A Little Agreement

By JennyThaliaF

1.9M 79K 2.7K

Tentang sebuah "janji kecil" yang mengakibatkan "perubahan besar" dalam hidup mereka. Tentang dua orang yang... More

A Little Agreement
[Jennar] The Day After The Wedding
[Azel] Her Tears
[Jennar] Hero
[Azel] Jangan Pergi dari Gue
[Jennar] Our Past
Masa SMA
[Azel] Baby and You
[Jennar] Mabuk
[Azel] Something Different
[Azel] Trust Issue
[Jennar] That's My Lady
Tentang Orang Ketiga
[Azel] Tidak Usah Memilih
A Little Happiness
[Extra] This Is Not The Ending
PRE ORDER A LITTLE AGREEMENT VERSI CETAK

[Jennar] Pembuktian

91.4K 4.3K 156
By JennyThaliaF

Inhale.

Exhale.

Inhale.

Exhale.

Aku memijit pelipisku sambil melakukan hal tersebut. Lama kelamaan aku jadi bisa sedikit rileks daripada saat di lift tadi.

Jujur, hari pertama bekerja yang sangat emosional. Anggap aku kekanak-kanakkan, tapi aku benar-benar nggak suka Azel yang menganggap "mimpi make out"-nya itu. Bicaranya sangat enteng seakan itu hanya mimpi biasa atau sekedar wet dream.

Bah!

Belum lagi dengan kata-katanya di lift tadi. Kenapa sih dia jadi seperti itu? Hanya karena aku diam? Memangnya apa bedanya kalau aku bicara terus atau diam? Aku hanya ingin dia memikirkan kejadian semalan dengan diamnya aku. Tapi kurasa salah, karena pemikiran perempuan dan lelaki itu benar-benar beda.

Sekarang, apa yang harus aku lakukan?

"Bengong mulu, Neng."

Aku mendelik kesal pada si pengganggu lamunanku. Siapa lagi kalo bukan Jose--teman satu firma hukumku, dimana tempat kami berdua bekerja sebagai pengacara. "Ngapain lo di sini? Bukannya udah pindah ke Wisala Group?"

Jose nyengir lebar sambil duduk di hadapanku dengan santai. Jose memang dua bulan ini ditarik ke Wisala Group untuk menjadi legal consultant dalam waktu sementara. "Pengen ngeliat temen gue yang baru masuk setelah honeymoon."

"Halah, basi," tukasku malas. Jujur, aku sedang malas berinteraksi dengan siapapun.

Untung saja jadwal temuku dengan Desy itu besok. Aku nggak bisa membayangkan bagaimana aku harus memasang berlapis-lapis topeng untuk menutupi wajahku yang muram.

"Lo kenapa sih? Malam pertama nggak berjalan lancar?" tanya Jose dengan kepo--terbukti dengan kedua alis yang diangkat naik seakan sebuah kode untukku bercerita padanya.

"Maaf ya, malam pertama itu bukan konsumsi publik."

"Bilang aja kalo nggak berhasil." ejeknya.

"Terserah lo."

"Tumben lo ganti penampilan begini."

Aku menghentikan kegiatanku yang tadinya sedang meneliti dokumenku. Aku menghela napas. Bukan Jose yang pertama kali mengatakan hal tersebut. Kulepas boleroku dan menaruhnya dengan asal di atas tasku. "Pengen ganti style aja. Bosen begitu-gitu doang."

"Hm, usaha pembuktian, eh?"

"Gue nggak merasa harus membuktikan apapun," sahutku dengan datar.

Namun di kepala Jose pasti sudah bersarang berbagai hipotesa nyelenehnya itu. Ya, aku nggak bisa melarang dia untuk berpikir apapun. Tapi yang pasti, aku berubah seperti ini bukan untuk siapa-siapa dan apa-apa. Hanya saja, dengan banyaknya kejadian tak terduga di hidupku, aku berpikir mungkin dengan mengganti style-ku bisa membuat diriku merasa seperti baru dan lebih tenang.

Dan yeah, aku nggak merasa risih kok dengan memakai rok--bukannya celana panjang yang biasa kupakai.

"Lo berubah gini biar Azel nyadar kan kalo lo itu worth it dari semua cewek di muka bumi ini?"

"Astaga, alasan paling konyol sepanjang masa."

"Atau," Jose mengusap dagunya perlahan, berlagak berpikir sebelum kembali berkata, "lo berubah untuk membuktikan pada diri lo sendiri--kalau lo bisa lebih dari cewek yang ada di masa lalu Azel."

Kali ini aku tertawa, tapi aku tau kalau tawaku itu sumbang dan sangat ketahuan kalau itu palsu. Walaupun tidak benar sepenuhnya, pernyataan tersebut benar-benar menohokku. Benarkah aku seperti itu?

"Cenayang lo ternyata belum ilang juga."

Jose hanya nyengir mendengar komentar singkatku. Ya, apalagi yang bisa kukatakan selain hal itu. Jose dan kemampuannya memang sering membuatku kerdil di matanya.

"Percaya deh, Jen, lo nggak harus melakukan hal itu karena kedua alasan yang tadi gue bilang. Tapi, kalo lo nyaman, ya silahkan."

"Thanks, Jose."

Jose hanya tertawa kecil lalu mengambil toples cookies  yang ada di mejaku. "That's what friends are for."

♥♥♥

Tapi tetap saja, percakapanku dengan Jose nggak membuat hubunganku dengan Azel membaik dalam waktu satu detik. Aku masih marah padanya. Tapi aku nggak menunjukkannya terang-terangan. Aku punya caraku sendiri.

Memaki-maki dan menamparnya? Itu pilihan bagus. Tapi aku ingin dia merasakan apa yang kurasakan--terhempas jauh hingga sakit ketika seseorang ternyata menjadikanmu pelarian. Maka dari itu, aku bersikap biasa seolah nggak ada apa-apa tapi saat mulai menjauh dari rumah, aku seperti nggak menganggapnya.

Laki-laki memang punya ego setinggi langit. Tapi bukan berarti aku nggak bisa meruntuhkan langit. Menyentil egonya hanya dengan satu tindakanku yang tidak menggambarkan betapa besarnya keinginanku terhadapnya adalah tindakan yang tepat. Jadi, aku nggak akan membuatnya bisa bertindak seenaknya di hidupku.

Ketika ia menciumku dan menyebut nama Desy, aku bisa membalasnya dengan lebih lembut dan manis.

Bukan, aku nggak cemburu dengan Desy. Tapi aku punya harga diri yang kujunjung sama tingginya dengan ia dan egonya tersebut.

"Pulang."

Itu perintah pertama yang diucapkan oleh Azel dalam satu hari ini, ketika ia tiba di ruanganku. Aku memilih melenggang, melewatinya dengan santai menuju lift kantorku yang akan membawaku ke bawah. Aku bersyukur karena teman-temanku sudsh pulang lebih dulu sehingga aku nggak harus menjelaskan kenapa aku jadi nggak acuh dengan kehadiran Azel.

Azel menahan lift yang akan tertutup dengan tangannya lalu ikut masuk bersamaku. Aku masih mengabaikannya dan memilih berkonsentrasi dengan iPod-ku, sampai aku mendengar ia berdecak kesal lalu mengambil iPod-ku dengan cepat.

"Kamu harus jelasin ke aku kenapa kamu jadi kayak gini," desisnya di telingaku.

Aku hanya mengedikkan bahuku sekilas. Terserah dia mau ngomong apa.

Sampai kami tiba di lobby dan kini di mobil, Azel hanya diam setelah memberikan aku ultimatum. Aku nggak tau harus bersyukur atau bagaimana tentang keadaan kami saat ini. Tapi aku nggak pernah membayangkan bahwa dalam waktu seminggu di pernikahan kami, kami akan bertengkar seperti ini.

Sebenarnya siapa yang harus disalahkan? Azel yang mabuk atau egoku?

"Makan western atau asian?"

"Aku nggak mau makan," jawabku ketika Azel mulai angkat bicara. "aku mau pulang."

"Tapi kamu harus makan."

"Aku bisa makan di rumah."

"Nggak akan," desisnya pelan. "di rumah, kamu harus jelasin semuanya ke aku. Jadi kita makan di luar rumah sebelum emosi kita berdua mulai nggak terkontrol."

"Jangan ngomong seperti itu sama aku. Harusnya kamu yang kontrol kelakuanmu."

Azel menggeram mendengar kalimatku yang terdengar tenang namun menusuk tersebut. Dibantingnya stir mobil dengan kasar lalu Azel memutuskan untuk membawa kami ke rumah, membatalkan keputusannya untuk ke restoran. Lagipula aku memang nggak butuh makan. Bisa-bisa dengan mood yang sangat buruk seperti ini, aku memberikan Azel pada chef restoran untuk diolah menjadi makanan.

Ugh, is that sounds so cruel?

Sepanjang perjalanan aku hanya menatap ke luar jendela. Menatap jalanan yang padat dan menjebakku untuk terus bersama Azel di dalam mobil ini. Sumpah, ini nggak nyaman sama sekali. Aku sejak dulu terbiasa dengan Azel yang nggak akan berhenti untuk mencoba berinteraksi denganku. Walaupun memang ada saat-saat aku marah besar dengannya--kebanyakan karena dia yang terlalu rese saat aku sedang sangaaaat badmood--tapi Azel akan terus memberondongiku dengan permintaan maaf dan juga kekonyolannya. Dia pernah bilang kalau aku marah, dunia seakan-akan ikut menjadi suram karenaku.

Aku nggak tau itu rayuan atau hinaan.

Tapi aku nggak pernah terjebak dengan kemarahan dan Azel hanya diam seperti ini. Yang aku harapkan adalah, setidaknya sekarang ia tengah berusaha berpikir jernih. Terserah dia mau sadar atau tidak tentang kejadian tadi malam, yang pasti aku hanya ingin dia sadar bahwa kelakuannya di lift tadi pagi adalah keterlaluan.

"Aku bisa jalan sendiri," kataku ketika aku keluar dari mobil dan Azel langsung menggandengku.

Tapi sepertinya Azel sekarang lebih berbakat untuk tuli. Karena sekarang kami tetap berjalan masuk ke rumah dengan tanganku yang digandengnya erat hingga aku meringis kesakitan.

"Kita bisa ngomong tanpa kamu punya kesempatan untuk matahin tanganku, Zel."

Azel yang mendengar teguranku refleks melepas tanganku. Kini kami berdua duduk berhadapan di sofa ruang tengah. Azel menatapku tajam dan aku bisa merasakan pandangannya yang mengikuti gerakanku saat melepas bolero hingga kini aku hanya mengenakan blouse-ku.

"Kamu kenapa berubah kayak gini?" tanya Azel sambil menggertakkan giginya--satu gesture yang aku tau sebagai upayanya menahan amarah.

"Emang salah kalau aku berubah?"

"Nggak ada asap kalau nggak ada api."

"Aku cuma pengen berubah," jawabku sambil menghela napas. "salah ya kalau aku mau berpenampilan yang lebih baik? Lagipula aku nyaman kok."

"Baiklah, terserah kamu." Azel memijit pelipisnya dan memejamkan kedua matanya sebentar. "tapi kenapa kamu diem sejak berangkat kantor? Kalau aku punya salah, lemme know."

"Pikir aja sendiri," jawabku ketus. Apa dia benar-benar nggak ingat dengan yang terjadi tadi malam?

"Marciano," geramnya sambil kini mata onyx-nya menatapku tajam. "jangan kayak anak kecil. We're almost thirty, please!"

"Harusnya kamu yang jangan kayak anak kecil! Ngapain kemaren kamu seharian ngilang nggak ada kabar dan pulang malah mabuk? Tau nggak bahayanya? Jangan bertingkah kayak ABG baru kenal dugem deh!"

Amarahku rasanya ingin meledak begitu saja melihat Azel yang kini menatapku dengan marah dan memanggilku dengan nama belakangku. Baru kali ini ia memanggilku seperti itu. Sepertinya aku harus mulai menandai kalau tanda-tanda Azel geram padaku adalah ketika ia justru memanggilku dengan nama belakangku.

"Aku ada urusan saat itu."

"Urusan apa yang bikin kamu lupa rumah lupa daratan?" Bahkan lupa nama istri kamu sendiri.

"Aku ketemu Desy. Maaf nggak ngabarin kamu. Aku mau SMS kalo aku pulang malem tapi handphone-ku--"

"Apa? Lowbatt?" salakku dengan galak sambil bersedekap dada. Bagus, baru sekarang dia ngaku kalau dia ketemu perempuan lain. "Nggak ada alasan yang lebih picisan daripada itu, Zel?"

"Kamu kenapa sih, Pumpkin?" Azel kini beranjak dari duduknya dan duduk di sampingku. Tangannya meraih bahuku agar tubuhku menghadap ke arahnya. "Cemburu?"

"Aku? Cemburu? Kalau aku udah nggak punya otak kayaknya baru aku cemburu!" jawabku berapi-api. Nggak peduli dengan ekspresinya yang mengeras seiring dengan meluncurnya kalimatku.

Tapi hal itu nggak bikin aku gentar sama sekali, justru aku makin semangat menyemprotnya persis di depan wajahnya. "Aku nggak peduli tentang cemburu segala macem itu. Tapi kamu pikirin juga, kamu tinggal berdua sama aku sekarang. Seenggaknya kalo mau selingkuh atau ketemu cewek lain, minimal bohong kalo ada kerjaan atau apa kek. Jadinya aku nggak nungguin kamu kayak orang bego yang takut pas tengah malem bakal ditelpon polisi kalo kamu ternyata kecelakaan atau apalah itu.

"Aku nggak peduli ngapain kamu ke club dan bisa mabuk. Yang aku peduliin itu diriku sendiri yang kena jebak sama kamu. Karena kamu mabuk, otak kecil kamu itu nggak bisa digunain! Ngapain pulang kalo kamu masih mau make out sama Desy, hah? Ngapain pulang kalo buat nyium aku dan nyebutin nama Desy? Maaf ya, kalau lelaki punya yang namanya male ego, aku punya harga diriku! Dan harga diriku nggak ngijinin aku untuk terima begitu aja kelakuanmu kemarin malam itu."

Rasanya seperti habis lari marathon setelah selesai bicara. Aku terengah-engah, emosi masih melingkupiku ketika aku selesai bicara tanpa henti dan sebanyak seorang pejabat pemerintah berpidato. Tapi Azel justru diam. Ia menatapku dengan ekspresi yang sukar diterjemahkan.

Ugh, harusnya ia balik meneriakiku kan?

Apa itu cuma yang ada di sinetron dan di sekitarku saja?

"Kenapa diem?" bentakku karena nggak tahan dengan tatapannya dan keheningan yang ia buat. "Lagi mikir buat ngarang alasan dan karangan indah supaya aku diem? Gitu?"

"Nggak," jawab Azel pada akhirnya. "sekarang ini aku cuma mikir satu hal."

"Apa?"

"Kamu galak--dari SMA juga galak sih. Tapi ya sejak SMA juga aku seneng kamu galak begini."

"ARGH! Dosa apa sih punya laki kayak gini?" jeritku putus asa. Aku benar-benar nggak ngerti dengan apa yang ada di balik tempurung kepalanya itu. Apa otaknya udah diambil bartender club?

Sebelum aku meneriakkan kembali caci maki dan keputusasaanku menghadapinya, Azel lebih dulu meraihku ke dalam pelukan dan mengelus rambutku pelan. Membuka kunciran ekor kuda yang tadi iubuat karena kegerahan dan membiarkan rambutku tergerai begitu saja.

Aku meronta. Enak aja main peluk-peluk! Nggak ada pelukan saat marahan!

Tapi Azel sepertinya berniat membuatku hancur jadi debu sebagai balas dendamnya atas makianku yang sepanjang rel kereta. Ia mengeratkan pelukannya hingga aku bisa mendengar jelas degup jantungnya yang sangat cepat--sejenak aku melupakan pertengkaran kami dan berpikir untuk menyuruhnya ke dokter spesialis jantung.

Dagu Azel berada di puncak kepalaku ketika aku mendengus saat mendengar kata-katanya.  "Aku kira pas malam itu bukan mimpi. Kukira aku beneran make out sama kamu. Yang aku bilang mimpi make out, ya pas kita make out saat aku mabuk malam itu."

Halah, busuk!

♥♥♥

30-03-2014

18:39

Haaai! Maaf baru update. Kemaren sibuk ngeberesin rumah. Hahaha. Nih buat nemenin libur hari ini :D Makin gak jelas? Kayaknya iya. Hahaha. Ditunggu ya komentarnya♥

Continue Reading

You'll Also Like

3.4M 112K 48
Ini hanyalah sepenggal kisah tentang Iris Jingga yang kembali dipertemukan dengan sahabat seumur hidupnya. Kisah yang kembali mengulik luka lama just...
1.4K 184 17
COMPLETED. "Ini kita mau kemana?" "Ada deh. Kamu ikuti saja tour guide-mu ini, dijamin nggak bakal tersesat." Bagaimana bisa Edrea menjadi seorang pe...
253K 6.9K 6
"Pernikahan. Hubungan paling rumit antara sepasang manusia. Mau berawal dari cinta ataupun tidak, kalau jodoh ya bahagia, tapi kalau enggak ya pasti...
3.3M 164K 52
Untuk sebuah alasan yang dirahasiakan Treyvian meminta istri yang telah delapan tahun meninggalkannya kembali ke Indonesia untuk bercerai. Meski bing...