Assalamualaikum Calon Imam ✔

By amimomile

4.9M 269K 23.6K

(Sudah terbit, bagian tidak lengkap.) Nafisya Kaila Akbar, lima belas tahun memendam perasaan pada sosok pria... More

Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Epilogue
QnA With Alif
Akun IG khusus WP
Audiobook 1

Chapter 19

78K 6.7K 308
By amimomile

"Saat seorang wanita telah memilih mu sebagai suaminya maka dia telah meletakan kepercayaan akan kepemimpinan mu nanti."

____________

ALIF berdiri di luar ruangan sambil menatap ke dalam dari jendela yang tidak tertutup tirai. Nafisya tak mau meninggalkan ruangan itu, dia mau menemani ayahnya yang sekarang sudah terbujur kaku. Sudah menjadi prosedur rumah sakit untuk tidak melepas peralatan medis selama tiga puluh menit kedepan, karena dihawatirkan detak jantung pasien kembali.

Kahfa sedang mencoba menghubungi keluarga lain, dia juga meminta Nayla untuk pulang karena sebentar lagi jenazah Pak Husain akan di antar ke rumahnya menggunakan ambulan. Alif bahkan tak berani berada di samping Nafisya meskipun beberapa menit yang lalu statusnya telah berubah. Beberapa menit kemudian Alif menyadari seseorang telah berdiri disampingnya.

"Apa semua wali yang minta dinikahin bakal ente nikahin, Lif?" tanya Huda berdiri disamping Alif. Pria itu menoleh dengan wajah yang tengah memikirkan sesuatu.

"Dia beda ..." katanya singkat tanpa menoleh.

"Dan akhirnya, ente nikah juga. Kalo ini bukan suasana berkabung pasti ane udah kasih selamat," kata Huda. Pria itu menepuk pundak Alif.

"Saat seorang wanita telah memilih mu sebagai suaminya maka dia telah meletakan kepercayaan akan kepemimpinan mu nanti. Jadi bukan hanya dia yang harus yakin sama pernikahan ini, tapi ente juga ..." ceramah Huda.

"Ente paling tahu kalau ane gak pernah main-main sama apa yang ane pilih." Tak lama keluarga yang lain datang dengan wajah penuh cemas. Hampir semua menangis kecuali Fadil dan Fadli yang lebih memilih diam, tapi dari raut wajah mereka jelas mereka juga merasa kehilangan.

Keluarga Jidan juga datang kesini. Semua menangis haru di dalam. Saat itu Nafisya lebih memilih duduk di kursi tunggu di luar dimana Alif sudah lebih dulu duduk disana. Dia tak ingin melihat Umminya menangis, hal paling dia hindari selama hidupnya adalah melihat Umminya menangis. Walau disaat-saat seperti ini harusnya dia bersama Umminya, tapi rasanya Kak Salsya lebih bisa menenangkan Ummi.

Jidan keluar dari ruangan tersebut tak lama setelah Nafisya memutuskan duduk berjauhan dengan Alif. Pria itu duduk di kursi paling kanan sementara Nafisya duduk di kursi paling kiri. Jidan menyender pada muka pintu, Salsya keluar setelahnya dengan mata yang tak kalah memerah.

"Sya ..." panggil Salsya.

"Kakak selesaaikan semua registrasinya dulu, biar Abi bisa cepet dianter. Kakak titip Ummi sebentar ya ..." kata Salsya ke arah Nafisya. Nafisya melirik ke arah Jidan menyuruh pria itu mengejar kakaknya.

"Tapi, kalian nanti berduaan gimana?" kata Jidan ketika mengamati lorong ruang ICU itu kosong dan hanya ada Nafisya dengan Alif. Jidan tak mungkin meninggalkan mereka berduaan.

"Nggak apa-apa kok, kita udah sah jadi suami istri," kata Nafisya tanpa menatap ke arah Alif

"Sah?" tanya Jidan dengan wajah kaget.

"Kenap−" Baru saja dia akan bertanya lagi Nafisya sudah memotongnya lebih dulu.

"Temenin Kak Salsya, dia lebih butuh kamu disaat kaya gini ..." Perkataan Nafisya berhasil membuat pria itu pergi secara terpaksa dengan wajah yang ditekuk.

"Fisya nemenin Ummi dulu ya, Pak," kata Nafisya ke arah Alif setelah hanya mereka berdua yang ada di tempat itu.

Alif mengangguk.

____________

Sekitar jam lima pagi, Abi baru bisa diantar menggunakan ambulan. Aku merasa pening karena terlalu banyak menangis. Setelah shalat subuh di masjid yang tempatnya bersebrangan dengan rumah sakit, Jidan menemuiku. Dia memintaku untuk mengikuti langkahnya katanya ada hal yang ingin dia tanyakan.

Kami sampai di samping pintu masuk utama rumah sakit dimana tidak banyak orang berlalu lalang keluar masuk. Sepertinya Jidan sudah tahu tentang pernikahanku karena wajah tak sukanya terlihat sekali.

"Kenapa kamu mau nikah sama pria itu?" Dugaanku benar, dia menanyakan itu. Aku menghembuskan nafas berat.

"Aku lagi gak mau ngejelasin apapun sekarang ..." kataku dengan nada lemas, aku sama sekali tak mood untuk berbicara apapun pada siapapun saat ini. Ketika jarak kami sedikit jauh Jidan melemparku dengan pertanyaan lain.

"Kenapa sandi handphone kamu tanggal lahir aku, Sya?" tanyanya dengan menaikan suara satu oktaf, aku merasa suara Jidan terdengar sedikit berbeda.

Aku terdiam mendengar itu. Aku meraba saku rok dan memang tak ada handphoneku disana. Pasti tertinggal di ruangan Abi tadi. Tapi darimana dia tahu sandi handphoneku? Semudah itukah menebaknya? Apa perasaanku begitu terlihat? Dia mengeluarkan handphoneku dari saku celananya.

"2704? Itu sandi handphonenya, kan? Jawab aku, Sya. Kenapa kamu pake tanggal lahir aku?" lanjut Jidan mendesak. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.

"Kembaliin handphone aku?" Kataku menoleh. Tiba-tiba Jidan mengatakan apa yang saat ini tidak inginku dengar.

"Kamu cinta sama aku, kan?" Kenapa dia harus berbicara seperti itu disaat pikiran dan perasaanku tidak dalam keadaan baik. Aku sedang sedih. Aku baru saja kehilangan seseorang. Tidak kah dia mengerti suasana ini? Aku merebut handphone di tangannya.

"Kenapa? Keberatan? Semua itu dulu, jadi kamu nggak usah hawatir," kataku berterus terang. Percuma menyembunyikannya sekarang, dia sudah menebaknya dengan benar. Ketika aku berbalik Jidan mengatakan sesuatu lagi.

"Ya aku keberatan. Masalahnya aku juga cinta sama kamu Nafisya!" Rasanya kepalaku semakin dingin, seperti tidak ada pasokan darah ke otak. Dulu aku sangat ingin mendengar kata-kata itu tapi bukan saat ini.

Kenapa dia mengatakan diwaktu yang tidak tepat? Kemana dia selama ini? Kenapa harus sekarang disaat aku sudah menyerahkan diri untuk orang lain dan kamu terikat dengan kakakku? Kenapa harus sekarang ? Disaat aku baru saja kehilangan Abi. Aku hanya berdiri kaku kepalaku semakin pening ketika, Jidan mencoba menjelaskan alasannya.

"Aku mau ngebatalin pernikahan itu, dan bilang jujur semuanya ke kamu. Aku pikir kamu lagi suka sama cowo lain dan udah nggak butuh aku lagi. Makannya waktu itu aku ngambil keputusan buat nikahin Salsya. Aku sadar sekarang kalau aku cin−"

"Berhenti!" bentakku dengan menatapnya tajam, memotong perkataannya yang akan mengatakan bahwa dia mencintaiku. Perkataannya membuatku merasa marah kali ini.

"Kak Salsya bukan perempuan one night stand yang kamu tidurin semalem terus kamu tingalin!" kataku dengan nada sarkas.

"Kamu bener-bener gak layak jadi kakak ipar!"

____________

Setelah percakapan dengan Jidan tadi, tubuhku merosot lagi. Aku terduduk lemas di lantai tepat di depan ruangan Abi yang kini sudah kosong tanpa ada siapapun. Mungkin Abi sudah dibawa pergi ke ruang jenazah untuk dimandikan. Aku tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Jidan. Aku memeluk lututku erat, aku menangis lagi untuk kesekian kalinya.

Seseorang ikut menjatuhkan tubuhnya di sampingku tanpa peduli jas putihnya kotor. Aku seperti pernah melihat ini. Spontan aku menolehkan kepala menatap pria itu yang ternyata tengah menatapku, senyumnya tipis sekali.

"Kamu tahu, Fatimah tersenyum ketika ayahandanya meninggal ..." katanya membuka pembicaraan. Aku mengusap kedua mataku, sekarang hanya air mata yang keluar tanpa suara.

"Itu karena Nabi Muhammad mengatakan pada Fatimah bahwa Fatimah adalah orang pertama yang akan menemuinya di surga," lanjutku.

"Terus kenapa kamu nggak mnecoba tersenyum kayak Fatimah?" tanyanya.

"Apa yang Fisya lakuin buat Abi hari ini, nggak sebanding sama apa yang Fisya lakuin selama tujuh belas tahun lalu, Pak. Fisya merasa bersalah banget sama Abi. Belum tentu Fisya ketemu lagi nanti," kataku sambil terisak lagi.

"Kamu lupa? Barang siapa memberi karena Allah, menolak karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikah karena Allah, maka sempurnalah imannya. Kamu udah punya jaminan Surga buat ketemu sama Abi kamu nanti. Nggak baik berlarut-larut dalam kesedian, Sya. Lebih baik gunain waktu kamu buat do'ain Abi kamu yang sekarang pasti udah tenang disisi Allah ..."

Sekarang aku merasa seperti Fatimah yang memiliki Ali disampingnya.

"Fi.. Fisya cuma ngerasa kalo−" kalimatku tertahan karena air mata ku meluncur lagi. Aku langsung memalingkan wajahku ke arah lain agar Pak Alif tidak melihatnya. Berapa kali aku menangis didepannya. Astagfirullah aku benar-benar cengeng sekali.

"Lihat saya ..." katanya, aku tak berani dan masih diam.

"Nafisya, lihat saya ..." ulangnya. Aku menatap ke arahnya sambil masih menunduk. Dia memegang kedua pundakku, dan mengankat daguku agar aku menatap wajahnya.

"Apa yang Ummi kamu lakuin kalau kamu lagi sedih?" Aku tak bisa menjawabnya. Hatiku terasa sesak karena merasa benar-benar kehilangan.

Dengan tiba-tiba dia menarikku kedalam pelukannya membuat kepalaku bersandar di dada bidangnya. Pak Alif memelukku sangat erat seolah mengatakan dia ada disini untukku. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku frustasi, tak ada yang bisa kuajak bicara, tak ada yang memahami posisiku. Aku merasa sedih karena hari ini aku kehilangan dua orang sekaligus. Ayahku, dan sahabatku. Saat itu hal yang paling kuingat  adalahh Pak Alif membisikan sesuatu di telingaku.

"Menangislah, tapi jangan pernah nangis sendirian lagi."

____________

Jazakumullah khairan katsira.

Jadikan Al-Quran sebagai bacaan utama.

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 27.6K 10
Naira tak bisa menolak pesona yang diberikan laki-laki itu. Segala yang ada padanya begitu sempurna menurut Naira. Siapa sangka 9 tahun Naira memenda...
GATA By 🍒

Short Story

5.2K 236 5
Garis Takdir (GATA) Bagaimana jadinya jika seorang Ustadz yang sangat gemar menghukum salah seorang Santriwati bisa berakhir dalam sebuah Khitbah? "K...
322K 14K 70
Azizan dingin dan Alzena cuek. Azizan pintar dan Alzena lemot. Azizan ganteng dan Alzena cantik. Azizan lahir dari keluarga berada dan Alzena dari ke...
960K 12K 9
Apa salahnya jika aku kekanakan? Bukankah menyayangi tidak harus memandang kepribadian? Kenapa? Kenapa sifat kekanakan ku selalu dipermasalah kan? A...