Enigma, The Shadow [Re-write]...

By pratiwikim

85.2K 12.6K 3.7K

[Re-write] It doesn't have foot but it can run It always remind you of something ©ᴘʀᴀᴛɪᴡɪᴋɪᴍ ⚠️ ᴛʀɪɢɢᴇʀ ᴡᴀʀɴ... More

ᴛʀᴀᴄᴋʟɪꜱᴛ
1. ʙᴇɢɪɴ, ᴍᴇᴇᴛ ʜɪᴍ
2. ꜱᴄᴀʀ ᴏɴ ʜɪꜱ ꜱᴋɪɴ
3. ʙᴇᴛʀᴀʏᴀʟ ꜰʀᴏᴍ ʜᴇʀ ʟᴏᴠᴇʀ
4. ꜱᴛʀᴀɴɢᴇ ꜰᴇᴇʟɪɴɢꜱ
5. ʟᴇᴛ'ꜱ ᴘʟᴀʏ ᴀ ꜰᴜɴ ɢᴀᴍᴇ
6. ʜɪꜱ ɪʟʟɴᴇꜱꜱ, ᴀʟᴢʜᴇɪᴍᴇʀ
7. ʙᴇᴛᴡᴇᴇɴ ᴀ ᴋɪꜱꜱ ᴀɴᴅ ᴅᴇꜱɪʀᴇ
8. ᴄᴏʟᴅ ʀᴀɪɴ
9. ʜᴇʀ ᴇx-ʟᴏᴠᴇʀ
10. ᴅᴇᴇᴘ ɪɴ ʜɪꜱ ʜᴇᴀʀᴛꜱ
11. ᴠᴀɴɪꜱʜ ᴀᴡᴀʏ
12. ᴛʜᴇ ʀᴇᴀʟ ʜɪᴍ, ᴘꜱʏᴄʜᴏ
13.1. ᴄʜɪʟᴅʜᴏᴏᴅ ꜰʀɪᴇɴᴅ
13.2. ᴄʜɪʟᴅʜᴏᴏᴅ ꜰʀɪᴇɴᴅ
14. ꜰᴀᴋᴇ ᴘᴇᴏᴘʟᴇ
15. ᴛʀʏ ᴛᴏ ᴘʀᴏᴛᴇᴄᴛɪɴɢ ʏᴏᴜ
16. ᴡᴏᴍᴀɴ ɪɴ ᴛʜᴇ ʙᴀʀ
17. ᴀʟᴍᴏꜱᴛ, ʙᴜᴛ ꜱᴛɪʟʟ ᴋᴇᴇᴘ ᴛʜᴇ ᴅɪꜱᴛᴀɴᴄᴇ
18. ʀᴏᴛᴛᴇɴ ᴛᴏ ᴛʜᴇ ᴄᴏʀᴇ
19. ᴡɪᴘᴇ ᴏꜰꜰ ᴀʟʟ ᴛʜᴇ ᴛʀᴀɪʟ
20. ʙᴀᴄᴋꜰɪʀᴇ ᴇꜰꜰᴇᴄᴛ
21. ʀᴇᴠᴇɴɢᴇ
23. ꜰɪᴇʀᴄᴇ ʙᴀᴛᴛʟᴇ
24. ɪɴꜰɪɴɪᴛᴇ
ꜰɪɴᴀʟ: ʏᴏᴜ ᴀʀᴇ ᴍʏ ᴍᴇᴍᴏʀʏ
ᴀʟʟ ɪ ᴡᴀɴᴛ

22. ɪꜱ ɪᴛ ᴛʜᴇ ᴇɴᴅ?

1.8K 321 78
By pratiwikim

Masih terbayang jelas dalam ingatan Anha bagaimana dulu Kim Taehyung memerlakukannya bak barang yang amat sangat berharga. Manik kelamnya selalu menjadi satu garis lurus tatkala tersenyum hangat, begitu pula hidung bangirnya yang akan mengerut lucu. Lelaki itu penuh romantika tak terduga, bermulut manis layaknya gula-gula. Ya, Kim Taehyung yang dulu memang begitu. Anha juga masih bisa mengingat bagaimana cemasnya Taehyung saat melakukan hubungan intim untuk yang pertama kali. Si Kim itu terus berkata, "Kalau kamu merasa sakit, bilang saja, ya."

Well, sebenarnya kalimat itu setengah benar, setengah tidak. Sebab beberapa detik setelah ujung miliknya mendesak masuk, Taehyung tidak lagi mengindahkan lolongan kesakitan yang mencuat dari bibir Anha. Akan tetapi, dalam sekon berikutnya, Taehyung langsung menutup rapat rasa sakit itu dengan pagutan yang lembut, membawa masing-masing dari mereka menuju nirwana yang dijanjikan oleh dunia.

Kini, semuanya mendadak berubah seratus delapan puluh derajat. Tidak ada lagi tatap penuh cinta yang kerap terpancar jelas dalam manik kembarnya. Tidak ada lagi canda-canda kecil dengan kelitik yang mendera perut. Kim Taehyung yang sekarang sudah menjelma menjadi iblis dari kerak neraka. Sudut bibirnya tertarik ke atas, ciptakan seringaian bengis di wajah rupawannya. Lelaki itu benar-benar memerkosanya kemarin malam, tanpa ada kata ampun. Permintaan berupa mastubasi itu rupanya hanya dianggap sebagai hidangan pembuka. Sebab setelah Anha melakukannya dengan penuh keengganan, tahu-tahu saja Taehyung sudah menyerbu, menjejalkan penis sialannya ke dalam milik Anha

Tidak ada kenikmatan, Taehyung memerlakukannya bak seorang lacur yang bisa digunakan sesuka hati.

Manakala permainan berhenti di pelepasannya yang kelima, Taehyung segera memungut pakaiannya kasar, mengenakan dengan setengah tergesa dan meninggalkan Anha terkapar seorang diri. Bulan masih menggantung rendah, tetapi langitnya sudah mulai cerah. Fajar akan menyingsing sebentar lagi.

Di sini, di tempat antah berantah yang Anha sendiri tidak ketahui namanya, waktu seolah berjalan berpuluh-puluh kali lipat lebih lambat. Satu menit terasa bagaikan satu jam lamanya. Anha membalikkan badan, berbaring telentang menghadap langit-langit ruangan yang rendah. Tambang itu tidak lagi menjerat tubuhnya; ia bebas. Sayangnya, tidak ada secuil pun tenaga yang tersisa. Ia lemas, tak berdaya. Sekadar bangkit meraih selembar kain yang diberikan Taehyung sebelum dirinya benar-benar pergi pun ia kepayahan.

Sekarang, dengan harga diri yang jatuh berserak dan terinjak oleh kaki-kaki angkuh, Anha tidak lagi menaruh banyak harapan. Dia hanya ingin mati. Setidaknya dengan begitu ia tidak akan merasakan sakit yang teramat sangat.

Anha terluka, bukan hanya fisik, tetapi juga secara batin.

Nyaris memejam dengan perut yang melilit hebat, decitan engsel berkarat sekonyong-konyong membuat Anha mengurungkan niat. Obsidiannya menatap sayu pada sosok lelaki yang bertandang dengan sebotol air mineral. "Untukmu," ujarnya sembari melempar benda tersebut, sukses mendarat tepat di wajah Anha yang semerta-merta buatnya langsung ditarik ke dalam kegelapan tak berujung; pingsan.

Taehyung tertawa kecil, menikmati pertunjukkan jenaka yang ada di hadapan. Dipandanginya tubuh molek Anha yang sudah berhiasakan memar kebiruan. Ah, cantik sekali. Kemudian, dia mendekat. Langkahnya sedikit terhuyung akibat dua botol soju yang ditenggaknya beberapa menit lalu.

Jemari Taehyung terulur, membenarkan posisi Anha untuk duduk bersandar di sudut ruangan yang lembab dan penuh debu. Wajah pasi tersebut dijepitnya, membuat celah kecil melalui ranum yang bengkak dan penuh luka. Taehyung memaksa air yang dibawanya untuk masuk dan basahi kerongkongan si puan.

Lihat, bukankah Taehyung masih memiliki hati nurani? Oleh sebab itu, berhentilah mencaci maki dan mengatainya bajingan.

Setelah menghabiskan setengah dari air yang ada, Taehyung tak lupa memberi lumatan kasar dan remasan di bagian dada. Oh, astaga. Ternyata tubuh dari seorang wanita yang pernah menjalin kasih dengannya ini terasa amat sangat nikmat setelah memutus hubungan dengannya. Tahu begini, Taehyung mungkin akan bersikeras memertahankan Anha. Ya, hanya sekadar pelampiasan nafsu tentunya, sebab hatinya sudah terpaut jauh pada sosok wanita lain bernama Hyerin.

Terima saja hukuman ini, An. Sebab ini sebanding dengan apa yang sudah kau lakukan.

Menghalau ilalang setinggi lutut yang menggores punggung tangannya, Jimin lekas mengela napas. Jujur, ia sama sekali tidak mengerti dengan dirinya sendiri yang mendadak memiliki perangai serupa dengan Jack. Jimin membunuh Hyerin, ah, tidak hanya membunuh sebenarnya, dia juga sempat bermain-main sebentar dengan tubuh tersebut. Jimin memenggal kepala Hyerin, kemudian memutarnya di udara seolah-olah itu adalah kincir angin. Realita semacam itulah yang membuat Jimin kehilangan banyak fokus hingga tak menyadari akan satu ancaman yang bisa membahayakan keberadaan Anha, lagi.

Barangkali ambisi yang bercokol di dalam dada inilah penyebabnya. Jimin hanyut akan bisikan iblis di liang telinga. Akan tetapi, jika ditanya apakah ia menyesal atau tidak, maka jawabannya tentu saja tidak. Jimin bahagia Hyerin lenyap tak bersisa. Hidupnya tenang bak air telaga yang jauh dari usikan manusia. Namun lagi-lagi, kebahagian tersebut harus terenggut kala mengetahui Taehyung membawa Anha ke salah satu distrik yang ada di Daegu.

Mungkin ini adalah kesalahan terbesar yang pernah Jimin perbuat, terlalu meremehkan seseorang. Sebab ternyata, Kim Taehyung tidaklah sepayah yang ia kira. Lelaki itu terlampau cerdik, penuh alibi dan pintar mengelabui.

Fajar sudah bangkit dari langit timur, menyusup malu di balik awan setipis serat kapas. Jimin kembali mengambil dua langkah ke depan, tubuhnya ditundukkan, bersembunyi dari kamera pengawas yang terpasang di tiap sudutnya. Bangunan dengan gaya lawas tersebut berjarak tak sampai seratus meter darinya, akan sangat mudah dilalui jika saja tidak ada ranjau yang bertebaran.

Iya, semenit yang lalu kaki Jimin nyaris menginjak granat berukuran sedang. Tetapi beruntung, berkat iris sabitnya yang penuh selidik, Jimin mampu menghindari hal tersebut.

Lama berdiam diri sembari menyapu pandangan ke lingkungan sekitar, Jimin dapat mendengar deru mesin mobil yang dihidupkan, dan tak berselang lama, sebuah sedan hitam meluncur dari balik pagar tinggi penuh kawat berduri. Tidak salah lagi, itu pasti Kim Taehyung.

Sadar akan kesempatan emas yang mungkin tidak akan datang dua kali, Jimin lekas meloncat ke beberapa titik; menghindari CCTV yang aktif menangkap pergerakan di luar rumah. Inilah saat yang tepat untuk menyelamatkan Anha, pikirnya. Peduli setan dengan usaha yang selama ini ia lakukan (menghindari wanita itu hingga pergi ke Busan), Anha teramat berharga dan tidak sepatutnya diperlakukan layaknya sampah tak berguna.

Jimin mendekat ke arah pagar, menatap lamat guna memahami bagian rumah tersebut dari depan. Ada tiga lantai, dan di lantai teratas itu lah Jimin mendengar jeritan Anha tadi malam yang berkumandang memecah geming. Ia tidak ingin berspekulasi, tetapi batinnya menolak. Jimin tahu Anha-nya sedang diperkosa. Tetapi tetap, dia sama sekali tidak memiliki kuasa apa-apa.

Mengetahui akses menuju rumah sama sekali tidak bisa dilalui dari halaman depan (ada alat setrum listrik yang terpasang, barangkali bisa menyengatnya hingga sekarat), Jimin lekas beralih menuju area belakang rumah.

Buk ...

"Sial," desis Jimin tatkala kakinya tersandung oleh sesuatu. Tubuhnya tersungkur dengan lumpur yang mengotori jaket dan kemeja krem miliknya. Manakala hendak bangkit berdiri, Jimin malah mendapati sebuah keanehan. Gundukan tanah itu bukanlah gundukan tanah biasa, ada sesuatu yang tersembunyi di bawahnya. Jadi, melirik ke kanan dan ke kiri untuk memastikan, Jimin membiarkan tangannya menggali hingga temukan sebuah papan.

Sebuah pintu, yang barangkali terhubung langsung dengan ruang bawah tanah.

Jackpot, pikir Jimin. Pun, dia tidak berpikir panjang lagi untuk masuk dan mulai menyusuri. Kakinya meniti undakan tangga kayu secara hati-hati, keadaan di bawah sana sangat gelap dan pengap, tidak ada pencahayaan selain dari pintu tadi yang dibiarkan terbuka. Jimin sempat membayangkan bagaimana jadinya jika Anha disekap di bawah sini. Astaga, itu mengerikan sekali. Untuk bernapas saja sulit, apalagi bertahan dengan segala macam siksa yang mendera tubuh.

Yah, semoga saja wanita itu masih bernapas. Sebab jika tidak, Jimin tidak akan memaafkan dirinya sendiri.

"Anha," panggil Jimin, suaranya menggema hingga ke sudut-sudut ruangan. "Tolong jawab aku jika kau ada di sini."

Jemari Jimin meraba-raba di udara, mencari patokan berupa dinding agar bisa terus melangkah dengan benar, dan jika beruntung, mungkin ia bisa menemukan saklar lampu. Tanpa sadar, Jimin menggigit bibirnya pelan, kalut sekaligus takut. Kakinya beberapa kali tersandung oleh sesuatu yang entah apa, tetapi beruntungnya dia masih bisa menyesuaikan diri.

"Jawab aku jika kau mendengar suaraku." Pelupuk matanya memanas, siap meluncurkan lesakan air mata dalam jumlah masif. "Jung Anha ... kumohon."

Sedetik setelahnya, debuman kecil tercipta. Jimin mengusap sudut matanya yang berair, kembali bersuara dengan nada satu tingkat lebih tinggi. "Jangan berhenti, An. Terus buat suara agar aku bisa menemukanmu."

Di tengah gulita yang menyelimuti begitu pekat, Jimin melangkah tergesa. Berlari kecil mendekati sumber suara yang muncul dari sayap barat. Segala ketakutan yang melingkupi kepala, berangsur-angsur surut dengan setitik keberhasilan yang sebentar lagi akan dicapainya.

"Anha?" panggil Jimin sekali lagi, tubuhnya telah berada tepat di hadapan pintu berbahan besi yang menyeruakan aroma karat. "Tolong menyingkir dari balik pintu. Aku akan mendobraknya, setelah itu kita akan pergi dari tempat sialan ini."

Satu dorongan, tidak berhasil.

Dua dorongan, satu engsel berhasil terlepas.

Tiga dorongan, pintu tersebut akhirnya terbuka.

Jimin tidak tahu dimanakah posisi Anha saat itu, tetapi mendapati satu tungkainya yang mendadak dipeluk erat, ia tahu bahwasannya sang pujaan hati telah berada di dekatnya. Jimin menunduk, menyejajarkan tubuh dengan Anha yang meringkuk menahan tangis.

"Hiks, J-jimin?"

Yang dipanggil namanya mengangguk lemah, ikut terbawa suasana hingga kristal bening menuruni belah pipi tirusnya. "Iya, An. Aku di sini, untukmu." Suaranya serak, agak parau sebab kerongkongannya yang kering kerontang bak dilanda musim kemarau panjang. "Aku kembali untuk menepati janjiku, menyelamatkanmu dari bajingan sinting itu."

"Aku takut sekali. D-dia melakukan sesuatu yang buruk padaku. D-dia—" Anha tergugu dalam tangisnya yang pilu. Mengeratkan dekapan penuh haru dengan satu bisikan rindu, "Jangan pernah meninggalkan aku lagi, Jim. Jangan ... jangan pernah."

Jemari Jimin kian mengetat, memeluk punggung sempit tersebut penuh afeksi, ciptakan friksi yang dera lubuk hati. Jimin sempat meragu, tidak begitu yakin dengan permintaan yang baru saja menggema di telinga. Akan tetapi, demi Anha—sang wanita terkasih, Jimin akan tetap berusaha; berjuang, kendati medan yang dilalui tidaklah mudah.

Melonggarkan pelukan, Jimin membiarkan tangannya mendarat di kedua bahu ringkih Anha. "Apa kau bisa berjalan? Kita harus keluar dari tempat ini sesegera mungkin. Kim Bangsat itu pasti akan kembali sebentar lagi."

Dalam kegelapan, Anha menggeleng samar. "Kau harus melihat keadaanku terlebih dulu, Jim. Aku benar-benar hancur."

Merasakan getir tercecap di dalam mulut, Jimin menyahut tidak sabaran. "Aku ingin, tetapi tidak ada penerangan yang membantuku."

"Di belakang pintu ada saklar lampu. Kau bisa menekannya dan melihat bagaimana kondisiku." Anha menjeda, mengambil napas dalam-dalam saat merasakan ngilu bersemayam lama di pusat tubuhnya yang terbuka. "Semoga kau tidak jijik melihat keadaanku yang seperti ini."

Telak. Kalimat itu menebas ulu hati Jimin. Memangnya separah apa Taehyung memerlakukan wanitanya ini?

"Tenanglah, aku tidak mungkin begitu." Jemari Jimin mengisi celah jemari milik Anha, mengusap lembut permukaan kulitnya dan temukan beberapa kejanggalan. Ada banyak guratan panjang yang melekat. Jimin mengecup pipi Anha sekilas, bermaksud menenangkan, sebelum akhirnya bangkit menuju belakang pintu.

Nyaris memekik dengan kaki yang gemetar, Jimin merasakan dunianya porak-poranda. Di depan sana, Anha terduduk tanpa sehelai benang, biarkan memar kebiruan yang mulai menghitam terekspos jelas. Hal tersebut membuat hati Jimin lagi-lagi berdenyut, kali ini lebih gila. Tangisnya luruh tatkala menyadari ada belenggu yang menjerat kaki Anha. Pergerakan wanita itu sangat terbatas, sebab satu bagian belenggu tersebut terkunci pada objek yang lain.

Jimin mendekat, melepas jaket usang miliknya dan mengopernya pada Anha. Tidak, tidak. Jimin bukannya takut terangsang dengan tubuh tersebut, tetapi dia hanya tidak sanggup melihat berbagai macam luka dalam yang tertoreh apik di sana. "Seharusnya aku datang lebih cepat untuk menyelamatkanmu, dengan begitu kau mungkin tidak akan mendapatkan hal menyakitkan semacam ini."

"Tidak apa-apa, Jim. Setidaknya sekarang, kau di sini bersamaku." Anha membiarkan Jimin membantunya mengenakan jaket tersebut di tubuh polosnya. Manik mereka bersua, menyuarakan luka dengan sirat kuyu. "Lagipula, kupikir Taehyung hanya salah paham. Dia pikir, akulah orang yang membunuh kekasihnya."

"A-apa?"

"Taehyung melakukan hal ini sebagai aksi balas dendam. Dia mengira kalau akulah orang yang membunuh Hyerin."

Seakan tersengat puluhan petir di siang hari, Jimin stagnan. Jemarinya yang baru saja selesai menarik ristleting mendadak mengambang di udara. Terlampau kaget. Retinanya bergerak gusar, bergantian menatap wajah pasi wanita Jung itu dengan kesepuluh ruas jari miliknya. Udara seakan tercekat di pangkal tenggorok. Lantas, bagaimana jadinya jika Anha mengetahui kebenaran yang ada? Bahwasannya dialah orang yang melakukan hal keji tersebut? Astaga. Anha pasti akan membencinya setengah mati.

"Apa kita masih memiliki waktu?" Manik Anha memerah, begitu pula hidungnya yang sesekali terisak. "Taehyung akan kembali, bukan?"

"Jangan cemas, kau dan aku akan baik-baik saja. Ya, kita akan baik-baik saja." Jimin menangkup wajah milik Anha dengan telapak tangannya dingin, sejuta keraguan tersirat dari nada bicaranya. Kendati demikian, Jimin masih berusaha sekuat mungkin untuk membangun harapan dari sisa puing yang berserakan. "Tetap di sini, ya. Jangan kemana-mana sebelum aku kembali. Aku akan mencari kuncinya secepat mungkin."

Meski enggan, Jimin tetaplah harus melepas tautan yang terjalin. Anha menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Dia takut, cemas, dan merasa kasihan dalam satu waktu. Oleh karena itu, Anha membuang harga dirinya yang barangkali masih tersisa, menarik tengkuk Jimin dan memertemukan bilah bibirnya untuk mencari secercah kehangatan. Deru napas mereka beradu dengan decap yang terdengar merdu. Jimin membalas pagutan tersebut, nyaris bertindak lebih dengan menyelipkan lidah miliknya ke dalam mulut Anha. Luapan kerinduan yang bertumpuk pecah dalam satu waktu.

Mereka, dua insan yang saling mencintai, tetapi terlalu lambat untuk menyadari.

Keadaan di dalam ruangan sempit itu memanas, membakar habis hingga ke tulang-belulang. Anha melenguh, jemarinya merambat ke sela rambut legam Jimin; meremat dan sesekali mengusapnya pelan. Sementara pemuda tersebut berusaha mengendalikan diri yang mendadak menggebu. Jimin tidak ingin ciuman manis ini malah berakhir membawa petaka. Dia memang menginginkan Anha, tetapi tidak untuk sekarang. Keadaan benar-benar tidak memungkinkan. Jadi, memundurkan wajah guna memutus jalinan saliva yang sebagian besarnya jatuh menyusuri ceruk leher, Jimin berkata, "Jangan khawatir, aku di sini."

Hidung mereka bersentuhan, bawa kehangatan untuk menyeruak ke dalam diri masing-masing. Anha mengangkat wajahnya, membiarkan maniknya kembali bersirobok dan jatuh ke dalam pesona pemuda tersebut yang tak akan pernah sirna. "Berjanjilah untuk selalu kembali, Jim." Jemarinya menyusuri material kenyal milik si pemuda, mengusap bibir tersebut sembari menelan getir di dalam dada. "Kaulah satu-satunya harapanku sekarang."

Memejam rapat, merasakan sentuhan lembut yang sudah lama didambanya, Jimin menyahut, "Iya, An. Aku berjanji." Dia membuat lebih banyak jarak, mengusap pucuk kepala Anha sebelum beralih merapikan jaketnya yang sedikit tersingkap. "Ingat, kau hanya perlu mematuhi perkataanku. Tunggu aku di sini, jangan kemana-mana. Dan jika Bajingan itu kembali ..." Jimin coba menyulam senyum tipis sebelum melanjutkan dengan amarah yang ditahan, " ... aku pasti akan menghabisinya."

Jimin berlalu dari sana, menyusuri lorong berbau apak dengan pencahayaan yang minim. Kemudian, setelah berlari sekitar lima menit lamanya, ia menemukan sebuah tangga besi yang terhubung langsung dengan lantai satu. Pun, dia bergegas meniti dengan jemari yang melekat di birai. Cahaya terang menyelimuti pandangan, Jimin menyipit untuk sesaat. Tangannya sempat meraba ke bagian punggung, sekadar memastikan bahwa alat pertahanan diri miliknya terselip di sana.

Jimin menggeledah ke tiap-tiap bilik yang ada, mengorek nakas pula lemari yang tertutup kain. Tempat ini tampaknya sudah lama ditinggalkan dan tidak pernah tersentuh oleh perawatan. Banyak sekali kotoran dan bangkai hewan pengerat yang menguarkan aroma busuk. Tsk, menjijikkan sekali. Namun di sana, di tengah pencarian singkat yang terus berlangsung, Jimin tetap berusaha. Tak acuh pada telapak tangannya yang berubah sehitam arang.

Jimin beralih menuju lantai kedua, berharap di lantai inilah ia bisa mendapatkan kunci borgol yang menjerat kaki Anha. Tetapi nihil. Di lantai ini tidak ada apa-apa, hanya sebatas karpet beludru usang yang membentang di dekat pilar. Dia mengacak surainya asal, frustasi. Taehyung sudah pergi selama hampir satu jam, dan tentu tidak menutup kemungkinan bahwa si Bangsat itu akan kembali sebentar lagi.

Menyemburkan napas sembari mensugesti diri sendiri dengan hal-hal yang baik, pun Jimin melanjutkan pencariannya ke lantai tiga, lantai di mana Anha-nya disiksa secara brutal. Sebuah pintu reyot menjadi pembatas, dan Jimin tidak berpikir dua kali untuk menendangnya kuat. Bingkai persegi panjang tersebut roboh, menghantam ubin penuh debu dan bercak darah.

Mematung dengan lidah yang mendadak kelu, Jimin mengerjap lambat. Ah, ternyata memang separah itu Taehyung menyiksa Anha-nya.

Bias matahari yang menyelinap masuk melalui celah ventilasi lekas membuat Jimin tersadar. Dia kemari untuk menyelamatkan Anha, bukan untuk menyesali peristiwa yang ada.

Kunci. Ya, aku butuh kunci.

Jimin bergerak cepat, berpindah dari satu objek ke objek yang lain. Nakas kecil di dekat jendela menjadi satu-satunya barang yang tersisa. Di sinilah kunci tersebut berada, pasti. Kemudian, dalam beberapa kali sentakan konkrit, Jimin berhasil membukanya. Sepasang manik jelaganya langsung terpaku pada kilaukan perak yang terselip di sebuah buku. Jimin sudah memersiapkan diri untuk menarik benda tersebut, tetapi fokusnya mendadak pecah kala mendapati selembar foto yang mengintip malu-malu.

Ini bukan buku, melainkan sebuah album foto.

Ada secuil rasa penasaran yang timbul, semerta-merta buat Jimin melirik ke arah jendela dan biarkan irisnya menyisir lambat; meneliti keadaan sekitar yang lengang. Mobil Taehyung masih belum terlihat, dan itu adalah pertanda yang baik bahwa dirinya bisa menikmati album tersebut tanpa perlu tergesa.

Usai menyelipkan kunci borgol milik Anha ke dalam saku celana, Jimin mulai menggerakkan jemarinya untuk membuka sampul album tersebut. Di lembar pertama, ada banyak potret bayi mungil pula bocah lelaki bergigi rumpang. Satu alis Jimin menjungkit naik, heran. Dia mengambil beberapa foto untuk ditilik lebih dalam. Sebuah guratan pena bertinta emas tertoreh di bagian belakang.

Bayi Kim Taehyung, Taehyung yang berumur 4 tahun, Bocah nakal Kim.

Mendesah berat, Jimin lekas mengembalikan lembaran foto itu ke tempat semula. Tidak ada yang menarik, album usang tersebut hanya berisikan potret Kim Taehyung di masa lampau, masa di mana dirinya masih suci dan tidak tersentuh oleh apa pun yang nista. Berniat menyudahi aksi lancangnya, lagi-lagi Jimin mengurungkan niat. Ia menemukan tangkai bunga mawar kering yang terjulur di bagian tengah halaman. Merasa ada sesuatu yang tidak beres, Jimin membukanya. Netranya menyipit, ada potret seorang wanita yang tengah duduk memangku Taehyung kecil. Namun, bukan itu yang membuatnya termangu, melainkan spidol merah yang dicoret tepat di wajah si wanita.

Berusaha menyimpulkan kepingan puzzle yang ada, Jimin malah dibuat terkesiap kala mendengar deru mesin mobil di kejauhan. Sial, Taehyung kembali.

Tanpa sempat membereskan kekacauan yang telah diperbuatnya, Jimin berlari tunggang-langgang menuju ruang bawah tanah; berpacu dengan detik yang terus berlalu. Jantungnya seperti merosot ke tempurung lutut, begitu pula perutnya yang teraduk-aduk. Jimin merasa mual dan pening di saat yang bersamaan.

"Jimin? Kau 'kah itu?"

Suara Anha menggema, menggelitik liang telinga hingga buat semangatnya kembali membara. Dengan langkah terseret kehabisan tenaga, Jimin kembali ke hadapan Anha.

"Kau kembali, Jim," ujar si wanita dengan manik yang berkaca-kaca. Jimin sontak terenyuh, tak menyangka jika Anha masih meragukan janjinya. "Kau kembali," ulangnya sembari merengkuh punggung Jimin yang hangat.

"Iya, Anha." Jimin membalas dekapan tesebut, tetapi sadar akan waktu yang kian menipis, ia lekas menjauh. Belenggu itu terbuka dalam hitungan detik, membebaskan Anha dari jerat kesakitan. Tak berselang lama, Jimin membalikkan badan, membelakangi si puan dengan napas yang tertahan. "Naiklah ke punggungku, aku akan menggendongmu."

Anha mengangguk sekali, tetapi sadar akan Jimin yang tidak melihatnya, ia lekas mengalungkan lengan di leher si pemuda, membiarkan tubuhnya melekat langsung di punggung hangat tersebut.

Baru beberapa langkah terambil, Anha merasakan sesuatu yang ganjil. "Jimin," panggilnya. "S-sakit."

"Bagian mana yang sakit, An?"

Tidak lekas menyahut, Anha lebih memilih untuk menggigit bibir bagian dalamnya. "Itu—"

Menolehkan wajah ke belakang, Jimin dapat melihat bagaimana darah mengucur dari kemaluan Anha, membuat pola abstrak di atas lantai keramik. Diserang panik, Jimin pun menurunkan Anha, membaringkannya hati-hati dan meminta wanita itu untuk membuka kakinya lebar-lebar. Tanpa ada rasa jijik, dia membiarkan ujung kemejanya untuk membersihkan cairan pekat tersebut. Ada luka sobek di mulut vagina Anha, cukup berbahaya apabila tidak ditangani dengan segera.

"Tahan sebentar, ya. Aku akan mengobatinya, tapi tidak untuk sekarang. Taehyung telah kembali, dan waktu kita tidak tersisa banyak."

Di sela kesadarannya yang mulai menipis, Anha mengangguk lemah. Ia sekarat, dan mungkin ini adalah detik terakhir di mana ia dapat melihat dunia dengan leluasa. Anha membiarkan Jimin kembali menggendongnya—kali ini ia berada di depan. Harum tubuh Jimin yang seperti bayi membuat Anha merasakan kenyamanan yang absolut, nyaris terlelap dengan kunang-kunang di kedua mata yang semakin gencar berdenyar.

Tiba di ambang pintu, Anha kembali mencicit, kemaluannya seperti baru saja dijejalkan palu berukuran amat besar. "S-sakit sekali, Jim. Sakit."

Ada spasi panjang yang membentang, Jimin terdiam sesaat sembari memandang wajah Anha yang berubah sepucat mayat. Memejamkan mata, Jimin mengecup kening si wanita dalam tempuh waktu belasan detik, begitu hanyut hingga tak menyadari ancaman yang sebenarnya sudah datang tepat di belakang sana. Di sekon berikutnya, tubuh Jimin menegang. Punggungnya kebas saat tahu ada sebilah pisau yang menancap sempurna.

Menurunkan Anha secara perlahan, ekor mata Jimin dapat menangkap bagaimana Taehyung tersenyum timpang sebelum akhirnya tertawa kesetanan. "Kau terlambat. Aku sudah menyetubuhinya." Bajingan sinting itu maju selangkah lebih dekat, agak sedikit terhuyung sebab kadar alkohol yang ditenggaknya belum juga reda. "HAHA, AKU MENYETUBUHI KEKASIHMU YANG JALANG ITU."

Dengan sepasang mata yang berkilat menahan angkara, Jimin menerjang Taehyung; membenturkan kepalanya ke salah satu pilar yang berdiri angkuh. Jemarinya melingkar apik di leher sang lawan, coba menyumbat saluran pernapasannya dengan cekikkan kuat. Taehyung tampak mengais-ngais udara, membuat gestur seakan ia telah meraih kekalahan, tetapi pada kenyataannya dia hanya membual. Tatkala Jimin lengah, Taehyung segera melancarkan serangan balik dengan tungkainya yang mendarat tepat di kepala Jimin, membalikkan keadaan dalam hitungan detik.

Ah, Taehyung memang tidak selemah dan sebodoh itu untuk dikalahkan.

"Aku akan memberimu dua pilihan." Rahang tegasnya mengeras, buat urat-urat di sekitar leher turut menyembul keluar. Taehyung menekan tangannya yang mengepal tepat di jakun sang lawan (barangkali ia hendak memecahkan benda tersebut dalam satu tekanan kuat), sementara tubuhnya sudah menindih tubuh Jimin dengan kedua kaki yang memenjara di tiap sisi. "Pergi atau mati." Air liur si Kim itu jatuh membasahi ceruk leher Jimin manakala dirinya terkekeh sinting. "Waktumu hanya lima detik, Park. Segera putuskan sebelum aku mengantarmu pada kematian." []

Continue Reading

You'll Also Like

379K 53.9K 42
Layaknya perputaran waktu yang tengah dimainkan oleh semesta, kita pun perlahan semakin tenggelam dalam sungai yang menjadi bagian dari perputaran wa...
122K 9.6K 22
Tidak ada yang sempurna di dunia ini, itu adalah kalimat yang benar adanya. Jika menurut orang lain seorang Choi Taehyung sangat sempurna, justru pad...
31.9K 3.8K 10
Dibawah sinar rembulan pertengahan malam, di selimuti gemerlap malam tak berparas. Jeon Jungkook menemukan takdir pilu yang sama dengannya. Melebihi...
10.1K 1.3K 8
Tahun 1930 adalah tahun terburuk untuk Yun Haerin. Gadis berusia 21 tahun itu terpaksa meninggalkan desa dan saudari-saudarinya karena sang paman men...