AMALGAMATE (Mali & Liveo Stor...

By DaddyRayyan

28.3K 2.8K 156

Dark fantasy. Kisah dua pangeran antagonis dari negeri bernama Sisi Buruk. Negeri tempat para penjahat dari s... More

Pembuka
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17: The Truth
Bab 18
Epilog
Pengumuman sekuel!

Bab 1

4.2K 223 24
By DaddyRayyan

Peringatan: Cerita yang diunggah ke sini belum melalui proses penyuntingan. Mohon maaf apabila ada kesalahan tik dan kesalahan kebahasaan (ejaan, kalimat, dan sebagainya).

Setiap orang pernah mati setidaknya sekali.

Adalah ide sederhana yang terbit dari bunga tidur Pangeran Mali, yang kemudian mengecambahkan ideologi. Kini bersemi menjadi keyakinan tak terpatah.

Apakah kau berkenan mengintip isi mimpi Mali yang kontroversi? Bersumpahlah dahulu kau bukan seorang yang penuh perbantahan (seperti adiknya dan banyak orang). Mali mempunyai adicita yang tak sembarang orang (tak sesiapa pun!) mafhum. Seperti contohnya ada masa jarum jam menunjuk pukul dua belas siang, yaitu pada saat menanjaknya bola panas di belahan langit negeri Sisi Baik. Mali mengaku mampu merasakan panas bola itu menyemban kulitnya di negeri sendiri, Sisi Buruk. Negeri tak kenal siang yang langitnya selalu kosong, hanya digantungi riak awan pemekat malam. Sementara adiknya berdiri membeliak di sisinya, mencari-cari matahari tak kasat yang kakaknya dapat melihat.

"Mana? Aku tak melihat apa pun."

Mali tersenyum bangga dan mengentakkan dagunya. "Tentu, sudah digariskan sejak generasi iblis pertama bermukim di selatan, Liveo, hanya yang terpilih saja dapat melihat rupa aslinya yang tanpa geligi taring terongko dan berjubah kulit armadillo. Generasi manusia saat ini terlalu sering melihat yang buruk atau yang jelek-jelek saja, mengabaikan detail kecil sederhana namun cantik. Seperti matahari yang barusan kulihat melintas dengan lingkarnya penuh sulur menggelegak. Hanya yang bermata tajam nan tahu cara melihat perspektif bisa menengoknya."

"Enyahkan lamunan penuh delusi itu!" Pangeran Liveo memekikkan keluhan banyak orang, yang selama ini membisu karena takut membalah (atau takut dibilang terlampau dungu bila berhadapan dengan Mali).

"Delusi? Ini kusebut amalgamasi, Liv. Jangan menyerah. Kau tak sama dengan orang-orang imbesil yang menyebutku terlalu gila, sebab daya nalar otak mereka tak mampu mencapai langit sepertiku. Darahku juga mengalir padamu dan sudah sepantasnya kau berada pada tahta tertinggi di negeri ini bersamaku."

Dingin, Liveo melemparkan teropong pengeker langit itu kepada Mali. "Aku pilih menempati takhta terjongkok daripada jadi orang pintar yang otaknya bisa menggapai langit sepertimu. Oh, itu sebabnya langit selalu gelap, suram."

"Ck. Ck. Liveo. Ayolah."

Liveo malas melanjutkan cekcok dan pilih angkat kaki dari beranda kastel. Mali mengawasi fitur bungkuk adiknya dari belakang. Punggung yang agak menonjol dengan otot bahu menekuk ke depan. Bisep yang kurus kekar mengayun kaku. Jalannya tangkas, tungkai langsing menapak tak berbunyi. Rambut ikal Liveo sebahu dan diikat satu, agak lebih panjang dari yang Mali ingat. Kurang lebih sebulan mereka tidak berkumpul, kan?

"Ayo, Liv! Aku bisa membuka mata batinmu untuk dapat melihat langit sebagaimana yang kulihat," bujuk Mali.

"Tak perlu."

"Bila kau punya mata secakap aku, kau dapat dengan mudah memburu Kashchei. Bahkan tanpa bantuanku."

Kali ini Liveo berhenti.

Kau tak perlu mata batin yang apik untuk melihat; Dunia Sisi Buruk gemar berpijar pada porosnya. Bagi Liveo, Sisi Buruk bagaikan bongkahan api bergigi namun jinak dan penyabar pada sumbu, menunggu disulut. Lalu apinya mencuatkan taring yang menunjuk ke angkasa dan membakar apa pun yang terlihat. Dari arah selatan tampak batalion pasukan berobor, dan di seberangnya, pasukan lain berkendaraan naga yang bernapaskan api. Mereka menggiatkan perang sipil untuk memuaskan batin—Liveo menyebutnya olahraga. Hanya ketika itu dunia Sisi Buruk terlihat benderang sekali. Api adalah satu-satunya sumber cahaya abadi.

Sang penyulut api—sebut saja iblis, bagi Liveo adalah oknum kurang kerjaan yang senang menyediakan segudang bahan untuk menghidupi pertikaian.

Namun tak banyak orang tahu, seringkali sang penyulut berwujud pangeran berhelai pirang dan mata biru bidadari; kakaknya sendiri.

Tak percaya? Kronologinya seperti ini; Liveo menghitung kapan saja perang terjadi berdasarkan penanggalan tiga kali purnama merah. Setiap satu purnama, gerbang Sisi Baik bersingkap dengan bau-bauan harum bunga kosmos cokelat dan otak merak panggang. Kelompok kecil kurir Sisi Baik menggelindingkan kereta-kereta ransum tanpa atau berawak bersama penjahat pendatang baru.

Dua divisi kerajaan Sisi Buruk ditugaskan di sini; divisi pertama menjemput sang penjahat. Divisi kedua mengamankan ransum selekasnya (selalu terjadi pertumpahan darah seru). Dan sebenarnya ada satu divisi lagi, yaitu divisi siluman. Hanya beranggotakan satu orang: Pangeran Mali sendiri.

Tugas Mali adalah mengawasi kelancaran seluruh divisi, namun Liveo tahu sang kakak merapat ke sana dengan motifnya sendiri. Dengan senyum dikulum dan zirah platinum bertabur mirah yang mengimpresi mata, ia menyapa para kurir dengan nada menawan. Mali mempresentasikan keindahan maupun kebaikan negerinya, dan berharap pesan damai itu mengudara ke seluruh negeri yang diterangi matahari. Mali juga menawarkan balasan kereta-kereta bermuatan perhiasan mentah, sulaman tapestri emas, dan bubuk intan berlian yang berjumlah sama dengan kereta ransum pemberian. Bila kurir Sisi Baik menolak, Mali akan berkata, "Tak masalah, Kawan. Tak mengapa. Ambil kembali ransum kalian serta penjahat itu. Mata dibayar mata, kebaikan sepatutnya berbalas kebaikan, Kawan!"

Apa yang terjadi setelahnya? Sisi Baik tak bisa menerima 'kebaikan' Sisi Buruk semudah menangkupkan muka. Bagi mereka, permata-permata indah hasil tambang Sisi Buruk akan membawa kesialan seumur hidup. Dan bagi mereka lagi, kebaikan Sisi Buruk akan membuat kesialan jangka panjang jika tidak dibalas oleh sesuatu. Maka pada hari berikutnya mereka mengirimkan kereta-kereta hadiah yang bukan hanya berisi pangan, tetapi juga hasil bumi seperti petroleum dan berkendi-kendi air bersih. Dua kali lipat jumlahnya. Dengan harapan Sisi Buruk berhenti membalas dengan hadiah.

Mali menerima dengan tangan terbuka namun berkata, "Oh, Kawan. Apa kalian pikir kami memberi karena ingin diberi? Tidak! Kami akan membalas kebaikan ini lebih dari setimpal. Untuk membuktikan ketulusanku, akan kubiarkan kereta-kereta ini berdiam di puncak bukit malam abadi. Tak tersentuh."

Syahdan, Mali membiarkan kereta-kereta penuh harta benda itu teronggok di puncak bukit. Bukit ini memisah dua wilayah Sisi Buruk. Kurang dari semenit, beratus pasang mata meradang dalam gelap, tangan-tangan menyongsong lapar, saling sikut saling rebut. Mereka datang dari berbagai wilayah yang air bersih dan makanan layak lebih berharga daripada emas berlian. Selaiknya darah bertumpah-tumpah di sekitar kereta yang tak tersentuh. Kemudian, selalu, seseorang di antara mereka mengusulkan perang sipil.

Perang terjadi lagi. Setiap purnama baru, ada saja kereta atau bahan baru untuk diperebutkan, dipertaruhkan. Bila kekacauan sudah sampai mewarnai langit, maka Pangeran Mali turun ke lapangan. Bahagia sekali ia menerima tugas menata kekacauan. Lihat! Ia berdiri di tengah cahaya jatuh, tersenyum baik, tampil heroik. Kalau sudah seperti ini, Liveo acapkali terjun ke medan perang bersama tentaranya demi melindungi Mali (yang tak perlu dilindungi).

Siklus kekacauan ini selalu terjadi sepanjang tahun.

Terkecuali tahun ini.

Bukit tempatnya berdiri dilanda sunyi. Sejauh mata memandang, bumi Sisi Buruk berwujud daratan kering dan bebatu wadas. Udaranya berbau basi dan hawanya dingin. Di bukit ini rona tanahnya kehitaman. Monster-monster lebih suka menghuni sudut tergelap, di antara lapisan goa berdinding lengas maupun pada pohon fikus yang melapuk. Agak jauh ke selatan, daratannya keunguan sebab dijatuhi sedikit cahaya bintang dan batuan garnet ungu. Lebih ke selatan lagi bertemu wilayah basah, yang daratannya kebiruan karena banyak tertanam permata lapis lazuli yang menyala—area yang tak disukai Liveo.

Di sisi kanan Liveo terlihat pemukiman kastel Sisi Buruk, dan di sisi kirinya terhampar padang rumputan kerontang yang pucuknya tak pernah menyemburat, diselingi bungaan gelap yang meniupkan serbuk racun pencekik napas. Meski Liveo dapat mendengar beberapa makhluk buas mengendap seperti gundik di bawah kolong kasur, segalanya relatif sunyi. Sudah agak lama tak tampak cahaya api abadi dan pergulatan di tanah ini. Ada hal yang lebih berkenaan dari perang sipil.

Liveo lupa mencatat pada purnama ke berapa makhluk mitologi ini muncul. Iblis tertentu tak suka dinamai demi dapat membaurkan diri, tetapi sosok ini melangkah di antara rekahan dua dunia dengan banyak nama; Kashchei, Kashchey, Kostiy; Kościej, Kostěj—

Tak ada yang paham bagaimana monster ini bisa muncul lalu menghilang. Pada awal kemunculannya, sedikit saksi mata melihat kilat seperti halilintar menyambar angkasa, tanpa gemuruh, yang lebih kelihatan seperti kerak pada dinding langit ketimbang petir. Kemudian dari arah pintu Sisi Baik, kereta ransum bergulir tanpa awak, bersama sebuah kereta penuh belitan rantai yang diperkirakan adalah kereta pengangkut Kashchei.

Divisi satu kerajaan diutus untuk menjemputnya detik itu juga, namun Kashchei menghilang. Keretanya kosong.

Tak lama kemudian seseorang menyebarkan berita tentang Kashchei yang berbahaya, beserta catatan singkat tentang histori kejahatan makhluk itu di Sisi Baik. Rupanya dia salah satu monster yang cukup ditakuti, sebab protagonis yang ditakdirkan hidup untuk menang pun tak pernah bisa membunuhnya.

Tentu bukan pertama kali makhluk buas atau antagonis bengis menolak prosesi penjemputan. Meski kerajaan dibuat agak kerepotan, di sisi lain, golongan profesi paling prestisius di bumi Sisi Buruk, bersukaria menjadikan insiden ini sebagai proyek besar. Mereka adalah Beast Master. Mereka memburu, menangkap, menaklukkan hewan buas untuk dijadikan trofi bagi diri mereka sendiri.

Kurang dari sejam sejak Kashchei raib, Liveo melihat lukisan wajah monster itu terpajang pada papan serikat profesi, menutupi gambar-gambar monster buruan lainnya. Disambut meriah, Beast Master mana yang tak sabar ingin menoreh tato kepemilikan pada tubuh sang makhluk buas. Serasa mendapatkan angin segar yang baunya tak busuk-busuk amat. Telah lama sejak sesosok monster mengasupi keinginan Beast Master untuk pergi berburu—dan tentu Pangeran Liveo, Beast Master muda paling diakui segenerasi, menjadi salah satu yang tersundut semangat tarungnya.

Hari ini, sudah lewat tiga purnama sejak perintah perburuan dilayangkan. Liveo melakukan perjalanan mandiri memburu Kashchei dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit petunjuk. Buku perkamennya kini dipenuhi coretan.

Keberadaannya sulit.

Kashchei selalu hadir menjelang waktu tidur untuk mengisap jiwa para istri atau kekasih pemburunya. Ya, Kashchei memilih korbannya secara spesifik—yaitu belahan jiwa musuhnya.

Kebetulan Liveo masih remaja dan belum beristri, bukan berarti hal ini menguntungkan. Sebagian Beast Master boleh berstrategi tanpa hati menjebak Kashchei dengan mengumpankan istri.

Wujud Kashchei adalah lelaki bermuka penuh kerut, kulit keriput, tungkai kaki dan tangan melebihi ukuran panjang tungkai manusia. Tubuhnya kurus tak berdaging, hanya bermuat otot dan tulang. Beberapa Beast Master mencoba menusukkan belati ke jantung atau ke tengkorak kepala Kashchei, yang tak berefek apa pun. Kashchei tidak bisa mati. Jiwa makhluk itu berpencar dari tubuhnya.

Liveo memulai investigasi dari satu dusun ke dusun lain yang mana Kashchei pernah menjejak. Satu per satu narasumbar bahkan korban selamat didatangi. Dari setiap kepingan informasi yang terkumpul, Liveo mencatat sebuah wilayah di selatan yang tanahnya bersimbur rona kebiruan. Di antara danau berair lendir dan hutan magis, Kashchei menyembunyikan nyawa di dalam peti yang terkubur di bawah pohon ek.

Pasalnya seluruh pohon di hutan seluas seribu hektar tersebut adalah pohon ek!

Liveo meremas kesal perkamennya. "Bangsat. Katakan tanpa berbelit! Di pohon mana peti itu bersembunyi?"

"Kubilang di bawah pohon ek. Kau dengar, Nak? Po-hon-ek. Kau tak pernah melihat pohon ek, Nak? Kubilang di bawah, berarti di bawah, bukan di atas. Kubilang dikubur di tanah, berarti bukan digantung di udara. Kubilang aku sudah tak mau lagi menjawab pertanyaanmu. Enyah!"

Si narasumber adalah perempuan tua berhidung panjang, bertangan satu. Seorang penyihir yang hanya mampu menyihir meja menjadi kayu, baju menjadi kapas, kendi menjadi tanah liat—Sihir pembalikan tak berguna.

Penyihir menutup pintu rumah. Liveo mendobrak dengan kaki. Penyihir mengacung tongkatnya, Liveo melompat. Ujung sabitnya mengayun, memotong tongkat sihir itu sekalian tangan. Melolong sakit, perempuan tua itu terjerembap.

Liveo lebih senang memenggal lawannya dulu baru berkata, "Kau belum memberitahuku apa yang kautahu. Kau satu-satunya jalang yang selamat dari Kashchei."

Si penyihir masih asik melolong, badan bergerak maju mundur menangisi tangannya yang buntung. Tak sabaran. Liveo mengangkat tinggi sabitnya. Ayunannya tertahan cengkeraman kukuh.

"Sssh, Liv. Bukan seperti itu caranya bertanya." Mali berdiri di belakang Liveo, tangannya yang bersarung sutra emas mencengkeram pergelangan sang adik. "Biarkan aku yang angkat bicara."

"Mundur, Mali!"

"Aku tak bisa mundur. Aku sedang mendampingi adikku dalam rangka memburu Kashchei."

"Aku tak pernah memintamu ikut!"

"Oh lalu kau ingin aku kembali ke kastel? Katakan bagaimana caranya, Liv. Haruskah aku mengayuh sampan yang sudah bolong itu melintasi danau? Sampan yang bolong karena diusili makhluk air—ah tentu saja itu bukan karena kecerobohanmu yang memancing mereka datang. Beberapa bekal makanan kita jatuh ke air. Yang tertinggal di tas perbekalanku hanya peralatan berkemah dan bahan mentah. Nasibku memang agak sial minggu ini, sebaliknya kau beruntung, Liv. Syukurlah ada aku di sisimu sehingga hanya sampan itu yang bolong, bukan tubuhmu."

Liveo menghunjamkan lengkung sabitnya ke meja. Murka tertahan. Tak berkata-kata lagi.

Mali bergerak menghampiri si penyihir. "Wahai perempuan baik-baik, bukankah kau bisa mengembalikan roti menjadi jelai dengan sihirmu. Jadi tanganmu yang buntung pun mestinya bisa dikembalikan, atau kau mau aku—"

Mendadak kaki perempuan tua itu terlontar ke samping. Ia hendak meraih tongkat sihirnya dengan jari-jari kaki.

Liveo siap menerjang. "Mali!"

"Tahan! Tidak perlu seheboh itu. Jari kakinya tak mungkin bisa mengayun tongkat itu sebagus tangannya—yang keduanya sudah buntung. Aku percaya penyihir baik ini mau membuka mulut tanpa perlu ada bagian tubuhnya yang terpotong lagi."

Perempuan itu melotot, meludah ke arah Mali.

Mali langsung berjengit mundur, dan untuk sekali ini Liveo mendukung tindakan si penyihir.

"Aku tak punya informasi apa pun lagi, Nak," kata penyihir itu bersikukuh.

Mali tersenyum. "Bahkan bila aku menawarimu makanan dan air bersih? Juga renovasi rumah kayumu menjadi beton?"

Perempuan itu meludah lagi. "Aku tak butuh."

Mali bergeser, masih tersenyum walau separuh mukanya dilanda jijik setengah mati. "Menarik. Ini pertama kalinya kudengar ada penduduk yang menolak penawaran air atau makanan. Itu berarti ada hal yang lebih kaumau. Mungkin orang yang kausayangi."

Perempuan itu diam. Matanya yang merah sarat kebencian perlahan menanar. "Memangnya kau bisa apa?"

"Aku bisa apa pun yang tak bisa kaulakukan," tutur Mali cepat, dengan mata penuh yakin. "Kau ingin agar suamimu kembali, kan?"

Fitur perempuan tua itu menggentar sedikit. Tebakan atau analisis Mali sudah pasti betul. "Dia tak mungkin kembali."

"Kenapa tidak? Bila kami berhasil menaklukkan Kashchei, tak berbeda dengan kami berhasil membalas kesakitan yang pernah dialami suamimu. Tak ada istri lainnya yang selamat selain kau, sebab suamimu mengorbankan nyawanya karenamu, bukan begitu?"

Perempuan tua itu membenarkannya dalam diam, Mali merasa menang. Kemudian ngilu tak berperi dari tangannya yang terpotong itu kembali. Si penyihir meronta pada lantai, dan tanpa tongkat sihir, dia menyerang Mali dengan meludahkan lendir.

Mali sontak melompat ke sudut ruangan.

"Masa bodoh dengan suamiku! Kembalikan tanganku dulu!" tuntutnya.

"Aku bukan ahli sihir."

"Katanya kau bisa melakukan apa pun!"

Mali mengangguk-angguk. "Setelah kau menyenangkan adikku dulu."

Liveo mendelik.

"Di bawah pohon ek yang paling rendah," rintihnya sakit. "Cari saja pohon yang terendah!"

Liveo mengejar. "Serendah apa? Sulit mencari terendah di antara yang rendah. Jumlahnya ada ribuan."

"Mana kutahu!"

"Dari mana pula kau mengetahuinya?"

"Kashchei menceritakan letak nyawanya ke semua korban untuk kesenangan."

"Minggir, Mali! Biar kupotong kaki penyihir ini untuk jaga-jaga bila suatu hari ia ketahuan berbohong."

"Aku bersumpah! Hanya itu yang kutahu!" pekik si penyihir.

"Cukup, Liv. Aku yakin dia tidak berbohong. Terima kasih banyak untuk jawabannya dan selamat tinggal."

"Bagaimana dengan tanganku?!" tuntutnya.

"Tabib akan datang untuk meringankan penderitaanmu." Mali bangkit berdiri, menepuk pelan kain jubahnya yang agak terlecuti debu. "Kita pergi, Liveo?"

Perempuan tua itu susah payah merangkak menuju tongkat sihirnya. Liveo dan Mali menutup pintu rumah itu serapat mungkin. Suara minta tolong di baliknya tak akan terdengar oleh siapa pun.

"Penyihir jelek! Aku tak percaya ada seseorang yang bisa jatuh cinta kepadanya," sergah Liveo.

"Liv, jangan menilai seseorang dari rupa langsungnya di hadapanmu. Karena tahu tidak? Menurut kabar di sekitar sini, penyihir barusan sangat cantik di usia mudanya. Kau tak akan percaya."

Liveo meringis. "Sudah pasti sihir. Aku tahu seorang jalang yang bisa menyihir dengan pesona seperti dia!"

"Atau mungkin racun cinta. Dia menggunakan racun cinta kepada suaminya."

"Racun murahan. Khas seorang jalang."

"Jangan menyepelekan racun yang satu itu, Liv. Saking kuatnya, racun itu dapat membunuh dan memecah zirah seekor armadilo paling tangguh. Ha! Ini yang dinamakan mati karena cinta."

"Persetan dengan semua itu. Penyihir itu tak mau buka mulut! Sekarang biar kupikirkan langkah selanjutnya."

"Kubilang juga apa. Perempuan tuamu hanya bisa memberi kita sebaris informasi. Mari kita bergerak ke rumah yang sebelumnya," ujar Mali. "Balik arah."

"Tidak, kita teruskan maju. Ini sudah cukup." Liveo ngotot, melangkah mendahului.

"Sebegitu inginnya kau pergi dari dusun ini?"

"Kau betah di sini? Bagus. Tinggal saja di sini sementara aku pergi berburu."

Dusun kecil ini selaiknya dusun lain yang mereka lewati dalam waktu sepekan terakhir. Tandus, tanpa penerangan efektif, dan konstruksi rumah hanya mengandal kayu sederhana. Jarak antara satu rumah berpisah jauh. Yang sebelumnya rumah perempuan tua si penyihir, dan setelahnya rumah perompak yang tak punya peta harta karun. Tak ada penduduk yang bisa kau sapa baik-baik. Tak pernah ada.

Liveo mengawasi sekitarnya yang senyap, mencuri dengar setiap suara kecil yang timbul. Buku-bulu di lehernya meremang setiap kali ia menoleh ke belakang.

Ada seseorang, entah di salah satu rumah atau di sudut-sudut gelap di bawah atap. Seseorang sedang menatap Liveo dan Mali lekat. Seseorang yang tak bisa dilihat dengan mata biasa.

Sejak mereka melangkah ke dusun ini, Liveo sudah merasakan kehadiran tamu tak diundang mengintai mereka.

Mali bersedekap sambil menatap sekeliling. Liveo melirik kakaknya di sebelah. Apakah Mali pun merasakan?

Mali memergoki lirikannya.

"Apa yang mengganggu pikiranmu, Adikku sayang?" Sang kakak memancing.

Biasanya Liveo akan mengatup rahang supaya tak bersuara. Sialnya, keingintahuannya akhir-akhir ini sulit dibendung.

"Tidak." Liveo langsung buang muka. "Omong-omong bagaimana kau tahu perempuan tua itu menginginkan suaminya pulang?" tanyanya.

Mali menjawab, "Bukankah sudah kubilang, Liv? Setiap orang pernah mati setidaknya sekali, dan tampakmu yang sekarang merupakan representasi setelah matimu yang kesekian."

Jawaban yang mesti dikupas dengan penuh penalaran! Liveo mengumpat, menyesal sudah bertanya.

"Contohnya aku juga pernah mati," tambah Mali.

Liveo melangkah lebih cepat daripada kakaknya. "Kalau kau pernah mati, coba jelaskan di mana dan kapan kau mati? Apa wujudmu sebelumnya?"

"Kita tak pernah tahu, Liveo. Kapasitas otak kita seperti kastel yang berisi jutaan laci tak tergapai. Seluruhnya tersimpan di sana, tapi tak bisa kaubuka satu per satu karena bisa saja ada laci yang engselnya sudah copot, kau lupa taruh di mana kuncinya. Intinya, Adikku, kita tak bisa mengingat segalanya. Kita hanya perlu menemukan makna."

Liveo putar mata, memeriksa kembali catatannya.

Si penyihir tua hanya berkontribusi satu baris informasi dalam catatan Liveo: Peti yang terbenam di bawah pohon ek yang terendah.

Kurang jelas apa?

Berbulan-bulan Liveo mengumpulkan informasi untuk membentuk serangkaian teka-teki.

Berawal dari benda yang terkecil; sebuah jarum. Katanya Kashchei menyimpan nyawa dalam jarum.

Jarum tersebut disimpan dalam telur.

Telur tersebut disimpan di dalam perut bebek.

Bebek bersembunyi di dalam perut kelinci.

Kelinci bersembunyi dalam kotak harta berpotongan emas.

Kotak itu dibenam di tanah yang katanya di bawah pohon ek terendah di dalam hutan ek. Lokasinya di sekitar wilayah hutan berair—yang berarti adalah wilayah selatan bumi Sisi Buruk.

Sembari Liveo mencoreti buku, bunyi yang ia dengar hanya gesekan kapur tulis pada perkamen papirus. Napas konstan maupun langkah di dekatnya menghilang.

"Mali?"

Liveo menoleh ke belakang. Mali sudah tak ada.

Continue Reading

You'll Also Like

2.2M 123K 72
❝Diam menjadi misterius, bergerak menjadi serius.❞ -Liona Hazel Elnara Genre: 1. Drama Psikologis 2. Thriller / Suspense 3. Action 4. Romance 5. Crim...
1M 66.6K 43
Daddyyyyyy😡 "el mau daddy🥺"
2.9M 183K 46
[Part lengkap] Blur : Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang...
2.3M 165K 47
Ketika Athena meregang nyawa. Tuhan sedang berbaik hati dengan memberi kesempatan kedua untuk memperbaiki masa lalunya. Athena bertekad akan memperb...