Assalamualaikum Calon Imam ✔

By amimomile

4.9M 269K 23.6K

(Sudah terbit, bagian tidak lengkap.) Nafisya Kaila Akbar, lima belas tahun memendam perasaan pada sosok pria... More

Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Epilogue
QnA With Alif
Akun IG khusus WP
Audiobook 1

Chapter 6

102K 6.9K 192
By amimomile

"Tanda kecintaan Allah pada hambanya adalah dengan Dia mengujinya. Jangan terlalu membenci suatu masalah. La tahzan, Innallaha Ma'ana."

____________

SIAPA yang tidak panik ketika orang yang kalian temui mendadak menangis tanpa alasan, seolah kalian lah yang menyebabkan dia menangis. Begitupun dengan Alif. Ini pertama kalinya dia menghadapi perempuan yang menangis. Apalagi sekarang posisinya sebagai dosen dan sikapnya yang memang selalu agak keras pada setiap mahasiswa.

"Sya, hey. Kamu kenapa?" tanya Alif mulai panik. Mungkin mudah bagi Alif membuat pasien perempuan berhenti dari tangisnya karena kebanyakan pasiennya adalah anak-anak. Tapi ini lain. Alif bahkan tak tahu harus melakukan apa untuk membuatnya berhenti.

"Ssstt ... Udah, Sya. Saya salah bicara ya?" Alif semakin panik ketika orang-orang disekitarnya mulai memperhatikannya.

"Kamu bisa bilang kalo kamu belum siap buat detensi, kamu bisa dateng besok lagi," bujuk Alif. Alif sama sekali tidak tahu bagaimana cara membuat perempuan dewasa berhenti menangis. Kini orang-orang membicarakannya, Alif seolah melakukan hal buruk sampai Nafisya menangis seperti itu.

"Ya ... ya udah gini. Kamu gak usah detensi, tapi kamu berhenti nangis," kata Alif dengan penawaran konyolnya. Dalam sela-sela tangisnya Nafisya berusaha mengatakan bahwa dia ingin sendirian.

"Oke, saya keluar sekarang tapi kamu jangan nangis lagi." Alif meninggalkan perempuan itu sendirian.

Di luar pun dia bertindak tak karuan. Berjalan layaknya setrika seperti seorang pria yang cemas menunggu istrinya melahirkan. Beberapa menit kemudian Nafisya muncul dengan hidung dan mata yang memerah hebat.

"Kamu," Kata Alif bersuara ketika Nafisya menyerahkan kertas itu.

"Kamu udah isi soalnya?" Itu kalimat salah yang dipilihnya. Harusnya Alif bertanya apa yang membuat perempuan itu menangis bukan malah menanyakan soal-soal itu. Dia tidak paham dengan pemikiran perempuan yang menurutnya lebih rumit anatomi jantung manusia.

"Udah, Pak." Nafisya mengangguk, dia tak berani menunjukan wajahnya. Sebenarnya bukan hanya pada Jidan saja. Dia memang tidak pernah menatap mata lawan bicaranya secara langsung.

"Ah ya, makalahnya." Nafisya mengelurakan makalah dari dalam tasnya. Namun barang-barang lain ikut berjatuhan ketika dia menarik benda itu. Alif membantu Nafisya memungut kertas-kertas itu sementara Nafisya memungut beberapa amplop coklat.

"Bukannya ini−" Alif membaca kertas itu sekilas.

"Ini CV kan?" Nafisya langsung mengambil kertas-kertas tersebut dengan cepat.

"It ... itu CV ta'aruf," kata Nafisya. Jelas perkataan spontannya adalah sebuah berbohong, tapi dia tidak ingin mengatakan bahwa CV tersebut adalah CV untuk melamar pekerjaan. Sejak sebulan yang lalu, dia sedang mencoba mencari part-time.

"Oh," Alif mengangguk biasa. Dia mengerti bahwa Nafisya tidak mau ditanya lebih

Alif memungut makalahnya kemudian mengambil kertas soal yang harus dia periksa. Merasa tidak ada kepentingan lain Alif berjalan meninggalkan Nafisya, baru dua langkah dia berbalik karena ingat sesuatu.

"Kalau nilai kamu nggak memadai, nanti saya panggil untuk perbaikan lagi," katanya datar. Nafisya mengangguk. Alif berhenti lagi seolah ada sesuatu yang menahan langkahnya, dia menoleh pada Nafisya.

"Sya ..." Suaranya terdengar begitu lembut dan pelan membuat Nafisya sedikit mengangkat kepalanya karena mengira Alif sudah berjalan cukup jauh.

"Tanda kecintaan Allah pada hambanya adalah dengan Dia mengujinya. Jangan terlalu membenci suatu masalah. La tahzan, Innallaha Ma'ana," katanya tanpa tersenyum sama sekali dan melanjutkan langkahnya.

Ayolah itu sama sekali bukan gayanya seorang Alif. Menghibur hati seorang perempuan yang sedang sedih itu sama sekali tak mungkin Alif lakukan.

____________

Aku memandang buku bertuliskan Big Book of Analys yang kemarin kupinjam dari perpustakaan. Karena mengobrol dengan Pak Gilang aku jadi tak sempat membaca materi waktu itu. Ada sedikit rasa khawatir tentang apa yang dikatakan Kak Salsya. Aku tidak benar-benar yakin dengan perkataanku tadi pagi. Semua itu seperti mimpi buruk.

Kepalaku pening memikirkan jalan keluarnya, ditambah membaca buku ini malah membuatku semakin pening.

"Nafisya ..." Panggil Ummi yang kuyakin suaranya dari arah dapur karena terdengar samar.

"Iya, Mi ?" Aku langsung menutup buku itu dan bergegas turun.

"Ayo kita makan malam dulu. Kamu belum makan kan dari pulang tadi." Ummi hanya membawakan dua piring untuk kami, membuatku langsung menoleh ke arah kamar Kak Salsya. Rumah kami memang berlantai dua, tapi dilantai atas hanya ada dua kamar. Di bagian tengah pun sengaja tidak di bangun. Mungkin mempermudah Ummi kalau akan memanggilku.

"Kak Salsya belum pulang?" tanyaku spontan. Salah besar jika kalian mengira aku tidak sayang pada kakakku itu. Justru aku sangat menyayanginya, perpisahaan kami waktu kecil membuatku semakin menyayanginya. Apalagi dia tulang punggung keluarga, itulah kenapa tamparan Kak Salsya begitu membuatku merasa sakit.

"Dia ada lembur kayaknya," jawab Ummi dengan tak yakin. Aku tahu Kak Salsya pasti tidak pulang karena ucapanku tadi pagi. Dia paling tidak bisa menyembunyikan masalah dan jika dia pulang dia tak sanggup menceritakannya pada Ummi.

"Besok kita silaturahmi kerumah Abi, ya?" tanya Ummi tiba-tiba. Aku menarik nafas panjang mendengar itu. Sepertinya semua orang masih bisa menerima pria itu. Bagiku lebih baik bersikap acuh, daripada aku berpura-pura baik di depan Abi dan kerluarganya. Jatuhnya dosaku menjadi dua kali lipat kalau aku berpura-pura baik.

"Fisya ada jam kuliah sampe sore, Mi," elakku.

"Kakak kamu juga bakalan ikut. Kita kerumah Abi nya malem kok."

"Fisya belum bisa ketemu Abi lagi," kukatakan terang-terangan alasan ku. Aku kembali menolaknya sambil tersenyum tipis kemudian melanjutkan makanku. Ummi tahu seberapa bencinya aku pada pria yang dulu pernah duduk di meja makan ini bersama kami. Pria yang dulu menyuapiku sementara Ummi membuat cemilan penutup.

"Salsya dulu Abi!"

"Fisya duluan ya sayang ... Nanti Abi suapin gantian. Fisya kan masih kecil, makannya masih berantakan," kata Abi.

"Fisya udah gede Abi. Kata siapa Fisya masih kecil. Abi nggak lihat Fisya udah lebih tinggi dari Abi sama Kak Salsya?"

"Masih tinggian Salsya tahu! Kamu kan naik ke kursi," demo Kak Salsya.

"Coba duduk dulu, Sya. Makan itu harus sambil duduk. Nanti jatoh lagi. Dua putri kesayangan Abi pasti tinggi nanti, malah bakal nyaingin Abi tingginya. Kamu harus makan yang banyak biar princess Abi cepet tinggi. Iya, kan?"

Aku menaruh sendok ketika tiba-tiba mengingat semua kejadian itu.

"Fisya udah kenyang, Ummi nggak usah cuci piring. Nanti Fisya cuciin  setelah shalat Isya. Fisya keatas dulu ya." Mendadak rasa sesak itu datang lagi, tidak baik jika aku terus berlama-lama disini, bahkan sebuah meja makan pun masih menyinpan kenangan bersama Abi.

Kadang ingatan masalalu itu selalu muncul seperti film yang di putar ulang. Aku pun naik ke atas dan mengambil wudhu kemudian menenangkan sejenak pikiranku dengan sembahyang isya.

Kudapati handphoneku yang menyala diatas tempat tidur. Rupanya Rachel mengirimku pesan di WhatsApp. Dia bahkan mengulang pesan yang sama dalam tiga kali karena aku tidak kunjung membalasnya. Sisanya pesan dari Jidan dan percakapan di grup.

1 Message from,

Rachel :
"Cek grup angkatan, tranding topik nya lagi seru."

Nafisya :
"Fisya lagi gak mood bahas apapun."

Rachel :
"Ini tranding topik yang lagi banyak diomongin anak-anak:
1# Pak Alif berstatus lajang.
2# Pak Alif berumur 29 tahun.
Gila kan tuh dosen, umurnya nipu banget!"

Rachel:
"Gak nyangka udah tua masih ganteng. Cool lagi. Gue aja yang tampan mendeklarasikan ketampanan dosen satu itu."

Nafisya:
"Umur nggak menjamin kedewasaan kali, Hel."

Rachel :
"Dewasa hahaha ... Kata yang bermakna jamak, kamu lagi banyak masalah ya?"

Nafisya :
"Otak kamu yang kelewat dewasa. Bersihin tuh pake larutan desinfektan di lab besok. Hidup kalo tanpa masalah monoton, kan?"

Rachel :
"Iya, tapi hidup penuh masalah stres woy!"

Nafisya :
"Itu gimana kita ngejalaninnya, mungkin kamu stres karena ngejalaininya sendirian."

Rachel :
"Kamu kan enak punya pria dari mars itu jadi ngerasa tenang ngadepin masalah apapun, right?.."

Nafisya :
"No, 'cause I have Allah. Seseorang pernah bilang sama Fisya kalau tanda kecintaan Allah pada hambanya adalah dengan Dia mengujinya. Jangan terlalu membenci suatu masalah."

Sementara menunggu balasan dari Rachel. Aku membuka jendela lebar karena Jidan kembali melempari kamarku dengan krikil. Pria itu tidak pernah ada bosannya. Ketika Jidan akan berbicara aku sudah melarangnya lebih dulu.

"Sssttt! Fisya mau bicara penting!" kataku.

"Yang aku lebih penting, Sya!" katanya. Aku menyelanya lagi.

"Pokonya ini lebih penting. Ini menyangkut keberlangsungan hidup suatu makhluk di muka bumi!" kataku over.

"Korban film dasar! Ya udah, ayo bilang ada apa?" tanya Jidan. Aku mengawasi pintu kamarku was-was.

"Idan ..." kataku sambil memasang tangan di dekat mulut dan berbicara pelan-pelan.

"Jangan bisik-bisik! Gak kedengeran, Sya!" teriaknya. Dasar, tidak bisa diajak kompromi sama sekali.

"Ini penting banget. Nggak boleh sampe ada yang tau. Rahasia!" kataku sedikit keras. Jidan mengangguk dengan serius.

"Jadi gini Fisya mau bilang kalo ... kalo ... Fisya," dia nampak semakin penasaran dengan apa yang akan kukatakan.

"Kalo Aku mau titip beberapa kaktus dirumah pohon, boleh ya?" tanyaku tersenyum seramah mungkin agar dia mengijinkannya. Jidan melepaskan sandalnya dan hampir melemparnya ke arahku.

"Mau apa yang kena? Wajah? Kepala? Dasar kamu ya! Usil banget sih. Orang udah serius juga," katanya kesal. Aku tertawa puas melihat ekspresi kesalnya.

"Hehehehe ... Ummi bilang kaktusnya udah kebanyakan di teras. Boleh ya? Kan Idan dari kecil selalu ngalah buat Fisya, masa sekarang nggak mau sih," bujukku.

"Boleh, biaya sewa lima ribu per jam ya?" Aku memasang wajah datar dan hendak menutup jendela lagi. Dia kira warnet kali lima ribu per jam.

"Bercanda Sya ... elah ngambek. Bebas kok, mau dibikin green house sekalian juga silakan," katanya cepat agar aku tidak menutup jendela itu. Aku tersenyum puas penuh kemenangan.

"Nah gitu dong, baru namanya Jidan. Oke, nanti aku pindahin hari minggu. Makasih ya, ya udah assalamualaikum," katakku sambil segera menutup jendelanya rapat-rapat.

"Waalaik—bentar. Nafisya aku belum ngomong!" teriaknya melengking.

____________

Gemes mana? Alif-Fisya, apa Jidan-Fisya? Makasih udah baca sampai part ini. Mari berkabar di kolom komentar.


Jazakumullah khairan katsira.

Jadikan Al-Quran sebagai bacaan utama.

Continue Reading

You'll Also Like

4.4M 547K 50
Hawa terlahir dari rahim seorang Ibu, yang berstatus sebagai istri kedua. Karena kutukan dari istri pertama sang Ayah, kelima kakaknya meninggal dun...
732K 43.6K 52
Kehadiran sosok baru dalam kehidupan Zahra menyadarkan perempuan itu bahwa hidup harus melangkah ke depan, bukan diam di tempat dan menoleh ke belaka...
7.4M 248K 11
Asia itu air dan Arhab itu batu. Sekalinya disatukan pasti akan bertubrukan. Menjadi tetangga sekaligus musuh sejak kecil membuat Asia tidak ingin d...
1.4M 27.6K 10
Naira tak bisa menolak pesona yang diberikan laki-laki itu. Segala yang ada padanya begitu sempurna menurut Naira. Siapa sangka 9 tahun Naira memenda...