Enigma, The Shadow [Re-write]...

By pratiwikim

85.4K 12.6K 3.7K

[Re-write] It doesn't have foot but it can run It always remind you of something ©ᴘʀᴀᴛɪᴡɪᴋɪᴍ ⚠️ ᴛʀɪɢɢᴇʀ ᴡᴀʀɴ... More

ᴛʀᴀᴄᴋʟɪꜱᴛ
1. ʙᴇɢɪɴ, ᴍᴇᴇᴛ ʜɪᴍ
2. ꜱᴄᴀʀ ᴏɴ ʜɪꜱ ꜱᴋɪɴ
3. ʙᴇᴛʀᴀʏᴀʟ ꜰʀᴏᴍ ʜᴇʀ ʟᴏᴠᴇʀ
4. ꜱᴛʀᴀɴɢᴇ ꜰᴇᴇʟɪɴɢꜱ
5. ʟᴇᴛ'ꜱ ᴘʟᴀʏ ᴀ ꜰᴜɴ ɢᴀᴍᴇ
6. ʜɪꜱ ɪʟʟɴᴇꜱꜱ, ᴀʟᴢʜᴇɪᴍᴇʀ
7. ʙᴇᴛᴡᴇᴇɴ ᴀ ᴋɪꜱꜱ ᴀɴᴅ ᴅᴇꜱɪʀᴇ
8. ᴄᴏʟᴅ ʀᴀɪɴ
9. ʜᴇʀ ᴇx-ʟᴏᴠᴇʀ
10. ᴅᴇᴇᴘ ɪɴ ʜɪꜱ ʜᴇᴀʀᴛꜱ
11. ᴠᴀɴɪꜱʜ ᴀᴡᴀʏ
12. ᴛʜᴇ ʀᴇᴀʟ ʜɪᴍ, ᴘꜱʏᴄʜᴏ
13.1. ᴄʜɪʟᴅʜᴏᴏᴅ ꜰʀɪᴇɴᴅ
13.2. ᴄʜɪʟᴅʜᴏᴏᴅ ꜰʀɪᴇɴᴅ
14. ꜰᴀᴋᴇ ᴘᴇᴏᴘʟᴇ
15. ᴛʀʏ ᴛᴏ ᴘʀᴏᴛᴇᴄᴛɪɴɢ ʏᴏᴜ
16. ᴡᴏᴍᴀɴ ɪɴ ᴛʜᴇ ʙᴀʀ
17. ᴀʟᴍᴏꜱᴛ, ʙᴜᴛ ꜱᴛɪʟʟ ᴋᴇᴇᴘ ᴛʜᴇ ᴅɪꜱᴛᴀɴᴄᴇ
18. ʀᴏᴛᴛᴇɴ ᴛᴏ ᴛʜᴇ ᴄᴏʀᴇ
19. ᴡɪᴘᴇ ᴏꜰꜰ ᴀʟʟ ᴛʜᴇ ᴛʀᴀɪʟ
21. ʀᴇᴠᴇɴɢᴇ
22. ɪꜱ ɪᴛ ᴛʜᴇ ᴇɴᴅ?
23. ꜰɪᴇʀᴄᴇ ʙᴀᴛᴛʟᴇ
24. ɪɴꜰɪɴɪᴛᴇ
ꜰɪɴᴀʟ: ʏᴏᴜ ᴀʀᴇ ᴍʏ ᴍᴇᴍᴏʀʏ
ᴀʟʟ ɪ ᴡᴀɴᴛ

20. ʙᴀᴄᴋꜰɪʀᴇ ᴇꜰꜰᴇᴄᴛ

1.9K 309 106
By pratiwikim

WARNING!
[Mature Content]

•••

Di balik sekat berongga yang ada di ruang ganti sekaligus toilet, Park Hyerin menyeringai. Sudut bibirnya tertarik ke atas dengan satu tangan yang meraba bagian punggung; coba memastikan suatu benda yang akan digunakannya nanti. Dia sedang mengintai seseorang. Yep, siapa lagi kalau bukan Anha—si jalang sialan yang menjadi penghambat dalam hidupnya.

Beberapa hari belakangan ini Hyerin telah merancang sebuah rencana yang spektakuler; amat sangat mengesankan, dan semoga saja hasilnya tidak melenceng dari perkiraan. Lihat saja, kali ini Hyerin akan melenyapkan Jung Anha dalam satu ayunan belati di bagian perut. Haha. Tentunya ini sangat menyenangkan. Dia bahkan bisa membayangkan bagaimana Anha yang menjerit ketakutan, berteriak meminta pertolongan, dan berakhir meregang nyawa dalam kegelapan. Duh, semakin dipikirkan, rasanya Hyerin semakin tidak sabar untuk melakukannya.

Tersenyum tipis tatkala sosok tersebut berpamitan untuk keluar terlebih dahulu, Hyerin lekas menanggalkan seluruh pakaian yang dikenakan, menggantinya dengan setelan hitam beserta masker dan kacamata yang senada. Penampilannya mungkin terlihat mencolok di tengah bangunan yang didominasi warna putih bersih ini, tetapi beruntungnya mereka berdua tengah mengambil shift malam dikarenakan pihak yang bersangkutan sedang berhalangan.

Bahkan Tuhan dan semesta seakan berpihak padanya malam ini.

Segala macam aksesoris yang melekat di tubuh, juga Hyerin lepas. Namun sebelum itu, dia sempat melirik ke arah jam tangan perak yang tengah menunjukkan pukul tiga dini hari. Untuk sesaat wanita tersebut menghela napas. Penat menggelayut di tubuh sintalnya, yang semerta-merta sebabkan kuap kecil untuk terus terbit dari bilah bibir yang berpoles gincu merah.

Hyerin mematut diri sekali lagi, coba mencari kekurangan macam apa yang dimiliki melalui cermin yang pantulkan langsung lekuk tubuhnya. Setelah satu menit berlalu, wanita tersebut sekonyong-konyong terkekeh puas. Hyerin sempurna; tidak memiliki cela sedikit pun—jika kalian tidak setuju, peduli setan. Tubuhnya tinggi semampai, rambutnya bagus, dada dan bokongnya juga besar. Hyerin tersenyum miring. Pikirnya Jung Anha sama sekali tidak mampu menandingi wanita secantik dirinya. Jalang itu hanya sampah, tidak berharga.

Mengulurkan jemari guna memutar kenop pintu, Hyerin berjalan tenang menyusuri bangsal para pasien pula lorong nan panjang dengan penerangan yang menggantung minim. Maskernya telah dinaikkan, dan wanita itu berusaha bersikap senormal mungkin sebab dia tentunya tidak ingin dicurigai lewat kamera pengawas yang beroperasi di tiap sudut bangunan.

Sungguh. Rasanya Hyerin tidak bisa menahan gejolak yang landa rongga dada tatkala mengingat bagaimana Jung Anha berlakon di hadapannya. Well, boleh diakui kalau akting wanita itu cukup bagus. Dia berhasil mengelabui Hyerin di pekan pertama. Bersikap dan bertutur kata penuh canda dan jenaka. Akan tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama. Hyerin dapat dengan cepat mengendus sesuatu yang tidak beres.

Jung Anha telah mengetahui kebusukannya—tanpa terkecuali.

Lantas, tidak ada lagi obrolan yang diselingi canda dan tawa. Mereka menjalin interaksi menggunakan gestur kecil berupa anggukan, gelengan, dan kibasan tangan. Namun, ketika keadaan benar-benar mendesak, barulah mereka saling melempar kalimat. Itu pun hanya sepatah dua patah kata. Ekspresi yang terpasang, pun tak pernah berubah; datar dan dingin.

Terkadang, seringkali Hyerin mendapati wanita Jung itu tengah memandang ke arahnya. Tanpa ekspresi, air wajahnya begitu sulit untuk diselami. Tetapi ada satu hal yang dia yakini, bahwa Anha membencinya setengah mati. Fakta itu barangkali sedikit banyak membuat Hyerin geram, bahkan ujung kukunya nan tajam ini nyaris mendarat di permukaan wajah Anha jikalau dia tidak memiliki pendirian yang cukup kuat. Mencabik kulit tersebut hingga berai dan berdarah sepertinya akan menjadi sesuatu yang seru, bukan?

Kendati pemikiran semacam itu terasa amat sangat menggiurkan, nyatanya Hyerin tidak melakukannya. Dia ingin mengulur lebih banyak waktu, bermain-main sedikit sembari coba mendalami kehidupan Anha yang membosankan. Hingga akhirnya tibalah hari ini—hari di mana Hyerin berada di puncak kejayaan.

Dengan tungkai berbalut jeans hitam ketat, Hyerin memercepat langkah. Dia bisa merasakan jantungnya berdentum bak gendang yang ditabuh kuat. Tangannya mengepal di sisi badan, seolah memegang sebuah prinsip yang tertanam jauh di lubuk hati; jika Hyerin menderita, maka Anha juga harus menderita. Dan jikalau Hyerin sudah bahagia, maka Anha harus tetap menderita.

Egois? Huh, peduli setan. Hatinya telah dibutakan oleh dengki yang membara.

Bruk ...

Tiada angin tiada hujan, Hyerin tiba-tiba tersungkur di atas lantai. Dia mendesis tatkala merasakan tulang keringnya berbenturan langsung dengan kaki kursi. Suara bising tercipta lirih dan retakkan geming yang menyusup di antara pagi. Menyadari eksistensinya bisa ditemukan oleh sang target, Hyerin lekas beringsut di balik tembok. Labiumnya dijilat berulang kali guna meminimalisir rasa gugup yang dera tubuh.

Hancur sudah jika Anha menemukannya.

Lima menit berada di sana dengan batin yang tak keruan, Hyerin tersadar bahwa Anha telah menghilang dari posisi terakhir yang dilihatnya. Oh, dasar bajingan! Dia merutuk, bibirnya mengerucut sebal di balik masker yang dikenakan. Sembari mengirim umpatan, Hyerin membenarkan ikat tali sepatu yang menjadi biang keladi dalam permasalahannya.

Rasa nyeri dera tungkai Hyerin, tetapi wanita itu mencoba abai. Dia memutuskan untuk tetap melanjutkan aksinya. Berlari kecil menuju basement, Hyerin menjanjikan satu hal pada dirinya sendiri bahwa Jung Anha harus mati di tangannya malam ini juga. Ya, harus. Bagaimanapun caranya.

Hari yang melelahkan, pikir Anha.

Menutup pintu yang menjadi perantara, si Jung itu melemaskan seluruh otot yang bersarang di tubuh. Dia baru saja mengecek ruangan milik Jungkook untuk yang terakhir kali sebelum pulang ke rumah. Takut kalau pemuda tersebut kembali terjaga dan berteriak bak orang yang dirasuki roh jahat. Yah, beberapa waktu yang lalu, Jungkook sempat melakukan hal tersebut hingga membuat Anha yang tadinya hendak buang air kecil, kontan berlari tergopoh menuju ruangan 14A. Dia panik bukan main, takut kalau ada suatu hal yang menimpa Jeon manis itu. Apalagi mengingat insiden pintu terkunci, yang semerta-merta sebabkan trauma pada Jungkook sendiri.

"Noona, ada monster jahat yang hendak memangsaku. Dia besar sekali. Wajahnya jelek, kucel, seperti tidak pernah mandi. Giginya juga kuning." Sejemang, Anha memejam; terlampau bingung dengan sikap yang harus ditampilkan. Dia berada di antara rasa cemas dan gemas—cemas karena temukan Jungkook yang tahu-tahu saja sudah berlinang air mata, pun gemas tatkala mendengar penuturan polos tak berdosa tersebut. Ingin sekali Anha layangkan cubitan di bilah pipi Jungkook yang gembil, tetapi dia buru-buru tersadar saat mendengar pemuda itu melanjutkan terisak, "Monster itu mengejarku, Noona. Huhu, seram sekali."

Lantas, tersenyum kecil sembari mengusap kristal bening yang sesekali jatuh dari pelupuk mata, Anha membalas kalem, "Sshhh, tidak perlu takut. Aku akan menemanimu, Kook-ah. Sekarang tidur lagi, ya?" Surai lepek milik Jungkook, diusap penuh kasih sayang. Anha seakan tak mengindahkan rasa lengket akibat keringat yang balut telapak tangan.

Mengangguk patuh bak kerbau yang dicucuk hidungnya, Jungkook kembali merebahkan diri. Kelopak matanya yang setengah bengkak itu terpejam rapat. Jujur, isi kepalanya masih dirundung oleh paras monster ganas yang sempat bertandang di dalam mimpinya. Kendati demikian, demi sang Noona kesayangan, Jungkook menurut saja. Terlebih dia masih mengantuk, apalagi ditambah nyanyian merdu yang mencuat dari ceruk bibir Anha. Tanpa sadar, Jungkook telah sepenuhnya kembali dalam gulungan mimpi. Alih-alih temukan monster itu, dia malah berjumpa dengan Tuan Permen Kapas beserta Nona Jelly berwarna biru laut.

Sebelum kembali ke rumah, Anha berniat untuk mengganti pakaian yang dikenakan. Aroma parfum buah-buahannya telah menguap dan tergantikan oleh keringat yang mengucur di pori-pori. Dia berjalan santai menuju ruang ganti yang terletak di dekat taman belakang rumah sakit. Hari telah berlalu, dan Anha sama sekali tidak bisa memungkiri kalau tubuhnya seperti diremukkan dalam satu ayunan gada. Dia lelah, sangat. Beruntungnya, pimpinan rumah sakit memberi keringanan. Anha bisa meliburkan diri satu hari sebelum kembali bekerja seperti biasa. Terbilang cukup singkat, sih. Tetapi tidak masalah. Setidaknya Anha bisa beristirahat lebih lama.

Tatkala hampir selesai berganti pakaian dengan sesuatu yang lebih santai, Anha malah menemukan Park Hyerin turut melesatkan diri ke dalam ruangan. Tidak ada konversasi yang terbentuk. Mereka hanya diam dengan kegiatan masing-masing. Anha sadar bahwa maniknya sempat bersirobok dengan manik milik Hyerin, tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama sebab Anha buru-buru memutusnya. Dia coba berpikir positif; barangkali Hyerin juga ingin berganti pakaian. Sampai di sana, Anha tidak menaruh rasa curiga sama sekali. Dia cuai saja sembari mencuci kedua tangan melalui kucuran air wastafel.

"Aku pulang dulu," ujar Anha berpamitan—sekadar berbasa-basi agar tidak dicap sombong. Hyerin tersenyum kecil sebagai tanggapan.

Usai keluar dari sana, Anha lekas berjalan mengikuti jalur yang tersedia. Syukurlah, batinnya. Anha tidak menemukan keanehan apa-apa pada Hyerin. Sedikit menyesal karena telah berburuk sangka pada wanita tersebut.

Anha berjalan tenang, jemarinya mencengkram erat tali tas yang tersampir di bahu kiri. Onyxnya menatap lurus ke depan, terus menyusuri lorong dengan keadaan temaram. Rungunya beberapa kali menangkap suara gemerisik yang sedikit dirikan rambut halus di permukaan kulit. Tuhan, aku hanya ingin pulang, bersua dengan kasur tercinta dan jatuh dalam gulungan mimpi. Itu saja. Untuk itu, Anha menambah kecepatan kerja dari kedua tungkainya. Dia berusaha ciptakan sesuatu yang menyenangkan di dalam kepala; es krim, komidi putar, bianglala, permen kapas, bando hewan. Konyol memang, tetapi setidaknya Anha merasa lebih baik.

Namun tiba-tiba, bruk!

Terkesiap, Anha menghentikan langkah kakinya. Dia menolehkan wajah, menelisik cermat ke arah belakang dengan perasaan was-was. Beberapa detik setelahnya, Anha tidak menemukan apa-apa. Lantas hal tersebut semerta-merta membuat wanita itu terdiam untuk sesaat. Mungkinkah hantu? Oh, astaga. Tengkuknya perlahan meremang, ciptakan sekelumit takut yang cepat merangsek di dalam tubuh. Pun, karena Anha sama sekali tidak bisa berpikir jernih lagi, segera saja dia berlari; menyongsong ke arah pintu dan mencari taksi.

Sementara itu, di sisi lain yang dibalut oleh kegelapan, ada seorang pemuda dengan sepasang netra sabitnya yang menyipit. Tampaknya dia juga tengah mengintai seseorang. Hal tersebut terbukti dengan tubuhnya yang bergerak gesit tatkala mendapati Hyerin berjalan beberapa langkah di belakang Anha. Kemudian, nyaris meloncat dari tempat persembunyian dan layangkan satu dua bogeman, si jalang itu tahu-tahu saja sudah tersungkur.

Jimin menghela napas pendek, lega. Akan tetapi dia tahu benar bagaimana perangai Hyerin. Tampangnya sangat kriminal. Ada kemungkinan besar bahwa wanita itu tidak akan menyerah dengan mudah. Pun, Jimin lekas menuju mobil yang terparkir tak jauh dari bangunan rumah sakit. Dia berkendara menuju toserba terdekat dan membeli beberapa barang perlengkapan menggunakan uang yang tersisa di dalam saku celana.

Sembari melirik cemas ke arah bangunan rumah sakit tersebut, Jimin menghidupkan mesin mobil. Dia menginjak pedal gas dengan setengah tergesa, membelah jalanan Seoul yang tak ada matinya. Kepala Jimin masih dirundung cemas, takut kalau sewaktu-waktu Hyerin memilih cara lain untuk mencelakai wanita terkasihnya.

Memutar kemudi ke arah kiri, Jimin mendadak teringat akan dirinya yang sedikit kesulitan saat menjawab pertanyaan sederhana yang dilayangkan oleh kasir toserba. "Apa yang akan kau lakukan dengan benda-benda ini, Tuan?"

Barangkali pemuda itu memiliki kadar kuriositas yang cukup besar, apalagi saat melihat komposisi barang yang dibeli sedikit aneh. Berdeham, Jimin berusaha menyortir kata-kata di dalam kepala. Dia tidak ingin asal bersuara sebab salah-salah ia bisa celaka. "Ini milik pamanku, aku hanya bertugas membelikannya saja."

Jungyeon—pemuda berkacamata yang berada di balik meja kasir—mengerutkan kening samar, heran. Sepasang obsidian kembarnya menelisik satu per satu barang yang berada di dalam keranjang. Ada gunting, silet, sebungkus garam, balon warna-warni, serta topeng badut mainan dengan hidung semerah tomat matang. Merasa tidak begitu yakin, dia mengajukan sebuah kalimat retorik, "Tampaknya beliau hendak mengadakan sebuah pesta, ya?"

Jimin tertawa pahit di dalam hati. Pesta apanya? Dia ini sedang merencanakan aksi balas dendam. Namun di sana, kendati bibir ingin menyuarakan kebenaran, Jimin hanya bisa tersenyum tipis. Sementara itu, Jungyeon masih menanti sebuah kalimat balasan sembari tangannya yang bergerak lincah memasukkan satu per satu barang ke dalam kantong plastik.

"Ya, sebuah pesta." Jemari Jimin terulur meraih kantong tersebut. Senyum kecilnya masih tersemat apik, bahkan sesaat setelah ia berkata, "Pesta yang amat sangat menyenangkan."

Menggeleng pelan, menyadari taksi yang ditumpangi Anha semakin melaju kencang, tentu membuat Jimin mau tak mau menambah kecepatan. Dia mendecakkan lidah tatkala beberapa mobil menyalip dan halangi pandangan. Bibir bagian bawahnya digigit kuat-kuat, tak mengindahkan percikan darah yang tercecap oleh lidah, sebab bagi Park Jimin, Anha-lah yang paling penting.

Malam nan pekat semakin mendekati fajar, semenjana langit mulai meredup dengan bulan sabit yang hilang dari peraduan. Barangkali hujan akan turun sebentar lagi. Jimin masih menyusuri jalanan sembari mengikuti laju mobil taksi milik Anha yang berbelok di tikungan. Kaca spion yang menggantung sesekali Jimin lirik, yah, hanya sekadar memastikan bahwa sedan milik Hyerin tertinggal jauh di belakang. Tampaknya wanita itu bergerak lebih lambat dari dugaan. Tetapi tak apa, berkat ini Jimin bisa menyiapkan strategi kecil untuk balik menjebaknya.

Taksi yang ditumpangi Anha berhenti, pintunya terbuka sesaat kemudian dan langsung tampilkan wanita dengan segurat raut lelah yang terukir di wajah jelitanya. Jimin memerhatikan Anha di kejauhan; bagaimana wanita itu menyingkirkan helai rambut yang mengganggu pandangan, berjalan mengentak puluhan marmer, hingga tenggelam di balik lift yang membawa tubuh tersebut ke lantai lima. Menyemburkan napas panjang hingga asap tipis terbentuk di udara, Jimin lekas menggerakan tungkainya untuk berlari ke arah tangga darurat.

Jimin menurunkan topi, menempatkan bokong di kursi kayu yang tersedia di dekat pintu tangga darurat. Satu kakinya diletakkan di atas kaki lainnya, saling bertumpu dengan kedua tangan yang dijejalkan ke dalam satu jaket hitam pudar. Dalam geming yang diisi hela napas memburu pula jantung yang bertalu, Jimin membuat sebuah hitungan cepat di dalam kepala.

Hanya membutuhkan waktu kurang dari lima menit, Jimin dapat memastikan bahwa derap langkah yang menggema di dalam rungu adalah milik Park Hyerin. Jimin menaikkan wajah, namun tetap memandang lurus ke depan—tepat ke arah pot kecil yang berisi tanaman hidup. Dari ekor matanya, dia dapat melihat bagaimana Hyerin mengambil langkah pelan dengan satu tangan yang disembunyikan di belakang punggung. Huh, pengecut! Harusnya jalang itu langsung saja tunjukkan belati yang sedari tadi disembunyikan.

Tatkala tubuh berbalut pakaian full black itu berada persis di hadapan pintu apartemen Anha, Jimin sekonyong-konyong bangkit. Dia berjalan dari arah berlawanan dengan kepada yang sedikit dirundukkan. Tentu Jimin tidak ingin rencananya gagal begitu saja. Maka dari itu, kiranya tak masalah untuk sedikit menambah bumbu-bumbu lakon ke dalamnya.

Bahu mereka bersenggolan, sukses membuat Hyerin menjatuhkan belati yang disembunyikannya. Hal itu sempat picu kegaduhan kecil, tetapi Jimin buru-buru melilit leher Hyerin dengan satu lengannya, sedang lengan lain lekas membekap erat mulut tersebut. Hyerin berontak, coba menendang-nendang tungkai Jimin agar keadaan lekas terbalik. Namun hal tersebut tentu berakhir sia-sia. Jimin tidak semudah itu untuk dikalahkan. Dia lelaki, tenaganya tentu dua kali lipat lebih besar dibandingkan kuman kecil bernama Park Hyerin ini.

Sepersekian sekon kemudian, Hyerin melancarkan gigitan di telapak tangan Jimin, kontan membuat sang empu memekik lirih dan lepaskan belenggu. Wanita sinting itu hendak mengambil belati miliknya yang jatuh di dekat kaki, tetapi Jimin dengan sigap menendang benda tersebut dan menarik paksa rambut ekor kuda milik Hyerin.

Dirasa keadaan mulai tidak kondusif, Jimin bergegas menyeret Hyerin menuju tangga darurat. Daksa tersebut dilempar hingga membentur dinding, yang semerta-merta sebabkan kesadaran Hyerin turut melayang di udara.

Menepuk kedua tangan seolah ada butiran debu yang melekat di sana, Jimin berniat memberi sentuhan terakhir sebelum berlanjut ke permainan yang sesungguhnya. Pun tanpa pikir panjang, pemuda tersebut meludah tepat di wajah Hyerin yang dipoles make up. Setelahnya, Jimin tertawa puas.

Bersiaplah, Hyerin. Kita akan bersenang-senang malam ini.

Park Jimin telah menyelesaikan tiupan pada balon yang sempat dibeli. Mulutnya terasa kebas dengan celah labium yang mengering. Bersandar pada kusen pintu penuh aroma karat, Jimin membiarkan kedua lengannya bersidekap di depan dada. Dipandanginya tubuh Hyerin yang tergeletak tak berdaya di sudut ruangan melalui topeng badut yang dikenakan.

Melangkah mendekat, Jimin berjongkok di sisi Hyerin. Jemarinya perlahan menyusuri lekuk wajah sang puan yang bisa dibilang cukup menarik. Well, hanya karena Jimin mengatakan hal demikian, bukan berarti ia tertarik dengan kuman ini. Camkan itu! Hanya saja, pikir Jimin akan lebih baik jikalau ia kembali menambah bumbu-bumbu lakon. Selain cukup menghibur hati yang terluka, juga entah kenapa ia mendadak menyukainya—maksud Jimin, suka bagaimana sosok tersebut meronta dan menjerit di bawah kuasanya.

Lantas, Jimin melarikan matanya kesana-kemari dan temukan tali tambang di sudut yang lembab. Dengan itu, ia mengunci segala pergerakan Hyerin. Jimin tidak mau kegiatannya yang menyenangkan ini diinterupsi oleh apa pun. Namun, ketika dirinya hendak beralih menuju kaki, Hyerin mendadak tersadar dan lekas daratkan satu tendangan yang sukses buat Jimin terjengkang.

"Bajingan! Siapa kau!"

Hyerin beringsut ketakutan. Maniknya menjelajah sekitar dan temukan banyak balon yang mengelilingi. Detik itu juga tubuhnya meremang. Hyerin mengidap globophobia, orang awan akan menyebutnya rasa takut terhadap balon. Sebuah keping memori merangsek secara paksa ke dalam benak, tentang dirinya yang dirundung oleh teman kelas menggunakan benda karet berisi angin tersebut. Letusan di sana-sini, usik pendengaran dengan butiran telur yang pecah di atas kepala.

"Eiy, kenapa begitu?" Mendecih, meremehkan sang lawan yang mendadak menciut, Jimin kembali melanjutkan aksi ikat-mengikat yang sempat tertunda. "Mana tampang jagoanmu, huh? Bukankah tadi kau berniat mencelakai Anha?"

Sekujur tubuh Hyerin kebas, ia hanya bisa pasrah tatkala tambang tersebut menggesek permukaan kulitnya dan timbulkan ruam kemerahan. "Kutanya sekali lagi." Hyerin menjeda, memusatkan atensi pada wajah berbalut topeng badut. Vokalnya bergetar tatkala melanjutkan, "Siapa kau?"

Jimin kian mengikis jarak, napas mereka beradu satu sama lain. "Bukankah kau bisa mengenali suaraku?" Meneguk getir pahit yang dominasi pangkal kerongkongan, Hyerin menggeleng pelan, semerta-merta buat Jimin menghela napas pendek. Perlahan, jemarinya menurunkan topeng yang sedari tadi sembunyikan wajah. "Bagaimana? Sudah mengenaliku, Hyerin-ssi?"

"J-jack?"

Lidah Hyerin kelu, tak menyangka jikalau sosok di hadapannya ini adalah lelaki yang dipujanya.

Tawa jenaka menggelegar. Jimin mengusap sudut matanya yang berair. "Kau ini wanita yang bodoh sekali, ya. Tidak bisakah kau mengenaliku lagi?" Kedua belah pipi itu Jimin cengkram kuat hingga sang empu memekik kesakitan. "Aku Park Jimin. Pasien yang dulu sempat kau rawat di rumah sakit."

Seakan tersengat ribuan volt listrik yang kemudian dilanjutkan dengan sambaran petir, Hyerin menegang di tempat. Jantungnya seperti jatuh menuju dasar perut hingga sebabkan peredaran darahnya berhenti mengalir. Mengerjap lambat, mencermati pemuda di hadapannya secara saksama, Hyerin sekonyong-konyong sadar bahwa selama ini dia telah ditipu.

"Kenapa? Terkejut?"

Tentu saja. Orang macam apa yang tidak terkejut jika dihadapkan dengan sebuah fakta konyol semacam ini? Akan tetapi di sana, kendati hal tersebut sempat goyahkan niat yang ada, Park Hyerin malah menggelengkan kepala cepat, sebabkan cengkraman Jimin di wajahnya terlepas begitu saja. Dia balas menyeringai. Wajahnya dimajukan hingga hidung mereka saling bersentuhan, menghirup napas yang sama tanpa melepas pandang barang seinci pun.

"Apa kau berniat tidur denganku, Jack? Oh, tunggu. Haruskah aku memanggilmu Park Jimin—pasien gila yang kini berubah menjadi seorang pria tampan?"

"Sebegitu inginnya kau aku setubuhi, huh?" sarkas Jimin.

"Tentu," tukasnya. "Aku ingin merasakan bagaimana penismu masuk ke dalam vaginaku. Mengentak kasar, kuat, dan cepat. Ugh, aku bahkan langsung basah membayangkannya."

Sejenak Jimin terdiam, tidak ada ekspresi yang tersemat di wajah. Dia hanya memandang Hyerin yang pasang tampang begitu membutuhkan. Bibir berpoles lilin tersebut digigit sensual, lidahnya sesekali terjulur untuk menjilat rahang Jimin dengan erangan yang tertahan. Sekali jalang, memang akan tetap jalang. Begitulah pandangan Jimin terhadap Park Hyerin yang meliuk-liukkan badan tak sabaran.

"Jika aku melakukannya denganmu, bisakah kau berjanji untuk tidak mengganggu Anha lagi?"

"Apa pun akan kulakukan untukmu, Jimin."

Berakhir sudah. Jimin lekas merobek pakaian yang dikenakan Hyerin, pula menggunting bagian celana yang tersangkut oleh tali tambang. Sang puan tersenyum puas, pikirnya Jimin ini sok sekali mengatainya bodoh, padahal dia sendiri jauh lebih bodoh. Hyerin tentu tidak akan berhenti, dia akan tetap menjalankan rencananya meskipun tidak malam ini. Untuk sekarang Hyerin hanya akan menikmati pergulatan panasnya dengan Jimin.

Tubuh molek bagian atas tersebut sudah tak berbalut apa-apa lagi; sepenuhnya telanjang dengan puting yang mengeras. Dadanya naik turun seiring dengan gairah yang melonjak drastis. Meneguk air liur, Jimin tidak bisa membohongi diri sendiri kalau miliknya terasa sesak di dalam celana. Dia memang tidak menyukai Hyerin, sama sekali tidak. Akan tetapi, lelaki tetaplah lelaki. Nalurinya akan bekerja sebagaimana mestinya.

"Aku ini nakal sekali, bukan?" Hyerin membusungkan dada, seakan meminta Jimin untuk segera mengulum payudaranya. "Aku jarang memakai bra, Jim. Maka dari itu kau bisa menyicipinya langsung sebagai hidangan pembuka."

Pada dasarnya Hyerin memang menyukai hal-hal semacam ini. Alih-alih merasa sakit akibat gencatan tali tambang di permukaan kulit, dia malah tersenyum senang. Ini sakit yang menyenangkan, ciptakan euforia tersendiri di dalam kepala. Bahkan tatkala Jimin menggigit dan mencakar paha bagian dalam, Hyerin kontan mendesah; menggelinjang nikmat. Dia tak memedulikan fakta bahwa tubuhnya sedang dijamah dan dicumbu oleh mantan pasien gilanya sendiri.

"A-ah ... Jimin. Aku ingin penismu." Hyerin memejam, pusat tubuhnya bereaksi cepat dengan cairan yang basahi celana dalam—satu-satunya yang masih melekat di tubuh. "Setubuhi aku sekarang, kumohon."

Secara mendadak, Hyerin menyentak tubuhnya ke atas, memertemukan kelamin mereka yang masih terbungkus oleh pintalan benang. Jimin lekas melepas pagutannya di dada sang puan, menatap remeh sembari berkata, "Woah, chill, Honey. Kau akan mendapatkannya sebentar lagi."

Kendati bibirnya tengah cumbui Hyerin, nyatanya yang ada di dalam kepala Jimin hanyalah Jung Anha. Barangkali ini adalah salah satu fantasi kotornya yang tak sempat terealisasikan. Jimin menginginkan Anha, tetapi dia terlalu takut untuk melakukannya.

Jimin melucuti baju yang dikenakan, menurunkan celana hingga lutut lalu membuka kaki Hyerin lebar-lebar. Ditariknya g-string milik si wanita hingga liangnya yang merah muda terpampang nyata di depan mata.

"Jangan hanya menatapnya, Jim." Suara seduktif itu buyarkan lamunan Jimin. "My pussy is hungry for your dick."

"Kau tau kata kuncinya?"

"Please, Daddy Park."

Dalam satu sentakan, Hyerin memekik kencang. Ruangan sempit penuh balon tersebut gaungkan gema yang sukses buat libido sang puan menanjak naik. Wajahnya mengerut menahan kenikmatan tiada tara yang tengah diberikan. Oh, Tuhan. Penis Jimin bahkan terasa lebih nikmat jika dibandingkan dengan milik Taehyung.

Hyerin seakan lupa daratan. Erangan, desahan, pekikan, serta teriakan terus mencuat dari celah bibir. Di saat itu pula-lah, Park Jimin tersenyum sinis. Dia tidak bodoh. Dia hanya sedang bersandiwara seperti rencana awal. Jimin akui milik Hyerin nikmat, menjepit keperkasaannya begitu ketat. Tetapi sekali lagi, ini tetaplah bagian dari aksi balas dendamnya.

Kemudian, manakala Hyerin semakin gencar mengejar pelepasan dengan ikut serta membenturkan miliknya, Jimin lekas mengambil gunting dan tancapkan benda tersebut di pangkal paha Hyerin. Wanita itu berteriak, membelah langit yang mulai turunkan rinai hujan. Tak sampai di sana, Jimin menarik gunting itu untuk turun menuju tempurung lutut; membuat garis vertikal panjang yang menyakitkan.

"OH, TUHAN! INI NIKMAT SEKALI PARK JIMIN!"

Sembari pinggulnya yang tetap bekerja, Jimin mengernyit heran. Nikmat? Wanita ini masokis? Sial. Dia tidak tahu akan fakta itu. Namun, karena sudah nyaris berada di puncak aksi, Jimin memilih untuk tetap melanjutkan. Dia menorehkan banyak luka di tubuh Hyerin, seolah-olah kulit putih tersebut adalah kanvas yang siap menerima percikan mahakaryanya.

Sampai di pelepasan yang entah keberapa, barulah Hyerin merasakan daksanya nyeri bukan main. Di sela tatap sayu yang dilayangkan, wanita itu dapat melihat bagaimana cairan merah pekat membalut dan merembes ke permukaan lantai. Aroma karat besi menggelitik penghidu, namun semangatnya untuk kembali melakukan seks tak kunjung surut. Mengerjap, Hyerin membawa tangannya yang terikat untuk menempatkan penis milik Jimin di depan miliknya. Menggesekkan benda kokoh berurat itu untuk menyapu labia dan klitorisnya sendiri.

Akan tetapi, Jimin sudah muak. Dia tidak sabar untuk segera melenyapkan Hyerin. Pun, dia mengambil sebungkus garam untuk dibubuhkan pada luka-luka dalam yang tertoreh di tubuh sang puan. Maniknya berkilat tajam, seakan-akan Jack-lah yang tengah berkuasa. Namun, yang sebenarnya ada di sana adalah Park Jimin sendiri—jiwa suci yang tidak tersentuh.

Hyerin membeliak, pedih dan nyeri yang bertandang terasa seribu kali lipat lebih menyakitkan. Dia memejam dengan bibir yang berteriak nyaring. "BAJINGAN! APA YANG KAU LAKUKAN JIMIN?!"

Tubuh Hyerin menggelepar bak ikan sekarat, membentur balon-balon yang menjadi fobianya sendiri. Jimin bangkit berdiri, membenahi pakaian dan melarikan pandangan ke segala arah. Pikirnya teriakan Hyerin amatlah mengganggu, dan ia butuh sesuatu untuk meredam suara tersebut.

Akhirnya, Jimin menemukan stapler berkarat di atas nakas yang semerta-merta lekas ia raih. Jimin menarik tungkai telanjang Hyerin dengan serampangan dan menduduki perutnya. "Kau sangat berisik, Honey. Tak masalah bukan kalau mulutmu kututup sebentar?"

Hyerin tak mampu menjawab, dia hanya menangis dengan tubuh yang gemetar hebat.

"Diam berarti setuju."

Tak sampai lima detik berlalu, sudah ada dua anak staples yang singgah di bibir. Hyerin terpaksa menelan teriakannya mentah-mentah, sebab jika ia bersuara sedikit saja, labiumnya akan koyak. Ini gila! Park Jimin benar-benar gila! Dia adalah psikopat sadis berbalut paras yang rupawan! Hyerin tidak menyangka jikalau rencana yang telah terbentuk di dalam kepala harus hancur dalam hitungan jam.

Dia akan mati, bukan begitu?

"Kalau begini kau terlihat jauh lebih manis, Hyerin-ssi." Jimin membelai anak rambut yang terlepas dari ikatannya. Mengusap jejak peluh yang mengalir lalu tersenyum puas. Setidaknya ada lima buah staples yang melekat, dan itu sudah mampu menenggelamkan lengkingan jelek milik Hyerin. "Nah, bagaimana kalau sekarang kita masuk ke bagian puncaknya? Haha. Aku tahu kau sudah tidak sabar."

Kendati ia tahu Jimin tidak akan peduli, Hyerin tetap menggeleng pelan. Di sela isak tangis yang mencuat lirih, dia dapat melihat bagaimana Jimin mengambil sejumlah balon. "Bukankah benda ini bagus dan menggemaskan? Oh, apa kau ingin mendengar bagaimana bunyi merdunya kala diletuskan?"

Nyaris menggeleng lagi sebagai penolakan, nyatanya Jimin sudah lebih dulu meletuskan salah satu balon berwarna kuning. Hyerin berteriak kencang, sukses buat bibirnya koyak dan berdarah. "Ampun, Jim. Maafkan aku," mohonnya serak.

Jika kalian berpikir Jimin akan goyah, kalian salah besar. Dia tidak akan berhenti sampai tubuh ringkih di hadapannya ini tumbang dengan nyawa yang melayang. Diletuskannya lagi sisa balon yang ada. Jimin menulikan pendengaran dari teriakan yang beradu langsung dengan tangisan sang semesta.

Mendengus, mengusap kening yang bercucuran keringat, Jimin menatap bengis pada entitas Hyerin yang berantakan. Wajahnya penuh luka, bibirnya tercabik. Tubuh telanjangnya semerta-merta dirangkum oleh cairan merah pekat, sedang alat geraknya masih dibebat tambang kuat.

"Sudah kubilang, bukan? Kau itu bodoh! Sampah! Tidak berguna!" Bangkit berdiri dengan kaki yang berpijak tepat di samping wajah Hyerin, Jimin meludah sekali lagi. "Sekarang, kuberi kau dua pilihan. Mati karena belati milikmu sendiri atau mati karena sol sepatuku?"

Hyerin menarik napas dalam-dalam. Pada akhirnya dia akan bernasib sama; mati. Tersenyum hambar dengan ranum miliknya yang berai, Hyerin bersuara, "Belati." Ya, setidaknya benda itu bisa mengantarkannya jauh lebih cepat menuju kematian. Hyerin sama sekali tidak bisa menebak isi kepala seorang Park Jimin yang penuh teka-teki ini.

Maka dari itu, tatkala ujung belati tersebut terangkat di udara dan bersiap mendarat tepat di bagian jantung Hyerin, Jimin menyempatkan diri untuk berkata sebagai salam perpisahan, "Semoga neraka sudi menyambutmu, Jalang." Bertepatan dengan itu, sebuah erangan panjang menggelegar, yang kemudian langsung membawa nyawa Hyerin untuk tercerabut paksa.

Park Hyerin ... telah mati. []

•••


























































Jack

Hei, Park. Kau mau tahu
sebuah rahasia besar, tidak?

Jimin

Aku sedang tidak ingin mendengar
apa pun dari mulut kotormu, Jack.

Jack

Kau yakin?
Tidak akan menyesal?

Jimin

...

Jack

Tindakanmu ini sebenarnya tidak
akan menghasilkan apa-apa.

Jimin

Maksudmu?

Jack

Kita mencintai wanita yang sama.
Ya. Jung Anha.

Jimin

KEPARAT!
Kuperingatkan kau untuk tidak
menyentuhnya!

Jack

Woah ... santai, Bung.
Bagaimana kalau kita
bermain secara bersih?

Jimin

Memangnya makhluk kotor
sepertimu bisa melakukannya?
Huh! Jangan bermimpi!

Jack

Jangan terlalu meremehkan aku, Park.
Kau akan tahu akibatnya.

Continue Reading

You'll Also Like

26.5K 4.1K 27
[COMPLETED] Matahari tak lagi menunjukkan sinarnya sejak bahan bakarnya menghilang dan bulan yang sejak dahulu hidup dalam kegelapan tidak tahu bahwa...
92.5K 11.8K 37
Jake, dia adalah seorang profesional player mendadak melemah ketika mengetahui jika dirinya adalah seorang omega. Demi membuatnya bangkit, Jake harus...
Regret By Hamba

Fanfiction

40.8K 3.8K 13
PREKUEL DESTINY Hinata Tidak ada hal lain yang diinginkannya, selain hidup tenang bersama dengan Naruto, namun keinginan itu sepertinya harus dibaya...
121K 4.4K 19
[NEW VERSION] Byun Baekhyun diperintahkan untuk segera kembali ke tempat asalnya setelah berhasil melarikan diri ke dunia manusia. Sesungguhnya ia ti...