Enigma, The Shadow [Re-write]...

By pratiwikim

85.4K 12.6K 3.7K

[Re-write] It doesn't have foot but it can run It always remind you of something ©ᴘʀᴀᴛɪᴡɪᴋɪᴍ ⚠️ ᴛʀɪɢɢᴇʀ ᴡᴀʀɴ... More

ᴛʀᴀᴄᴋʟɪꜱᴛ
1. ʙᴇɢɪɴ, ᴍᴇᴇᴛ ʜɪᴍ
2. ꜱᴄᴀʀ ᴏɴ ʜɪꜱ ꜱᴋɪɴ
3. ʙᴇᴛʀᴀʏᴀʟ ꜰʀᴏᴍ ʜᴇʀ ʟᴏᴠᴇʀ
4. ꜱᴛʀᴀɴɢᴇ ꜰᴇᴇʟɪɴɢꜱ
5. ʟᴇᴛ'ꜱ ᴘʟᴀʏ ᴀ ꜰᴜɴ ɢᴀᴍᴇ
6. ʜɪꜱ ɪʟʟɴᴇꜱꜱ, ᴀʟᴢʜᴇɪᴍᴇʀ
7. ʙᴇᴛᴡᴇᴇɴ ᴀ ᴋɪꜱꜱ ᴀɴᴅ ᴅᴇꜱɪʀᴇ
8. ᴄᴏʟᴅ ʀᴀɪɴ
9. ʜᴇʀ ᴇx-ʟᴏᴠᴇʀ
10. ᴅᴇᴇᴘ ɪɴ ʜɪꜱ ʜᴇᴀʀᴛꜱ
11. ᴠᴀɴɪꜱʜ ᴀᴡᴀʏ
12. ᴛʜᴇ ʀᴇᴀʟ ʜɪᴍ, ᴘꜱʏᴄʜᴏ
13.1. ᴄʜɪʟᴅʜᴏᴏᴅ ꜰʀɪᴇɴᴅ
13.2. ᴄʜɪʟᴅʜᴏᴏᴅ ꜰʀɪᴇɴᴅ
14. ꜰᴀᴋᴇ ᴘᴇᴏᴘʟᴇ
15. ᴛʀʏ ᴛᴏ ᴘʀᴏᴛᴇᴄᴛɪɴɢ ʏᴏᴜ
16. ᴡᴏᴍᴀɴ ɪɴ ᴛʜᴇ ʙᴀʀ
17. ᴀʟᴍᴏꜱᴛ, ʙᴜᴛ ꜱᴛɪʟʟ ᴋᴇᴇᴘ ᴛʜᴇ ᴅɪꜱᴛᴀɴᴄᴇ
18. ʀᴏᴛᴛᴇɴ ᴛᴏ ᴛʜᴇ ᴄᴏʀᴇ
19. ᴡɪᴘᴇ ᴏꜰꜰ ᴀʟʟ ᴛʜᴇ ᴛʀᴀɪʟ
20. ʙᴀᴄᴋꜰɪʀᴇ ᴇꜰꜰᴇᴄᴛ
21. ʀᴇᴠᴇɴɢᴇ
22. ɪꜱ ɪᴛ ᴛʜᴇ ᴇɴᴅ?
24. ɪɴꜰɪɴɪᴛᴇ
ꜰɪɴᴀʟ: ʏᴏᴜ ᴀʀᴇ ᴍʏ ᴍᴇᴍᴏʀʏ
ᴀʟʟ ɪ ᴡᴀɴᴛ

23. ꜰɪᴇʀᴄᴇ ʙᴀᴛᴛʟᴇ

1.8K 312 86
By pratiwikim

WARNING!
[Mature Content]

•••

Kim Taehyung memang terkenal beringas jika sudah menyangkut dengan seseorang yang mengusik kesenangannya.

Joe—bukan nama sebenarnya—atau kebanyakan orang mengenalnya sebagai bandar narkotika terbesar di Busan, sempat menaruh atensi kepadanya, atau dalam kata lugasnya tertarik pada Taehyung. Iya, lelaki berkepala tiga itu memang memiliki kelain seksual yang mana cenderung menyukai lelaki daripada wanita. Joe terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Taehyung; berulang kali mengerling dan mengirim siulan seduktif saat berada di ruang introgasi. Tidak tahan, Taehyung langsung mendaratkan hantaman tepat di wajah Joe, yang mana sukses buat hidung bangirnya bengkok dan memerlukan rekonstruksi ulang di salah satu rumah sakit.

Lantas, dihadapkan dengan bedebah kecil bernama Park Jimin, tentunya Taehyung sama sekali tidak merasa gentar. Tawaran yang sempat terucap hanyalah bagian dari sandiwara liciknya. Taehyung bahkan tidak perlu menunggu Jimin memutuskan, sebab sepersekon setelahnya, tahu-tahu saja dia telah menghantam kepala tersebut dengan tangannya yang mengepal kuat.

Jimin pingsan di detik itu juga.

Taehyung beranjak berdiri, seutas senyum puas membingkai belah bibir merahnya usai mendapatkan kemenangan telak di dalam genggaman.

"Lain kali jangan pernah ikut campur ke dalam urusanku. Urusi saja otak dan kehidupanmu yang berantakan itu." Menepuk telapak tangan seolah ada serpihan debu yang menempel, Taehyung mendecih. Ditatapnya tubuh sang lawan yang telah teronggok tak berdaya, miring ke kanan dengan pisau yang terbenam sempurna di bagian punggung. "Setelah sadar nanti, jangan lupa untuk berterimakasih kepadaku. Kau kuberi kesempatan untuk hidup. Haha, tidak 'kah kau sadar kalau aku ini sangat baik?"

Mengusap peluh yang bercucur di sepanjang kening, Taehyung berlalu dari sana, meninggalkan Jimin yang entah sampai kapan bergelung dengan alam bawah sadarnya. Si Kim itu tiba di ambang pintu, membiarkan maniknya jatuh ke bawah; bersua dengan sosok perempuan lemah yang meringkuk bak janin di dalam kandungan. Kening Anha mengernyit, menahan rasa sakit yang tak tanggung-tanggung melanda sekujur tubuhnya. Kelopak matanya yang bengkak mengatup rapat, sementara bibir pasinya gemetaran menahan sensasi dingin dari pecahan keramik yang menggelitik kulit.

Anha tidak sadar bahwa Taehyung telah berhasil menumbangkan pemuda kesayangannya.

"Bagus sekali. Kutinggal sebentar saja kau sudah bertindak sejauh ini." Bersidekap dada dengan punggung lebar yang bersandar di kusen pintu, Taehyung mendengus. "Aku penasaran, hal macam apa saja yang telah kulewatkan. Pelukan? Ciuman? Oh, atau malah seks tanpa pengaman?"

Ruangan sempit itu terasa semakin sesak tatkala Taehyung melangkah mendekat, merendahkan tubuh dengan lutut yang ditekuk. Jemari panjangnya menyusuri profil wajah jelita sang puan dengan ujung kuku yang menggurat permukaan kulitnya, beberapa garis acak kemerahan terbentuk begitu saja.

Anha tak kuasa untuk sekadar membuka mata, terlalu takut dengan asumsi yang menggerayangi kepala. Dia meringis di sela tangis yang memilukan, "D-di mana Jimin?"

"Kenapa bertanya, eh? Takut kalau kekasih gilamu itu mati di tanganku?" Sebuah kekeh kering lolos dari ceruk bibirnya, berusaha mati-matian menahan nafsu bejat yang bercokol di dalam benak. "Sayangnya, ketakutanmu itu benar." Taehyung mengendikkan alis ke atas, merasa bahwa sedikit bumbu kebohongan akan membuat situasi semakin menarik. Dia mengimbuh, "Iya, Jimin-mu itu sudah mati. Jadi, berhentilah berharap untuk bisa kabur dari kuasaku."

Anha menggeleng lemah, tak bisa membendung butir air di balik pelupuk matanya yang memanas. Tangis tersebut pecah, lebur bersama rerintikkan hujan yang menggema hingga ke seluruh penjuru ruangan. Terlepas dari kebenarannya yang masih dipertanyakan, tetap saja Anha tidak bisa menampik kalau ia merasa terpukul. Raga dan jiwanya telah remuk tak bersisa.

Memutar bola mata sebal, Taehyung lekas membenarkan posisi Anha, membuat perempuan itu telentang dengan bias lampu kekuningan yang merajam tubuh ringkihnya. Anha tersentak, buru-buru membuka mata tatkala merasakan jaket yang dikenakannya dilucuti secara kasar. Taehyung di sana, menyeringai dengan celana jins yang menggembung.

Ah, tidak, tidak. Taehyung tidak boleh melakukan ini.

Berusaha memberi perlawanan dengan cara menyentak lengan tersebut, nyatanya Anha hanya bisa terdiam usai mendapatkan tamparan kuat yang sebabkan kepalanya ikut menoleh ke samping kiri. Sudut bibirnya yang luka, semakin terluka. Nyeri dan ngilu menjalar secara bersamaan, merambat cepat di tiap pembuluh darahnya yang bekerja aktif.

"Masih ada setengah jam lagi sebelum jam sepuluh. Dua atau tiga kali klimaks tentunya akan sangat menyenangkan, bukan?"

Kendati berteriak hingga pita suara putus, kiranya tak akan ada satu pun orang yang peduli. Anha telah melakukannya tadi malam; berteriak kesetanan tanpa jeda barang sedetik, sementara Taehyung terus menginvasi liang miliknya tanpa ampun. Bangunan ini jauh dari keramaian, tersembunyi di balik pepohonan besar dan tebing-tebing yang kokoh. Lantas, tergugu dalam tangis yang pilu, Anha hanya mampu menatap sendu bagaimana Taehyung menanggalkan pakaiannya sendiri, menampilkan abdomen yang dulu sempat ia miliki.

Seakan tak acuh pada darah yang bercecer hingga ke permukaan keramik, Taehyung tetap menjejalkan penisnya untuk masuk. Vokal mereka beradu, Taehyung dengan geraman dan Anha dengan jeritan.

"Ugh, sempit sekali." Padahal ini baru seperempat dari miliknya yang masuk, tetapi Taehyung telah mendapatkan sebuah kenikmatan yang tiada tara. Dinding kewanitaan Anha menjepit keperkasaannya dengan begitu ketat. "Ada yang ingin kau sampaikan sebelum aku memasukkannya secara penuh?"

Anha mengerjap lambat. "Hentikan ini semua, Taehyung."

"Apa? Kau sudah tidak sabar?" Lelaki itu menyingkirkan beberapa helai anak rambut yang melekat di kening Anha, memberi tatap nyalang seolah dialah sang pemangsa tertinggi di dalam rantai kehidupan. "Iya. Tidak perlu khawatir. Tanpa kau minta pun, aku akan tetap melakukannya."

"He-hentikan."

"Apa? Kau ingin lima kali orgasme?" Mengangguk sekali dengan tawa sinis yang menggelitik rungu, Taehyung melanjutkan, sedikit memberi usapan di bagian rahang dan ranum Anha, "Baiklah, sesuai permintaanmu. Lima kali orgasme."

"ARGHHHHH!"

Di detik itu juga, Taehyung mendorong pinggulnya, menenggelamkan penisnya untuk masuk secara keseluruhan, sukses menyentuh titik terdalam Anha dengan satu entakan absolut. Manik si wanita membola—nyaris keluar, merasakan tubuhnya hancur berkeping-keping dengan luka di bibir kewanitaannya yang kian melebar. "DEMI TUHAN, KIM TAEHYUNG. BERHENTI!"

Kasar, brutal, serampangan; barangkali kata semacam itulah yang mampu mendeskripsikan bagaimana pergerakan tubuh bagian bawah Taehyung saat ini. Bunyi kecipak yang tercipta antara pertemuan kelamin mereka berbaur dengan lenguhan serta desahan milik Taehyung.

Maniak. Lelaki ini maniak!

Satu tangannya dibiarkan hinggap di leher Anha, menyumbat saluran pernapasannya hingga si empu kesulitan untuk memasok oksigen ke dalam rongga paru-paru, sementara satu tangan lainnya digunakan untuk melakukan rangsangan pada pucuk dada Anha yang mengeras bak kerikil. "Ayo, Jalang. Jangan diam saja. Bantu aku dengan tubuhmu yang ikut bergerak juga."

Rasanya seperti mati, tetapi ada embus napas yang tetap lolos dari hidungnya. Segala upaya berontak seakan terlihat sia-sia, Taehyung tidak sebanding dengan Anha yang lemah. Wanita itu hanya pasrah, memejamkan kedua mata dengan asa samar yang memercik kecil di dalam sanubari. Anha hanya ingin menyusul Jimin, hidup damai di keabadiaan tanpa usikan dari orang lain.

"Jangan menguji kesabaranku, An." Taehyung mendelik, tahu kalau permintaannya baru saja diabaikan. Sirat kacau terlukis jelas di sana, tersiksa setengah mati dengan pelepasannya yang tertunda.

Menarik sejumput rambut milik Anha, Taehyung lekas memertemukan bilah bibir mereka. Memagut ganas tanpa memedulikan si wanita yang kesulitan untuk bernapas. Karat besi tercecap oleh lidah, buat cumbuan tersebut semakin memanas manakala Taehyung mencabut miliknya dan membalik tubuh Anha menjadi tengkurap. "Aku akan menyetubuhimu tanpa ampun. Oleh karena itu, bersiaplah. Milikmu akan jadi amat sangat lecet, Jalang."

Kedua tangan Taehyung membawa bokong sekal Anha naik beberapa jengkal ke udara kemudian berhenti tepat di depan wajahnya. Liang madu nan kemerahan itu Taehyung kecup berulang kali, membiarkan lidahnya menyecap cairan bening bercampur darah yang luruh hingga ke pergelangan tangan. Anha hanya mampu memejam, menggigit bibir bawahnya kuat tanpa peduli perih bercampur nikmat yang merambat cepat.

Volume hujan di luar sana semakin meningkat, tetapi hal tersebut tidak menyurutkan semangat Taehyung untuk kembali melesakkan penisnya. Lelaki itu bekerja tanpa kenal lelah, terus melakukan gerakan monoton dengan desah erotis yang mencuat.

"Ampun, Taehyung. Ampun."

"Jangan mengeluh, An. Ini sama sekali tidak sebanding dengan apa yang sudah kau lakukan pada Hyerin." Taehyung memberi satu tamparan di pipi bokong Anha, sukses buat si wanita melolong kesakitan. Netra jelaganya menyorot tajam, sedang tangannya mengeratkan cengkraman pada pinggul Anha. "Kau memenggal kepalanya, mencabik wajah dan tubuhnya. Bukankah hal tersebut membuktikan bahwa kau itu tidak jauh berbeda dari iblis, huh?"

Demi Tuhan beserta alam semesta, harus berapa kali lagi Anha menjelaskan bahwa bukan dia pelakunya? Barangkali, sampai mulut berbusa atau miliknya yang berai sekali pun, Taehyung akan tetap pada pendiriannya; menuduh Anha bahwa dialah tersangka atas kasus yang menimpa Park Hyerin.

Taehyung terengah usai mendapatkan klimaks yang pertama. Cairannya keluar banyak, merembes hingga ke sela-sela paha Anha. Ia bahkan tidak menyadari kalau sedari tadi ada cairan lain yang turut bercampur di liang Anha selain sperma miliknya. Pikiran Taehyung hanya terpusat pada satu hal; mengejar kenikmatan.

"Aku akan ke lantai atas untuk mengambil minum. Ingat, jangan kemana-mana selagi aku pergi." Taehyung mencabut penisnya keluar, membuat tubuh Anha semerta-merta ambruk dengan dada yang kembang-kempis. "Sempat aku melihatmu keluar dari pintu itu, maka bersiap-siap saja untuk kehilangan kakimu."

Bumi sudah kehilangan rotasinya, benda-benda di angkasa saling bertabrakan hingga ciptakan benturan yang buat semesta meraung kesakitan. Badai di luar sana semakin mengamuk, menyapu berbagai benda dengan kekuatan yang berpuluh kali lipat lebih dahsyat. Kerjapan lamat tercipta dalam kurun waktu lima detik, Anha menatap tungkai panjang itu melangkah dan hilang dari pandangan. Ia menangis dalam diam, mendekap lutut erat seakan mencari secuil kehangatan.

Nihil.

Semuanya sudah tersapu habis, lesap dalam hitungan menit yang berlalu cepat.

Jimin ... benarkah pemuda itu pergi?

Jika saja Anha tahu kalau akhir cerita yang ia miliki harus berjalan seperti ini, mungkin ia akan menolak tawaran pekerjaan yang saat itu Seokjin berikan, tetap setia berdiam diri di dalam apartemen sembari menunggu surat lamarannya diterima di salah satu rumah sakit. Tetapi, hei, menyesali sesuatu yang telah terjadi itu tidak ada gunanya. Kehidupan akan terus berlanjut; menyongsong masa depan yang belum tersentuh.

Rasanya seperti baru saja menghirup udara kebebasan, akan tetapi Taehyung tahu-tahu saja sudah menampakkan diri dengan jemari yang menyisir surainya ke belakang. Tanpa sengaja, Anha melihatnya, melihat bagaimana bagian inti Taehyung menegang sempurna dengan ujung yang agak sedikit basah. Hal tersebut membuat pipi Anha terasa seperti dibakar; malu, sekaligus takut juga. Sementara si lelaki hanya menyunggingkan senyum congkak, memuntahkan kalimat vulgar yang terdengar amat menjijikkan.

"Kenapa? Takjub dengan penisku yang semakin besar?" Dia membawa wajah Anha lebih dekat, kemudian memberi ciuman kilat di pucuk bibirnya yang bengkak. "Mau coba mengulumnya?"

Gila! Ini gila!

Namun, sebelum benar-benar menyahut, baritonnya kembali mengalun, "Ah, jangat takut, An. Aku hanya bercanda. Sekarang, mengangkang lagi ya? Penisku berkedut melihat wajahmu yang seperti ini."

Anha membiarkan Taehyung melakukan apa pun yang disukainya. Ia tidak berniat menginterupsi atau memberi sebuah perlawanan berarti. Barangkali, dengan diam dan patuh akan membuat malaikat kematiannya datang lebih cepat. Anha menatap manik tersebut dengan pandangan kuyu, coba menyelami dan memahami hal macam apa yang tersembunyi. Tetapi, sayang sekali. Taehyung memang benar berniat untuk membalaskan dendam akibat kekasihnya yang terbunuh secara sadis.

Memejam dengan napas yang tertahan di pangkal tenggorokan, Anha sadar bahwa sosok Taehyung telah memberinya satu pelajaran yang teramat berharga. Pada dasarnya manusia itu memang mudah sekali untuk berubah. Bisa jadi orang yang dulunya lawan, mendadak menjadi kawan. Juga, bisa jadi seseorang yang dulunya amat disayangi, mendadak menjadi seseorang yang amat dibenci. Mulanya Anha tidak percaya, namun saat melihatnya secara nyata, mau tak mau dia harus menerima.

Kim Taehyung ... lelaki yang benar-benar mendefiniskan kata bajingan yang sebenarnya.

Selembar jins yang teronggok di dekat kaki lekas diambil. Taehyung mengorek bagian sakunya tanpa memelankan laju pergerakan pinggulnya. Sebuah bungkusan sigaret. Ia mengambil sebilah, menempatkannya di katup bibir bagian bawah, lalu mulai menyulut ujungnya dengan pemantik perak.

Lintingan tembakau tersebut disesap, biarkan asapnya mengepul usai disembur secara kasar yang mana sukses buat Anha terbatuk menahan sesak. Ia kesulitan bernapas, apalagi ditambah satu tangan Taehyung yang menjambak surainya kuat. Anha merasakan perutnya melilit, tubuhnya mengejang dengan ujung kaki yang bergerak acak. Ah, tidak, tidak. Tidak seharusnya Anha keluar, sebab hal ini hanya akan membuat Taehyung semakin menatapnya rendah bak onggokan sampah.

"Ingin klimaks?" Atensi Taehyung menyusuri mimik wajah Anha yang mengernyit, ia tahu bentul apa yang diinginkan sang korban saat ini. Jadi, menempatkan tungkai Anha di masing-masing pundaknya, Taehyung menyeringai puas. Dia terus memompa, tidak menurunkan ritme bahkan saat Anha sukses memuntahkan cairan nikmatnya dengan kapasitas yang besar; squirt.

"Mau mencoba gaya seks yang sering kulakukan dengan Hyerin?" tawarnya sembari mengembuskan asap putih ke udara.

Taehyung memposisikan ujung bara kemerahan dari zat penuh adiksi itu tepat di perut Anha, menekannya selama beberapa detik hingga kulit pualamnya terkelupas. Anha menjerit, tetapi jeritan itu kembali tertelan tatkala Taehyung membungkam bibirnya dengan pagutan kasar. Mengeksplor mulut Anha sembari lidahnya yang membelit pula mengabsen gigi yang berjejer rapi.

Anha tidak tahu harus bagaimana lagi menyikapi segala siksa yang dilimpahkan kepadanya ini. Ia telah memohon kepada Tuhan sebanyak puluhan, ah, tidak, barangkali ratusan kali, untuk segera mengecup kematian. Tetapi nyatanya, ia masih bisa bernapas, mengerjap dan menatap bagaimana gurat wajah Taehyung yang tengah menahan hasrat bejat.

Jalang; begitu tulisan yang tercipta dari bara merah rokok miliknya.

Pening dengan kemelut menghantam diri Anha. Taehyung limbung menimpa tubuhnya, memertemukan kulit mereka hingga timbulkan sengatan-sengatan kecil untuk mendera. Anha coba menyingkir, tak kuasa menahan bobot Taehyung yang dua kali lipat dari tubuhnya. Namun di sana, di sisa-sisa kesadarannya yang hampir menyentuh titik penghabisan, Anha sekonyong-konyong mendapati eksistensi dari pemuda yang sempat ditangisinya.

Park Jimin ...

Ya, lelaki itu di sana, terpekur di ambang pintu dengan bilah besi di dalam genggaman.

Anha ingin bersuara, sekadar berteriak meminta pertolongan, tetapi Jimin buru-buru menempatkan ruas jari telunjuknya di depan bibir, mengisyaratkan bahwa Anha harus tetap mengunci rapat mulutnya. Ada sesuatu yang janggal, ganjil dan tidak biasa. Manik tersebut tidak lagi sehitam jelaga, melainkan semerah bercak darah yang menempel di ubin lantai. Anha meremang, teringat akan jumpa pertamanya dengan Jimin yang berlangsung amat mengerikan.

Potongan memori itu menyeruak. Tentang pecahan kaca yang menancap di telapak tangan, juga obrolan yang terjalin di petak taman. "Karena aku berbeda, An."

Mungkin 'kah, maksud kalimat itu adalah ini ... tentang bagaimana Jimin menyentak tubuh Taehyung untuk berhadapan langsung dengannya? Anha tidak mungkin salah liat, apalagi buta. Sosok yang tengah mengulum senyum itu memang Jimin. Wajahnya, postur tubuhnya, bahkan gigi seri yang sedikit bengkok itu. Hanya saja, kenapa gelagat yang ditampilkan pemuda itu saat ini sangat kontras dengan apa yang sempat diberikannya beberapa saat lalu?

Jimin meremat helai rambut Taehyung hingga beberapa anakannya tercerabut. Sedang si empu meringis, bersiap memberi sumpah serapah sebelum akhirnya kembali ditelan tatkala cengkraman tersebut dilepas.

Setengah linglung, si Kim itu mengerjap, menyipitkan mata guna mengumpulkan sisa-sisa kewarasannya. Lantas, tatkala menemukan sang lawan sudah siuman dari tidur lelapnya, Taehyung berkacak pinggang. "Eh, sudah bangun, ya? Kalau begitu, cepat ucapkan terima kasih. Aku sudah menung—"

"Sudah selesai dengan acara tak manusiawinya?"

Secara otomatis kening Taehyung berkerut dalam. Tersinggung, barangkali. Mendengus, dia mengambil satu langkah ke depan. Abai pada tatapan menilik Jimin pada tubuh telanjangnya. "Tinggi sekali gaya bicaramu. Heh, bocah! Kau mau aku bunuh sekalian, huh?"

Menarik napas sejenak, Jimin dapat menangkap bagaimana sirat cemas tergurat di wajah Anha. Wanita itu meneguk air liurnya kepayahan, coba mengambil posisi duduk dengan punggung yang bersandar di dinding. Anha-nya kesakitan. Anha-nya menderita. Oleh sebab itu, menggertakkan gigi menahan luapan amarah yang membuncah, tungkai Jimin sekonyong-konyong menendang pusat tubuh Taehyung hingga si empu jatuh meringkuk di dekat kakinya.

"Sialan," cicit Taehyung, tak kuasa menahan rasa sakit yang setara dengan ratusan tulang yang dipatahkan secara bersamaan. "Kau benar-benar mencari ma—"

Kalimat tersebut terpenggal sebab Jimin lebih dulu mendaratkan besi yang digenggamnya tepat di tempurung kepala Taehyung. Seketika, dia tak sadarkan diri. Menyisakan Jimin dengan napas memburu pula Anha yang menatap sayu.

"Jim?"

Si pemilik nama menoleh ke sumber suara, mengunci tatap dengan daksanya yang bergerak mendekat. Anha menangis, lagi. Berusaha mencari jemari milik Jimin untuk ditautkan. Ia cemas, pun was-was. Setengah tidak percaya juga akan kehadiran pemuda yang sempat dinyatakan telah tiada. "Aku takut, Jim."

Tidak ada sahutan dari Jimin, pemuda itu hanya diam seribu bahasa. Bergeming dengan segelintir perasaan aneh menjalari dada. Sepersekon kemudian, jemarinya bergerak mengusap jejak air mata yang menganak sungai di belah pipi Anha. Kaku, tetapi tetap berusaha selembut mungkin.

Mulut yang semula mengatup rapat, pun perlahan terbuka, coba menyuarakan sebuah kalimat kendati lidahnya diserang kelu. "Ja-jangan takut." Iris Jimin bergerak gusar, berusaha mencari padanan kata lain untuk dimuntahkan walau pada akhirnya dia menyerah dan memilih bangkit menjauh.

Jimin menyemburkan napas lewat ceruk bibir, memungut satu macam pakaian yang tercampak sebelum beralih menyeret tubuh Taehyung. Tepat di daun pintu, Jimin menoleh untuk yang terakhir kali, beradu pandang dalam diam yang mengambang; bertukar kata lewat sorot yang kelewat sulit untuk didefinisikan. Anha-nya masih larut dalam isak tangis, tetapi tak ada satu pun niat yang terbesit di benak Jimin untuk kembali dan menenangkan wanita itu.

Masalah ini harus segera diselesaikan.

Pintu tertutup, membuat figur Jimin beserta bedebah sialan itu lenyap dari pandangan. Anha membekap mulutnya, menangis sejadi-jadinya hingga ia jatuh ke dalam kegelapan.

Mengerjap, menyesuaikan pandangan yang sempat mengabur, Taehyung lekas memijat pelipisnya yang berdenyut pelan. Sepasang alis lebatnya bertaut tatkala mendapati seorang pemuda tengah menatap intens ke arahnya. Kendati tubuh tersebut membelakangi cahaya dari temaram lampu kuning yang menggantung, Taehyung seratus persen yakin bahwa sosok itu adalah Park Jimin, lawannya yang tak juga tumbang setelah mendapatkan satu tusukan di bagian punggung.

Taehyung melepas tawa hambar, mengucek kedua mata secara bergantian sebelum akhirnya bangkit untuk menyetarakan tubuh. "Jangan merasa hebat dulu, Bocah. Kau belum tahu siapa aku yang sebenarnya."

Kedua tangan Taehyung mengepal di sisi badan, merasa emosinya kembali tersulut hanya karena melihat respon Jimin yang seakan tidak menaruh rasa takut sama sekali. Tetapi sebelum itu, ia merasakan ada sesuatu yang aneh di tubuhnya. Melirik ke bawah, Taehyung menemukan area privatnya telah terbungkus oleh boxer berwarna hitam. "A-apa yang—"

"Chill, Dude. Aku hanya kasihan melihat adik kecilmu kedinginan." Jimin menelengkan kepala ke samping kanan, berniat melakukan pelemasan atas otot lehernya yang menegang. "Lagipula, burungmu itu sangat menjengkelkan. Masa kupegang sebentar saja langsung menegang? Biseksual, eh?"

"Jaga mulutmu!" Taehyung menggeram. "Apa kau tidak pernah menjejak bangku sekolah hingga mulutmu sekotor sampah?"

"Aku pernah bersekolah, dan bukannya aku bermaksud sombong ..." Menjeda, berusaha menilik bagaimana air wajah Taehyung yang berubah secepat kilat menjadi berapi-api, Jimin melanjutkan, " ... nilai raporku bahkan tidak pernah ada yang di bawah sembilan puluh."

Taehyung mendecih, pikirnya dia peduli dengan nilai-nilai itu? Ha! Jangan bermimpi. Jimin menatapnya datar, tanpa ekspresi, tetapi Taehyung tetap cuai dan membalas kalimat tersebut dengan oktaf yang lebih tinggi. "Sebenarnya apa yang kau inginkan? Bertarung denganku? Kalau begitu, ayo. Tapi jangan salahkan aku jika kau babak belur dan berakhir mengadu pada ibumu!"

Ah, lelaki ini. Sombong sekali.

Manakala Taehyung hendak menerjang, Jimin lebih dulu menghindar dan memposisikan tubuh di belakang Taehyung, mengunci kedua lengannya dengan satu tangan sementara tangan yang lain menjambak helai rambutnya. Kepala Taehyung mendongak, nyaris menyentuh punggung dengan iris yang menyipit menahan sorot lampu. Napasnya tercekat, sedikit panik ketika Jimin menekan tubuhnya ke atas nakas yang reyot.

"Kau yang akan menangis dan mengadu pada ibumu, Bangsat!"

"Lepaskan! Kau curang!"

Jimin terkekeh, menguatkan cengkraman di helai rambut Taehyung hingga kelopaknya terbuka lebar. "Astaga, Taehyung. Curang dari mana, huh? Bukankah tadi kau sendiri yang ingin bertarung denganku? Ayolah, kalau lemah bilang saja."

Sesak, itulah yang dirasakan lelaki Kim itu tatkala dadanya ditekan kuat menuju permukaan nakas. Berusaha berontak dengan tungkai yang bergerak acak; menendang asal, atensi Taehyung mendadak terfokus pada album foto miliknya yang berserak. Seketika, entah dari mana datangnya kekuatan tersebut, ia berhasil lepas dari kukungan Jimin, buru-buru bergerak menjauh dengan tangan yang mengambil balok kayu sebagai satu-satunya pertahanan.

"Lancang sekali! Kau mengganggu privasiku!"

Teriakan lantang Taehyung dibalas Jimin dengan gendikkan bahu. Dia membiarkan sang lawan lolos untuk sementara, sebab dengan begitulah pertarungan ini akan terasa amat menyenangkan.

"Jangan mengalihkan topik pembicaraan."

Tungkai jenjang itu mengayun lambat, sebuah seringai bengis tersemat di wajahnya. Taehyung mundur selangkah, mengeratkan genggaman pada balok kayu. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang ... eum, bisa dibilang memiliki kekuatan yang amat kuat. Taehyung melihat bahwa ada bayang hitam yang bersembunyi di balik kelopak mata Jimin.

"Apa sekarang kau merasa takut?" Pemuda tersebut stagnan beberapa langkah dari Taehyung. Menaikkan satu alis dengan jemarinya yang bermain di sisi badan. "Ingin menyerah saja?"

Kalimat itu benar-benar menyinggung Taehyung, harga dirinya seperti jatuh dan terinjak oleh kotoran manusia. Lantas, mengesampingkan secuil rasa takut yang mendera, Taehyung lekas mendaratkan balok kayunya tepat di dada Jimin, sukses membuat pemuda itu mundur beberapa langkah sebab serangan mendadak yang baru saja dilancarkan.

Alih-alih membalas dengan cepat, Jimin justru mengusap dadanya yang menjadi tempat serangan kecil itu mendarat. "Ugh, sakit sekali, huhu ... ibu, aku takut," begitu Jimin mengejek, yang semerta-merta buat Taehyung terhenyak dan kembali menerjang.

Balok kayu tersebut nyaris mendarat di ubun-ubunnya, tetapi Jimin lebih dulu menepis dan balik memukul benda itu ke bahu Taehyung. Sang lawan mengerang, jatuh bersimpuh dengan pandangan yang berkunang-kunang. Dunia seakan berputar cepat, sosok Jimin yang menjulang tinggi pun seperti memiliki duplikat tersendiri. "Astaga," gumamnya.

Jimin menyentak tubuh tersebut, membawanya bangkit dan mengeluarkan sesuatu yang tersimpan di balik punggung. Sebuah belati. Jimin menyerahkan benda itu kepada Taehyung. "Untukmu."

Di tengah pening yang menghantam seluruh ruang di dalam kepalanya, Taehyung mengambil alih benda tersebut dari tangan Jimin. Irisnya menyipit, berusaha meneliti sebelum akhirnya membelalak sempurna. "Bagaimana bisa belati ini ada di tanganmu? I-ini 'kan milik Hyerin."

"Menurutmu sendiri bagaimana?"

Menggeleng, menampik sebuah konklusi di dalam petak otaknnya, Taehyung berteriak, "TIDAK MUNGKIN!" Bibirnya gemetar dengan tubuhnya yang kembali ambruk menghantam permukaan keramik. "Anha-lah yang melakukannya. Iya, Anha."

Bebal, batin Jimin. Jemarinya menelusup ke sela surai Taehyung, memaksa lelaki itu untuk menatapnya dengan sungguh-sungguh. Ada setitik air mata yang jatuh menuruni pipi, tetapi Jimin sama sekali tidak peduli. Ia menuai satu senyum bengis sebelum berkata yang sukses buat dunia Taehyung runtuh dalam sekejap. "Wanita itu tidak bersalah, Jimin-lah yang bersalah."

"Tidak mungkin. Kau hanya membual. Kau hanya ingin melindungi Jalang itu!" Kekeh getir lolos dari bibirnya, Taehyung balik memandang dengan rahang yang mengeras.

"Kau ingin bukti apa lagi, Kim? Apa perlu aku menjelaskan detail-detail bagaimana kekasihmu itu meregang nyawa?" Taehyung tertawa hambar dengan air mata yang mulai menggenang di pelupuk. Tangannya berusaha menepuk dadanya sendiri, coba mengurangi sesak yang merangsek. Sementara itu, Jimin memalingkan pandangan, muak. "Lihat, sekarang siapa yang bodoh? Kau sendiri, bukan? Kau berasumsi terlalu cepat, mengambil tindakan tanpa tahu kebenaran."

Taehyung terisak, berulang kali menyeka kristal bening yang terus jatuh bebas. Penyesalan itu datang dan menampar pipinya telak. Wanita itu, Jung Anha, tidak seharusnya menanggung gelegak amarah milik Taehyung. Akan tetapi, semua sudah berlalu. Beribu kata maaf tidak akan membuat keadaan menjadi baik-baik saja. Kata maaf tidak akan membuat Hyerin hidup kembali dan tidak akan membuat luka-luka yang bersemayam di tubuh Anha sembuh.

"Bangun," titah Jimin. "Aku mungkin tidak pernah melakukan ini selama aku diciptakan, tetapi kali ini, hanya kali ini saja, kau kubiarkan bebas. Semua ini hanya kesalahpahaman." Membalikkan badan guna melangkah keluar, ia melanjutkan, "Pergilah, dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi."

Tungkai Jimin berayun pelan, bergerak mencapai ambang pintu dengan wajah sedingin es. Namun di sana, sebelum sepatu usangnya sempat mengambil langkah tambahan, Jimin merasakan pisau yang tertancap di tubuhnya tertarik ke bawah, merobek daging dan nyaris mematahkan tulang punggungnya. Lewat bahu kanannya, Jimin dapat menangkap presensi Taehyung yang tersenyum miris disertai derai air mata yang memenuhi belah pipi.

"Kau harus mati," lirihnya. "KAU HARUS MATI PARK JIMIN!"

Tubuhnya seperti tercabik, berai hingga menjadi potongan yang kecil-kecil. Obsidian Jimin membola, menampakkan kilatan merah yang sepekat darah. Ia lekas berbalik, menendang kaki Taehyung hingga si empu sukses menghantam dinding dan sebabkan nakas reyot menimpa di atasnya.

"Dasar tidak tahu diri!" desis Jimin. "Aku memberimu kesempatan, tapi ternyata kau sia-siakan. Jadi, jangan salahkan aku jika kau akan berakhir sama seperti kekasihmu."

Kemudian, semuanya berlanjut begitu saja. Jimin menikam perut Taehyung beberapa kali dengan belati milik Hyerin hingga sebabkan semburan darah mencuat kesana-kemari. Ia juga tak lupa memberi cakaran di wajah sang lawan, menyayat bibirnya dan memotong rambutnya asal. Taehyung sekarat, masih bertahan kendati dengan napas yang sudah terputus-putus. Ia menatap Jimin sembari menahan rasa sakit yang mendera sekujur tubuh. Darah ada di mana-mana, biarkan aroma amis menyeruak begitu kuat.

"Kau iblis, Jim. Kau iblis!"

Jimin mencibir, "Iblis teriak iblis, haha, lucu sekali." Ia memposisikan belati tersebut tepat di leher Taehyung, bersiap menebas dengan satu ayunan saja. "Dan satu lagi, itu pun jika ingin tahu. Aku bukan Jimin, aku Jack."

"A-ap—"

Sekejap, manik Taehyung membola, merasakan ujung belati itu memutus pita suara dan menggurat kerongkongannya. Tubuh si Kim itu kebas, syaraf beserta ototnya mendadak putus dalam satu waktu. Sebelum kelopak matanya benar-benar memejam, ia secara tidak sengaja melihat seseorang mengintip dengan tubuh berbalut jaket kebesaran yang sepenuhnya bersandar di dinding. Dia terisak penuh nelangsa, bahunya naik turun dan napasnya tersengal.

Maksud hati ingin mengucap sepatah kata berupa permintaan maaf, tetapi apa daya kala belati tersebut dicabut paksa dan kembali mendarat tepat di mata kirinya.

Usai sudah. Kim Taehyung telah tewas.

Jimin—atau mari kita sebutnya sebagai Jack saja, mengulum senyum, mencongkel mata tersebut dengan cara yang paling serampangan. Mengorek-ngorek hingga tidak berbentuk dan berakhir dibuang melalui bingkai jendela. Di bawah sana, ada seekor kucing yang melintas, tampak kelaparan dengan perut bak papan; kurus kering. Dia mengendus sebentar, membaui mata milik Taehyung sebelum memakannya dengan lahap. Pun, Jack lekas mencongkel mata lainnya, kali ini berhasil keluar dengan bentuk yang sempurna.

Kucing itu memakan tanpa tahu benda apa yang masuk ke dalam mulutnya. Ah, dia 'kan binatang. Mana peduli dengan hal seperti itu.

Nyaris memotong bagian tubuh yang lain, Jack malah mengurungkan niat tatkala manik merahnya bersirobok dengan milik Anha. Wanita itu menggeleng pelan, tak percaya sekaligus merasa ngeri atas peristiwa yang terjadi di depan mata. Badannya beringsut, mengunjungi si pemuda dengan bantuan tangannya yang kecil. Jemarinya mencengkram tungkai Jimin beserta isak pilu yang kembali terdengar.

"Jangan lakukan hal mengerikan ini, Jim." []

•••



a/n: Taehyung, maaf ya sudah membuat karaktermu bernasib seperti ini :( Btw, aku udah up tiga kali selama seminggu, apa kalian gak mabok bacanya?

Continue Reading

You'll Also Like

229 97 20
(Jangan Plagiat) Aku tidak berharap memiliki suasana rumah yang mencekam. Aku tidak berpikir akan tinggal di tengah pembunuhan. Di balik fasadnya ya...
7.9K 1.2K 21
Hinata tahu bahwa dia membosankan. Sangat tahu, bahkan tak menyanggah ketika orang-orang di sekelilingnya mencemooh hidupnya yang datar dan lurus-lur...
89.5K 8.7K 9
Follow dulu sebelum baca. √ End- Berpura-pura bukanlah keahlian Hinata. Tapi demi Naruto-sahabatnya, ia rela melakukannya. Berpura-pura mencintai Sas...
566K 60.8K 39
Setting: Canon (cerita lengkap) Highest rank: #1-tear #2-Canon #3-Sasusaku #3-Sakura #322-Fanfiction #10-Anime #20-Sasuke #83-friendship #575-sad #47...