Enigma, The Shadow [Re-write]...

Oleh pratiwikim

85.2K 12.6K 3.7K

[Re-write] It doesn't have foot but it can run It always remind you of something ©ᴘʀᴀᴛɪᴡɪᴋɪᴍ ⚠️ ᴛʀɪɢɢᴇʀ ᴡᴀʀɴ... Lebih Banyak

ᴛʀᴀᴄᴋʟɪꜱᴛ
1. ʙᴇɢɪɴ, ᴍᴇᴇᴛ ʜɪᴍ
2. ꜱᴄᴀʀ ᴏɴ ʜɪꜱ ꜱᴋɪɴ
3. ʙᴇᴛʀᴀʏᴀʟ ꜰʀᴏᴍ ʜᴇʀ ʟᴏᴠᴇʀ
4. ꜱᴛʀᴀɴɢᴇ ꜰᴇᴇʟɪɴɢꜱ
6. ʜɪꜱ ɪʟʟɴᴇꜱꜱ, ᴀʟᴢʜᴇɪᴍᴇʀ
7. ʙᴇᴛᴡᴇᴇɴ ᴀ ᴋɪꜱꜱ ᴀɴᴅ ᴅᴇꜱɪʀᴇ
8. ᴄᴏʟᴅ ʀᴀɪɴ
9. ʜᴇʀ ᴇx-ʟᴏᴠᴇʀ
10. ᴅᴇᴇᴘ ɪɴ ʜɪꜱ ʜᴇᴀʀᴛꜱ
11. ᴠᴀɴɪꜱʜ ᴀᴡᴀʏ
12. ᴛʜᴇ ʀᴇᴀʟ ʜɪᴍ, ᴘꜱʏᴄʜᴏ
13.1. ᴄʜɪʟᴅʜᴏᴏᴅ ꜰʀɪᴇɴᴅ
13.2. ᴄʜɪʟᴅʜᴏᴏᴅ ꜰʀɪᴇɴᴅ
14. ꜰᴀᴋᴇ ᴘᴇᴏᴘʟᴇ
15. ᴛʀʏ ᴛᴏ ᴘʀᴏᴛᴇᴄᴛɪɴɢ ʏᴏᴜ
16. ᴡᴏᴍᴀɴ ɪɴ ᴛʜᴇ ʙᴀʀ
17. ᴀʟᴍᴏꜱᴛ, ʙᴜᴛ ꜱᴛɪʟʟ ᴋᴇᴇᴘ ᴛʜᴇ ᴅɪꜱᴛᴀɴᴄᴇ
18. ʀᴏᴛᴛᴇɴ ᴛᴏ ᴛʜᴇ ᴄᴏʀᴇ
19. ᴡɪᴘᴇ ᴏꜰꜰ ᴀʟʟ ᴛʜᴇ ᴛʀᴀɪʟ
20. ʙᴀᴄᴋꜰɪʀᴇ ᴇꜰꜰᴇᴄᴛ
21. ʀᴇᴠᴇɴɢᴇ
22. ɪꜱ ɪᴛ ᴛʜᴇ ᴇɴᴅ?
23. ꜰɪᴇʀᴄᴇ ʙᴀᴛᴛʟᴇ
24. ɪɴꜰɪɴɪᴛᴇ
ꜰɪɴᴀʟ: ʏᴏᴜ ᴀʀᴇ ᴍʏ ᴍᴇᴍᴏʀʏ
ᴀʟʟ ɪ ᴡᴀɴᴛ

5. ʟᴇᴛ'ꜱ ᴘʟᴀʏ ᴀ ꜰᴜɴ ɢᴀᴍᴇ

3.3K 622 258
Oleh pratiwikim

Dari ekor matanya, Park Jimin menemukan figur baru yang menurutnya cukup menarik. Setelan kaos berwarna krem pula celana pendek di bawah lutut, seolah mengecap tubuh tersebut dengan begitu pas. Padahal Jimin tahu benar bahwa sosok yang tengah diintainya adalah seorang pemuda, yang barangkali masih berusia tujuh belas tahun.

"Hallo, Jim. Cuaca yang bagus, ya?"

Jimin tersenyum kala Namjoon menyapa dengan lengan yang ia letakkan di bahu mangsanya. Aroma manis buah-buahan samar-samar tercium dari tubuh pemuda itu, yang mana serta-merta membuat Jimin makin tertarik untuk mengenalnya lebih dalam.

Kebahagiaannya makin meningkat kala menemukan fakta bahwa pasien baru tersebut mengisi ruangan di samping miliknya—14A. Setahu Jimin, ruangan itu memang sudah lama tidak terpakai sebab biaya yang dikeluarkan cukup banyak per bulannya. Tapi itu semua tentu tidak membohongi fasilitas apa saja yang ada di dalamnya. Ada sebuah televisi, kulkas kecil yang lengkap dengan camilan, AC, pula bilik kamar mandi tersendiri.

Well, malam ini tentu akan menjadi waktu yang sangat sempurna, pikirnya liar dengan senyum miring yang terpatri di wajah.

Detik jam yang menggantung di dinding terdengar lebih nyaring kala jarum pendeknya berada di angka sebelas malam. Gelap, senyap, dan lenggang seolah menyelimuti malam itu dengan begitu damai. Tak ada hiruk pikuk atau jeritan yang memekikkan telinga oleh pasien-pasien gila yang dirawat di sini. Semilir angin berembus pelan melalui celah ventilasi yang terpasang di atas bingkai jendela.

Park Jimin terjaga setelah tidur singkatnya. Sorot matanya menjadi lebih tajam dengan pendar bulan yang langsung menimpa kedua retina. Obsidiannya menangkap capung yang terperangkap di dalam. Menarik. Ia terus mengamati bagaimana sayap tersebut mengepak pelan menuju jendela. Pikirnya ia bisa keluar dari sini, namun Jimin tentu tidak akan membiarkannya kabur. Si Park itu bangkit, menangkap capung tersebut dengan mudahnya, lalu membiarkan jempol juga telunjuknya untuk menekan kepala kecil tersebut hingga cairan aneh menyembur keluar.

Membaui sebentar, Jimin nyatanya tidak begitu suka dengan aromanya. Ia melempar bangkai tersebut ke sembarang tempat dan membersihkan kotoran yang melekat di jarinya menggunakan tirai tipis jendela.

Menjilat bibir bawahnya yang terasa kering, Jimin beralih membuka nakas kecil di samping tempat tidurnya. Mengeluarkan bungkusan plastik yang berisi jarum suntik dan cairan lidocaine. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya dengan mulut. Setelah penantian panjang, akhinya sisi gelap dari Park Jimin telah kembali dengan seutuhnya.

Menyimpan benda tersebut di saku celana miliknya, Jimin lekas memutar kenop pintu dan menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri; memastikan bahwa tidak ada yang berlalu lalang di sekitar sini. Benar saja, memang tidak ada satu pun orang di sana. Hanya ada kucing oranye yang tertidur di salah satu bangku dengan nyenyak. Pun, Jimin mengambil langkah kecil untuk sampai ke ruangan sebelahnya. Ia sempat mengintip dan mendapati sosok tersebut tengah terlelap di bawah temaram lampu tidur. Nyenyak sekali.

Pintu transparan itu didorong Jimin dengan perlahan hingga decitnya tak tertangkap oleh telinga sama sekali. Beberapa detik ia sempat stagnan tatkala mendapati pemuda di hadapannya menggeliat. Namun Jimin tentu tak akan menyerah begitu saja. Ia berjalan mendekat dan mematikan lampu tidur yang semula menyala. Keadaan mendadak gelap dengan pias bulan yang samar-samar mengisi ruangan.

Rupanya, pemuda dengan balutan kaos putih itu sangat sensitif dengan kegelapan. Sebab, tak berselang lama, ia mengucek mata dan menatap heran pada presensi Jimin yang berdiri di samping ranjangnya.

"Eung ... siapa kau?" ujarnya setengah mengantuk.

"Aku?" Jimin menunjuk dirinya untuk memastikan. "Well, panggil saja aku Jack."

"Jack?" ulangnya. "Apa itu nama aslimu?"

"Tentu. Kau tidak percaya?"

"T-tidak, bukan begitu maksudku." Pemuda itu bersandar pada kepala ranjangnya yang sangat empuk, tidak sebanding dengan milik Jimin yang keras, berkarat dan lapuk dimakan usia. "Apa aku boleh memanggilmu dengan sebutan hyung saja?"

Jimin terdiam. Sejujurnya ia tidak ingin dipanggil seperti itu. Ia ingin namanya disebutkan dengan lantang. Ia ingin tubuh ini dipanggil dengan sebutan Jack, bukannya Jimin atau semacamnya. Akan tetapi, untuk kali ini ia akan memberi toleransi. Ya, hanya untuk kali ini saja.

"Baiklah. Kau boleh memanggilku demikian. Omong-omong, namamu siapa, Manis?"

"Jeon Jungkook," ujarnya sambil tersenyum dengan mata yang menyipit. "Tapi bila hyung sayang denganku, hyung bisa memanggilku Kookie."

Ah, benar. Pemuda ini memang menggemaskan sekali. Namun, panggilan sayang (yang mirip sekali dengan biskuit) itu tentu tidak akan pernah ia ucapkan. Sebab, Jimin tidak memercayai apa itu kasih sayang pula cinta. Baginya dua hal tersebut adalah hal mustahil yang terjadi pada jiwa kelam yang tak tersentuh oleh siapa pun itu.

"Hyung kenapa kemari? Takut tidur sendiri?"

"Aku ingin mengajakmu bermain," sanggah Jimin cepat.

Pemuda manis bergigi kelinci itu mendadak tersenyum girang. Telinganya yang menangkap kata bermain seolah mendistraksi rasa kantuknya yang kini berangsung-angsur hilang. Matanya mengedip sekali sembari bertanya, "Bermain? Wah, aku suka sekali bermain. Apa kita akan bermain petak umpet? Tunggu, tunggu, bagaimana kalau kita bermain bajak laut?"

Jimin terkekeh. Jungkook ini terlalu polos, pikirnya. Ia mengusak puncak kepala itu hingga surainya terburai ke sana kemari. "Tidak, Jungkook. Kita tidak akan bermain petak umpet atau bajak laut." Jimin menjeda sejenak, ia menoleh ke arah belakang untuk memastikan bahwa tidak ada satu orang pun yang melihat kejadian ini. "Kita akan memainkan permainan yang amat seru. Tapi sebelumnya kau harus menurut dulu denganku, bagaimana? Kau mau?"

Tanpa banyak berbicara dan memikirkan konsekuensi macam apa yang terjadi selanjutnya, si Jeon itu mengangguk patuh bak singa laut terlatih yang bermain di arena sirkus. "Ya, Jungkook mau, hyung."

"Kalau begitu, kau harus turun dulu." Pun, pemuda itu turun dan langsung menunggu titah selanjutnya dari yang tertua. "Letakkan gulingmu di tengah-tengah kasur. Kau tahu, semacam memanipulasi bahwa kau tengah tidur di sana kendati sebenarnya itu hanya tipuan." Lagi, Jungkook menurut. Ia juga berinisiatif untuk menyelimuti benda tersebut hingga menyisakan ujungnya sedikit. "Good boy," gumam Jimin sembari bibirnya yang menyunggingkan senyum miring.

"Kapan kita akan memulai permainannya, hyung? Aku sudah tidak sabar sekali."

"Tunggu sebentar, ya." Jimin merogoh saku celana miliknya dan mengeluarkan sebotol lidocaine-obat bius injeksi-dan juga jarum suntiknya. Jangan tanya dari mana ia mendapatkannya. Oh, tentu saja dari kebodohan Seokjin yang lengah. "Kau harus pakai ini dulu. Sebab, permainan yang akan kita lakukan nanti tidak akan seru kalau tidak menggunakan ini."

"Tapi, jarum suntik 'kan tajam. Aku tidak mau. Sakit."

"Justru kalau kau tidak disuntik pakai ini, kau akan lebih sakit." Sebisa mungkin Jimin menekan egonya yang berontak untuk liar dan beringas. Ia tidak akan meloloskan mangsanya yang satu ini. Terlalu berharga. Terlebih wajah polos bak bayi tak berdosa itu sangat menggoda Jimin untuk setidaknya mencicipi merah pekat yang mengalir dalam tubuh Jungkook. "Jadi, bagaimana? Mau melakukannya atau tidak?"

Ada sejumput keraguan di sana. Jungkook bukanlah tipikal pemuda yang berani dan berwatak keras. Ia ini hanyalah pemuda manis yang akan menurut bila diperintah. Tak akan berontak sekalipun sekarang harus dititah untuk bersujud-mencium kaki Jimin. Ia kemudian bersuara; meminta kepastian dengan sedikit gemetar, "T-tapi hyung janji, ya, untuk tidak menolak kalau sewaktu-waktu kuajak bermain?"

Tanpa berpikir panjang, Jimin lekas mengangguk mengiyakan. Ia menarik lengan yang lebih muda untuk dibawa ke kamar mandi yang memang tersedia lengkap di dalam ruangan 14A itu. Barangkali kerabat Jungkook membayar lebih untuk fasilitas ini semua. Sebab dalam sekali pandang saja, Jimin sudah tahu kalau Jungkook berasal dari keluarga yang berada. Di sisi lain, pemuda yang lengannya ditarik paksa oleh Jimin, hanya bisa menautkan alis heran, "Kenapa kita ke kamar mandi, hyung? Apa kau ingin pipis?"

"Tidak, Jungkook." Gelenyar aneh itu lagi-lagi menggelitik perut. Membawa kehangatan samar yang mampu menyentuh sisi gelapnya. Jimin segera mendudukkan si Jeon itu di atas keramik kamar mandi yang dingin. Malam itu keadaan amat senyap dengan derik jangkrik yang sesekali terdengar, pula tetesan air wastafel karena kerannya tidak tertutup sempurna. "Kita memang harus melakukan permainannya di sini. Biar lebih spesial dan tidak ada yang mengganggu."

Membuka bungkusan jarum suntik juga botol obat bius curian tersebut, Jimin serta-merta menarik lengan kanan Jungkook untuk lebih mendekat ke arahnya. Ia menyingsing lengan baju tipis itu hingga ke pundak-mengekspos tulang belulang yang dilapis sedikit daging dan kulit pucat. Kendati begitu, Jimin tidak membatalkan niatnya sama sekali. Ia malah semakin bergegas menakar dosis sesuai anjuran dan mencari letak yang pas sebelum melepaskan cairan tersebut.

Jungkook sempat meringis, atau barangkali memang ingin menjerit kesakitan. Rasa sakit bercampur ngilu menghantam kesadarannya tatkala ujung jarum itu membentur tulangnya. Akan tetapi, karena dia tidak ingin membuat Jimin marah, lantas saja pemuda itu melampiaskan rasa sakitnya dengan menggigit bibir bawahnya hingga berdarah.

Sepersekon kemudian, Jungkook merasa lengan kanannya mati rasa; kebas. Bahkan jika ia mencubit di bagian nadinya keras-keras pun, tak akan berasa sama sekali. Ajaib, pikirnya. Jungkook tersenyum hingga gigi-giginya muncul dengan menggemaskan kala berucap, "H-hyung, aku bisa mencubit tanganku tanpa harus merasakan sakit. Ini luar biasa sekali."

Jimin mengangguk dengan jemari yang sibuk membereskan peralatannya tadi. Ia bangkit menuju cermin yang terpasang di depan wastafel dan melirik refleksinya yang terpantul di sana. Masih dengan tubuh yang sama, namun dengan jiwa yang berbeda. Lalu sekonyong-konyong, si Park itu melontarkan kepalan tangannya hingga bunyi bising terperangkap dalam bilik kamar mandi itu. Jungkook yang melihat hanya bisa menganga sekepalan tangan orang dewasa. Mungkin, jika saja ada segerombolan lalat yang masuk ke sana, barangkali si Jeon itu akan tewas di tempat dengan riwayat kematian yang teramat konyol.

Darah mengucur dengan deras, menimbulkan aroma karat besi yang langsung dihirup Jimin penuh khidmat. Ia sangat menyukai bagaimana aroma tersebut mengisi penuh paru-parunya bahkan ke bagian terkecil sekali pun. Terlebih tatkala ia menjilat sedikit darah miliknya untuk disesap nikmat. Si muda yang tak jauh berada darinya lantas hanya diam memerhatikan.

"Kau mau mencoba, tidak?" tawar Jimin pada Jungkook untuk merasai darahnya, yang mana langsung direspon dengan gelengan singkat. Jimin mengendikkan bahu pelan dan beralih membasuh darah yang masih mengalir dengan air dingin. Ia juga menyempatkan untuk mengambil beberapa pecahan kaca yang berujung runcing. Sebab, benda inilah yang akan dimainkan oleh mereka berdua nantinya.

"Permainannya sederhana saja. Kau dan aku hanya perlu menggenggam pecahan ini selama mungkin. Orang yang bertahan hingga akhir akan menjadi pemenangnya."

"Pemenang? Kalau begitu, apakah akan ada hadiah?"

Jimin lagi-lagi memutar otaknya. Hadiah, ya? Sebenarnya ia tidak menyiapkan itu sama sekali. Sebab Jimin pikir, dia-lah yang akan menang dalam pertandingan ini. Namun, sepertinya Jungkook bukan lawan yang bisa dipandang sebelah mata. Pemuda itu kerasa kepala. Jemarinya menggenggam-bahkan lebih ke arah memcengkram, hingga pecahan kaca itu melukai dan menusuk dagingnya dalam-dalam. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, tangan kanan Jungkook sudah lumpuh total; mati rasa. Ia tidak merasakan apa-apa selain darah yang mengalir perlahan ke sela-sela jemarinya.

"Ya, genggam begitu. Benar sekali." Jimin tersenyum puas. Ia seperti seorang ayah yang berhasil mengajari anak pertamanya untuk bersepeda tanpa jauh untuk yang kesekian kalinya. "Sekarang, coba lepaskan beling itu."

Menaikkan satu alis, Jimin kembali bersuara, "Menyenangkan, bukan?" Si Jeon itu mengangguk antusias. "Jadi, mari kita mulai permainan yang sesungguhnya."

Jimin pun mengambil beling lainnya untuk digenggam. Ia menghitung mundur dari tiga sampai satu untuk memulai permainan sinting itu. Tak ada yang mau mengalah hingga menit kesepuluh berlalu dengan mudahnya. Pun, yang tertertua memutuskan untuk melepas lebih dulu. Lengannya yang tak ikut diinjeksi membuat pertahannannya sedikit rentan. Bahkan kala melepas kaca yang menancap di tapak tangannya, Jimin harus melakukannya pelan-pelan, rasanya amat menyakitkan, namun sekaligus juga menyenangkan.

"Eh, hyung sudah menyerah?" tanya Jungkook lugu. "Berarti aku dong pemenangnya. Yeay!"

Jimin diam saja. Ia tak menanggapi antusiasnya Jungkook yang mulai mengisi senyapnya malam. Lelaki itu sibuk menjilati darah miliknya yang kali ini terasa sangat manis.

"Hyung, bagaimana dengan hadiah yang kau janjikan?"

Hadiah? Astaga, padahal Jimin sama sekali belum berkata apa-apa tentang hadiah itu. Sontak ia memutar otaknya cepat. Saat ini Jimin tidak membawa apa-apa. Tidak dengan permen, tidak dengan es krim, dan tidak pula dengan boneka. Lagipula, ia juga tak memiliki uang untuk membeli barang-barang tersebut. Jadi, melirik ke arah tangan pucat Jungkook yang begitu mulus, Jimin berkata, "Hadiahnya ukiran nama di lenganmu yang cantik saja, bagaimana?"

"Boleh," sahut Jungkook cepat. "Apa aku bisa mendapatkan ukiran dengan inisial namaku? JK?"

"Tentu. Apa pun yang kau mau, Kook-ah."

Lengan pemuda itu kembali ditoreh menggunakan beling, membuat garis sesuai dengan alfabet yang memang dikehendaki Jungkook; J dan K. Selama proses pembuatan ukiran itu berlangsung, Jungkook tak henti-hentinya menatap kagum. Aroma amis yang merangsek dan terhirup hidungnya dibiarkan begitu saja. Ia terlalu menikmati itu semua dengan mata yang memejam. Jimin yang melihat, memiliki keinginan untuk pemuda tesebut agar menyicipi darahnya. Pun, ia mencuil cairan pekat itu dan mengusapnya di bibir yang lebih muda.

Jungkook mengecap beberapa kali sebelum membuka matanya dan bertanya dengan rasa kuriositas yang amat tinggi. "Apa yang kau letakkan di bibirku, hyung? Rasanya tidak enak sekali."

"Tidak ada, Kook-ah," alibi Jimin. Ia menyayangkan Jungkook yang tak sama sepertinya. "Aku tadi hanya mengusir nyamuk yang hinggap di bibirmu. Ugh, nakal sekali, ya, nyamuk itu."

Jungkook tertawa kecil. Ia melirik ke arah lengannya yang bersimbah darah. "Apa ukirannya sudah selesai?"

"Sebentar lagi," balas Jimin. Ia meniup goresan tersebut lembut. Membiarkan rambut-rambut halus milik Jungkook meremang. "Hasilnya akan nampak setelah dua hari."

Menahan napas karena merasakan euforia yang mendadak melingkupinya, Jungkook merengkuh tubuh Jimin untuk dipeluk erat. "Terima kasih, hyung. Terima kasih karena telah mengajakku bermain, dan terima kasih atas ukiran indah di lenganku."

Jimin tak membalas perkataan tersebut. Ia diam dengan tangan yang bergerak ragu menuju punggung Jungkook. Tapi jiwanya yang teramat kelam memilih untuk membuang jauh-jauh keinginan tersebut. Matanya menilik refleksi di cermin yang retak tak beraturan. Ada presensi yang menatapnya datar dengan posisi berkacak pinggang. Menyunggingkan senyum miring, Jimin menggerakkan bibirnya tanpa mengeluarkan suara, kau tidak bisa menghentikanku, bocah.

"Kau tidurlah lagi. Aku akan menemanimu sampai kau terlelap."

Jimin menuntun Jungkook bangkit menuju ranjang. Membantu pemuda tersebut berbaring telentang dengan mata yang hampir memejam. Efek obat bius mungkin masih melumpuhkan lengan kanannya, tapi tidak dengan rasa kantuk yang menyerangnya kembali tanpa ampun. Telapak tangan serta darah sudah dibereskan oleh Jimin secepat kilat. Ia nampak begitu lihai kala melilit kain untuk membebat luka milik Jungkook.

Tak perlu menunggu lama, si Jeon itu sudah kembali tenggelam dalam mimpi-mimpinya. Jimin melirik ke arah pecahan kaca yang mereka gunakan selama bermain tadi. Ada sisa-sisa darah yang hampir mengering. Daripada terbuang sia-sia, Jimin menjilati benda tersebut dengan lidahnya yang bergerak perlahan; menyapu dari sisi kiri menuju kanan,

Tatkala menjilat kaca milik Jungkook, si Park itu menemukan sesuatu yang menyangkuk di sela giginya. Merasa penasaran, ia mengambil benda tersebut dan betapa bahagianya ia ketika menemukan sejumput daging Jungkook yang ikut tercerabut saat melakukan permainan. Lekas saja Jimin memakannya. Enak. Hanya saja ini terlalu sedikit, ia ingin lebih banyak lagi.

Selesai dengan aksi sintingnya, Jimin mendekat ke arah Jungkook yang telah bernapas dengan teratur. Ia meneliti tiap inci kulit Jungkook yang begitu mulus. Tak ada satu pun jerawat atau hal-hal lain yang menghalangi pesonanya. Berbisik pelan, Jimin tahu bahwa ia menginginkan untuk mencoba sesuatu yang lebih lagi di masa mendatang.

"Sampai jumpa lagi, kawan." []

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

11.7K 686 13
Set 10 tahun After War, Hermione mengasingkan diri ke dunia Muggle, terpaksa kembali ke dunia sihir demi membantu sang Musuh untuk mendapatkan kead...
111K 8.1K 12
Naruto selalu terbangun di setiap malam. Mimpi yang membuatnya begitu frustrasi dan terasa begitu nyata. Mimpi yang sama selalu menghantuinya di sepa...
22.8K 1.4K 20
Diterjemahkan oleh: dramionemania Telah mendapat izin alih bahasa dari ikorous. Ringkasan: Hermione Granger ingin kehilangan kendali. Dan Draco Malfo...
23K 2.3K 24
Story by : Emerald_Slytherin 9 tahun setelah pertempuran Hogwarts, perang masih berkecamuk dan semua orang telah banyak berubah sejak masa-masa merek...