Enigma, The Shadow [Re-write]...

By pratiwikim

85.4K 12.6K 3.7K

[Re-write] It doesn't have foot but it can run It always remind you of something ©ᴘʀᴀᴛɪᴡɪᴋɪᴍ ⚠️ ᴛʀɪɢɢᴇʀ ᴡᴀʀɴ... More

ᴛʀᴀᴄᴋʟɪꜱᴛ
1. ʙᴇɢɪɴ, ᴍᴇᴇᴛ ʜɪᴍ
2. ꜱᴄᴀʀ ᴏɴ ʜɪꜱ ꜱᴋɪɴ
3. ʙᴇᴛʀᴀʏᴀʟ ꜰʀᴏᴍ ʜᴇʀ ʟᴏᴠᴇʀ
4. ꜱᴛʀᴀɴɢᴇ ꜰᴇᴇʟɪɴɢꜱ
5. ʟᴇᴛ'ꜱ ᴘʟᴀʏ ᴀ ꜰᴜɴ ɢᴀᴍᴇ
6. ʜɪꜱ ɪʟʟɴᴇꜱꜱ, ᴀʟᴢʜᴇɪᴍᴇʀ
7. ʙᴇᴛᴡᴇᴇɴ ᴀ ᴋɪꜱꜱ ᴀɴᴅ ᴅᴇꜱɪʀᴇ
8. ᴄᴏʟᴅ ʀᴀɪɴ
9. ʜᴇʀ ᴇx-ʟᴏᴠᴇʀ
11. ᴠᴀɴɪꜱʜ ᴀᴡᴀʏ
12. ᴛʜᴇ ʀᴇᴀʟ ʜɪᴍ, ᴘꜱʏᴄʜᴏ
13.1. ᴄʜɪʟᴅʜᴏᴏᴅ ꜰʀɪᴇɴᴅ
13.2. ᴄʜɪʟᴅʜᴏᴏᴅ ꜰʀɪᴇɴᴅ
14. ꜰᴀᴋᴇ ᴘᴇᴏᴘʟᴇ
15. ᴛʀʏ ᴛᴏ ᴘʀᴏᴛᴇᴄᴛɪɴɢ ʏᴏᴜ
16. ᴡᴏᴍᴀɴ ɪɴ ᴛʜᴇ ʙᴀʀ
17. ᴀʟᴍᴏꜱᴛ, ʙᴜᴛ ꜱᴛɪʟʟ ᴋᴇᴇᴘ ᴛʜᴇ ᴅɪꜱᴛᴀɴᴄᴇ
18. ʀᴏᴛᴛᴇɴ ᴛᴏ ᴛʜᴇ ᴄᴏʀᴇ
19. ᴡɪᴘᴇ ᴏꜰꜰ ᴀʟʟ ᴛʜᴇ ᴛʀᴀɪʟ
20. ʙᴀᴄᴋꜰɪʀᴇ ᴇꜰꜰᴇᴄᴛ
21. ʀᴇᴠᴇɴɢᴇ
22. ɪꜱ ɪᴛ ᴛʜᴇ ᴇɴᴅ?
23. ꜰɪᴇʀᴄᴇ ʙᴀᴛᴛʟᴇ
24. ɪɴꜰɪɴɪᴛᴇ
ꜰɪɴᴀʟ: ʏᴏᴜ ᴀʀᴇ ᴍʏ ᴍᴇᴍᴏʀʏ
ᴀʟʟ ɪ ᴡᴀɴᴛ

10. ᴅᴇᴇᴘ ɪɴ ʜɪꜱ ʜᴇᴀʀᴛꜱ

2.5K 470 66
By pratiwikim

Park Jimin masih belum memercayai bahwa dirinya bisa berkeliaran bebas—tanpa pengawasan dari pihak rumah sakit yang jujur kerap kali membuat jengah; seperti terjerat oleh tali tambang. Akan tetapi, di sinilah ia sekarang. Berdiri tegap, menyongsong apartemen yang salah satu unitnya ditempati oleh Anha.

Mulanya, Jung Anha bersikeras untuk memulangkan Jimin ke kampung halamannya di Busan, tapi si Park itu menolak. Dirinya enggan kembali ke tempat itu sebab ada beberapa memori pahit yang membekas di kepala. Jadi, setelah melakukan negosiasi berupa Jimin yang akan dengan senang hati membantu sebagian pekerjaan rumah, Anha hanya mengangguk pasrah, membiarkan pemuda tersebut untuk tinggal satu atap bersamanya hingga waktu yang belum ditentukan.

Anha hanya berpesan untuk tidak melakukan hal yang aneh-aneh selama ia tidak ada di rumah. Terlebih jika sampai membuat tetangga sebelah terganggu. Wanita itu menuliskan alamat apartemen miliknya di secarik kertas dan memberikannya pada Jimin. Masih ada beberapa hal yang harus diurus di rumah sakit. Oleh karena itu Anha memesankan Jimin taksi untuknya pulang terlebih dahulu.

Decitan sandal dengan keramik terdengar menggema kala Jimin mulai memercepat kerja kedua kaki. Ia sudah tiba di lantai lima belas dimana unit milik Anha berada. Penat yang menggelayuti karena kesibukan hari ini membuat Jimin tidak sabar untuk merebahkan tubuh.

Setelah memasukan beberapa digit angka sesuai yang diberitahukan Anha lewat secarik kertas tadi, Jimin lekas mendorong pintu. Penghidunya langsung disambut oleh harum pekat kayu pinus dengan sedikit mint yang menyegarkan. Aroma tersebut amatlah memabukkan hingga Jimin secara tak sadar memejamkan kelopak mata; menyimpan rapat bau-bauan tersebut di dalam laci memorinya.

Ada beberapa objek yang menjadi pusat perhatian Jimin kala ia kembali membuka mata. Mulai dari funitur berbahan kayu jati, pot berisi kaktus di sudut ruangan yang mulai mengering (barangkali Anha sudah tidak punya waktu lagi untuk sekadar merawatnya), pula dinding bercat putih gading yang digantungi oleh beberapa figura.

Melangkah mendekat agar dapat mengamati lebih jelas, Jimin membiarkan matanya dimanjakan oleh beberapa replika lukisan oleh beberapa pelukis terkenal. Milik Vincent Van Gogh dengan karyanya Starry Night, pula Guernica milik Piccaso. Kanvas itu diisi oleh coretan cat air dengan sangat apik. Melirik sedikit di bagian bawah, Jimin menemukan sebuah nama yang tertoreh menggunakan tinta emas.

Kim Taehyung.

Menautkan kening hingga menimbulkan tiga lipatan, batin Jimin dirundung penasaran akan siapakah gerangan orang yang memiliki nama itu. Ia mencoba mengingat nama-nama para pelukis terkenal, tapi tak kunjung mendapatinya. Sepersekon kemudian, Jimin nyaris tersedak salivanya sendiri saat ia kembali menilik tinta tersebut dan menyadari bahwa Kim Taehyung itu merupakan laki-laki yang sempat dijumpai petang tadi di sebuah kafe.

Si Park itu memang tidak begitu suka dengan Taehyung setelah mengetahui bahwa lelaki itu yang telah menghancurkan hati Anha hingga lebur, pula ditambah sikap serampangannya di kafe tadi. Akan tetapi, terlepas dari itu semua, Jimin juga tidak bisa menampik kalau ia kagum akan jiwa seni yang tertuang dalam karya lukisnya. 

Jemari kecil nan berisi, Jimin bawa untuk menyentuh langsung bagaimana ragam warna cat itu dipadukan di atas kanvas. Ia membiarkan guratan-guratan halus tersebut menyentuh permukaan kulitnya pelan. Jimin seakan hanyut dalam indahnya lukisan hingga tak sadar membuat kakinya terantuk sebuah nakas.

Meringis kecil sebab jemari kakinya yang tertindih, Jimin lekas menarik tungkainya. Mendirikan lemari kecil itu dan mengembalikan barang-barang yang berceceran ke dalamnya. Berbagai macam obat-obatan bersama aksesoris milik Anha berserak di dekat kakinya. Ada gantungan kunci karakter dengan ikat rambut warna-warni. Jimin sempat terpekur beberapa detik kala netranya mendapati sebuah snowglobe tergeletak di dekat kaki kursi.

Merendahkan tubuh dan membawa benda lucu tersebut dalam genggaman, Jimin bisa mengamati bagaimana bulir-bulir salju buatan itu menghujam tubuh mungil Santa di dalamnya. Terlalu asik dengan dunianya, si Park itu tanpa sadar menulikan telinga hingga sensor pintu yang baru saja berbunyi tak dapat ia dengar.

"Kukira kau sudah tidur."

Satu vokal serak melecut di udara. Jimin tersadar dan lekas berbalik, mengalihkan atensi pada figur Anha yang tengah melepas alas kaki dan menaruhnya di rak. Wanita itu terlihat sedikit lesu dengan pandangannya yang kuyu. Pun kedua kaki jenjangnya harus diseret paksa terlebih dahulu agar mampu beranjak dari sana—menghampiri Jimin.

"Jim?"

Si pemilik nama lekas mengerjap. Beberapa detik yang lalu kesadarannya seperti disedot oleh vacum cleaner raksasa tatkala menatap visual Anha yang tidak main-main. Kendati wajahnya lesu dan sedikit berminyak, Jimin harus mengatakan bahwa wanita itu amatlah cantik—memesona. Membasahi bibirnya canggung, Jimin menyahut, "Kupikir aku harus menunggu terlebih dulu."

Mengangguk samar sebanyak dua kali, Anha lekas melepas jas putih yang membalut tubuhnya seharian, menyampirkan di salah satu kursi dan netranya secara tak sengaja melihat sesuatu yang tengah Jimin sembunyikan di balik punggung. "Apa itu?" tanya Anha dengan iris menyipit.

Jimin gelagapan bak pencuri yang baru saja tertangkap basah tengah mencuri satu kilogram emas. Melangkah mundur secara perlahan agar tidak terlalu ketara, si Park itu tahu-tahu saja sudah merapat dengan dinding. "B-bukan apa-apa, kok."

Wanita itu menghela napas pendek, membiarkan pening merambat perlahan. Ia menelengkan kepala dengan lengan yang terlipat di atas dada. "Jimin," Anha menegur. "Sekarang kau berada di bawah pengawasanku. Aku bertanggung jawab atas apa yang akan kau lakukan nantinya. Jadi tolong, jangan memersulitku."

Jimin menundukkan kepala, membiarkan matanya terfokus pada pias lampu termaram yang terpantul di atas keramik. Anha benar. Jimin memang sudah terlepas dari pengawasan pihak rumah sakit, tapi tidak dari pengawasan wanita Jung ini. Lantas, Jimin tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah melihatkan sesuatu yang tadi sempat ia sembunyikan.

"Dari mana kau mendapatkan benda itu?" Jimin melirik ke arah nakas yang rupanya bergeser sedikit dari posisi semula sebagai jawaban. Ada beberapa ikat rambut yang masih berhamburan karena ia tidak sempat mengembalikannya. Anha mengusap wajahnya frustasi. Hari ini benar-benar buruk. Jadi, mendecakkan lidah dengan satu embus kasar yang lolos dari ceruk bibirnya, Anha melanjutkan sembari berlalu dari sana, "Tolong buang snowglobe itu jauh-jauh, dan jangan lupa untuk membereskan kekacauan yang kau perbuat. Kalau kau bersedia, silahkan benahi juga dapurku yang berantakan. Aku lelah sekali, ingin lekas beristirahat."

Jimin hanya bisa terdiam sembari menatap sendu kala wanita itu berjalan menuju kamar di sayap barat ruangan ini. Pintu bercat cokelat dengan alat penangkal mimpi buruk yang tergantung itu menelan tubuh Anha dalam hitungan detik.

Si Park itu agaknya masih belum bisa memahami apakah para wanita akan bersikap demikian setelah melalui hari yang berat?

Masih terpaku di posisi semula, Jimin kembali melirik snowglobe yang ada di tangannya, memutar perlahan dengan iris yang tak pernah lepas pada santa berbalut mantel merah di dalam kukungan kaca tersebut. Ada sedikit retak di bagian belakang, mungkin ini akibat terhempas tadi. Well, Jimin rasanya tidak tega untuk membuang snowglobe semanis ini. Jadi, ia berencana untuk menyimpannya secara diam-diam.

Menempatkan bokong sekal di atas kursi dengan penghangat ruangan yang berderik, Jimin mendadak melunturkan senyuman di wajahnya. Sekarang ia sudah mengetahui alasan dibalik Anha yang menyuruhnya untuk membuang benda ini.

Snowglobe ini milik Taehyung. Terbukti dengan tiga alfabet kecil yang terukir di bagian bawah; KTH.

Mendapati hal seperti ini, Jimin terkekeh kering. Betapa bodohnya ia yang tak lekas menyadari. Pemuda itu pun bangkit menuju dapur dan mencari tempat sampah. Benda yang semula ia anggap menggemaskan itu nyatanya harus berakhir bersama sampah dapur. Well, bukankah itu hal yang wajar? Sebab cinta Taehyung itu tidak ada bedanya dengan sampah tersebut; sama-sama busuk.

Mengatur napas yang entah kenapa menjadi memburu dengan gejolak di dalam dada, Jimin lekas meneguk air putih yang sempat diambilnya dari dalam lemari pendingin. Menenggaknya terburu-buru hingga bulir air tersebut berujung membasahi pakaian yang tengah dikenakan.

Jimin menahan napasnya sebentar sebelum mengembuskannya perlahan lewat mulut. Kelopak matanya memejam rapat sembari ia yang mati-matian mensugesti diri agar tetap tenang. Hari pertama di luar kukungan rumah sakit harus berjalan lancar. Jimin tidak akan membiarkan Jack untuk mengambil alih tubuhnya barang sebentar. Biarkan Jimin menjadi serakah untuk beberapa hari ke depan.

Setelah merasa amarahnya mulai mereda, Jimin lekas membereskan beberapa kekacauan yang ada—sesuai perintah Anha tadi. Ia kembali lagi ke ruangan depan dan mengembalikan ikat rambut wanita itu ke tempat asalnya. Jimin juga sengaja menurunkan lukisan-lukisan yang menggantung untuk disimpan di dalam kardus. Intinya, apa pun yang menyangkut tentang Taehyung, Jimin singkirkan tanpa pikir panjang.

Melirik ke arah jam dan menemukan jarum pendeknya berada di angka sepuluh, Jimin coba memercepat pekerjaannya. Ia kembali ke dapur untuk mencuci tumpukan piring di wastafel yang sudah menguarkan aroma tak sedap. Lantai yang bertabur remahan keripik ia sapu hingga bersih. Tak ketinggalan pula Jimin untuk mengambil pakaian kering yang masih berada di atas jemuran untuk dipindahkan ke dalam keranjang bersih.

Dari beberapa pekerjaan yang sudah ia lakukan, Jimin dapat memastikan bahwa mengambil pakaian kering tadi adalah yang paling sulit. Bagaimana tidak sulit jika si Park itu harus membiarkan matanya melihat jejeran pakaian dalam berenda yang cocok dijadikan pameran (stoknya yang banyak sekali membuat Jimin berpikir demikian). Pipinya bahkan masih menghangat dengan rona merah samar kendati kini Jimin sudah menyelesaikan pekerjaannya yang satu itu.

Menanggalkan kemeja yang sedari tadi membalut tubuhnya, Jimin masih tidak bisa menahan bibirnya untuk tidak tersenyum. Yah, kau tahu sendiri bagaimana otak seorang lelaki dewasa saat melihat hal-hal semacam itu. Pikiran mereka tentu akan bereaksi layaknya singa yang diberi daging segar.

Jimin merenggangkan tubuhnya, melemaskan otot-otot yang keram setelah bekerja ini dan itu. Kulitnya terasa lengket dengan peluh yang masih menetes. Pun, ia memutuskan untuk segera mandi setelah mengambil handuk bersih di atas jemuran.

Ah, Jimin benar-benar lelah.

Jung Anha masih bisa mengingat jelas bagaimana jemari kekar itu menyelipkan helai surainya kala usai melakukan pergulatan panas di tengah hujan deras yang mengguyur. "Aku mencintaimu, teramat sangat. Tolong ingat itu baik-baik, An." Ah, Taehyung memang pria bermulut manis, tapi itu semua berbanding terbalik dengan apa yang telah dilakukannya. Anha juga merutuki dirinya sendiri yang kala itu membalas dengan penuh cinta.

Kenangannya bersama Taehyung memang terlalu banyak, sebab Anha sudah mengenal laki-laki itu sejak SMA. Suka duka dilalui bersama-sama tanpa pernah memikirkan bagaimana jika perpisahan di antara mereka terjadi di masa yang akan datang.

Pertemuannya dengan sang mantan kekasih di kafe rupanya cukup membuat Anha kembali terpukul. Ia bahkan tidak benar-benar menyelesaikan pekerjaannya di rumah sakit. Anha lekas mencari temannya yang saat itu tengah bersantai di waktu luangnya. Tangisnya lebur kala jemari itu mengusap pucuk kepalanya dengan satu lengan yang mendekap erat. "Aku memang tidak tahu alasan apa yang membuatmu jadi seperti ini, tapi hatiku rasanya benar-benar sakit."

Dekapan Kim Namjoon memang benar-benar ampuh untuk membuat Anha kembali tegar. Lelaki itu tak pernah lupa untuk memberi kalimat-kalimat yang mampu membuatnya kembali mengulas senyum. Namun, itu semua tidak bertahan lama. Sesaat setelah Anha tiba di apartemen, ia kembali murung. Bahkan Jimin yang bahwasannya belum paham apa-apa, tiba-tiba menjadi imbas atas amarah yang masih tersisa di lubuk hatinya.

Anha membilas tubuhnya setelah berendam air hangat. Ada sedikit keinginan untuk meminta maaf pada pemuda Park itu, tapi saat ini ia terlalu lelah hingga akhirnya tertidur bersama perasaan yang mengganjal.

Entah berapa lama wanita itu terlelap, ia tiba-tiba merasakan padangannya memutih. Lama sekali, sebelum akhirnya berangsur-angsur kembali normal. Anha tahu bahwa ini adalah mimpi, jadi ia sebisa mungkin menikmati semu yang sedang berjalan dalam otaknya.

Di sana, Anha menyusuri jalanan dan berhenti di salah satu toko yang menjual beragam makanan manis. Dari kaca yang mengkilap, ia bisa melihat permen-permen besar yang ditancapkan dalam wadah berisi es krim. Anha berencana untuk membelinya, tetapi ia pikir itu tak akan mengenyangkan perut. Jadi, pilihannya jatuh pada setumpuk jelly di kaca seberang.

Ia memegang jelly tersebut dan memencetnya gemas. Anha memang seperti ini jika sudah dihadapkan dengan yang manis-manis. Terlebih saat ia menemukan ada selai stroberi yang mencuat kala jelly tersebut pecah dalam mulutnya. Demi Tuhan, ini adalah mimpi terindah yang pernah Anha dapatkan.

"Apa kau selalu seperti ini?"

Membuka mata dan menemukan wajah Jimin tak berjarak dengan miliknya, membuat Anha sekonyong-konyong berteriak sembari beringsut ke tepi kasur. Selimut yang tergeletak di bawah lekas Anha ambil untuk menutupi tubuhnya. "Yak! Park Jimin! Kenapa kau ada di sini?"

Pemuda itu memilih untuk menyadarkan punggungnya pada kepala ranjang. "Harusnya aku yang bertanya seperti itu." Dengan bibir yang menarik senyum menyebalkan, Jimin bersuara; menggoda, "Kenapa kau tiba-tiba menyentuh bibirku dan menciumnya? Kau bahkan menggigit saat aku tak membalas. Apa kau sedang bermimpi kotor?"

Wajah Anha memerah bak kepiting rebus siap santap. Ia lekas mengambil guling dan melemparkannya hingga mengenai hidung Jimin. "Sembarangan. Aku tadi sedang bermimpi memakan jelly," jelasnya, yang mana hanya ditanggapi Jimin dengan kekeh kecil.

Si Park itu menahan diri untuk tidak mencuri satu kecupan lagi saat bibir merengut lucu. "Ah, jadi kau menganggap bibirku ini jelly, ya?"

Mendecak sebal sebab Jimin tidak mengindahkan penjelasannya, Anha memilih untuk mengubur rasa malu yang membakar itu dengan kembali berbaring di tepi paling kanan ranjang. Ia sengaja memiringkan badan—membelakangi Jimin dengan spasi yang membentang di antara mereka.

Lima menit berlalu, dan Anha sudah tidak lagi mendengar kekeh kecil milik Jimin yang menyebalkan. Untuk memastikan, Anha menoleh. Dan, astaga. Anha kembali merutuki kebodohannya. Alih-alih menemukan Jimin terlelap, ia malah mendapati pemuda itu memangkas jarak dengan tatap yang tak lepas darinya.

Double sial.

"Aku tahu kau belum tidur," ujarnya memecah sunyi seraya jemarinya yang bergerak menahan Anha yang hendak kembali memunggunginya. "Aku terpaksa tidur di sini karena punggungku sakit jika tidur sambil duduk."

Ya, sebelumnya Jimin sama sekali tidak berniat untuk tidur di kamar Anha. Pemuda itu lekas kembali ke ruangan depan usai mandi dan mendudukkan diri di salah satu kursi. Mencoba hanyut dalam mimpi saat malam semakin naik. Akan tetapi, baru lima belas menit ia duduk dengan kepala yang ditundukkan, Jimin menyerah. Leher dan punggungnya sakit. Pun, berujung dengan dirinya yang masuk ke kamar Anha.

Jimin bisa tersenyum senang saat punggungnya menyentuh material empuk nan nyaman itu. Tak butuh waktu yang lama, ia terlelap. Namun, tidurnya terusik kala ada sesuatu yang menekan bibir bagian bawahnya, dan lekas membeliak kala merasakan sentuhan itu berubah menjadi lumatan.

Jimin tidak lagi bisa berpikir jernih. Memang sebelumnya ia pernah merasai bagaimana bibir itu menyentuh miliknya, tapi itu pun hanya sebatas kecupan. Dan sekarang, yang ia dapatkan adalah lumatan. Mulanya Jimin diam saja tanpa berniat untuk membalas, tapi matanya yang memejam—menikmat—harus membeliak lagi kala mendapati gigi kecil Anha menggigit bibirnya.

Membalas lumatan tersebut secara bergantian (atas dan bawah, tidak ada yang terlewati satu inci pun), wanita itu akhirnya berhenti menggigit dan memilih memagut secara malu-malu. Kali ini Jimin benar-benar menikmati dengan mata yang enggan memejam. Menit demi menit berlalu, dan ia mulai kehabisan napas hingga memutuskan untuk bersuara, sekonyong-konyong membuat Anha bangun dan menjerit.

"Ya sudah," wanita itu berujar pasrah. Mengambil kembali guling di dekat perut Jimin dan menempatkannya di tengah-tengah. "Tapi jangan sampai kau melewati batas ini, ya."

Jimin terkekeh kering saat menyadari tubuh mungil itu kembali memunggunginya. Mungkin benar bahwa dirinya ini hanyalah sampah masyarakat—tidak dinginkan sebab tak berguna. Menatap langit-langit yang terkena pias rembulan, Jimin tak sadar bahwa ia telah berbicara.

"Apa sesulit itu bagi orang-orang untuk menyukaiku?"

Membisu dengan mata yang enggan memejam, Anha bisa mendengar perkataan Jimin yang entah kenapa membuat hatinya mencelos.

"Apa aku memang sudah ditakdirkan untuk sendirian?"

Tak tahan lagi, Anha membiarkan bibirnya bersuara lirih, "Jangan berbicara seperti itu." Meruntuhkan benteng pertahanan yang dibangunnya beberapa menit yang lalu, Anha menoleh, membawa tubuhnya untuk menghadap Jimin yang terlihat sendu. "Kau pikir apa alasan terbesarku membebaskanmu jika aku tidak menyukaimu?" Tunggu, itu terdengar ambigu, jadi ia lekas melanjutkan, "Maksudku, aku sangat bersimpati setelah mendengar ceritamu. Kupikir kau pantas untuk kembali menghirup udara bebas. Bukankah itu yang seseorang lakukan untuk temannya?"

Sudut bibir Jimin tertarik ke atas tapi tidak benar-benar menyentuh matanya. Ia hanya menghargai bagaimana Anha coba menghiburnya. "Terima kasih. Aku lega mendengarnya."

Hening kembali hinggap, serta-merta membuat telinga Jimin berdengung. Ia melirik dari ekor matanya dan menemukan wanita itu kembali memejam, tapi masih dalam posisi semula; menghadap ke arahnya. Jimin merasakan hatinya benar-benar menghangat saat berada di dekat Anha. Tidak sedikitpun ia merasa terganggu kala wanita itu mengomelinya hanya karena tidak menghabiskan jatah makan siang. Jimin membiarkan Anha untuk melakukan apa saja pada dirinya; memotong kuku, mencukur kumis, memangkas poni. Semuanya, tidak terkecuali.

Benarkah yang Jimin rasa ini cinta?

"Seandainya aku menghilang, apa kau akan mencariku?"

"Sudahlah, berhenti berbicara omong kosong, Jim." Kendati ia berbicara dengan nada lemah—seolah mengantuk—nyatanya Anha sama sekali tidak bisa terlelap. Ia hanya ingin menghindari topik obrolan malam ini yang terasa membuat hatinya dihantam gada. "Mari tidur dan akhiri hari ini segera."

Jimin terdiam setelahnya, membiarkan kalimat-kalimat lain yang belum sempat terucap untuk luruh bersamaan dengan matanya yang memejam. Semoga kau tidak menyesal, An. []

Continue Reading

You'll Also Like

59.2K 5.6K 31
[FANBOOK] Hari terus berganti, sejak kabar memilukan itu hidup Naruto tidak pernah sama lagi. Rasanya ada sesuatu yang hilang dalam dirinya, namun e...
115K 10.7K 37
Setelah 15 tahun menunggu dan bersabar akhirnya Hermione dapat merasakan apa itu cinta sesungguhnya. Cinta memang datang terlambat -- Tapi itu layak...
82.2K 11.5K 36
Keluarga Uzumaki, keluarga mafia terkemuka yang menjadikan satu Gunung Ame sebagai kediaman utama. Berbagai macam strategi sudah dilakukan BIN untuk...
328K 35.4K 71
⚠️BXB, MISGENDERING, MPREG⚠️ Kisah tentang Jungkook yang berteleportasi ke zaman Dinasti Versailles. Bagaimana kisahnya? Baca saja. Taekook : Top Tae...