Enigma, The Shadow [Re-write]...

By pratiwikim

85.4K 12.6K 3.7K

[Re-write] It doesn't have foot but it can run It always remind you of something ©ᴘʀᴀᴛɪᴡɪᴋɪᴍ ⚠️ ᴛʀɪɢɢᴇʀ ᴡᴀʀɴ... More

ᴛʀᴀᴄᴋʟɪꜱᴛ
1. ʙᴇɢɪɴ, ᴍᴇᴇᴛ ʜɪᴍ
2. ꜱᴄᴀʀ ᴏɴ ʜɪꜱ ꜱᴋɪɴ
4. ꜱᴛʀᴀɴɢᴇ ꜰᴇᴇʟɪɴɢꜱ
5. ʟᴇᴛ'ꜱ ᴘʟᴀʏ ᴀ ꜰᴜɴ ɢᴀᴍᴇ
6. ʜɪꜱ ɪʟʟɴᴇꜱꜱ, ᴀʟᴢʜᴇɪᴍᴇʀ
7. ʙᴇᴛᴡᴇᴇɴ ᴀ ᴋɪꜱꜱ ᴀɴᴅ ᴅᴇꜱɪʀᴇ
8. ᴄᴏʟᴅ ʀᴀɪɴ
9. ʜᴇʀ ᴇx-ʟᴏᴠᴇʀ
10. ᴅᴇᴇᴘ ɪɴ ʜɪꜱ ʜᴇᴀʀᴛꜱ
11. ᴠᴀɴɪꜱʜ ᴀᴡᴀʏ
12. ᴛʜᴇ ʀᴇᴀʟ ʜɪᴍ, ᴘꜱʏᴄʜᴏ
13.1. ᴄʜɪʟᴅʜᴏᴏᴅ ꜰʀɪᴇɴᴅ
13.2. ᴄʜɪʟᴅʜᴏᴏᴅ ꜰʀɪᴇɴᴅ
14. ꜰᴀᴋᴇ ᴘᴇᴏᴘʟᴇ
15. ᴛʀʏ ᴛᴏ ᴘʀᴏᴛᴇᴄᴛɪɴɢ ʏᴏᴜ
16. ᴡᴏᴍᴀɴ ɪɴ ᴛʜᴇ ʙᴀʀ
17. ᴀʟᴍᴏꜱᴛ, ʙᴜᴛ ꜱᴛɪʟʟ ᴋᴇᴇᴘ ᴛʜᴇ ᴅɪꜱᴛᴀɴᴄᴇ
18. ʀᴏᴛᴛᴇɴ ᴛᴏ ᴛʜᴇ ᴄᴏʀᴇ
19. ᴡɪᴘᴇ ᴏꜰꜰ ᴀʟʟ ᴛʜᴇ ᴛʀᴀɪʟ
20. ʙᴀᴄᴋꜰɪʀᴇ ᴇꜰꜰᴇᴄᴛ
21. ʀᴇᴠᴇɴɢᴇ
22. ɪꜱ ɪᴛ ᴛʜᴇ ᴇɴᴅ?
23. ꜰɪᴇʀᴄᴇ ʙᴀᴛᴛʟᴇ
24. ɪɴꜰɪɴɪᴛᴇ
ꜰɪɴᴀʟ: ʏᴏᴜ ᴀʀᴇ ᴍʏ ᴍᴇᴍᴏʀʏ
ᴀʟʟ ɪ ᴡᴀɴᴛ

3. ʙᴇᴛʀᴀʏᴀʟ ꜰʀᴏᴍ ʜᴇʀ ʟᴏᴠᴇʀ

3.8K 692 273
By pratiwikim

"Aku ingin makanan yang lain."

Ini masih terlalu pagi untuk berdebat, dan mereka berdua—Anha dan Jimin—malah saling cek-cok di dalam ruang 13C hanya karena masalah yang sepele.

"Lalu, kau ingin apa?"

"Sesuatu yang bisa dimakan."

Ya Tuhan, jangan sampai Anha menyentil kening lelaki di hadapannya ini. "Kau pikir bubur ini kayu? Sudahlah, cepat makan dan jangan sisakan satu suap pun."

"Aku tidak suka bubur. Bentuknya menjijikan. Lembek dan tidak cantik sama sekali." Jimin menilik ke dalam mangkuk porselen yang berisi bubur dengan ayam yang dipotong kecil-kecil. Oh, jangan lupakan sayuran berwarna oranye dan hijau itu. Duh, rasanya Jimin ingin muntah saja. "Berikan aku makanan yang lain. Apa saja. Asal jangan bubur."

Anha memutuskan untuk menyerah. Jimin memang keras kepala padanya, entah bagaimana sikapnya pada yang lain. Menyimpan kembali sarapan yang disiapkan itu ke dalam troli, ia berkata, "Kau mau roti? Aku membawanya hari ini karena tidak sempat sarapan di rumah."

Mengangkat bahu dengan bibir yang ditekuk ke bawah; merajuk, Jimin memilih membaringkan badannya kembali—memunggungi Anha yang berdiri dengan wajah memerah layaknya tomat siap panen. Pun, gadis itu lekas berlalu dan melanjutkan pekerjaannya mengantar sarapan-sarapan ini pada pasien-pasien yang lain. Lupakan Jimin dan perutnya yang sedikit bergemuruh, keadaan pasien lebih penting. Sebab salah sedikit saja, Anha bisa didepak tanpa pikir dua kali.

Setelah selesai, gadis Jung itu kembali ke meja kerjanya, mengambil bekal miliknya dan sebotol air mineral yang ditampung dalam botol karakter minion.

"Karena aku belum sempat sarapan, aku akan membagi rotinya. Satu untukmu dan satu untukku." Roti dengan isi potongan daging sapi juga saus tomat itu diberikan secara cuma-cuma oleh Anha pada Jimin yang kini duduk bersila di atas ranjang. Namun, tatkala jemari memar itu menyambutnya, Anha malah dibuat berdecak; sebal untuk yang kedua kalinya. "Apa kukumu tidak pernah dipotong?"

"Sesekali dipotong, kok. Tapi, itu pun kalau ada yang bersedia mengguntingkannya."

"Kembalikan makanannya."

Jimin membeliak, tidak terima karena harus mengembalikan makanan menggiurkan ini pada sang pemilik asal. Terlebih aromanya yang benar-benar menggugah selera makan hingga gigi serinya hampir menggigir pinggiran roti itu. "Apa-apaan? Kau tega sekali."

Anha merebut roti tersebut dari tangan Jimin dan lekas menjelaskan sebelum terjadi kesalahpahaman. "Tidak, tidak. Aku ingin memotong kukumu terlebih dulu. Risih rasanya melihat kau makan dengan kuku yang panjang dan kotor itu."

Jimin memandang jemarinya. Benar. Kukunya telah memanjang dengan ujung yang cukup runcing. Beruntung Jimin bukanlah tipikal orang yang senang bermain tanah seperti yang dilakukan teman-teman gilanya sewaktu ditemani para perawat di sini. Lantas, ia diam saja kala Anha keluar dari ruangan dan kembali dengan gunting kuku di genggamannya.

Hatinya lagi-lagi menghangat. Kali ini lebih hangat hingga Jimin bisa merasakan gemuruh mendera jantungnya yang berdetak dua kali lebih cepat. Entah perasaan apa yang bisa menggambarkannya saat ini. Yang jelas, si Park itu menatap lekat pada sosok perempuan yang kini menarik kursi untuk ditempati dan dengan telaten memotong satu per satu kukunya.

Hari itu, jam itu, menit itu, dan detik itu pula; Jimin mengatakan pada dirinya sendiri bahwa Anha kelewat menawan dengan alis yang terkadang menyatu sebab kesulitan dengan telapak tangannya yang terluka. Jimin mendadak menyukai bagaimana bibir tersebut mengomel karena menemukan sedikit kotoran yang terselip di sela kukunya. "Jangan biarkan kuku-kukumu memanjang lagi. Kau bisa meminta bantuanku untuk memotongnya. Tidak perlu merasa sungkan."

Jimin tersenyum kecil mendengarnya. Ia memerhatikan dengan saksama Anha yang menghela napas tatkala sudah selesai berkutat dengan kuku jemarinya. Lantas potongan kuku yang berhamburan di atas rok putih tersebut, Anha angkat dan tempatkan tepat di depan wajah Jimin. "Lihat. Kukumu panjang sekali. Beruntung kau tidak berusaha mencakar wajahku kala itu."

"Awalnya aku memang berencana seperti itu."

Sontak Anha membulatkan matanya, menatap tak percaya pada Jimin yang kembali mengayunkan kaki-kakinya. Namun, menyadari bahwa barangkali lelaki itu hanya bergurau, Anha hanya bisa mengembuskan napas pendek, mengembalikan roti milik Jimin yang sempat diambilnya dan berucap lirih, "Dasar aneh."

"Memang." Si Park itu kemudian menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Anha benar-benar tidak mengira bahwa Jimin akan mendengarnya. Bisa jadi apa yang ia katakan melukai hati pemuda itu. "Aku memang aneh, An. Kau pun sudah tahu bagaimana aku."

Anha jadi tak enak hati, sungguh. Ditatapnya iris jelaga itu dengan miliknya. Mencoba berbicara dalam diam kendati itu tak menghasilkan apa-apa. Alhasil, ia menunduk, meratap pada flatshoes kulit miliknya yang memiliki noda di ujungnya. "Maaf. Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Sungguh."

Namun Jimin diam saja. Ia masih menatap dengan pandangan sulit.

"Jim?" panggil Anha. Gadis itu menyentuh bahu Jimin untuk menyadarkan. "Aku minta maaf."

"Penuhi dulu keinginanku. Setelahnya, aku akan memaafkanmu."

Jemari lentik itu sesekali mengetuk meja hingga menimbulkan nada acak yang sebenarnya cukup mengganggu rungu, namun sang pelaku seolah tak mengindahkannya. Lagipula, rasanya Anha memang perlu mengalihkan beban-beban berat yang bersarang di kepalanya. Terlebih mengenai keinginan Jimin yang diajukannya beberapa saat yang lalu.

"Aku ingin kau tetap berada di sampingku."

Anha tidak tahu harus merespon apa. Ia sempat diam sejenak dan menatap betapa kesungguhan tergurat pada raut wajah Jimin, sebelum akhinya berlalu tanpa meninggalkan sepatah kata apa pun lagi.

Bukannya tidak mau atau tidak sudi. Anha hanya bimbang. Di satu sisi ia merasa seperti berkhianat pada Taehyung, namun di sisi lain ia juga kasihan dengan Jimin. Pemuda itu seolah lama sekali tidak merasakan yang namanya kasih sayang. Memijat pelipis pelan dengan jari telunjuknya, Anha malah mendapati ponsel di sakunya bergetar dengan lantunan lagu lawas milik band kesukaannya yang terputar.

"Hallo," sahut Anha cepat tatkala melihat nama kekasihnya itu terpampang jelas di layar ponsel. "Ada apa, Tae?"

"Ke kantorku sekarang juga. Aku rindu."

Hati Anha merasa lebih baik saat mendengar sang kekasih mengucap rindu. Akan tetapi, jadwal Anha sangatlah padat hari ini. "Maaf. Tapi sepertinya tidak bisa. Masih banyak pekerjaan yang harus kulakukan, Tae. Bagaimana kalau setelah aku selesai bekerja saja?"

"Kau berani menentangku, An?"

"Bukan begitu maksudku, Tae. Aku benar-benar tidak bisa kalau sekarang. Tapi kau tidak perlu khawatir, aku akan ke kantormu sepulang—"

Tut-tut.

Panggilan kembali dimatikan secara sepihak. Anha jadi makin kacau dibuatnya. Padahal jarang sekali Taehyung memintanya untuk datang. Dalam satu bulan pun bisa dihitung dengan jari. Terakhir kali, Taehyung meminta Anha datang hanya untuk menemaninya makan di kantin selepas jam makan siang. Dan sekarang, Anha malah menolak. Taehyung bisa marah besar padanya.

Melangkah menuju wastafel, Anha membiarkan sela-sela jemari tangan kirinya dirajam air yang mengalir. Ia membiarkan sensasi dingin itu menyerap ke dalam pori-porinya. Setelah selesai, ia mengusap sisa air tadi ke rambutnya yang tergelung kusut. Lantas, ia memerbaiki penampilan sebisanya, pula riasan ringan yang menempel di wajahnya.

Rungunya samar-samar mendengar ketukan yang berasal dari pintu ruangannya yang tertutup. "Buka saja, tidak dikunci," ujar Anha sembari mengaplikasikan bedak tabur di tempat-tempat yang sedikit berminyak.

"Jung Anha?" Sang pemilik nama sontak membalikkan badan tatkala refleksi lain ikut masuk ke dalam cermin yang ia patuti sedari tadi. Di sana, sekitar lima meter berjarak darinya, ada presensi lelaki yang sempat ditemuinya beberapa hari yang lalu. Ya, dia-lah yang meminta agar Anha mau bertukar shift dengannya guna mengurus Jimin.

"Apa aku mengganggumu?" tanyanya dengan membawa tubuh tegap itu agar masuk lebih dalam.

"T-tidak," sahut Anha gelagapan. "Ada apa?"

"Park Jimin kembali berulah," ujarnya dengan tengkuk yang ia garuk pelan. "Kau tidak seharusnya meninggalkan Jimin seorang diri begitu. Beruntung aku melihat dan cepat memisahkan mereka sebelum terjadi hal yang tidak dinginkan."

Astaga, Anha melupakan pemuda itu.

"Apa yang dia lakukan?"

Mengendikkan bahu, lelaki itu berkata, "Entahlah. Aku juga tidak begitu tahu. Yang jelas aku melihat Jimin berdiri di hadapan Sungjin, kalau kau belum tahu, Sungjin itu salah satu pasien yang baru masuk minggu kemarin. Dan ya, Sungjin tiba-tiba menangis."

"Maafkan aku. Kau pasti repot sekali memisahkan mereka, ya?"

Tawa kecil meluncur dari ceruk bibinya yang tebal, dan secara tidak sengaja dua buah lesung pipi tampil dengan sangat memesona. "Yah, aku harus merelakan tanganku dicakar oleh Jimin. Tapi beruntung kukunya tidak panjang."

Tentu saja tidak panjang, Anha sudah memotongnya beberapa saat yang lalu.

"Ohya, aku juga ingin berterima kasih karena waktu itu kau bersedia bertukar shift denganku. Aku tidak tahu lagi bagaimana hasilnya jika kau juga menolak."

"Tidak masalah ... eum ..." Anha jadi bingung sendiri harus memanggil lelaki di hadapannya dengan sebutan apa, sebab tidak ada papan nama yang disematkan di sana.

"Namjoon. Kim Namjoon," ujarnya sembari mengulurkan tangan. "Perawat tampan yang telah mengabdi di sini selama tiga tahun lamanya." Anha diam saja sambil menyalami tangan lelaki yang mengaku bernama Namjoon ini, tanpa sadar hatinya merasakan gelenyar aneh.

"Baiklah, tidak masalah, Namjoon-ssi."

"Namjoon saja."

Anha mengangguk kecil setelahnya dan lelaki itu berpamitan untuk segera mengurus kembali pasiennya hari ini. Tak ada barang satu detik pun yang terbuang sia-sia saat manik gadis itu menggiring bagaimana Namjoon melangkah pelan. Jika kalian berpikir bahwa Anha sedang jatuh cinta, maka kalian salah besar. Ia hanya kagum akan sosok Namjoon. Lagipula pesona yang dimiliki laki-laki itu terlalu kuat hingga Anha tak bisa menolaknya.

Setelah dirasa si Kim itu menghilang dari pandangan, Anha lekas kembali ke ruangan Jimin—memastikan bahwa si tengik itu tak kembali berulah dan membuat harinya semakin buruk. Namun, tatkala tungkainya sampai di ambang pintu, Anha malah menemukan Jimin berbaring dengan kelopak mata yang terpejam rapat. Tertidur, mungkin?

"Hei," ujar Anha sembari menyentuh bahu ringkih itu.

Nyaris tergelak, Anha sebisa mungkin menahan keinginannya untuk tidak mencubit gemas kedua pipi tirus itu. Jimin benar-benar terasa seperti bayi besar yang harus segera diganti popoknya karena terus mengompol. Dengan mata yang mengerjap pelan juga tangan yang mengucek matanya, ia bersuara, "Ada apa?"

"Apa aku mengganggu tidurmu?"

"Tidak," sahutnya cepat. Namun dengan cepat mengoreksinya kembali, "Eum ... kurasa, iya."

Mengangguk paham, Anha lagi-lagi menempati kursi yang dibiarkan tak bertuan selama beberapa waktu. "Kudengar kau membuat kekacauan lagi, apa itu benar, Jim?"

Pemuda itu mengubah posisi agar punggungnya bersandar pada kepala ranjang. Irisnya sempat bergerak gusar seolah sedang mencari kata yang tepat untuk dilontarkan. "Aku hanya berniat untuk mengajaknya berkenalan. Tapi dia tiba-tiba menangis tanpa alasan yang jelas."

"Kau yakin?" selidik Anha, memastikan bahwa Jimin memang berkata apa adanya. "Kau tidak memukulnya, 'kan?"

"Tidak."

Anha tidak mengerti kenapa ia tiba-tiba mengembuskan napas lega. Ia merasa setidaknya lebih tenang saat ini. Jimin juga tidak melakukan hal yang aneh-aneh lagi padanya. Pemuda itu bahkan melupakan tidurnya dan memilih untuk menceritakan hal-hal konyol pada Anha tentang kumbang dengan pola polkadot merah hitam yang sering ia temui pada bingkai jendela, juga tentang capung yang hinggap di surainya. Semuanya mungkin terdengar cukup aneh. Namun Anha tetap membiarkan Jimin meneruskan ceritanya hingga tak sadar beban berat yang sedari tadi membebani kepalanya perlahan lenyap.

Jimin tersenyum kecil saat selesai bercerita. Lantas ia menatap figur perempuan yang akhir-akhir ini tak pernah absen untuk menemaninya. Jimin suka sekali dengan gusi merah yang ditempeli gigi-gigi itu. Apalagi kalau menemukan rona merah alami yang timbul di kedua belah pipinya. Jimin kemudian menghentikan tawa milik Anha yang sesekali masih terdengar. Hanya cukup dengan satu kalimat telak dan semuanya mendadak hening; senyap, "Bagaimana? Apa kau sanggup?"

Mengusap sudut matanya yang berair, Anha tahu dengan pasti bahwa Jimin akan kembali mengungkit hal ini. Kiranya ia sudah memutuskan, dan putusannya kali ini bersifat final. Kesampingkan dulu Taehyung yang barangkali akan kembali murka padanya. Anha tahu apa yang terbaik untuk dirinya. "Aku tidak bisa berjanji. Tapi setidaknya, biarkan aku mencoba mulai hari ini."

Ini memang gila, dan Anha terkadang menyukai bagaimana kegilaan itu secara perlahan merenggut kewarasannya.

Dengan langkah pelan, gadis Jung itu menyusuri jalan raya yang tampak lebih ramai daripada biasanya. Wajar saja, sebab ini akhir pekan. Dan besok adalah hari Minggu, hari dimana ia akan memanjakan diri untuk lebih lama berada di atas ranjang dan menonton drama kesukaannya hingga sore. Apalagi kalau ditemani dua boks pizza dan soda kaleng. Anha biasa menyebutnya sebagai surga dunia.

Taehyung sama sekali tidak mengiriminya pesan, kendati sosial media lelaki itu terlihat selalu aktif. Mungkin benar bahwa ia memang marah sebab Anha yang menolak untuk datang ke kantornya. Tapi kiranya tak apa, sebab gadis itu lekas bergegas tatkala jam kerjanya berakhir. Ia menepati janjinya pada Taehyung untuk mengunjungi lelaki itu tatkala selesai berurusan dengan pekerjaannya.

Matahari menggantung rendah di ufuk barat, pendar kekuningannya terlihat begitu menawan dengan awan tipis yang tersebar begitu rapi. Kicau burung samar-samar beradu dengan mesin kendaraan yang berlalu lalang. Makhluk itu seolah memanggil kawanan atau mungkin keluarganya untuk pulang ke sarang. Tanpa sadar Anha tersenyum miris, binatang saja masih bisa memberi cinta yang begitu besar pada sesamanya, lantas kenapa Taehyung begitu cuai dengan dirinya yang kini berjuang dengan sendirian?

Apa Taehyung sudah bosan?

"Mau membeli kue cokelat lagi, An?"

Anha cepat tersadar. Nampaknya ia terlalu larut meratapi nasibnya akhir-akhir ini hingga tak sadar sudah berada di toko kue langganannya bersama Taehyung. Kasir di hadapannya tersenyum lebar hingga matanya mengerut lucu. Anha cepat membalas dengan senyuman yang bahkan tak menyentuh matanya. "Ya, kau tahu aku sangat menyukainya."

Tentu saja suka, atau bahkan tergila-gila pada potongan kue cokelat dengan lelehan keju di atasnya itu. Sebab yang mengenalkan toko dan kue cokelat ini padanya adalah Taehyung. Semuanya sangat berarti bagi Anha jika itu menyangkut tentang lelakinya.

"Baiklah. Dua slice kue cokelat dengan lelehan keju di atasnya. Spesial untuk pasangan yang sangat serasi tahun ini." Yoomi—sang kasir—memang pandai berkata-kata, namun sangat payah untuk mendeteksi apa yang sedang Anha rasakan. "Semuanya delapan ribu won, Nona."

Anha sebisa mungkin untuk menanggapi kalimat-kalimat itu dengan hati tegar. Padahal ia yakin sekali saat bersama Jimin semua sudah baik-baik saja, tetapi saat ia keluar dari area rumah sakit itu, semuanya seperti kembali ke tempat semula. Menyerahkan uang dan mendapatkan kembaliannya dengan cepat, gadis itu hanya bisa tersenyum getir kala Yoomi kembali berujar, "Kalau kalian menikah, setidaknya undanglah aku. Aku akan memberi kalian lima loyang kue kesukaan kalian."

Di televisi, Anha sering melihat jika seseorang sedang kesal, marah atau kecewa, maka orang tersebut tak segan-segan untuk berteriak—menumpahkan apa yang dirasakannya dengan teriakan panjang sebab tak ada padanan kata yang mampu mengungkapkannya. Anha ingin sekali mencoba, tapi kiranya bukan di sini.

Kakinya telah berdiri di seberang kantor Taehyung. Matanya menyapu bangunan dengan cat kelabu yang memudar dimakan usia. Dan Anha menyesali keputusannya untuk yang satu itu. Sebab tak jauh dari pos jaga, ada sosok lelaki yang amat sangat ia kenal. Anha mencoba mengerjapkan matanya berulang kali hingga rasanya ia lelah sendiri, menyakinkan pada dirinya bahwa figur tegap dengan tubuh kokoh itu bukanlah kekasihnya.

Sayang beribu sayang, orang itu memang Taehyung—berdiri dengan tangan yang menyangga tubuhnya di bangunan kecil, sedang di hadapannya ada seorang wanita dengan tubuh semampai yang sepertinya tengah bercerita sesuatu yang lucu, semerta-merta membuat Taehyung terkekeh kecil dan mencubit gemas pipi si wanita.

Semuanya menjadi jelas dalam detik waktu yang berlalu cepat. Taehyung memang berselingkuh darinya.

Kelopak matanya memanas, likuid bening menghujam kedua bilah pipinya hingga membentuk garis vertikal yang amat menyakitkan. Anha menghabiskan setidaknya lima menit di sana hanya untuk menangis bak seorang anak kecil yang tersesat di tengah-tengah kota besar. Hatinya sakit dan geram dalam satu waktu. Jadi, ia mengusap kasar air mata yang sempat mengalir. "Air mata sialan. Untuk apa juga aku menangisi sampah sepertinya. Dasar bedebah."

Setelah itu, Anha menghempaskan kue yang dibelinya hingga berserakan di jalanan, mencari taksi untuk segera membawanya pulang. Nampaknya ini adalah hari paling sial yang pernah terjadi dalam hidupnya. Ia mendadak benci bagaimana pendar jingga itu perlahan redup bersamaan gelap yang mulai mendominasi. Kau memang bodoh, Taehyung.

Kim Taehyung tersenyum kala berhasil mengantarkan sang gadis dengan selamat. Ia mengecup pipi itu singkat dan sang pemilik hanya bisa tersipu malu seraya bergegas masuk ke dalam rumah. Sebelum benar-benar berlalu, ia melirik ke arah ponsel silver miliknya yang tergolek di atas dashboard. Tak ada satu pun pesan dari Anha setelah perbincangan mereka di telepon. Gadis itu benar-benar tidak sopan dan perlu diberi hukuman.

Menginjak pedal gas dan memutar kemudi di tikungan, Taehyung hanya membutuhkan waktu lima belas menit untuk sampai ke unit apartemennya. Kendati malas untuk bertatap muka dengan sang kekasih, nyatanya Taehyung telah dibawa lift untuk naik ke lantai lima belas.

Menekan beberapa kombinasi angka yang merupakan perpaduan tanggal lahirnya dengan milik Anha, rungu si Kim itu mendengar suara gaduh yang berasal dari ruang tengah. Lekas saja ia melangkah dan tahu-tahu membeliak kaget lantaran menemukan figura kesayangannya patah di tangan sang kekasih. Kaca bening yang melapis fotonya dengan Anha berhamburan tak tentu arah.

Amarah Taehyung seakan tumpah ruah. Tangan yang dulu ia gunakan untuk membelai surai panjang sang gadis dialih fungsikan untuk memberi tamparan pedas. Anha merasakan nyeri merambat di pipi kanannya. Sakit, tapi lebih sakit lagi melihat kelakuan Taehyung di belakangnya.

"Dimana kau meletakkan otakmu itu, huh?" Napas Taehyung memburu. Dadanya naik turun seiring dengan tangannya yang mengepal hebat di sisi badan. "Ini figura mahal, An. Aku membelinya setelah menabung berbulan-bulan lamanya. Dan kau dengan serampangan mengancurkannya."

Sejemang hening, yang lama-kelamaan diisi oleh tangis Anha yang luruh bersamaan tubuhnya yang limbung. Taehyung yang melihat mendecih geram. "Tidak usah sok melankolis begitu. Sekarang, cepat minta ampun padaku."

Dalam tangis pedih yang menggema malam itu, Anha menyadari dengan cepat bahwa yang namanya cinta tak selamanya tentang kebahagiaan; ada pahit, getir, dan sedih yang ikut beriringan di belakangnya. Dan Anha tahu, bahwa yang ia hadapi sekarang adalah kepahitan itu sendiri.

"K-kenapa?" tanya Anha tersendat-sendat. "Kenapa harus aku yang meminta ampun padamu?"

"Karena kau yang salah, Anha!" teriak Taehyung frustasi. Ia bergerak menyapu porselen yang tertata rapi di atas nakas hingga bising itu kembali pecah ke dalam lingkup udara yang terasa pengap. "Kau selalu membuatku muak."

Anha menggeleng, seolah tak mengindahkan apa yang baru saja Taehyung katakan. Ia menyeka tangisnya dengan punggung tangan. "Yang pantas meminta ampun itu kau, Taehyung. Bukan aku." Tawa miris keluar dari bibirnya yang kini gemetar. "Kau mengkhianatiku, 'kan?"

Taehyung terdiam. Tangannya yang semula hendak mematahkan kaki lampu hias mendadak kaku. "A-apa maksudmu?"

"Bagaimana kalau aku membalikkan kata-katamu, bahwa sebenarnya kau-lah yang bersalah di sini?" Anha meremat kemeja motif bunga yang ia kenakan, seolah tengah mengekspresikan bagaimana perasaannya yang tersakiti saat ini. "Rasanya seperti baru kemarin kita berdua heboh karena berhasil menepuk nyamuk yang terbang. Dan sekarang? Kau bahkan mengkhianatiku dengan mudahnya."

Pergantian emosi Taehyung rupanya sangat cepat. Ia yang semula berteriak meluapkan kekesalannya kini malah merendahkan tubuh. Jemarinya ia ulurkan untuk membantu sang kekasih untuk bangkit. Namun, hati yang koyak itu rupanya tak akan bisa diperbaiki kendati dengan beribu maaf yang menggema. Anha menatap kosong tanpa berniat menyambut uluran tersebut.

"Pergi," ujarnya pelan, namun menyakitkan. "Pergi, Taehyung!" ulang Anha sekali lagi kala presensi itu tak kunjung menjauh.

"T-tapi ..."

"Kubilang pergi, Taehyung." Ah, tidak. Harusnya Taehyung tetap di sini, menjelaskan semuanya tanpa ada satu cela sedikitpun. Namun, figur tersebut perlahan bangkit dan meninggalkan Anha yang kembali terisak dalam sunyi. Bukankah dengan begitu, Taehyung memang membenarkan perselingkuhan ini terjadi? []

Continue Reading

You'll Also Like

326K 35.4K 71
⚠️BXB, MISGENDERING, MPREG⚠️ Kisah tentang Jungkook yang berteleportasi ke zaman Dinasti Versailles. Bagaimana kisahnya? Baca saja. Taekook : Top Tae...
Regret By Hamba

Fanfiction

40.8K 3.8K 13
PREKUEL DESTINY Hinata Tidak ada hal lain yang diinginkannya, selain hidup tenang bersama dengan Naruto, namun keinginan itu sepertinya harus dibaya...
11.8K 1.7K 12
Di kehidupan sebelumnya, Naruto dan Hinata terhubung dalam ikatan yang dinamakan Tuan dan Budak. Tahu apa yang diinginkannya dalam kehidupan yang la...
59.2K 5.6K 31
[FANBOOK] Hari terus berganti, sejak kabar memilukan itu hidup Naruto tidak pernah sama lagi. Rasanya ada sesuatu yang hilang dalam dirinya, namun e...