[4] My Lady [SUDAH DITERBITKA...

By precious_unicorn91

17.7M 487K 61.4K

[CERITA SUDAH TERSEDIA DALAM BENTUK BUKU SEHINGGA SEBAGIAN BESAR BAB SUDAH DIHAPUS] Altair Julio Devan, lelak... More

PENGUMUMAN PENTING!!! HARAP DIBACA
1. All By Myself
3. Unrequited Love
4. Feisty Girl
5. His Smile
6. Untittled
7. Not So Perfect Man
Repost part 1-7
8. Between The Two
9. Gone not Around Any Longer
10. Aeris - Her Sadness
11. Seika - Her Loneliness
12. Devan - His Anger
13. Found You
14. Treat Me Right
Re-post part 8-14
15. Fear
16. New Assistant
17. If Only
18. Touch part 1
19. Touch part 2
20. Regret
22. Say It
23. Their Anxiety
24. Win His Heart
25. Missing You
26. The Choice is Yours (I)
27. The Choice is Yours (II)
28. Family or Lover? (I)
29. Family or Lover? (II)
30. Can't Breathe Easy
31. Nothing Hurts Like Love
32. Patience
33. Chance
34. Rejection
35. Try harder
36. Only You (I)
37. Only You (II)
38. Happy Ending???
39. I Love You
40. Special Woman
41. Will You Be My Lady
42. Call Me Baby (End)
Kesan-Kesan
Bonus Story - 3.6.5
Bonus Story - Baby
Bonus Story - Lucky
Bonus Story - XOXO
F.A.Q
Sneak Peek Novel My Lady
Sneek Peek 2 Novel My Lady
PO My Lady 2, LOTB 2, dan LMR
PEMESANAN BUKU DAN PUBLISH CERITA BARU

2. She

543K 11.5K 664
By precious_unicorn91

Devan POV

Ketukan pelan di pintu ruang kerja membuatku teralihkan dari grafik warna warni yang ada di layar laptopku. Asistenku, Karina, masuk ke dalam ruangan dengan senyuman genit menghiasi wajahnya. Aku kembali hanya bisa menghela napas melihat pakaiannya hari ini. Lagi-lagi dia menggunakan rok yang terlalu pendek dan blouse tanpa lengan yang ketat sehingga memperlihatkan setiap lekuk tubuhnya. Aku sudah berulang kali menegurnya untuk berpakaian lebih sopan tapi tidak pernah dia dengarkan.

"Permisi, Mas. Ibu Demi bertanya apa Mas Devan sedang sibuk atau tidak"

"Memangnya ada apa?" tanyaku bingung. Kenapa Mama tidak meneleponku langsung?

"Saya juga kurang tahu. Ibu Demi hanya bertanya seperti itu"

"Biar saya yang telepon beliau"

"Baik, Mas" katanya tersenyum manis dan berbalik badan untuk keluar dari ruangan.

"Karin" panggilku yang membuatnya berbalik badan dengan wajah berseri-seri. "Mulai besok pakai celana panjang. Kalau kamu masih menggunakan pakaian seperti ini, saya akan memindahkanmu ke pabrik saja. Menjadi asisten Pak Adrian. Dia sedang butuh asisten"

Wajah berseri-seri Karin pun berganti dengan ekspresi cemberut. Kalau tidak diancam begini, dia tidak akan pernah mau mendengarkanku. Aku tahu bagaimana dia benci dengan Manager Pabrik, Pak Adrian, yang sangat centil itu. Makanya aku menggunakan itu untuk membuatnya menuruti perkataanku.

"Baik, Pak" jawabnya dengan lemah. "Saya permisi dulu"

"Ya"

Setelah dia keluar ruangan, aku pun segera menghubungi Mama. Pasti ada sesuatu hal penting yang membuatnya mencariku atau mungkin mengenai acara Kak Ares nanti malam.

"Halo" jawab seorang wanita bersuara merdu di sebrang. Siapa lagi kalau bukan Mama.

"Ma, ada apa? Kata Karin Mama mencariku"

"Kamu sibuk?"

"Kenapa?"

"Mama mau mengenalkan kamu dengan seseorang" kata Mama terdengar girang.

Oh my God, not this again

"Sampai kapan Mama mau terus menyodorkan wanita padaku? Aku sudah bilang aku tidak ingin menjalin hubungan dengan siapapun saat ini" kataku sambil mengacak rambut belakangku frustasi.

"Pede sekali kamu. Ini bukan buat kamu. Mama mau mengenalkan kamu Manager HRD baru. Yang menggantikan Pak Shaleh. Kebetulan dia anak teman SMA Mama dulu" kata Mama setengah menahan tawanya. "Makan siang bareng gimana?"

"Bertiga?" Aku sebenarnya malas kalau hanya kami bertiga, karena Mama pasti akan mulai mencomblangi kami walaupun dia bilang hanya ingin mengenalkan anak temannya.

"Ya nggaklah" Aku menghela napas lega. "Sekantor" lanjut Mama sambil tertawa puas.

Mama masih saja suka bercanda walaupun sudah berumur seperti sekarang.

"Aku serius, Ma"

"Iya, bertiga aja. Papa kamu ada lunch sama klien"

"Mama ga nemenin? Biasanya ngikutin Papa kemana pun" Ya, Mama sangat posesif. Dia seperti buntut yang mengekori Papa kemanapun.

"Ga deh. Mama lebih tertarik ngenalin Athifa sama kamu"

Athifa? Namanya islami sekali. Jangan-jangan karena sifatku yang lempeng ini akhirnya Mama memutuskan mencari wanita yang juga kalem sepertiku. Tapi apalah arti sebuah nama kan? Belum tentu namanya sesuai dengan pribadinya.

"Oke, Ma"

***

"Dev, ini anaknya Tante Erli. Athifa Farihan lengkapnya" kata Mama sambil memegang bahu wanita yang baru saja datang ke restoran tempatku dan Mama menunggu sejak tadi.

Wanita cantik itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum manis. Aku pun menyambut uluran tangannya dan tersenyum kecil.

"Irit banget senyum kamu, Dev" kata Mama sambil menggeleng. "Duduk, Tif"

"Iya, Tante" Athifa duduk dengan anggun. Beda sekali dengan Mama yang grasak grusuk.

"Ini menunya. Kamu pilih aja yang kamu mau. Kami sudah memesan duluan tadi"

"Makasih, Tan" jawab Athifa dengan lemah lembut.

Aku memperhatikan Athifa dengan seksama. Dia sedang menunduk membaca menu dihadapannya. Rambutnya hitam bergelombang sampai bahu. Sorot matanya sangat teduh dan senyumnya membuat siapapun melihatnya merasa tenang. Wajahnya agak bulat namun tidak membuatnya terlihat gendut. Tubuhnya cukup tinggi dan berisi dengan kulit kecoklatan yang membuatnya semakin menarik. Cara dia berpakaian pun sangat anggun. Tertutup namun tetap bisa memperlihatkan kecantikannya.

Sudah lama aku tidak bertemu dengan tipe wanita seperti ini. Karena biasanya yang mendekatiku adalah tipe wanita yang agresif dengan dandanan mencolok. Yang melihatnya sebentar saja sudah membuatku lelah, namun melihat wanita dihadapanku ini entah kenapa aku merasakan ketenangan. Bukannya aku jatuh cinta pada dia, hanya saja dia mengeluarkan aura yang membuat orang disekitarnya nyaman.

Athifa memesan makanan pilihannya pada seorang waiter. Dari caranya berbicara saja orang akan langsung tahu kalau dia berpendidikan tinggi dan memiliki manner yang sangat baik. Tanpa sadar aku melihatinya sejak tadi tanpa berkedip, hingga aku melihat senyuman Mama dari sudut mataku. Senyuman penuh artinya yang diberikannya padaku.

Aku pun mengalihkan pandanganku ke penjuru restoran agar Athifa tidak menyadari diriku yang menatapnya sejak tadi.

"Ceritakan tentang dirimu. Tante terakhir ketemu kamu kan waktu kamu baru masuk SMA. Tidak terasa ya, sekarang sudah dewasa seperti ini. Semakin cantik lagi"

Mama ngegombal.

"Biasa saja kok, Tan" jawab Athifa tersenyum malu.

"Sebelumnya kamu kerja dimana? Katanya kamu sudah jadi Senior Manager di sana, kenapa keluar? Sayang sekali"

Senior Manager? Dia terlihat masih sangat muda tapi sudah menduduki jabatan setinggi itu. Kalau dia sampai resign berarti itu bukanlah perusahaan keluarganya –yah, kita tahu sendiri bagaimana nepotisme terjadi dimana-mana. Jadi kalau begitu dia memang wanita cerdas.

"Ada suatu hal yang membuat saya tidak cocok bekerja di sana lebih lama, Tan" jawabnya singkat. Sepertinya dia tidak mau menceritakan lebih detil alasannya keluar tapi bukan Mama namanya kalau membiarkan buruannya lepas begitu saja. Mama pasti akan meyudutkan Athifa hingga dia mau bercerita.

"Suatu hal atau suatu manusia?" tembak Mama.

Benar  kan?

"Ehm" Athifa kebingungan harus menjawab apa. Mama masih menunggunya menjawab dengan penasaran.

"Ngambil kuliah jurusan apa dulu?" tanyaku mencoba mengalihkan topik.

"Manajemen keuangan, Mas" jawabnya pelan.

"Tif, jangan manggil Devan dengan sebutan Mas. Dia itu lebih muda dari kamu"

Athifa terlihat terkejut dan mukanya pun merona. "Ma ... maaf, aku kira ... "

"Nggak apa-apa. Mas bukan panggilan untuk yang lebih tua aja kok. Ga masalah" kataku cepat agar dia tidak merasa tidak enak padaku. "Aku juga kenal wanita yang memanggil suaminya yang lebih tua hanya dengan namanya saja. Jadi ga masalah" kataku sambil melirik Mama dan tersenyum kecil. Mama balas melihatku sambil mendelik.

Aku memang sedang menyindir Mama. Padahal sudah jelas Papa jauh lebih tua darinya, tapi Mama selama ini selalu memanggilnya dengan nama atau panggilan sayang. Athifa tersenyum kecil.

"Apa aku perlu manggil, Kak? Atau Mbak?"

Athifa menggeleng kecil "Panggil Tifa saja"

"Oh, Oke"

Kami pun melalui makan siang dengan mengobrol lebih jauh mengenai banyak hal dan terutama tentang dirinya. Mama menanyakan segala halnya mengenai Tifa. Seakan-akan mama sedang membuat biografi mengenai Tifa saat ini. Untungnya Tifa sabar menjawabnya satu per satu. Sebenarnya yang lebih ingin mengetahui mengenai Tifa aku atau Mama ya? Tapi tidak apa-apa, aku juga jadi tahu setidaknya mengenai Tifa tanpa perlu repot-repot bertanya.

Setelah jam makan siang berakhir, aku dan Mama pun kembali ke kantor sedangkan Tifa pulang karena dia baru akan mulai bekerja hari Senin mendatang. Selama aku menyetir, Mama terus melihatku sambil tersenyum aneh.

"Apa?" tanyaku yang sudah tidak tahan

"Bagaimana?"

"Apanya?"

"Kamu pintar kan? Harusnya mengerti maksud Mama"

"Lumayan. Jauh lebih mending dibandingkan wanita-wanita yang selama ini Mama kenalkan"

Senyum Mama semakin melebar mendengar jawabanku.

"Tapi ... ini Cuma kekagumanku saja. Pendirianku masih sama. Aku tidak mau terikat saat ini"

Senyum Mama pun memudar digantikan ekspresi kecewanya. "Payah kamu, Dev. Dimana lagi bisa ketemu cewe seperti Athifah. Kamu ngubek-ubek Jakarta ini juga belum tentu nemu"

"Memang"

"Lalu apalagi?"

"Kasih aku waktu, Ma. Aku benar-benar belum siap saat ini. Aku masih ingin menikmati kehidupanku yang seperti ini"

"Dev, umur kita itu ga ada yang tahu. Apalagi kamu juga sudah cukup umur untuk berumah tangga. Udah mapan juga. Kalau bisa secepatnya kenapa tidak. Mama memang terkesan memaksa kamu –mirip sama Opa kamu dulu waktu maksa Mama untuk menikah- tapi ini buat kebaikan kamu juga. Jaman rusak kaya sekarang, pergaulan bebas dimana-mana. Mama Cuma ingin kamu terhindar dari itu semua. Lagipula berumah tangga itu ibadah loh. Kamu juga akan lebih tenang dan bahagia. Yakin deh"

"Iya, aku tahu. Tapi aku belum siap"

Mama menghela napasnya pasrah. "Ya sudah. Kalau kamu memang belum siap. Mama tidak mengerti apa yang buat kamu begitu takut untuk berkomitmen. Mungkin ada kejadian di masa lalu yang bikin kamu trauma atau bagaimana. Kamu tidak pernah cerita sama Mama. Kamu bisa menceritakan segala halnya pada Mama tapi tidak untuk urusan satu ini. Kamu selalu tertutup"

"Maaf ya, Ma. Aku Cuma tidak mau menambah pikiran Mama. Aku bisa mengatasinya sendiri"

"Beban akan lebih ringan kalau dibagi. Seandainya Mama tidak bisa meringankannya, setidaknya carilah orang yang bisa membantumu, Dev. Bisa saudaramu, temanmu, atau siapapun. Jangan memendam semuanya sendiri. Lama-lama kamu bisa gila"

"Iya, Mamaku yang cantik" kataku sambil tersenyum lebar melihat wanita yang paling kusayangi di dunia ini. Wanita satu-satunya yang selalu kudengarkan ucapannya.

"Nah, kalau kamu senyum begitu kan cakep. Jangan manyun mulu. Asem banget liatnya"

Aku pun tertawa mendengarnya. Memang Mamaku ini tiada duanya. Pantas saja Papa tidak pernah bosan dengannya. Karena dia memang wanita yang sangat menyenangkan dan lucu.

***

Athifa POV

"Jadi, bagaimana? Apakah anak Tante Demi itu baik?" tanya Ibu di telepon saat aku dalam perjalanan pulang dari restoran setelah makan siang bersama teman SMA Ibu dan anaknya.

Aku tersenyum mengingat pertemuan tadi. "Baik, Bu. Seperti yang Tante Demi bilang, Devan sangat sopan dan baik walaupun dia terlihat agak angkuh dan jarang tersenyum"

"Oh, baguslah. Tidak penting sering tersenyum tapi kelakuannya buruk. Selama hatinya baik, Ibu yakin perlahan dia akan memperlihatkan kehangatannya"

"Ih, Ibu apa sih? Kan belum tentu Devan suka sama Tifa" jawabku malu. Mukaku terasa menghangat saat ini. Aku jadi kembali membayangkan Devan. Dia sangat tampan, jujur aku baru kali ini melihat lelaki setampan dia. Tapi bukan itu yang menarik perhatianku untuk mengenalnya lebih jauh, sifatnya yang sangat tenang dan sedikit tertutup membuatku penasaran.

Tante Demi bilang, seumur hidupnya Devan belum pernah menyukai wanita dan tidak ada yang tahu apa alasannya. Padahal dia nyaris sempurna, tapi tidak pernah sekalipun dia menunjukkan ketertarikan pada wanita. Aku pikir tadinya, mungkin Devan gay tapi setelah bertemu langsung aku yakin dia normal. Aku bisa merasakannya. Hanya saja kenapa dia tidak suka wanita ya? Kalau lelaki lain dengan ketampanan dan kemapanan seperti dia, sudah bisa dipastikan memiliki wanita dimana-mana. Tapi aku pun bersyukur, Devan bukan lelaki seperti itu.

"Ya lambat laun bisa saja kalian saling suka. Apalagi kamu bekerja di bawah kepimpinan dia, kalian akan sering bertemu kan"

"Tifa mau konsen ke karir dulu, Bu"

"Sampai kapan? Kamu tahun ini sudah berusia 28 tahun. Ibu ingin secepatnya menimang cucu, Tifa. Kamu ga kasihan sama Ibu yang sudah tua ini. Bisa saja besok Ibu sudah tidak ada kan"

"Astagfirullah Bu, jangan bicara begitu. Ibu sehat-sehat aja kok" kataku terkejut

"Kematian siapa yang tahu, Sayang. Itu semua sudah suratan takdir. Jadi, Ibu mohon sama kamu. Cobalah untuk mengenal Devan lebih jauh. Mana tahu kalian cocok"

"Baiklah, Bu. Demi Ibu aku akan melakukan apapun"

"Terima kasih, Sayang"

***

Devan POV

Aku sampai di rumah Om Athan sekitar jam 7. Keluarga besar Valdini sudah hampir lengkap saat ini. Om Athan dan Tante Intan sang pemilik rumah terlihat sangat senang keluarganya bisa datang untuk menyambut calon mantu mereka itu.

Aku akan mengenalkan keluarga besar Mama ini, keluarga Valdini. Opa Benno dan Oma Connie yang sudah berumur hampir 80an namun masih terlihat sehat dan selalu mesra. Dari mereka mungkin penyebab kedua orang tuaku seperti sekarang ini, mesra dimanapun mereka berada.

Kemudian anak pertama mereka, Om Athan yang menikah dengan Tante Intan dan dikaruniai dua anak. Kak Ares yang sekarang berumur 29 tahun dan Luna yang setahun lebih tua dariku. Kak Ares membantu Om Athan mengurus perusahaan Opa yang ada di Jepang. Menggantikan posisi Papanya yang pindah ke Jakarta setelah Opa pensiun. Sedangkan Luna bekerja sebagai pimpinan editor di salah satu majalah terkenal di Jakarta.

Anak kedua, Tante Ema dan suaminya Om Satria, yang merupakan sepupunya. Memiliki dua anak perempuan, Xandra yang seumuranku dan Callia yang seumuran Rion. Dua tahun yang lalu mereka berempat pindah ke Jakarta dari Hongkong setelah Om Satria menemukan orang kepercayaan yang bisa mengurus perusahaannya di sana. Selain itu, Tante Ema ingin dekat dengan Opa dan Oma yang sudah semakin menua. Xandra membantu Kak Ares di perusahaan Opa sebagai Manager Finance sedangkan Callia kuliah di Universitas yang sama dengan Rion. Callia memang sejak dulu selalu mengekori Rion kemana pun. Semua juga tahu kalau Callia menyukai adikku yang bengal itu.

Lalu keluargaku. Mama anak paling kecil tapi juga yang paling pemberontak. Setiap mendengar cerita Opa bagaimana Mama dulu, aku tidak percaya kalau Mama bisa melakukan hal-hal seperti itu. Karena bagiku, Mama adalah sosok perempuan yang sempurna. Pintar mengurus rumah dan anak, sangat menyayangi keluarganya, cakap dalam bekerja, dan sangat lembut juga penuh kasih sayang. Siapa yang akan mengira kalau masa mudanya dulu dia sempat terjerumus ke dunia hitam? Aku rasa tidak akan ada yang percaya.

Mama dan Papa memiliki 4 anak. Aku yang tertua, kemudian Livie, Rion dan Dee. Kami semua hanya berbeda dua tahun dari satu sama lain. Livie sekarang mengambil pendidikan kedokteran, Rion –entah apa yang dikerjakannya-, dan Dee kuliah di jurusan Hukum dan saat ini sudah memasuki semester 4. Keluargaku lah yang paling banyak dan juga ramai. Apalagi Rion dan Dee. Kalau sudah bicara, tidak akan pernah berhenti.

"Hai, Dev. Apa kabar?" tanya Om Satria sambil menepuk bahuku saat aku duduk di sebelahnya.

"Baik, Om" jawabku sambil tersenyum kecil. Sebenarnya aku sedang tidak dalam mood yang baik hari ini. Semua karena masalah di kantor yang cukup menguras tenaga dan emosi. Namun, karena ini adalah acara keluarga besar Mama aku mau tidak mau harus hadir. Walaupun sebenarnya kalau bisa, aku lebih memilih berada di apartemenku dan beristirahat.

"Kata Mamamu, kamu sudah bisa menggantikan Papamu ya? Om dengar para rekanan perusahaan kamu semua memuji hasil kerjamu. Kamu sama hebatnya ya dengan Papamu itu"

"Tentu saja. Devan kan anak kesayangan orang tuanya" kata Om Athan menimpali.

"Bukan kok, Om. Papa dan Mama ga pernah membeda-bedakan kami. Semuanya kesayangan mereka" kataku jujur. Kedua orang tuaku memang tidak pernah memilih satu dari kami berempat sebagai anak kesayangan mereka. Mereka menyanyangi kami sama rata.

"Ah, itu Ares! Akhirnya dia datang" kata Om Athan sambil berdiri dari sofa dan menyambut anak lelaki satu-satunya itu.

Kak Ares yang memiliki ketampanan seperti Om Athan tampak semakin dewasa saat ini. Terakhir kali aku melihatnya adalah dua tahun yang lalu. Saat itu dia masih belum fokus bekerja pada Papanya dan masih sering bermain-main wanita. Siapa yang tidak kenal Ares Valdini. Pemuda tampan yang didambakan para wanita di Jepang sana. Walaupun dia berwajah sangat Indonesia, tapi tetap saja wanita-wanita di Jepang sana menyukainya. Karena dia sangat pintar merebut hati para wanita dengan pesona, perhatian, dan kelembutannya.

Sifat lelaki yang sulit ditemukan di Jepang, dimana di Negara itu lelaki seperti acuh tak acuh dengan wanita. Harus wanita lah yang berjuang untuk mendapatkan seorang lelaki yang dia sukai. Oleh karena itu, tidak terhitung banyaknya wanita yang pernah dia kencani selama 29 tahun kehidupannya. Aku sangat tahu semua perangai buruknya itu, karena dia selalu membanggakannya padaku. Untung saja kedua orang tuanya tidak tahu, kalau tidak entah apa yang akan mereka lakukan.

Kedua orang tua Kak Ares memeluk erat anak mereka itu dengan bahagia. Bagi mereka pun sudah lama Kak Ares tidak pulang. Dia sibuk mengurus perusahaannya yang baru dipimpinnya. Di saat melihat acara temu kangen Kak Ares dengan keluarga, aku pun menyadari seorang wanita cantik berparas khas Jepang berdiri di belakangnya. Diam tanpa banyak bicara. Dia sepertinya bingung harus bersikap seperti apa.

Wanita itu memiliki kulit yang sangat putih hingga terlihat seperti mayat. Rambutnya berwarna coklat tua sepunggung yang sangat lurus dan halus. Mukanya lonjong dan tirus dengan mata yang bulat –biasanya oplas- hidung mancung dan bibir merah tipis. Wajahnya ditutupi make-up yang cukup tebal.  Dari caranya berpakaian, dia sepertinya sangat feminim. Dengan gaun bercorak floral yang hanya sampai lutut, menempel pas ditubuh tinggi langsingnya. Kakinya dihiasi sepatu high heels yang aku rasa mencapai 10 cm. Overall, dia oke. Kenapa aku jadi menilai calon istri orang?

"Res, kenalin donk calon istrinya" kata Mama yang sepertinya juga menyadari wanita itu yang seakan-akan tidak terlihat oleh keluargaku yang lain.

"Oh, iya. Kemarilah" panggil Kak Ares pada wanita itu. Wanita itu pun berjalan mendekati Kak Ares dengan kepala menunduk. "Namanya Seika Takahashi. Ayahnya Jepang dan ibunya Indonesia"

"Dia bisa bahasa Indonesia?" tanya Dee yang memperhatikan calon istri Ares dari kejauhan.

"Bisa. Sangat fasih" jawab Kak Ares tersenyum. "Seika. Bicaralah sesuatu, jangan menatap lantai terus. Lantai itu tidak akan kemana-mana"

Keluargaku yang lain pun tersenyum geli mendengar ucapan Ares. Tapi Seika masih diam tak bergerak. Segugup itukah dia?

"Seika" panggil Kak Ares lagi.

"Ano ... hajimemashite ... watashi wa Seika desu ... yoroshiku onegai shimasu"

Kami terdiam sebentar dan kemudian tertawa kecil melihat kegugupan Seika. Dia sampai memperkenalkan dirinya dalam bahasa Jepang. Padahal dia terlihat sangat dewasa namun kenyataannya dia sangat polos seperti anak kecil.

"Seika, gunakan bahasa Indonesia. Kenapa di sini kamu malah bicara bahasa Jepang padahal biasanya di Jepang saja kamu selalu berbahasa Indonesia"

Seika mengangkat kepalanya dan menyengir salah tingkah pada Ares. "Gomen-ne, Ares"

"Daijoubu, Seika" jawab Ares mengacak rambut Seika gemas. Aku yakin sekali melihat semburat merah di pipi Seika sekilah hanya dengan perlakuan Kak Ares yang sangat biasa itu.

Hem, wanita ini pastinya tergila-gila pada Kak Ares dan mungkin juga Kak Ares. Kalau tidak mana mungkin dia mau menikahi wanita ini. Walaupun aku merasa, Seika berbeda dengan tipe kesukaan Kak Ares selama ini. Aku sangat tahu kalau sepupuku itu hanya tertarik dengan wanita seksi tipe penggoda tapi ternyata dia memilih wanita yang polos dan imut seperti Seika. Selera orang bisa saja berubah kan.

Mataku dan Seika pun bertemu. Aku yang sudah lelah bahkan tidak bisa memberikan senyuman tipis sekalipun, akhirnya aku hanya melihatinya dengan tatapan datar. Seika pun dengan cepat mengalihkan pandangannya ke yang lain. Dia pasti berpikir aku menyeramkan. Ah, sudahlah.

***

Seika POV

Perutku melilit sejak tadi, degup jantungku pun tidak bisa kembali normal padahal sudah sejam berlalu. Kenapa aku begitu tidak nyaman di keluarga calon suamiku? Aku sudah berkenalan dengan Om Athan dan Tante Intan sejak dua tahun lalu tapi tetap saja aku tidak bisa merasa nyaman dengan mereka. Kenapa? Padahal ini adalah keluarga dari pria yang aku cintai.

Pria yang membuatku tidak dapat memandang lelaki lain selama 5 tahun ini. Pria yang berhasil memporak-porandakan hatiku sejak dulu. Apalagi sejak dia memintaku untuk menjadi istrinya. Aku seperti bermimpi, aku akhirnya bisa menjadikan Ares milikku selamanya. Namun, sebelum itu, aku harus bisa berbaur dengan keluarga besar Papanya. Karena tanpa restu dari keluarga Ares, aku tidak akan bisa menjadi istrinya.

Gigiku rasanya sudah sangat kering karena sedari tadi tersenyum. Aku tidak ingin terlihat jutek atau tidak sopan saat ini. Aku bahkan menjawab semua pertanyaan yang diberikan tanpa protes apapun. Bahkan pertanyaan aneh sekalipun.

"Seika, hebat juga ya lo. BIsa menaklukkan serigala berbulu domba itu. Rahasianya apa?" tanya lelaki muda yang bernama Rion. Dia adik sepupu Ares yang katanya sangat nakal dan semaunya.

"Rion, dia jauh lebih tua dari kamu. Panggil Kak" kata Tante Demi yang adalah Mamanya.

Aku sudah menghapal seluruh keluarga Ares sebelum datang ke Indonesia. Aku tidak ingin memberikan impresi yang jelek karena salah mengenal keluarga Ares.

"Sama ajalah" gumam Rion sambil memutar bola matanya

"Sama gimana? Seika itu sudah 30 tahun. Hampir 10 tahun di atas kamu, yang sopan donk" sambung Tante Demi. Aku pun menunduk malu karena Tante Demi menyebut umurku terang-terangan. Aku memang sudah 30 tahun, jauh lebih tua dari Ares ataupun sepupu Ares yang ada di sini

"Sudah, kalian berdua itu bertengkar terus" potong Om Athan sambil menggelengkan kepala melihat Tante Demi dan Rion. "Mak sama anaknya sama aja"

"Revan, coba ditatar dulu istri dan anaknya" kata Om Satria sambil tertawa geli.

Om Revan, yang aku rasa lelaki berumur yang paling tampan di rumah ini, hanya tersenyum kecil. Keluarga anak bungsu Om Athan sejak tadi yang paling ramai berbicara. Terutama Tante Demi, Rion dan adiknya Dee. Aku rasa tanpa mereka suasana saat ini akan sangat suram karena yang lain lebih banyak diam. Keluarga Tante Ema hanya diam mendengarkan pembicaraan orang lain, Om Satria yang lebih bersuara dibanding istri dan anak-anaknya.

Luna, adik Ares sedari tadi sibuk menelepon. Dia memang pimpinan editor majalah, sehingga di luar jam kerja pun dia masih mengurusi pekerjaannya. Aku kurang bisa dekat dengan Luna karena dia sangat sibuk dan agak sulit didekati. Walaupun aku sudah mencoba selama setahun ini untuk berteman dengannya, tapi dia seperti enggan. Padahal aku pikir aku bisa bersahabat dengan satu-satunya adik Ares.

Mataku pun kembali bersibobok dengan pemuda tertampan yang ada di rumah ini atau bahkan tertampan yang pernah aku liat. Idola Jepang pun tidak bisa dibandingkan dengannya. Kalau tidak salah namanya Devan. Anak tertua Tante Demi dan Om Revan. Devan pemuda yang pendiam. Sejak tadi dia tidak banyak bicara, hanya bersuara kalau ditanya. Selain itu tatapannya sangat mengerikan. Seperti saat ini, dia menatapku dengan tajam. Seakan-akan aku punya salah dengannya.

Dia juga terlihat angkuh dan dingin. Devan mirip lelaki di Jepang sana. Yang selalu cool dan tidak romantis. Aku yakin Devan pun seperti itu. Sayang sekali padahal wajahnya tampan.

"Seika sekarang kerja?" tanya Tante Ema dengan lembut

"Ehm ... dibilang kerja iya tapi ... eng gimana ya"

"Seika penulis manga" jawab Ares dengan cepat. "Karyanya Seika cukup laris di pasaran"

"Hah, Kak Seika penulis komik? Serius? Komik apa kak?" tanya Dee dengan mata berbinar

"Si bocah, udah kuliah masih baca komik juga" Rion mengejek adiknya yang tidak peduli dengan komentarnya.

"Genreku biasanya shoujo atau josei. Kamu suka baca manga, Dee?" tanyaku bersemangat.

"Ah, aku juga suka bacanya itu. Manga kakak ada yang masuk Indonesia? Judulnya apa? Mana tahu aku pernah baca"

"Eh tolong ya, roaming nih yang lain" potong Rion sebelum Dee berbicara lagi. "Shoujo apaan? Josei apaan?"

"Shoujo itu komik yang biasanya buat cewe dibawah 19 tahun, sedangkan Josei buat yang lebih dewasa" kata Dee dengan cepat menjelaskan perbedaan dua genre manga. Dee memang benar-benar menyukai manga. Sepertinya aku bisa dekat dengan lebih mudah dengan Dee. Karena kami memiliki hobi yang sama.

"Oh, begitu toh"

"Lo tahunya apa sih, Bang? Kuper banget kayanya" gerutu Dee

"Kalau hentai gue tahu" kata Rion tersenyum lebar.

"Mesum gilak!!!" seru Dee sambil memukul lengan kakaknya itu. Mereka berdua lucu sekali.

"Duh, di keluarga kamu ga ada yang anteng ya, Rev" kata Om Athan sambil menggelengkan kepala melihat kelakuan keponakannya. "Ricuh kalau sudah ada kalian"

"Jadi ga suka nih. Ya udah. Pasukan, ayo kita pulang" kata Tante Demi berpura-pura marah.

"Bercanda, Dek. Kamu gitu saja ngambek"

"Pa, malam ini aku dan Seika tidur di hotel saja ya" kata Ares tiba-tiba.

Keluarganya yang lain menatapnya terkejut. "Mau ngapain lo kak? Ke hotel sagala?" tanya Rion tersenyum miring.

"Jangan mikir aneh-aneh. Kami pisah kamar kok"

Ares bohong. Mana mungkin kamar kami berbeda. Sudah bisa dipastikan malam ini dia akan membuatku terjaga hingga subuh. Aku sudah tahu kebiasaannya itu.

"Kenapa tidak di sini saja?" tanya Tante Intan kecewa.

"Seika sungkan di sini. Mungkin nanti saja. Dia kan masih lama di Jakarta"

"Ng ... aku tidak apa-apa kok" bisikku di telinga Ares tapi sepertinya dia tidak memperdulikannya.

Aku sebenarnya tidak sungkan. Aku malah ingin tinggal di sini. Ingin mengenal lebih dekat keluarga Ares lagi tapi Ares yang melarang. Katanya takut orang tuanya meracuni pikiranku dengan hal-hal aneh. Padahal aku rasa kedua orang tuanya bukan tipe yang seperti itu. Entahlah, Ares seperti tidak ingin aku terlalu dekat dengan keluarganya dan ini membuatku kecewa dan juga sedih. Di saat kami akan menikah pun dia masih membuat tembok antara kami berdua. Padahal aku berharap dia mau lebih terbuka padaku.

"Besok sebelum aku berangkat kerja, aku akan mengantarnya ke sini. Tidak apa-apa kan?"

"Daripada kamu bolak balik, lebih baik tidur di sini saja" kata Om Athan membujuk Ares. "Seika bisa tidur dengan Luna.

"Kasihan Seika harus berbagi tempat tidur dengan si gendut itu" kata Ares sambil melirik Luna yang berdiri di kejauhan sedang menelepon. "Ga apa-apa. Kami di hotel saja"

"Ya sudah kalau memang Seika masih sungkan. Kami juga tidak mau membuat Seika tidak nyaman" kata Tante Intan lembut. Aku jadi merasa bersalah. Ares membuatku terdengar seperti wanita yang tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan baru. Padahal lingkungan ini yang akan menjadi rumah kedua bagiku nantinya.

Aku pun hanya bisa menunduk dan memainkan jariku. Kebiasaan yang kulakukan saat sedang sedih dan banyak pikiran. Aku kecewa. Sangat. Ares selalu saja mengatur hidupku. Aku tidak bisa membangkang kalau tidak dia akan marah. Aku tidak mau dia sampai marah karena saat  marah dia sangat menyeramkan. Sehingga aku hanya bisa menurut padanya.

Saat aku mengangkat wajahku, mataku kembali bertemu dengan Devan. Kenapa dia melihatku terus sejak tadi? Apa aku seaneh itu ya? Sampai dia terus-terusan melihatku dengan tatapan tajam yang aku tidak mengerti. Biar saja lah. Itu mata dia, terserah dia mau melihat apa. Aku tidak bisa mengatur. Dia bukan siapa-siapaku.

***

Devan POV

Sekali liat saja aku sudah bisa menebak seperti apa hubungan Kak Ares dengan Seika atau Kak Seika? Entah aku harus memanggil dia apa. Kak Ares memang selalu dominan dalam apapun, dia selalu menjadi pemimpin yang harus didengarkan. Aku rasa dalam berhubungan dengan Seika pun begitu. Ares yang memutuskan segalanya dan Seika hanya tinggal mengikuti. Seika hanya bisa diam dan menunduk. Mempasrahkan semuanya pada Ares. Wanita yang malang.

Hal seperti ini yang membuatku berpikir ribuan kali untuk menjalin hubungan. Sikap egois dan menyakiti pasangan sangat tidak ingin aku rasakan. Aku tidak mau menyakiti atau disakiti. Aku tidak salah kan?

TBC

---

Continue Reading

You'll Also Like

2.2K 268 62
---------------------------------------------- This work is protected under the copyright laws of the Republic of Indonesia (Undang-Undang Hak Cipta...
4.5M 219K 44
(TELAH DI BUKUKAN. BISA DI TEMUKAN DI TOKO BUKU KESAYANGAN KALIAN 😊) Sequel Dirty Marriage - Anindana Orang bilang, Pertemuan PERTAMA adalah kebetul...
46.8K 331 4
Setiap malam, Garneta Tambayong selalu suka jalan-jalan sendirian. Entah itu mengelilingi komplek rumahnya, duduk sendirian di Taman, atau hanya seke...
3.1M 229K 29
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...