Enigma, The Shadow [Re-write]...

By pratiwikim

85.2K 12.6K 3.7K

[Re-write] It doesn't have foot but it can run It always remind you of something ©ᴘʀᴀᴛɪᴡɪᴋɪᴍ ⚠️ ᴛʀɪɢɢᴇʀ ᴡᴀʀɴ... More

ᴛʀᴀᴄᴋʟɪꜱᴛ
1. ʙᴇɢɪɴ, ᴍᴇᴇᴛ ʜɪᴍ
2. ꜱᴄᴀʀ ᴏɴ ʜɪꜱ ꜱᴋɪɴ
3. ʙᴇᴛʀᴀʏᴀʟ ꜰʀᴏᴍ ʜᴇʀ ʟᴏᴠᴇʀ
4. ꜱᴛʀᴀɴɢᴇ ꜰᴇᴇʟɪɴɢꜱ
5. ʟᴇᴛ'ꜱ ᴘʟᴀʏ ᴀ ꜰᴜɴ ɢᴀᴍᴇ
6. ʜɪꜱ ɪʟʟɴᴇꜱꜱ, ᴀʟᴢʜᴇɪᴍᴇʀ
7. ʙᴇᴛᴡᴇᴇɴ ᴀ ᴋɪꜱꜱ ᴀɴᴅ ᴅᴇꜱɪʀᴇ
8. ᴄᴏʟᴅ ʀᴀɪɴ
9. ʜᴇʀ ᴇx-ʟᴏᴠᴇʀ
10. ᴅᴇᴇᴘ ɪɴ ʜɪꜱ ʜᴇᴀʀᴛꜱ
12. ᴛʜᴇ ʀᴇᴀʟ ʜɪᴍ, ᴘꜱʏᴄʜᴏ
13.1. ᴄʜɪʟᴅʜᴏᴏᴅ ꜰʀɪᴇɴᴅ
13.2. ᴄʜɪʟᴅʜᴏᴏᴅ ꜰʀɪᴇɴᴅ
14. ꜰᴀᴋᴇ ᴘᴇᴏᴘʟᴇ
15. ᴛʀʏ ᴛᴏ ᴘʀᴏᴛᴇᴄᴛɪɴɢ ʏᴏᴜ
16. ᴡᴏᴍᴀɴ ɪɴ ᴛʜᴇ ʙᴀʀ
17. ᴀʟᴍᴏꜱᴛ, ʙᴜᴛ ꜱᴛɪʟʟ ᴋᴇᴇᴘ ᴛʜᴇ ᴅɪꜱᴛᴀɴᴄᴇ
18. ʀᴏᴛᴛᴇɴ ᴛᴏ ᴛʜᴇ ᴄᴏʀᴇ
19. ᴡɪᴘᴇ ᴏꜰꜰ ᴀʟʟ ᴛʜᴇ ᴛʀᴀɪʟ
20. ʙᴀᴄᴋꜰɪʀᴇ ᴇꜰꜰᴇᴄᴛ
21. ʀᴇᴠᴇɴɢᴇ
22. ɪꜱ ɪᴛ ᴛʜᴇ ᴇɴᴅ?
23. ꜰɪᴇʀᴄᴇ ʙᴀᴛᴛʟᴇ
24. ɪɴꜰɪɴɪᴛᴇ
ꜰɪɴᴀʟ: ʏᴏᴜ ᴀʀᴇ ᴍʏ ᴍᴇᴍᴏʀʏ
ᴀʟʟ ɪ ᴡᴀɴᴛ

11. ᴠᴀɴɪꜱʜ ᴀᴡᴀʏ

2.6K 469 67
By pratiwikim

Melajukan sepeda motor hitam metalik seperti tengah dikejar sekawanan bandit kelas kakap, Jung Hoseok hanya bisa merutuk di sepanjang perjalanan. Ia bahkan belum sepenuhnya siap—separuh jiwanya masih tertinggal di atas kasur setelah dibangunkan secara brutal melalui panggilan telepon. Salah satu rekannya yang saat itu bertugas melaporkan bahwa ada tahanan yang berhasil kabur. Entah bagaimana kronologisnya (Hoseok sendiri masih belum mengetahui), tapi ia beserta rekan sejawatnya diperintah untuk lekas berpencar guna mencari keberadaan Min Suga yang barangkali belum jauh.

Udara dingin yang terasa menusuk hingga ke tulang membuat si Jung itu menggigil, bibirnya kering dengan hidungnya yang memerah. Jaket kulit yang tengah dikenakan seolah tak dapat menghalau bagaimana alam berlaku padanya. Di jam satu dini hari ini, harusnya Hoseok masih bergelung dengan selimut hangat dan manisnya rajutan mimpi. Akan tetapi, ia malah berakhir di jalan tak berujung ini.

Di sisi kiri dan kanan jalan terdapat pohon-pohon besar dengan tinggi yang setara dengan bangunan berlantai empat. Suasana juga semakin mencekam kala rungu si Jung itu diisi oleh cicit burung hantu yang bercampur satu dengan deru mesin motornya.

Memelankan laju kendaraan, Hoseok coba melirik ke belakang. Kalau di film-film horor, biasanya akan ada hantu yang tengah mengerjarnya. Jadi, lelaki itu ingin memastikan bahwa hal semacam itu memang hanya ada di film. Setelah memastikan bahwa di belakang sana tidak ada apa-apa—hanya gelap dengan kabut tipis—pun ia akhinya bisa bernapas lega.

Jung Hoseok sempat mengutuk temannya—Kim Taehyung—yang sedang mengambil cuti tahunan. Entah masalah apa yang mendera si Kim itu. Setahu Hoseok sih tidak ada, tapi itu tidak menutup kemungkinan bahwa Taehyung berbohong. Hoseok masih ingat bagaimana gusarnya Taehyung saat meminta bantuannya untuk membeli bir. Walau tidak banyak bicara, Hoseok tentu tahu bahwa Taehyung sedang dilanda masalah.

Saat ditanya alasan mengenai cuti tahunan yang diambil, Taehyung hanya membalas sekenanya—bahkan terkesan tidak masuk akal. "Aku akan pulang ke Daegu, rindu berlama-lama di rumah dengan Yeontan."

Ugh, sialan sekali si Kim itu. Hoseok mendadak membayangkan bagaimana Taehyung yang sedang bermalas-malasan di atas kasur dengan anjing kesayangannya. Enak sekali hidupnya. Apalah daya Hoseok yang kini hampir tersesat hanya karena mencari si tengik Min Suga.

Di tengah kendaraan miliknya yang melintas di jalan lengang itu, ponsel di saku jaketnya bergetar dengan nada monoton yang terdengar samar. Hoseok lekas menepi kendati tak ada satu pun kendaraan yang berlalu lalang. Mendapati nama rekan kerjanya terpampang jelas, ia lekas menekan opsi terima.

"Hallo, ada apa, Al?"

Suara gemeresak terdengar, lalu disambung dengan satu lecutan timah panas. Hoseok bahkan harus menjauhkan ponselnya dari telinga sebab di seberang sana benar-benar ramai.

"Ke kantor sekarang, tahanannya sudah ditemukan."

Mati-matian lelaki Jung itu menahan diri untuk tidak menyebut satu per satu hewan yang berada di kebun binatang. Menarik napas dan mengembuskannya pelan, Hoseok menyahut, "Baiklah, tunggu saja."

Setelah panggilan berakhir, Hoseok sempat memandang layar ponselnya yang kini menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Setengah jam waktunya terbuang sia-sia. Marah? Tentu. Tapi inilah risiko menjadi seorang aparat kepolisian. Kalaupun ingin marah, tentu ia akan melampiaskannya pada si Min itu. Sebab jika ia tidak kabur, tidak mungkin Hoseok berakhir menyedihkan seperti ini.

Memutar balik sepeda motor, kali ini Hoseok tak tanggung-tanggung dalam mengendarainya. Speedometer itu bahkan berada di angka 120 km/jam. Tak apa. Lelaki itu sudah sangat andal dalam hal ini. Jatuh terguling hingga masuk jurang sedalam lima meter saja sudah pernah ia cicipi. Jadi jika Hoseok nanti terpental pun, ia tidak akan kenapa-kenapa. Singkatnya Hoseok sudah kebal.

Tatkala roda itu bergulir di jalanan pusat kota yang ramai, Hoseok mulai mengurangi laju sepeda motornya. Seandal apa pun dirinya dalam hal berkendara, jika sudah memasuki jalanan ramai tentu akan lebih berhati-hati. Pasalnya Hoseok ini seorang polisi, harus memberi contoh yang baik pada masyarakatnya.

Hiruk pikuk pula gemerlap lampu yang menerangi kota seakan tak pernah surut, terlebih di jam-jam seperti ini. Hoseok sempat tergoda untuk mampir ke salah satu pub, setidaknya ia bisa menenggak satu atau dua botol soju sebelum tiba di kantor. Namun, saat Hoseok menepikan motornya di sisi kiri jalan, ia melihat seorang pria di seberang sana tengah bercumbu mesra di bawah temaram lampu jalan.

Netra Hoseok menyipit. Itu ... Kim Taehyung?

Dan pertanyaan itu lekas terjawab kala lelaki itu menyudahi pagutannya hingga benang liur mereka terjalin satu sama lain. Itu memang Taehyung, rekan kerjanya. Tapi, hei, bukankah Taehyung sedang cuti ke Daegu? Well, sepertinya lelaki itu berbohong. Pula, wanita yang berada dalam pelukan Taehyung itu bukanlah Jung Anha.

Mungkinkah alasan lelaki itu mengambil cuti secara dadakan ada hubungannya dengan ini semua?

Menggelengkan kepala pelan, Hoseok kembali menghidupkan sepeda motornya. Niat untuk bersenang-senang di pub mendadak lenyap sesaat setelah ia mendapati pertiwa mengejutkan sekaligus menjijikan tadi. Jadi, tatkala pasangan di seberang sana kembali berciuman, Hoseok lekas meninggalkan tempat itu dengan kepala yang pening.

Kau berhutang penjelasan padaku, Bung.

Satu bulan telah berlalu, dan Jimin amat bersyukur mengetahui Jack yang tiba-tiba lenyap. Kehidupan si Park itu terasa lebih berwarna. Ia sering bangun lebih awal—sebelum Anha bangun—dan lekas membasuh tubuh. Mengenakan pakaian santai dan menyiapkan sarapan. Jimin juga tak pernah absen untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang biasa Anha kerjakan, sampai-sampai wanita itu berkata, "Daripada menjadi temanku, kau lebih cocok menjadi pembantuku, Jim." Tapi Jimin tahu bahwa Anha hanya bercanda.

Akan tetapi, rupanya ketenangan itu harus terusik dengan satu mimpi yang tiba-tiba menyelinap dalam tidurnya. Di sana, Jimin melihat tubuhnya dikendalikan oleh Jack. Jemarinya memegang sebilah pisau yang berlumuran darah. Tatkala ia melirik ke samping, tahu-tahu saja tubuh Anha telah terbaring lemas dengan sayatan lebar di perut yang menampakan organ dalamnya.

Astaga.

Sosok Jimin yang tengah dikendalikan oleh Jack itu tiba-tiba menatap tajam ke arahnya. Bibirnya membentuk seringaian paling mengerikan dengan kedua manik yang berkilat. "Inilah akibat perbuatanmu, Jim. Jadi, jangan salahkan aku."

Setelah kalimat itu usai ia dengar, Jimin lekas tersadar. Bulir keringat sebesar biji jagung turun dari pelipis menuju lehernya. Mimpi itu terasa sangat nyata, serta-merta membuat Jimin mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar. Memastikan bahwa benar itu hanyalah mimpi.

Tidak ada Jack. Hanya ada dirinya dengan Anha di sisi kiri yang masih terlelap.

Jimin menghela napas panjang. Ia meneguk air putih yang ada di atas nakas hingga tandas. Mimpi itu bahkan masih terekam jelas di dalam otaknya; bagaimana Jack yang memegang pisau, Anha yang tergolek lemah, pula sebuah kalimat yang menjadi penutup bunga tidur itu.

"Inilah akibat perbuatanmu, Jim. Jadi, jangan salahkan aku."

Melirik ke samping, Jimin bisa melihat bagaimana kerutan samar muncul di kening Anha. Wanita itu sepertinya juga sedang mendapati mimpi yang tidak cukup bagus.

Jimin jadi bimbang. Ia tahu betul bahwa Jack tidak pernah main-main dengan perkataannya, dan di mimpinya tadi, jiwa kelam itu benar-benar membunuh Anha.

Jujur saja, Jimin marah; tidak rela. Kendati hal tersebut hanya berupa mimpi, tapi tentu tidak menutup kemungkinan bahwa hal itu akan terjadi di masa mendatang. Seperti yang Jimin katakan sebelumnya bahwa Jack tidak pernah main-main dengan perkataannya. Ia akan mewujudkan apa pun yang diinginkannya, walau harus dengan cara yang tidak manusiawi.

Entah sampai kapan Jimin akan seperti ini; terhantui oleh bayang-bayang Jack. Ia tentu tidak ingin Anha terluka. Wanita itu teramat berharga, pun ia cintai. Oleh sebab itu Jimin telah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan melindungi Anha, sekalipun harus dengan mengorbankan dirinya yang pergi jauh dari kehidupan wanita itu.

Pagi hari Anha terbangun tanpa Jimin di sisinya. Ia mengerjap sebentar sebelum duduk dengan mata yang menyipit. Kedua lengan ia renggangkan dengan leher yang bergerak patah ke kanan dan ke kiri. Setelah dirasa sadar sepenuhnya, wanita itu lekas bangkit dan menuju kamar mandi.

Di dapur, ada Park Jimin yang tengah berkutat membuat roti bakar dengan dua gelas susu hangat. Pikirannya kala itu agak sedikit terganggu usai mendapatkan mimpi yang menegangkan. Ia bahkan nyaris tak bisa terlelap hingga jam dua dini hari.

"Selamat pagi, Park Jimin."

Sapaan hangat menusuk rungu Jimin yang saat itu tengah sibuk memindahkan empat lembar roti bakar ke atas piring. Jimin lekas menyahut sebelum ikut bergabung di meja makan bersama Anha, "Pagi juga, An."

Si Jung itu bisa menangkap sorot mata yang kuyu—seperti kurang tidur. Pun ia bertanya, "Bagaimana tidurmu?"

"Tidak buruk," balas Jimin sekenanya.

Setelahnya tidak ada lagi konversasi yang merambat di udara. Keduanya seolah bisu untuk sesaat. Suasana itu terasa asing jika dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Anha sempat melirik ke arah Jimin yang terus menyuap roti hingga kedua pipinya menggembung.

Menahan napas dengan iris yang mengamati bagaimana sikap Jimin yang berbeda untuk hari ini, Anha tidak punya pilihan apa-apa selain menyampirkan tas selempangnya di bahu dan berkata pelan, "Habiskan sarapanmu, ya. Kalau masih lapar, ambil saja sereal yang ada di kabin atas. Aku harus bekerja dulu. Sampai nanti."

Baru saja Anha menjejak di lorong yang akan membawanya ke meja kerja, ia sudah keburu dihadang olah seorang pemuda manis dengan boneka kelinci di dalam dekapan.

"Noona," ujar Jungkook sembari berlari kecil ke arahnya. "Aku rindu sekali. Noona sekarang tidak pernah jenguk Kookie. Apa Noona sudah tidak sayang sama Kookie lagi?"

Anha mengusak pucuk kepala Jungkook yang dilapis surai hitam lembut yang ujungnya sudah menyentuh kelopak mata. "Ey, kata siapa? Noona sayang sekali kok sama Kookie. Tapi sekarang memang sudah tidak bisa sesering itu bersama Kookie. Ada tanggungan lain yang harus selesaikan."

Mereka berdua berjalan beriringan. Si Jeon itu mengerucutkan bibir sembari berkata, "Kookie sekarang kesepian. Tidak punya teman. Ingin mengajak Jimin hyung, tapi dia sudah tidak ada lagi. Kira-kira dia kemana, ya?"

Tersenyum kecil dengan kaki yang mengayun lambat, Anha mecoba menjelaskan perlahan. "Jimin hyung sudah tidak tinggal di sini lagi. Sekarang dia sudah pulang ke rumah." Ah, rumah, ya? Anha mendadak meringis akibat kalimat yang baru saja dilecutkannya. Si Jeon itu bahkan mendadak bingung. Rumah? Rumah itu kira-kira apa? Anah lekas melanjurkan agar kening itu berhenti berkerut, "Jimin hyung itu sudah sembuh. Makanya sudah bisa pulang. Kookie juga harus bisa sembuh seperti Jimin hyung, ya?"

"Tapi Kookie sekarang mau bertemu Jimin hyung."

Pemuda itu menghentikan langkah, menatap Anha dengan mata yang berkaca-kaca. Beberapa perawat di sekitar sana sempat melirik penasaran, tapi lekas mengalihkan atensi lantaran pasien mereka yang kembali berulah. Ada yang menyipratkan air dengan selang, menumpahkan mangkuk berisi bubur, pula menjambak rambut sang perawat—yang mana itu terjadi pada Iseul yang kini kewalahan menangani seorang lansia bernama Gaeun.

"Kalau sekarang tidak bisa, Kook." Si Jeon itu hendak menyahut, berteriak. Namun lekas Anha sela dengan satu kalimat penenang. "Tapi sebagai gantinya, besok Noona akan coba mengajak Jimin hyung-mu itu, ya?"

Beruntung Jungkook lekas mengangguk patuh. Menautkan jemari dengan milik Anha dan berjalan menuju ruang 14A. Wanita itu menghabiskan waktu sekitar satu jam di dalam sana—sekadar menemani Jungkook sarapan sembari bercakap ringan—sebelum akhirnya pamit dengan dalih pekerjaan yang menunggu.

Hari itu berlalu dengan lambat tanpa alasan yang jelas. Anha merasa apa yang dilakukannya tidak semenyenangkan sebelumnya. Ada apa? Kenapa? Pertanyaan itu terus menggema hingga tak terasa waktu kerjanya berakhir tepat di jam tujuh malam.

Menyisipkan beberapa lembar arsip ke dalam laci meja, Anha bergegas untuk pulang. Hatinya mendadak tidak enak. Semacam tengah mengirim sinyal bahwa akan ada hal yang tidak diinginkan untuk terjadi. Namun baru beberapa langkah ia ambil, Anha harus menerima kenyataan bahwa tubuhnya limbung setelah ditubruk seseorang dari belakang. Wanita itu meringis kesakitan dengan lututnya yang memerah.

"Astaga," pekik Namjoon kaget, sekonyong-konyong membuatnya untuk lekas mengulurkan tangan; membantu wanita itu untuk bangkit. "Maafkan aku, An. Aku sedang terburu-buru, makanya sampai tidak melihatmu yang baru saja keluar."

Walau nyeri itu mendera tungkainya, Anha tetap mengulas senyum kecil. "Tidak apa-apa, Joon."

"Mungkin sebagai permintaan maaf, aku akan mengantarkanmu pulang." Mulanya Anha hendak menolak, karena seperti yang lelaki itu katakan sebelumnya bahwa ia sedang terburu-buru. Anha tidak ingin merepotkan Namjoon karena harus mengantarkannya terlebih dahulu. Akan tetapi, lelaki itu kembali bersuara, membuat Anha mengangguk pasrah. "Jangan menolak. Kau tidak mau aku sedih, 'kan?"

Di sepanjang langkah yang mereka ambil, Namjoon sesekali mencuri pandang pada wanita di sampingnya. Bohong jika ia tidak tertarik pada Anha. Letupan kecil itu terasa semakin nyata jika Namjoon berada di sisi Anha. Terlebih jemarinya yang kini merangkum tubuh kecil itu. Bukannya mau mencari kesempatan dalam kesempitan, Namjoon memang berniat untuk membantu Anha yang saat itu kesulitan berjalan usai ditabraknya, tapi kalau dianggap demikian juga tak apa. Sebab pada dasarnya ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

"Namjoon?" panggil Anha, lekas sang pemilik nama untuk mengerjap canggung sembari mengangkat kedua alis. Wanita itu kemudian menunduk, seakan memberi tahu sesuatu. "Simpul tali sepatumu terlepas."

Pun, Namjoon ikut melirik ke arah kakinya. Benar saja. Ikat tali sepatu kanannya terlepas. Jadi, menurunkan jemarinya sesaat untuk kembali menyimpulkan tali tersebut, Namjoon diam-diam tersenyum samar. Hal sekecil ini saja Anha dapat menyadari. Benar-benar perempuan idaman 'kan?

Mereka kembali menyusuri basement, lalu berhenti di samping mobil sedan hitam. Namjoon bergegas membukakan pintu di samping kemudi untuk Anha. Setelah wanita itu duduk dengan nyaman, barulah ia mengitari mobil untuk lekas duduk di kursi kemudi.

Perjalanan saat itu teramat sunyi kendati keadaan di luar sana benar-benar penuh akan euforia orang-orang yang gemar mencari kesenangan. Namjoon melirik ke samping dan menemukan Anha tengah sibuk dengan ponselnya. Kening wanita itu mengerut lucu kala bibirnya bergerak pelan. Entah apa yang tengah Anha baca, tapi hal itu membuat Namjoon gemas sendiri hingga tak sadar di depan sana banyak mobil yang berhenti.

Menginjak rem secara mendadak, masing-masing dari mereka terpental ke depan. Barangkali Namjoon masih bisa memertahankan posisinya sebab ada seatbelt yang melingkar di tubuhnya, tapi lain lagi dengan Anha yang terbentur dashboard dengan ponsel yang terlempar ke bawah.

Sepertinya Namjoon ini memang benar-benar definisi dari kecerobohan.

Sebelum membantu Anha yang mengusap keningnya yang memerah, Namjoon sempat menilik akan apa yang sedang terjadi. Dan, payah. Kenapa Namjoon tidak sadar kalau ia sedang terjebak di lampu lalu lintas yang merah? Ah, pasti ini karena dirinya yang terlalu fokus pada Anha. Namjoon seakan terbius oleh proporsi wajah rupawan itu.

"Aku benar-benar minta maaf, An. Seharusnya aku tadi tidak melamun." Mengusap benjolan kecil yang berada di kening, Anha bisa menyimpulkan bahwa jika dirinya berdekatan dengan Namjoon, maka kesialan akan menghampiri.

Ingin sekali Anha untuk menyentil kening tersebut agar sama seperti miliknya kini. Akan tetapi sesaat ia mengangkat wajah dan mendapati seraut penyesalan terpatri jelas di sana, Anha merasa amarahnya lenyap dalam sekejap. Seperti ada sentuhan sihir, tapi sebenarnya tidak sama sekali.

"Tidak apa-apa, Joon." Anha lekas memasang seatbelt miliknya yang semula terlupakan karena terlalu asik dengan ponsel. "Lagipula ini memang salahku. Jadi berhenti meminta maaf dan lekas lanjukan mobilnya sebelum pengemudi di belakang sana mencincang kita. "

Anha terkikik geli saat mendengar bunyi klakson yang bersahut-sahutan. Padahal layar di atas sana baru saja sedetik menampakkan rambu hijau, tapi para pengemudi berlaku seolah mereka tengah dikejar monster buas; terburu-buru. Namjoon di samping yang masih kebingungan, pun lekas menekan pedal gas.

Lima menit berkendara, Namjoon tiba-tiba terkekeh kecil. Ia teringat akan kalimat Anha yang baru sekarang bisa ia pahami.

Anha ini orangnya cantik, manis, humoris. mudah bergaul, pun baik hati. Namjoon juga masih ingat jelas bagaimana wanita itu bersedia membantunya mencari kunci yang hilang di dalam mobil. Jikalau Anha ini bukan rekan sejawatnya, sudah dipastikan bahwa Namjoon akan mengajaknya berkencan.

Kemudian, untuk mengurangi suntuk yang melahap hampir setengah perjalanan, Namjoon melempar kalimat bertanya, sekadar basa-basi agar ada topik yang dibahas untuk berdua. "Bagaimana kabar Jimin?"

"Dia baik-baik saja. Tidak pernah berlaku macam-macam. Kupikir dia juga memang sudah sembuh." Anha berucap tanpa menoleh, pandangannya ia jatuhkan ke luar jendela; melirik bangunan yang bergerak cepat (kendati yang sebenarnya bergerak adalah mobil yang sedang ia tumpangi). "Tapi sampai sekarang dia masih belum mau kembali ke Busan."

Memelankan laju mobil saat di tikungan, Namjoon menyahut dengan satu alis yang menukik. Padangannya masih terfokus ke depan. "Maksudmu ... si Jimin itu masih di sini? Tunggu, tunggu." Sedetik kemudian kendaraan beroda empat itu menepi di sisi kiri jalan. "Jangan bilang Jimin menumpang di apartemenmu."

Anha terkekeh kering. Sebab pada dasarnya apa yang dikatakan Namjoon memang benar. Pemuda Park itu bahkan telah ikut bersamanya selama satu bulan. "Jimin memang menumpang di apartemenku, Joon-ah. Aku kasihan juga kalau menelantarkannya sendirian. Yah, walaupun awalnya agak sedikit aneh, tapi aku akhirnya bisa terbiasa."

Ada bara yang memercikkan api hingga membuat Namjoon tersulut. Ia ingin marah, tapi sadar diri bahwa ia ini bukan siapa-siapanya Anha. "Kenapa kau begitu yakin pada Jimin? Maksudku, tidak menutup kemungkinan bahwa ia sedang memanfaatkanmu. Juga, bagaimana kalau Jimin itu sebenarnya seorang pembunuh? Dengar, dunia ini penuh dengan orang-orang bertopeng, An. Kau seharusnya lebih berhati-hati lagi."

"Jimin itu tidak seburuk yang kau pikirkan. Buktinya aku masih di sini. Bernapas, dengan anggota tubuh yang lengkap."

Menghela napas pendek, jemari Namjoon secara tak sadar telah meremat kemudi karena saking marahnya. "Sebenarnya ada hubungan apa kau dengan Jimin?" Peduli setan dengan status mereka yang saat ini hanya sebatas rekan kerja. Namjoon benar-benar terusik tatkala mengingat kedekatan Anha dengan si Park itu.

"Awalnya memang hanya sebatas perawat dengan pasien. Tapi lama kelamaan aku merasa bahwa Jimin lebih cocok menjadi temanku. Ia bahkan tidak pernah protes jika aku menceritakan sesuatu yang tidak penting."

Namjoon dibuat bungkam setelahnya. Ia tidak mengatakan apa-apa hingga tiba di depan apartemen si wanita. Anha juga tidak marah karena Namjoon yang mendadak mendiaminya. Ia mengerti bahwa sebagai seorang teman, sudah sepatutnya saling mencemaskan. Dan barangkali itulah yang terjadi pada lelaki Kim itu.

Mengucapkan terima kasih dan melambaikan tangan hingga mobil tersebut lenyap di ujung jalan, Anha lekas masuk ke dalam gedung apartemen. Langkah yang ia ambil sedikit tertatih sebab lututnya yang masih nyeri, tapi itu tak mengurangi semangatnya untuk lekas berbaring di atas kasur. Anha juga sudah tidak sabar untuk melahap makan malam yang Jimin sediakan di meja makan.

Bicara tentang Jimin, entah kenapa Anha selalu ceria. Pemuda Park itu seolah menutup satu per satu luka yang mantan kekasihnya itu tinggalkan.

Usai memasukkan beberapa angka, dan mendorong pintu pelan, Anha harus terpaku sebentar di ambang pintu. Keadaan di dalam sana gelap gulita. Suasanya pun sunyi. Tidak ada Jimin yang duduk di salah satu kursi dengan senyum lebar di wajahnya.

Apa yang terjadi?

Menekan beberapa saklar agar lampu menerangi apartemen, Anha melepas flatshoes miliknya dan melempar asal. Ia mencoba menemukan eksistensi Jimin di semua ruangan. Semua, tidak terkecuali. Bahkan beberapa lemari pakaian sempat dibukanya, takut kalau si Park itu sedang mengajaknya bermain petak umpet.

Dengan napas memburu pula pikiran yang tak lagi jernih, Anha jatuh terduduk di atas marmer yang dingin.

Ia mencoba berpikir positif bahwa Jimin-nya hanya pergi sebentar ke toserba di ujung jalan. Namun hingga jam sepuluh malam tiba pun, Anha masih belum menemukan tanda-tanda Jimin akan pulang. Ia menanti kehadiran itu di kursi depan, dengan hati yang terus memanjatkan doa.

Putus asa, Anha akhirnya berjalan gontai menuju dapur. Meneguk segelas air dingin kiranya bisa bantu menenangkan pikiran. Jadi, menarik gagang kulkas tersebut pelan, manik Anha malah menemukan mangkuk berisi sup ayam yang sudah dingin dengan sebotol susu yang ditempeli secarik kertas.

Tanpa pikir panjang Anha membawa dua benda itu ke meja makan. Netranya bergerak membaca frasa demi frasa yang ditoreh dengan tinta hitam. Setetes air mata mendadak turun bersamaan tubuhnya yang lemas.


Hallo, An. Ini Park Jimin. Lelaki paling tampan.

Jika kau membaca ini, itu berarti aku sudah pergi.

Tolong hiduplah dengan baik selama aku tidak ada.

Ohya, kau tidak perlu repot-repot mencariku, sebab aku akan kembali jika memang waktunya telah tiba.

Satu lagi, aku tadi mengambil sedikit uang tabunganmu di dalam laci, tapi kau tenang saja, aku akan mengembalikannya suatu hari nanti.


Dengan cinta,
Park Jimin []

Continue Reading

You'll Also Like

23K 2.3K 24
Story by : Emerald_Slytherin 9 tahun setelah pertempuran Hogwarts, perang masih berkecamuk dan semua orang telah banyak berubah sejak masa-masa merek...
4.9K 589 28
[ 𝐟𝐭. 𝐤𝐢𝐦 𝐭𝐚𝐞𝐡𝐲𝐮𝐧𝐠. ] Ortiz De Varg, figur menawan yang mengatur Vargaron, menginvasi Essonia untuk memenuhi perasaan tamaknya. Namun, s...
107K 18.1K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
476K 5K 86
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...