementara itu Acha menahan tubuhnya yang bergetar hebat. Wajah gadis itu banjir air mata sejak Rio mendorongnya dari ranjang Ify. Gadis itu mendekati Papanya dan berjongkok didepannya.

"P-Papa..." panggilnya pelan.

"Dia kakak kamu, Cha..." kata Fahmi ditengah isakan kuatnya. Kewibawaan dan arogansinya hilang entah kemana. Yang ada hanyalah pria lemah yang kalah dengan keadaan.

"Dia kakak kandung kamu. Dia yang kamu coba bunuh!" Sambung Fahmi yang sukses membuat Acha mematung. Nafasnya tercekat ditenggorokan.

"M-maksud Papa apa?" Tanya Acha. Namun Fahmi tak sanggup mengeluarkan suara, laki-laki itu menangis sesenggukan.

"Maksud Papa apa?" Tanya Acha lagi, "Papa jawab!"

"Dia anak pertama Papa. Dia kakak kamu." Ujar Fahmi, "Sebelum kamu lahir, dia lahir lebih dulu dari wanita lain selain Mama kamu."

Acha terdiam mendengarnya.

"Dia kakak kandung kamu. Dia yang mau kamu bunuh tadi." Fahmi menunduk lemah. Dia adalah Ayah yang gagal.

"Aku nggak ngerti, Pa. Di-dia? Ify?"

"Ya!"

Dan rasanya... Acha ingin terjun ke jurang yang paling dalam dan bertemu dasarnya. Rasanya ingin ia hancurkan tubuhnya setelah mengetahui bahwa Ify... adalah Kakak kandungnya. Dan adik jenis apa dirinya yang mencoba membunuh kakaknya sendiri?

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Keesokkan harinya, Rio kembali melewati lorong-lorong rumah sakit untuk melihat keadaan Ify lagi. Kemarin adalah hari yang mengerikan. Entah bagaimana cara kerja Tuhan hingga ia dapat membolak-balikkan keadaan dari kesedihan menjadi kelegaan.

Didetik-detik ia dan yang lain menanti dokter menangani Ify, suasana begitu tegang. Amarah dan rasa takut berkumpul dan menggumpal di benaknya. Menghilangkan pikiran jernihnya dan hampir saja ia memukul Acha walau hal itu amat sangat oantas diterima gadis tersebut.

Namun setelah itu, saat dokter yang menangani Ify mengatakan bahwa Ify telah melewati masa kritisnya membuatnya senang bukan kepalang. Hahh, ia yakin gadis itu belum mau meninggalkannya. Seberat dan sesakit apapun itu ia pasti bisa bertahan.

Dan mengenai Acha, gadis itu langsung dibawa pergi oleh Papanya entah kemana. Rio tak peduli tentangnya, bahkan kalau bisa gadis itu jangan pernah muncul lagi. Tidak ada tuntutan dari keluarga Ify karena semua sepakat untuk tidak berurusan dengan keluarga Limumba lagi.

Langkah gontai Rio membawanya ke depan ruangan ify, diputarnya engsel pintu dan perlahan pintu terbuka. Ia masih tak melihat Ify. Cowok itu menutup pintu dan berjalan ke arah Ify dengan langkah lemas. Barulah ia mendongak ketika tepat berada disebelah ranjang Ify.

"Assalamualaikum..."

Rio membelalakan matanya saat mendengar salam yang keluar dari bibir mungil Ify. "I-Ify?!"

Ify tersenyum manis, "Jawab dulu, Yah."

Rio meneguk ludahnya kasar, "Wa-Waalaikum salam..."

Ify tersenyum lagi dan mengulurkan tangan kanannya yang tak diinfus, meminta Rio menggenggamnya. Dan cowok itu langsung meraihnya.

"Ify..." Rio menyentuh pipi Ify dan mengusapnya lembut. "Alhamdulillah... akhirnya kamu bangun."

Cowok itu langsung memeluk Ify erat seraya terus mengucapkan syukur. Lalu dilepasnya dan kembali menangkup pipi Ify, ditatapnya wajah itu dengan lama. Terutama senyumnya yang masih terhalang oleh alat bantu pernapasannya.

"Aku kangen kamu." Kata Rio sambil menatap mata Ify.

Wajah pucat Ify merengut, "Kok aku-kamu?!" Protesnya.

Rio tak menjawab, ia terus saja menatap Ify yang juga menatapnya. Ify tersenyum senang saat menyadari pancaran cinta Rio yang begitu kuat dan didetik berikutnya tubuh lemahnya kembali dipeluk Rio.

"Makasih udah mau bangun. " ujar Rio lembut, "Ayah cinta banget sama Bunda."

Ify tersenyum lagi dan lagi saat puncak kepalanya dicium oleh Rio.

"Bunda juga kangen Ayah."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Assalamualaikum... 😆😆😆

Gue tau kelean kecewa sama gue karna cerita ini hiatus ampe sebulan lebih bahkan nyaris 2 bulan ckck 😂

Maafkeun diriku yang masih dalam keadaan terkejut dengan dunia baru *halahh

Gue always nulis guys, tapi gak pernah kelar. Gue punya ide banyak banget, tapi gak pernah jadi tulisan.

Dan kesalahan terfatal selama gue nulis MBI adalah "Kenapa gue jadi bikin alurnya begitu, kan padahal awalnya pengennya begini, aishh!"

Nggak mungkin kan gue hapus part yang alurnya "begitu" demi ngeganti jadi yang "begini"?
Ntar yang ada kalian bingung and leave me alone *aishh. Dan itu make me stuck in last part 😯. Hadehh

Gue harap setelah ini MBI lancar lanjut seperti dahulu kala. Amienn.

Thx udah baca dan always semangatin dakuhh. Jangan lupa Vomment yaaa.

Dah ah... bye muahhhh 😗

Continue Reading

You'll Also Like

114K 10.7K 45
Berawal dari ujian kenaikan kelas yang dilaksanakan dengan urutan nomor ujian berdasarkan abjad nama setiap murid. Mencari tahu sesuatu yang membuatn...
5.4M 185K 48
Edelwiss Sanoh Paillin seorang mahasiswi tingkat 1 di sebuah kampus elit ternama bernama Acropolis. Edelwiss atau biasa di panggil Edel gadis berwaj...
10.4K 189 11
Seorang suami yang ingin mempunyai buah hati. Namun ia belum mendapatkan anak 1 pun walau pun sudah hampir 6 tahun ia menikah. Rio memutuskan untuk p...
7K 1.6K 44
Ambis itu keren abis! Yakin? Kalau ambis-nya udah kronis, gimana? Katanya, anak ambis itu selalu didekati teman sekelas karena banyak benefitnya. Aka...