A Little Agreement

By JennyThaliaF

1.9M 79K 2.7K

Tentang sebuah "janji kecil" yang mengakibatkan "perubahan besar" dalam hidup mereka. Tentang dua orang yang... More

A Little Agreement
[Jennar] The Day After The Wedding
[Azel] Her Tears
[Jennar] Hero
[Azel] Jangan Pergi dari Gue
Masa SMA
[Azel] Baby and You
[Jennar] Mabuk
[Azel] Something Different
[Jennar] Pembuktian
[Azel] Trust Issue
[Jennar] That's My Lady
Tentang Orang Ketiga
[Azel] Tidak Usah Memilih
A Little Happiness
[Extra] This Is Not The Ending
PRE ORDER A LITTLE AGREEMENT VERSI CETAK

[Jennar] Our Past

89.5K 4.5K 152
By JennyThaliaF

♡♡♡ JENNAR ♡♡♡

"Pumpkin."

"..."

"Princess pumpkin?"

"..."

"J."

"..."

"My honey sweety lovely Princess pumpkin darling--"

"Stop it! Menggelikan, tau nggak?"

Azel terbahak-bahak, mengabaikan aku yang kini memasang ekspresi jutek andalanku. Sampai kapan sih dia manggil aku dengan panggilan konyol seperti itu?

Astaga.

"J, minum aja lo belepotan gitu sih."

"Hah?"

"Itu," Azel menunjuk ke arah wajahku sambil menahan tawanya. "bibir lo tuh."

Aku buru-buru mengambil tisu dan mengelapnya. Mungkin karena aku minum susu dengan cara yang nyaris sama seperti anak berumur lima tahun, makanya bisa belepotan begini.

"Lo manis deh kalo belepotan gitu," pujinya sambil menandaskan tegukan terakhir dari kopi paginya.

Aku mendelik ke arahnya sambil bangkit dari dudukku dan mulai merapikan meja makan. "Pujian atau hinaan sih?"

"Pujian, Sayang," jawab Azel sambil mencium pipiku saat aku mengambil piringnya. Aku hanya melotot ke arahnya, namun ia hanya tersenyum miring lalu mengikutiku ke dapur. Sambil mencuci piring, Azel duduk di bagian bar stool sambil membaca koran paginya.

"Hari ini mau kemana, Pumpkin?"

"Nggak tau," jawabku sambil mengedikkan bahu. "emang lo mau jalan kemana?"

"Gue nggak tau juga sih, tapi pengen banget keluar rumah."

"Dasar tukang kelayapan. Sana gih ke jalan, ngamen biar nambah-nambahin pemasukan. Pengen keluar rumah kan?"

"Astaga, nyinyir banget sih lo," komentarnya sambil tertawa kecil. "lo mau gue ngamen? Lo kan tau semua tabungan, asuransi, deposito, aset, saham dan pensiunan gue bakal cukup kok buat ngehidupin elo. Kenapa juga gue dikasih side job ngamen? Nggak takut gue diembat cewek lain?"

"Paling yang mau ngembat elo itu germo yang butuh terong-terongan."

Azel mencebik kesal lalu menghampiriku. Ow ow, firasat buruk.

Tapi sebelum aku menghindar, Azel telah lebih dulu memeluk pinggangku dan mematikan keran air. Ia mencium wajahku bertubi-tubi, membuatku yang tadi takut kalau ia akan memarahiku kini bingung terhadap kelakuannya.

"Azel."

"Hm."

"Berenti dong nyiumin gue," ujarku ketika ia masih mencium pipiku dan kini beralih ke leherku. "geli tau."

Azel kemudian menghentikan kegiatannya dan kini menggiringku menuju ruang tengah. Tapi pelukannya belum juga dilepaskan. Aku bingung, hari ini Azel beda. Tadi saat bangun tidur, ia memintaku berjanji untuk tidak meninggalkannya. Sekarang, dimana seharusnya dia--mungkin--kesal karena kata-kataku, dia hanya mencium wajahku dengan gemas.

Kami duduk di sofa dan Azel mulai menyalakan televisi. Ia mengganti channel televisi beberapa kali sampai akhirnya ia memutuskan untuk memilih channel yang kini sedang menampilkan talkshow tentang parenting.

Tumben banget ni orang nonton kayak gini. Biasanya juga dia memilih untuk menonton Spongebob.

"Jen, punya anak yuk."

"Ha?"

"Lo nggak mau punya anak, hm?"

Aku terdiam, lebih baik mengalihkan pandanganku ke arah lain. Kemana saja asal jangan menatap ke manik mata onyx-nya itu. Tapi sepertinya Azel nggak berpikiran yang sama denganku. Ditariknya pelan daguku agar kami saling menatap satu sama lain.

"Jawab gue, J."

Suara salah satu pembawa acara yang cukup terkenal itu kini hanya bagai dengungan. Pembicaraan tentang asam folat, morning sickness sampai dengan alat kontrasepsi itu hanya numpang lewat saja. Jadi, apa yang ditanyakan Azel sekarang?

Punya anak? Tapi... berarti harus melewati proses itu kan?

Sekarang aku bertanya pada diriku sendiri. Apa aku siap? Dengan melakukan itu dan mendambakan kehadiran anak dalam keluarga kecil ini berarti kami makin melangkah lebih jauh.

Terus apa salahnya? Apa lo masih ngarepin Kak Rendra--makanya lo nggak berani diajak bikin anak sama Azel?

Bah.

"Lo nggak mau? Nggak apa-apa kok, J. Don't take it too serious."

Aku tertegun ketika menatap Azel yang menyela pikiranku. Ia tersenyum lalu mencium keningku pelan. Tapi aku tau, aku lihat, ada semburat kecewa di matanya. Entah itu perasaanku saja atau itu memang nyata.

♥♥♥

Aku berbaring di ranjang sambil menatap amplop biru yang kini ada di tanganku. Aku sudah membaca isinya. Tapi entah kenapa aku nggak bisa untuk menangis.

Apa yang mau kutangisi? Tentang perasaan kami yang sama namun semuanya telah terlambat?

Kurasa lebih dari sepuluh tahun memendam perasaan untuknya dan selalu mengira bahwa itu bertepuk sebelah tangan telah mampu menguras air mataku. Akhirnya aku hanya menghela napas, berat. Ya, semua ini terlampau berat untukku. Kak Rendra telah meninggalkan aku.

Ralat, aku yang telah meninggalkannya. Mungkin kalau aku mau sedikit bersabar atas kepergiannya untuk menempuh pendidikan, aku bisa bersamanya.

Atau mungkin, Jen, justru karena lo menikah dengan Azel, Kak Rendra baru bisa benar-benar ngerti tentang perasaan dia ke elo. Mungkin dia termasuk dalam golongan orang-orang yang baru sadar akan cintanya setelah yang dicintainya pergi.

Terlalu banyak kata mungkin dan seandainya di kepalaku. Tapi sebanyak apapun kata itu muncul di benakku, itu tidak bisa mengubah apapun. Aku telah bersama Azel dan Kak Rendra telah pergi ke Prancis.

Hidup itu adalah pilihan, saat kau memilih untuk bertahan dengan segala yang kau bangun atau pergi bersama dengan apa yang kau inginkan. Tapi kembali lagi pada kata-kata mujarab yang sayangnya sering dilupakan orang, Tuhan memberikan kita apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Masalahnya adalah, apa manusia seperti aku dapat dengan begitu mudahnya menerima apa yang diberi?

Manusia itu tempatnya salah kan? Dan aku sering berbuat salah dimulai dari meragukan apa yang Ia berikan untukku. Aku tak bisa langsung percaya kalau Azel adalah orang yang aku butuhkan. Bahkan mungkin, Azel sebenarnya tidak terlalu membutuhkanku. Ia tidak didesak menikah, tidak kerepotan mengurus dirinya, lalu apa alasannya hingga kami bersama saat ini?

"Princess pumpkin, mikirin apa sih?"

Pertanyaan Azel membuatku menoleh, mendapati dirinya kini ikut tidur di sampingku sambil memainkan rambutku. "Bukan apa-apa," jawabku sambil menaruh surat Kak Rendra di atas nakas.

Hm, apa Azel sudah tau tentang apa yang terjadi kemarin? Apa dia sudah membaca surat itu?

Entahlah, sementara ini aku nggak mau memikirkan hal itu dulu.

"Bohong banget," jawab Azel sambil mengubah posisiku jadi menyamping dan memelukku dari belakang. "pasti lagi mikirin Rendra."

"Tau aja," sahutku cuek sambil terkekeh pelan.

Saat itu juga kedua tangannya yang memelukku langsung melonggar, membuat sesuatu di hatiku mencelos seakan masuk ke dalam jurang. Refleks dan tanpa berpikir, aku menarik kembali lengan itu dan mengaitkannya kuat-kuat di pinggangku. Sekarang aku mulai nyaman dengan segala bentuk skinship yang ia lakukan. Termasuk dipeluk oleh Azel.

"Nggak mau kehilangan aku, eh?" gumamnya sambil mengecup ubun-ubunku.

"Iya, nanti rekeningku jadi cepet habis dan kamu nggak mau nraktir aku."

"Dasar cewek matre," kekehnya pelan. Namun akhirnya ia memelukku erat lagi dan menenggelamkan wajahnyadi lekukan leherku.

"Zel."

"Apa, Pumpkin?"

"Apa sih yang buat elo mau begitu aja nikahin gue?"

"..."

"Kalo nggak mau jawab juga nggak apa-apa."

"Kalo lo denger alasan gue, pasti lo nggak percaya," ujar Azel pada akhirnya.

Ia mengangkat wajahnya dari lekukan leherku dan kini menumpukan dagunya di bahuku. "Sumpah, saat lo ingetin gue tentang perjanjian itu, yang ada di kepala gue cuma lamar elo, lamar elo, lamar elo. Ya walaupun lo tau sendiri kan, Pumpkin, lamaran itu nggak romantis sama sekali."

Aku mengangguk mengiyakan sambil tertawa kecil, ingat saat dia mengatakan marry me sesaat setelah aku mengingatkan tentang janji itu. Padahal, saat itu aku nggak benar-benar serius untuk menagihnya. Saat kujelaskan lagi, justru ia yang ngotot untuk memenuhi janji itu dan besoknya ia membawakan cincin dan membawaku menemui kedua orangtua masing-masing.

"Tapi setelah gue minta petunjuk, selalu elo yang muncul, J. Bahkan waktu itu gue pernah mimpiin satu rumah bareng lo, gue mimpiin lo masak buat gue, nonton TV malem-malem bareng gue, beli cemilan bareng-bareng, bangun tidur di ranjang yang sama--dan sekarang jadi nyata."

"Gimana dengan... Desy?" tanyaku pelan sambil membuat pola lingkaran di atas punggung tangannya.

Azel menghela napas sebelum akhirnya menjawab pertanyaan yang baru kali ini aku berani sampaikan padahal sudah lama ingin kutanyakan. "Dia cuma masa lalu, Pumpkin. Sama kayak lo dengan Kak Rendra, bener kan?"

"Ya."

"Jadi, bisa kan kalau kita ngejalanin kehidupan kita kayak gini? Berdua--tanpa masa lalu masing-masing yang bikin langkah kita berat. Can we?"

"Yes, we can."

"Good then. Jadi, ayo makan siang di luar. Hari ini kita nge-date dari siang sampe malam!"

Aku tertawa namun akhirnya menurut ketika Azel membawaku bangkit dari posisi tidurku dan bersiap untuk pergi nge-date seperti rencananya tadi.

Sudahkah kubilang kalau aku beruntung punya suami seperti Azel?

♥♥♥

23-03-2014

07:59

Selamat pagi semuaaaa! Rencananya mau update tadi malem. Eh ketiduran. Selamat hari Minggu! Have a nice weekend with Azel and Jennar :3 Ditunggu ya komentarnya♥♥
P.S: Hei, Kak Rendra versi dunia nyata, gue kangen tau sama lho #ihik

Continue Reading

You'll Also Like

3.3M 164K 52
Untuk sebuah alasan yang dirahasiakan Treyvian meminta istri yang telah delapan tahun meninggalkannya kembali ke Indonesia untuk bercerai. Meski bing...
215K 20.6K 33
Namanya Lyla, wanita mandiri yang sedang patah hati~~ Jangan ganggu dia lagi, dia tidak ingin kembali patah hati~~ Dirinya sudah hampir selesai menge...
28.2K 937 6
Berada 24 jam bersama tidaklah serta-merta menjadikan orang semakin dekat. Pandemi COVID-19 memaksa Ara dan Dev untuk bekerja dari rumah. Berbagi w...
1.4M 51.7K 9
[ Edisi PLATFORM ONLINE ] Apa enaknya jadi pemain cadangan? Biasanya tak terlihat, eh mendadak diperlukan banyak orang. Sumpah. Gak enak!