My Unintended [PROSES PENERBI...

By Foebeeism

227K 34.9K 7K

"If shopping is what makes her happy, I'll just need to work hard so that she'll be happy. But I know she's m... More

Prologue
Dari Author
.:1:.
.:2:.
.:4:.
.:5:.
.:6:.
.:7:.
.:8:.
.:9:.
.:10:.
.:11:.
.:12:.
.:13:.
.:14:.
.:15:.
.:16:.
.:17:.
.:18:.
.:19:.
ATTENTION
Hai
.:32:.
.:33:.
OPEN PO
GIVE AWAY
Prosecution Open PO
.:34:.
Buat Pembeli Novel MU
Moving (not a new chapter)

.:3:.

10.7K 1.5K 521
By Foebeeism

Helen melemparkan ponselnya ke sofa, ia sendiri duduk bersidekap dengan tangan kanan menopang dagunya. Wanita itu mulai menggigiti kuku ibu jari tangan kanannya setelah beberapa saat. Menghubungi para istri itu terkadang tidak buruk, tapi untuk hal ini tampaknya ia sudah membuat sebuah kebodohan.

Luke masuk ke dapurnya untuk membantu Helen mengambil keranjang-keranjang susu itu. Sebenarnya jumlahnya tidak terlalu banyak, tapi pria itu bersikeras membantu dengan alasan merasa bertanggung jawab dengan apa yang sudah dilakukan si pengantar susu yang baru.

"Lalu, jika sekarang kau kembali mengantarkan susu-susu itu, kemana pria itu pergi?" tanya Helen, penasaran.

"Dia akan melakukan kontrol di toko. Kau tahu, pengecekan kualitas produk dan sebagainya."

"Kalian memiliki toko?"

"Hanya toko kecil, kami memasarkan beberapa produk seperti keju dan mentega."

Mata Helen melebar, "Ku kira kalian hanya menjual susu."

Luke tertawa kecil, "Orang-orang di sini memiliki keterampilan yang banyak, aku beruntung tinggal dikelilingi orang-orang seperti mereka."

"Jadi, apa pekerja di sana banyak?"

Luke menarik napas pendek, "Tidak, tidak banyak. Hanya ada aku yang bertugas mengantarkan susu, satu orang yang bertugas melakukan kontrol produk, dan beberapa orang yang memerah susu juga membuat keju dan mentega. Kau tahu, hanya industri rumahan."

"Tapi kau bilang kalian memiliki toko..."

"Ah, aku juga yang menjaga toko itu setelah tugas-tugasku selesai." Luke kembali tersenyum.

"Kedengarannya cukup menyenangkan."

"Ya...aku cukup menikmatinya. Tapi aku sedang kekurangan orang karena keluarga Pieterson yang biasanya membantu di peternakan harus keluar kota untuk beberapa waktu. Aku harus mencari bantuan untuk mengisi kekosongan sementara."

"Kalau kau tidak keberatan, aku bersedia membantu!" seru Helen. Pasti menyenangkan berkeliling tempat itu untuk menemukan orang-orang yang akan membantu tempat kerja Luke meskipun hanya sementara waktu.

Luke mengernyit beberapa saat sebelum senyuman lebar merekah di wajahnya, "That's great! I don't expect you to say that. Thanks, Helen."

"Anytime..." Helen membalas senyuman Luke.

Mereka berdua berjalan ke arah pintu menuju motor yang biasa Luke gunakan untuk mengantarkan susu. Setelah menaruh keranjang-keranjang tersebut di tempatnya, Luke menoleh ke arah Helen, "Jadi, sampai ketemu besok di peternakan."

"Peternakan? Tapi aku tidak tahu dimana itu."

Luke tampak berpikir beberapa saat. "Kalau begitu, aku akan menjemputmu setelah aku selesai dengan tugasku."

Bibir Helen mengatup rapat, "Baiklah..." ujar Helen dari sela-sela giginya.

Luke tertawa, ia menyalakan mesin motor, "Kau akan sangat menyukai Bells."

"Bells?"

"Sapi terbaik kami." jawab Luke.

Dan ia pun pergi.

Helen menjatuhkan badannya hingga kini ia tidur terlentang di atas sofa. Ia menaruh kedua tangannya di atas dahi dan menatap langit-langit seraya berpikir keras.

Apa yang harus ia lakukan besok??

***

Suara alarm membangunkan Helen. Diliriknya layar ponsel yang sekarang ada di genggamannya.

Jam lima pagi.

Great! Dia tidak bisa tidur semalam karena memikirkan kemungkinan pekerjaan yang harus ia lakukan di peternakan itu. Sepertinya ia baru tidur sekitar jam satu pagi atau lebih dan sekarang ia sudah harus bangun.

Sebenarnya, bisa saja ia tidur lebih lama - Luke baru akan menjemputnya setelah tugas pria itu selesai yang berarti dia harus siap pergi pukul delapan pagi karena Helen adalah pelanggan terakhir Luke setiap harinya. Tapi, Helen tidak terbiasa bangun lebih siang. Semenjak pindah, ia mulai membiasakan diri untuk sekedar yoga dan jalan santai di pagi hari. Meskipun dokter sudah menyatakan bahwa ia sehat, Helen berusaha untuk dapat lebih menjaga vitalitas tubuhnya.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh saat Helen selesai dengan olahraga paginya. Ia kini duduk bersantai ditemani dengan jus jeruk dan satu porsi french toast. Merasa sudah cukup bersantai, Helen membereskan piring dan gelas yang baru saja ia gunakan, mencucinya dan bersiap untuk mandi.

Tidak butuh waktu lama bagi Helen untuk mandi di pagi hari. Satu-satunya hal yang membuatnya lama hanyalah mengumpulkan niat untuk mandi. Memang, ia memiliki keran air panas, tapi tetap saja akan terasa dingin setelah ia keluar dari kamar mandi.

Helen membuka pintu walk in closet miliknya. Ia lalu berjalan menyusuri berbagai koleksi baju yang ia bawa ke sana.

Sesuatu yang membuatku mudah bergerak...

Tangan Helen mencari-cari di bagian baju-baju kasual miliknya. Akhirnya pilihan wanita itu jatuh pada baju kaos berlengan pendek warna abu-abu dan juga celana pendek hitam. Ia melirik cardigan maroon yang tergantung tidak jauh darinya berdiri dan memutuskan untuk memakainya juga.

Setelah mematut diri beberapa lama di depan cermin, ia merasa ada yang kurang.

Haruskah aku membawa topi?

Helen menggeser kursi kecil di sana untuk membantunya meraih topi yang ada di rak paling atas. Pilihannya kali ini adalah topi lebar berwarna hitam.

Hmmm...pasti akan sangat bagus jika dipadankan dengan choker...

Helen terdiam beberapa saat sebelum meutuskan untuk melepas aksesorisnya. Apa yang kau lakukan, Helen? Kau akan pergi ke peternakan, bukan berjalan-jalan di Oxford Street!!

TING TONG!

Great!

Helen bergegas keluar dari walk in closet menuju ke pintu depan. Ketika ia membuka pintu, Luke sedang melihat ke arah jalan.

"Hey!" sapa Helen.

Luke menoleh - dan Helen berani bertaruh bahwa pria itu terdiam untuk beberapa saat sebelum suaranya kembali, "O-oh, Hey...you..." tangan pria itu bergerak tidak tentu di udara, seperti ingin memberitahukan sesuatu.

"Kenapa?" Helen melihat ke arah pakaian yang ia kenakan, "Apa aku terlihat aneh?"

"No...of course not!" Luke kemudian tersenyum, "You look...great!"

Helen terkekeh, "Okay, thanks..."

"Should...should we go now?"

Alis Helen bertaut jenaka, "Ehm...Luke, kalau kau tidak keberatan, aku ingin mengambil bagianku dulu."

"Oh...itu... tentu saja... bagaimana aku bisa melupakannya." Luke baru menyadari bahwa ia tidak membawa apapun saat berada di depan pintu rumah Helen. Ia segera menghampiri motornya dan membawa keranjang berisi susu. "Here you go."

Helen menerima keranjang itu dan membawanya ke dalam. Tak lama, wanita itu sudah berada di luar, mengunci pintu rumahnya dan berjalan ke arah Luke yang sudah siap di motornya. "Jadi... bagaimana cara kita ke sana?"

"Naiklah, aku akan memboncengmu." Luke mengarahkan ibu jarinya melewati pundaknya.

Helen tersenyum masam, "Tapi...dimana aku harus duduk?"

Luke menoleh ke belakang dan menyadari kebodohannya : masih ada tempat keranjang susu di bagian belakang motornya.

Pria itu tertawa hambar lalu menggigit bibir bawahnya, ia tampak berpikir apa yang harus ia lakukan dengan tempat keranjang itu.

"Aku bisa berjalan kaki, kau cukup tunjukkan arah yang harus kutuju dan aku akan menemukan tempat itu."

"No. I've promised to take you there. It's just..." Luke menyisir rambutnya dengan sebelah tangan.

Bibir Helen mengerucut, ia lalu berkata, "Kalau begitu, mungkin kau bisa menaruh benda itu di rumahku sekarang dan mengambilnya lagi nanti setelah aku pulang dari peternakan. Bagaimana?" melihat Luke yang mengangkat kedua alisnya, Helen buru-buru menambahkan, "Bukan berarti kau harus mengantarku pulang, maksudku..."

"Tidak apa, Helen. Itu ide yang bagus."

Luke mengangkat tempat keranjang tersebut sementara Helen membuka pintu rumahnya. Selang beberapa menit, mereka sudah kembali ke tempat Luke memarkirkan motornya.

"Maaf untuk itu..." kata Luke tiba-tiba.

Helen menaiki jok belakang motor pria itu, "Maaf untuk apa?" tanya Helen sembari mengenakan helm yang diberikan Luke.

"Aku tampak seperti orang bodoh barusan." pria itu menertawakan dirinya sendiri.

"Semua orang pasti pernah mengalami hal itu, Luke. Mungkin kau hanya sedang banyak pikiran atau kelelahan."

"Tidak." Luke menolehkan kepalanya, matanya kini bertatapan dengan Helen. "Mungkin karena aku terlalu terkesima melihat penampilanmu hari ini. Kutarik kata-kataku tadi, You're not just great...you look gorgeous."

Helen tidak tahu apa yang membuat pipinya memanas. Apakah karena jarak mereka yang sekarang sangat dekat? Karena tatapan intens Luke padanya? Karena senyum tulus pria itu? Ataukah pujian yang dilontarkan barusan? Helen tidak tahu. Ia hanya bisa membalas senyuman Luke.

"Pegangan yang erat." ucap Luke sebelum ia kembali menghadap ke depan dan melaju ke peternakan.

Motor itu tidak melaju dengan kencang tapi cukup cepat untuk dapat sampai ke peternakan yang jaraknya lumayan jauh. Sepanjang perjalanan tidak ada satupun dari mereka yang bicara - Helen berpikir itu karena mereka sedang mengendarai sepeda motor, tapi beberapa temannya sering berbincang walau sedang menaiki kendaraan itu.

Sesampainya di peternakan, Luke mengajak Helen berkeliling. Ia mengenalkan Helen kepada beberapa pegawai di sana, setelah itu mereka langsung ke tempat memerah susu. Helen benar-benar merasa beruntung karena memilih pakaian yang ia kenakan saat itu. Nathalie benar, ia harus memakai pakaian yang bisa membuatnya mudah bergerak.

"Ini Bells," Luke menepuk kepala salah satu sapi betina yang paling besar. "Dia yang paling berjasa di sini."

Seolah mengetahui bahwa Luke sedang membanggakannya, sapi itu melenguh dengan keras. Helen tertawa melihat hal itu, "Kau tampak sangat mengetahui tempat ini, Luke. Ah, tapi aku belum melihat pemilik tempat ini."

Luke tersenyum tipis, pandangannya seolah menjauh untuk beberapa detik, "Pemilik tempat ini sudah meninggal, Helen."

"Oh..." Helen kehilangan kata-kata untuk sesaat, "Lalu...siapa yang mengambil alih sekarang?"

"Kau berbicara dengan pimpinan kami, Nona."

Helen menoleh ke sumber suara, terlihat pria yang sempat menggantikan Luke untuk mengirimkan susu ke pelanggan di daerah itu. Pria itu berjalan santai ke arah Luke dan menepuk pundaknya bangga, "Kau sudah bicara dengan Boss Besar kami." kekehnya.

"Hentikan itu, Doc. Kau terlalu melebih-lebihkan." Luke menyingkirkan tangan Doc dari pundaknya. Pria paruh baya itu mengangkat kedua bahunya, acuh, ia lalu berjalan meninggalkan Luke dan Helen.

"Jadi...aku berbicara dengan orang yang memiliki tempat ini..." kata Helen.

"Secara teknis, ayahku yang memiliki tempat ini. Setelah ia meninggal, aku memutuskan menjaga peternakan ini sebelum pengacara Ayah datang dan mengumumkan siapa yang berhak mewarisinya."

"Tentu saja kau yang akan mewarisinya, kau 'kan anaknya."

Luke menggeleng pelan, "Tidak semudah itu, Helen. Ada banyak pertimbangan." Ia terdiam sebentar, "Yang bisa kulakukan sekarang hanya bekerja seperti pegawai lainnya dan memastikan peternakan ini tetap ada sampai pengacara itu datang."

Helen mengaitkan ibu jarinya ke saku celana, "Aku yakin kau bisa mengurusnya dengan baik." Ujarnya sambil mengangkat bahu.

Luke kembali tersenyum lebar, "Ayo, aku ajari kau cara memerah susu."

"What?? Now??"

Luke menarik tangan Helen, membimbingnya ke samping Bells. Ia memberikan kursi kecil untuk Helen duduk sedangkan ia sendiri berjongkok di samping wanita itu.

"Begini caranya," Luke menunjukkan cara memerah susu sapi kepada Helen, "sekarang kau coba sendiri."

Helen menurut. Ragu-ragu, ia mengulurkan tangannya ke arah puting susu Bells. Tak disangka, sapi betina itu mengibaskan ekor dan sedikit menjauh dari mereka. Helen kaget, ia terhentak ke belakang, tapi tangan Luke sigap menahan punggungnya agar tetap tegak - dan bukan terjatuh ke belakang.

"Jangan takut." ujar Luke, berusaha menenangkan Helen. "Kalau kau merasa takut, sapi-sapi itu akan menghindar, atau lebih buruk, menendangmu."

Helen terbelalak, "Menendangku??"

"Ya, itu seperti insting," Luke tertawa, "Mari kita coba lagi..."

Luke membawa Helen mendekati Bells, membimbing tangan wanita itu untuk mengusap perut sapi betina tersebut, "Rileks..." bisik pria itu.

Helen tidak tahu apakah Luke menyuruhnya atau menyuruh Bells untuk rileks, tapi kata-kata pria itu memang sedikit menenangkan hatinya. Helen berhasil menyentuh puting susu Bells dan berusaha memerahnya sesuai arahan Luke.

"Jangan ditarik...lebih seperti memijat...ya, benar, seperti itu." Luke terus menerus memberi arahan dan pujian untuk setiap hal yang Helen lakukan dengan benar.

Tak terasa, Helen sudah melewati hampir dua jam untuk memerah susu dan mengurus sapi-sapi itu. Cardigannya kini sudah melingkar di pinggang, sedangkan topinya tergantung di salah satu tiang yang berada di kandang. Helen menyeka keringat di dahinya, ia berhasil mengerjakan semua yang Luke perintahkan dan entah kenapa hal itu membuatnya bangga.

"Kerja yang bagus." Luke tiba-tiba muncul. Pria itu tadi meninggalkan Helen sendirian karena ia harus mengurus beberapa hal di toko.

"Itu tadi cukup menyenangkan," Helen mengulum senyumnya.

"Untuk hari pertama, kau melakukannya dengan baik."

"Call me a genius."

Luke tertawa, "Ayo ikut aku, kau pasti lapar."

Helen baru merasakan perutnya yang keroncongan. Untung saja perutnya tidak berbunyi, ia bisa sangat malu jika anggota tubuhnya yang satu itu mengeluarkan suara aneh di hadapan Luke.

Mereka lalu pergi ke dapur. Luke mengatakan bahwa ia tinggal di sana - ada semacam bangunan kecil yang terlihat seperti rumah sederhana di samping peternakan itu. Helen cukup menyukai bagaimana keadaan rumah itu, minimalis tapi tetap menimbulkan perasaan nyaman.

Ada beberapa makanan di atas meja - sandwich dan sejenisnya, tapi itu sudah cukup membuat air liur Helen menetes.

"Oh, aku akan cuci tangan dulu." Helen mengarah ke wastafel yang ada di ruangan itu.

"Ah, kalau kau ingin cuci tangan...." ucapan Luke terhenti, ia baru saja akan memperingatkan Helen untuk tidak menggunakan wastafel di sana, tapi terlambat. Baju wanita itu sudah basah kuyup

Luke tertawa, sedangkan Helen melihatnya dengan tatapan tidak percaya. "Okay, that's so fond of you." Helen merasa sedikit sebal dengan tingkah Luke.

"Look, sorry..but..." Luke berusaha untuk menahan tawanya dan baru mulai berbicara setelah bisa mengendalikan diri, "I'm sorry...would you like to change? You'll catch a cold like that."

"Aku tidak membawa baju ganti..."

"Aku punya beberapa baju lama, kalau tidak keberatan. Mungkin ukurannya akan lebih kecil dan pas untukmu."

Helen mengerucutkan bibirnya, masih merasa sebal dengan Luke, tapi ia tetap mengikuti langkah pria itu keluar dari dapur. Luke menyuruhnya menunggu di depan televisi dan Helen menurut. Tak lama, pria itu keluar dengan membawa baju berwarna putih dan menyodorkannya ke Helen.

Wanita itu membuka lipatannya, "Baju siapa ini?"

"Itu baju lamaku, sekitar beberapa tahun yang lalu. Aku belum sempat menyingkirkan barang-barang lama karena baaju-baju lamaku juga tidak banyak. Kau beruntung aku masih menyimpannya." ia menyunggingkan senyum tipis.

Helen mengangguk kecil lalu permisi untuk mengganti baju. Luke benar, baju itu pas untuk Helen - kaos putih lengan panjang yang tidak terlalu besar. Helen tidak keberatan bergaya sedikit tomboy.

Setelah berganti pakaian, Helen memutuskan untuk kembali ke dapur. Tapi satu ide kecil melintas di benaknya. Ia lalu mengambil ponselnya dan mulai membuka aplikasi kamera.

***

"Done." gumam Helen. Ia memandangi layar laptopnya sekali lagi dan tersenyum kecil. Beberapa saat kemudian, ia sudah membuka email miliknya dan mengirimkan surat elektronik itu ke empat orang yang bisa dipastikan sangat senang menerimanya.

"Let's see what you'll say, girls..."

############

How is it?

kupersembahkan chapter dadakan upload ini buat yang udah capek2 direpotin ama  Zeeyazee

daaaan, lumayan panjang kan ceritanya? mungkin besok aku bisa libur sejenak?

#mintadigaplok

anyway, tetap menunggu vomment dari kalian ;*

[EDITED] Yg penasaran sama Luke, cek videonya 😎

Continue Reading

You'll Also Like

527K 30.6K 74
Ternyata memang benar, garis antara cinta dan benci itu nyaris tak ada. Dari yang bukan siapa-siapa bisa menjadi teman hidup.
220K 34.7K 48
[BACA SAAT ON GOING. INTERMEZZO PART DIHAPUS 1X24 JAM PUBLISHED] May contain some mature convos and scenes Menurut perjanjian, Robyn hanya boleh be...
1M 55.3K 58
Takdir itu emang kocak. Perasaan cerita tentang perjodohan itu hanya ada di film atau novel, tapi sekarang apa? Cecilia Janelle terjebak dalam sebuah...
119K 9.7K 81
Complete Story ada di Karya Karsa Buku cetaknya, bisa dicari di tokopedia dan shopee (@bebekz_hijau) Hai, Kenalan dulu... namaku Sandra Bayu Hutama...