CEO in Training

By KinantiWP

316K 10K 853

Semua orang bermimpi menjadi CEO, atau menikahi seorang CEO. Tapi tidak dengan Moira Latief. Setelah menghind... More

[1] New Diary
[2] The Talk
[3] First Time
[4] Is He Gay?
[5] Too Sexy For Office
[7] Shake It!
[8] That Bitch
[9] Weekend Duty
[10] Ugly Dress
[11] Brilliant Idea
[12] One Fine Day
[13] Marketing Support
[14] Lazy Ass
[15] Evil Bitch
[16] Old Friend
[17] Disaster
[18] Why Him?
[19] Unexpected Meeting
[20] Ex Attact
[21] Drama Queen
[22] Nomat?
PERFECT
BUKAN UPDATE
SEGERA TERBIT
PRE ORDER

[6] Make Friends

7.7K 437 24
By KinantiWP

Kamis, 1 Desember
7.12 WIB
Mobil Papa

Hari ini kondisi Mama sepertinya sedang buruk. Ia tidak keluar kamar untuk sarapan bersama aku dan Papa. Tadi aku berpamitan ke dalam kamarnya dan Mama hanya berbaring dengan wajah pucat menahan sakit.

"Moi berangkat kerja dulu ya, Ma," pamitku sambil mencium kening Mama.

Mama tidak membuka matanya, hanya mengeluarkan gumaman tak jelas. Aku bener-bener nggak tega ngeliat Mama kesakitan. Papa bilang kita hanya bisa memberikan support semaksimal mungkin, karena keputusan untuk menjalankan pengobatan harus datang dari Mama sendiri. Semoga saja Mama akhirnya mau dioperasi.

Dokter sudah menjelaskan bahwa kemungkinan kesembuhan Mama bisa lebih besar jika dia mau dioperasi untuk angkat rahim. Tapi sampai sekarang Mama masih terlalu takut untuk menyetujui prosedur itu. Jadi sementara ini Mama hanya minum obat dan melakukan kunjungan rutin ke rumah sakit untuk sesi kemoterapi. Kadang aku heran, Mama kan dulu dokter, tapi kenapa dia enggan dioperasi, padahal dia tahu hal itu perlu dilakukan.

Aku cuma bisa berdoa semoga akhirnya Mama bisa dibujuk untuk operasi. Aku rindu pada Mama yang dulu ceria dan selalu memanjakanku.

Udah ah, aku jadi sedih kalo bahas Mama.

Bye.

---

---

(masih) Kamis, 1 Desember
8.32 WIB
Ruang Kerja CEO

AKU PUNYA TEMEN! Horeee...

Jadi seperti kemarin, aku dateng ke kantor lebih cepat dan langsung menuju ke pantri untuk bikin susu coklat.

Di sana, di dalam pantri sedang duduk dua orang cewek yang lagi mengobrol. Si resepsionis kantor yang cantik dan Sita, OB kantor yang ngomongnya pake logat Betawi.

Mereka langsung berdiri dari duduknya saat melihat aku datang. "Loh kok, berdiri? Santai aja. Aku cuma mau bikin susu, kok."

Mendengar ucapanku mereka langsung kembali duduk dan diam dengan canggung. Aku dengan santai membuka lemari kantor dan mengeluarkan satu sachet susu coklat, memasukan serbuk susu ke dalam shaker, memasukan air panas, mengocoknya, dan menuangkan ke dalam gelas. Susu coklatku yang sempurna dengan uap panas yang mengepul begitu menggoda.

"Kok susunye di kocok sih, Bu?" tanya Sita.

"Hush!" desis Si Resepsionis menegur Sita.

Aku tersenyum dan ikut duduk di kursi yang kosong. "Aku kalau bikin susu emang kayak gitu, dikocok, bukan diaduk. Rasanya jadi lebih enak, lebih rich, dan berbuih."

"Oh gitu ya. Besok-besok saya aje yang bikinin, Bu. Ibu tinggal telepon aje kemari," tawar Sita.

"Beneran nggak apa-apa?" tanyaku.

"Yee, si Ibu, Kaga ngape, pan saya emang di sini kerjanya bikin minuman kalo ade yang minta."

"Oke deh, besok aku minta bikinin ya. Eh, jangan panggil Ibu dong. Aku kan belom tua," ucapku.

"Rebes, Bu," sahutnya.

"Makasih ya, Sita. Eh, kamu namanya siapa?" Aku mengulurkan tangan kepada si resepsionis manis yang duduk di seberangku.

"Saya Wendi, Bu," ucapnya sambil meraih tanganku dan tersenyum canggung.

"Maaf ya kita belum kenalan, si Ben soalnya cuma ngenalin aku sama karyawan-karyawan yang ada di dalem." Aku membalas senyumannya. "Aku dipanggil Kakak aja ya, jangan di panggil Ibu. Aneh banget di panggil Ibu sama orang-orang kantor."

"Kaga enak pan, Bu, sama yang laen," sahut Sita.

"Iya, Bu. Nggak enak sama yang lain."

"Nggak apa-apa, yang lain nggak usah tahu. Eh, aku balik ke ruangan dulu ya." Aku bangkit dari dudukku.

"Saya juga mau ke depan nih." Wendi ikut bangun dari kursinya.

Aku berjalan mendahului, saat hampir mencapai pintu pantri aku mendengar Wendi bicara, "Sit, nanti makan siang bareng ya."

"Eh, aku mau dong ikut makan siang bareng. Aku bosen makan di ruangan terus. Boleh ya?" tanyaku.

"Hah?" Wendi kelihatan terkejut.

"Ya bole lah, Bu ... Eh ... Kak," jawab Sita sambil menyikut Wendi dan memamerkan cengiran lebarnya.

"Oke, nanti kabarin ya kalau udah mau keluar makan siang. Wendi, nanti kalau Ben dateng tolong kasih tau aku, ya."

"Baik, Bu ... Eh ... Kak," sahutnya.

Aku berlalu kembali ke ruangan dan dengan bangga memberikan laporan bahwa aku sudah punya DUA TEMAN di kantor ini.

Tadinya aku pikir aku akan terus-terusn menderita di bawah pengawasan Ben dan terkurung di ruanganku setiap saat. Tapi aku seneng akhirnya sekarang aku nggak harus makan sendirian di ruangan ini.

Anyway, barusan si Wendi ngabarin kalo Ben udah dateng. Bentar lagi itu harimau pasti nyelonong masuk ke ruanganku tanpa pake ketok pintu. Emang nggak ada sopannya tuh orang. Untung ganteng, kalo jelek udah aku tendang dia berani memperlakukanku seenak udelnya.

So, bye for now.

---

---

(masih) Kamis, 1 Desember
13.02 WIB
Ruang Kerja CEO (lagi)

Aku baru balik ke ruangan setelah makan siang sama dua teman baruku. Cieee... akhirnya aku punya temen. Hahahahaha... Norak ya aku.

Selain ngobrol sama Sita dan Wendi, selama makan siang aku juga sempet ketemu sama beberapa kurir Laksamana Group dan kenalan sama mereka. Banyak yang belum tahu bahwa aku adalah pengganti Papa, tapi aku justru seneng sih, jadi mereka nggak canggung di depanku.

Oh ya, tadi pas jalan ke warung gudeg dan balik ke kantor aku sempet memperhatikan ruko-ruko dengan plang Laksamana Group. Di sepanjang jalan ini memang ada beberapa ruko yang digunakan oleh perusahaanku, termasuk ruko di samping kantor pusat yang merupakan gudang utama untuk daerah Jakarta Barat. Setiap kota minimal punya satu gudang besar, sebuah kantor pelayanan prima, dan beberapa ratus agen. Aku tahu data ini dari hasil membaca laporan bagian operasional yang dikirimkan Ben untukku.

Ngomong-ngomong soal Ben, hari ini dia udah nggak terlalu sewot lagi sama bajuku. Mungkin karena hari ini aku memilih menggunakan blouse dan celana panjang bukan dress seperti biasanya. Sebenernya bukan karena Ben protes sih aku hari ini nggak pake dress, tapi tadi pas nyobain celana panjang ini ternyata masih muat, dan aku seneng karena ternyata aku emang cuma kebangetan seksi aja bukan gendut. Hahahahaha.... Jadi aku memutuskan untuk pake celana aja deh.

Tapi si Ben kayanya merasa hari ini aku nggak pake dress karena dia. Soalnya pas masuk dia sempet merhatiin penampilanku dan manggut-manggut sendiri tanpa berkomentar. Aku juga males sih nanyain kenapa dia manggut-manggut, jadi aku biarin aja, daripada aku nanya terus kena semprot lagi sama dia.

Aku juga sempet nanyain sama Ben tentang sekretaris alias asisten Papa yang sampe hari ini belum nongol juga. Masa iya ada orang kerja tapi empat hari berturut-turut nggak masuk, pasti ada dong alesannya.

Tapi si Ben cuma jawab, "Aku nggak tahu."

"Dih, enak banget dia nggak masuk, nggak ada yang tahu alesannya, trus dia nggak kena potong gaji, gitu?"

"Biarin aja, nggak penting," tukas Ben.

"Pentinglah! Buang-buang uang aja ngegaji orang yang nggak professional kaya gitu. Mending kamu cariin aja penggantinya," ucapku.

"Kamu pikir segampang itu nyari pegawai?"

"Pengangguran di Jakarta tuh banyak, apa lagi perusahaan kita udah punya nama, seharusnya gampang dong cari karyawan baru apa lagi cuma level asisten," omelku.

"Jangan sok tahu! Udah lanjutin baca dan nanya yang penting-penting aja."

Asli kalo bukan karena Papa yang nyuruh aku belajarnya didampingin sama dia, udah aku injek batang lehen nih laki. Belagunye nggak ketulungan, untung mukenye cakep. Eh kok aku jadi ikutan kaya Sita pake bahasa Betawi. Hahaha...

Tuh, yang lagi diomongin kayanya punya radar, tiba-tiba nongol. Udah dulu ya.

Bye.

---

---

(masih) Kamis, 1 Desember
17.33 WIB
Mobil Ben

Jangan kaget ya baca keterangan tempat di mana aku sedang berada sekarang, karena aku terpaksa ikutan di mobilnya karena Pak Hendra harus nganter Mama dan Papa ke rumah sakit.

Tadi sekitar jam tigaan Papa sempet telepon ke kantorku, "Moi, hari ini kamu bisa nggak pulang sendiri?"

"Kenapa, Pa?" tanyaku.

"Papa butuh Pak Hendra untuk nganter Mama ke dokter," ucap Papa di seberang telepon.

"Mama kenapa, Pa?" tanyaku.

"Sepertinya keadaan Mama masih belum membaik sejak tadi pagi. Papa udah telepon dokter dan dokter praktek jam lima," jelas Papa.

"Ya udah, sekarang aku suruh Pak Hendra pulang jemput Papa."

Aku yang lagi serius ngomong sama Papa mendadak berhenti karena Ben menarik HPku.

"Om, Tante sakit lagi?" ucap Ben pada Papa. Aku baru tahu kalau Ben manggil Papaku dengan panggilan Om bukan Bapak seperti selayaknya seorang bawahan. "Kalau gitu nanti Moira biar saya yang antar pulang ... Iya, Om ... Baik ... Salam buat Tante ya, Om."

Entah apa yang dibicarakan Papa pada Ben tapi sepertinya keputusannya sudah bulat bahwa Ben akan mengantarku pulang. Ben meletakan ponselku kembali ke atas meja setelah selesai bicara pada Papa.

"Nanti aku yang anter kamu pulang. Sekarang kamu telepon aja Pak Hendra," perintah Ben.

Aku tadinya mau protes karena diperintah-perintah, tapi karena kepikiran Mama aku jadi malas berdebat sama Ben. Jadi akhirnya aku menghubungi nomer telepon Pak Hendra untuk menyuruhnya pulang.

Setelah itu aku seperti tidak bisa berkonsentrasi untuk memikirkan pekerjaan. Beberapa kali Ben menegurku dan menyuruhku melanjutkan membaca. Aku hanya mengangguk patuh tanpa banyak berkomentar ataupun bertanya. Syukurlah tadi Papa udah ngabarin aku kalau Mama nggak perlu di rawat, jadi aku bisa agak tenang.

Hampir jam lima saat Ben menutup laptopnya dan menyuruhku bersiap-siap pulang.

"Kamu mau pulang ke rumah atau mau nyusul orang tua kamu ke rumah sakit?" tanya Ben saat kami baru masuk ke dalam mobilnya.

"Pulang saja," jawabku singkat.

"Tumben kamu nggak bawel," komen Ben menyindirku.

Aku males berantem sama dia jadi aku hanya mengangkat bahu dan bertahan dalam diam. Pada akhirnya sepanjang perjalanan aku dan Ben hanya diem-dieman. Ben juga sepertinya tidak suka mendengarkan radio, jadi sekarangpun aku lagi nulis tanpa ada suara apapun selain bunyi sahut-sahutan kelakson di luar, sementara si Ben lagi ke ATM.

Kayaknya sih dia sekalian ngerampok karena ini udah lama banget loh, sampai aku sempet nulis sepanjang ini.

Ahh udah dulu ya. Aku nggak tahu nih mau cerita apa lagi.

So, bye for now.

---

---

(masih) Kamis, 1 Desember
22.13 WIB
Kamar Kece

Aku udah mau tidur, tapi aku pengen cerita dulu.

Tadi mama pulang dari rumah sakit nggak lama setelah aku dan Ben sampai di rumah. Tadinya aku kirain si Ben bakal ngedrop aku dan langsung pulang, ternyata dia turun dan nunggu sampai Papa dan Mama pulang.

Setelah Mama pulang, aku nganterin dia ke kamarnya dan kita ngobrol-ngobrol. Aku sempet tanya apa yang tadi dokter bilang tentang kondisinya, tapi Mama nggak mau jawab. Ia malah mengalihkan pembicaraan, "Ben baik ya, Moi."

"Baik apanya? Dia tuh judes, Ma," keluhku.

"Itu buktinya dia mau nganterin kamu pulang, udah gitu nungguin sampe Mama dan Papa sampe rumah. Apa namanya kalo bukan baik?"

"Ya, mungkin dia pengen ketemu sama Papa kali."

"Kamu nggak suka sama dia?"

"Bukan nggak suka sih, tapi gimana ya, dia tuh nyebelin, Ma. Suka marah-marah nggak jelas, suka nggak mau jawab pertanyaan aku, ketus, udah gitu dia juga kayaknya nganggep aku nggak becus jadi bosnya," aduku pada Mama.

"Mungkin dia hanya berusaha tegas sama kamu. Kalau kamu dibaik-baikin nanti malah kamu jadi males belajarnya. Laksamana Group butuh kamu, Moi," ucap Mama.

"Nggak tahu, ah. Udah Mama nggak usah mikirin si Ben. Mendingan Mama istirahat aja ya." Aku membantu Mama mengganti bajunya dengan piyama lalu mengantarnya berbaring di tempat tidur.

"Moi, mama yakin Ben melakukan semuanya demi kebaikan Laksamana Group. Kamu belajar yang bener sama dia. Baik-baik sama dia ya, Moi."

DIH!

Ini kenapa pada nyuruh aku baik-baik sama Ben sih. Kan yang anak Papa dan Mama itu aku, bukannya Ben. Tapi aku nggak mau protes sama Mama. Aku sedih liat Mama yang masih lemes.

Semoga Mama cepet sembuh. Sekarang aku mau tidur dulu ya, besok aku harus ngantor.

Bye.

Continue Reading

You'll Also Like

59.3K 9.5K 31
Januar Saki pernah mengalami patah hati oleh cinta pertamanya. Ya, cinta pertama memang selalu memiliki ruang tersendiri dalam hati seseorang. Apalag...
205K 25.1K 31
Reuben Rasya Atmadja, bertahun-tahun mencintai Alia-sahabatnya. Dan dia berpura-pura ikut bahagia atas kebahagiaan sahabatnya yang sudah menjalin cin...
4.7K 541 25
Irish sangat menentang kisah lama yang terulang kembali. Menjalin hubungan dengan mantan adalah salah satu hal yang harus dihindari, dan dia akan sel...
430K 44.2K 28
Ketika yang sudah pergi kemudian datang kembali. Apakah ini adalah kesempatan kedua? Atau ini hanya permainan semesta yang ingin mengikatkannya tenta...