The Covenant

By VanadiumZoe

38.3K 8.7K 3K

Perjanjian tidak terduga yang ditawarkan Jimin pada Sera pada hari kencan buta, pada akhirnya membawa Jimin p... More

CATATAN PENULIS
INTRO_EGO
1
2
3
WILDFLOWER
1
2
3
4
5
7
8
9
10
AUTUMN NIGHT
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
FOR YOU
1
2
3
4
5
6
LOVE POEM
1
2
3
4
5
6
7
8
TEARS
1
2
3
4
5
DARKSIDE
1
2
3
4
5
6

6

902 175 95
By VanadiumZoe

👑 🐥 👑

🌷🌷🌷

Keesokan paginya, Sera terbangun dengan pening di kepala yang terasa berat, kepalanya berputar sangat cepat dan dia tidak berhasil duduk. Sera termangu, menatap kabur plafon bersih tanpa tujuan, tanpa mengetahui ini hari apa dan jam berapa. Dia mengusap selimut berbahan sangat halus yang menutupi tubuhnya, tidak berniat bangun sampai dia menyadari sesuatu.

Dia tidak ingat kamarnya punya banyak jendela, ada dua sofa santai persis depan ranjang dan tirai jendelanya tidak selembut itu. Ada aroma asing tubuh seseorang yang memenuhi kamar. Terasa menenangkan, seolah-olah Sera berada di hutan pinus di bawah langit musim semi. Ketika dia menoleh ke samping kanan, perasaan terguncang langsung menerjangnya.

Manik mata Sera yang awalnya masih meyesuaikan cahaya, seketika terbuka lebar, meneliti pria yang terlelap di sebelahnya. Sera menghela napas berat, setelah menyadari pria dalam balutan kaos hitam lengan pendek itu adalah Park Jimin.

Sera tidak punya waktu untuk terkejut. Seingatnya; semalam dia duduk di bar, Jimin datang, muntah, lalu Jimin membawanya pulang. Pening di kepalanya mendadak berkurang, sewaktu Sera sadar masih tetap memakai pakaiannya semalam.

Sera turun dari ranjang sepelan mungkin, bergegas mengintip ke balik tirai jendela, memasti kan Jimin tidak membawanya pulang ke rumahnya. Dahan pohon di ujung pandangan sudah cukup membuat Sera yakin, dia sedang berada di apartemen yang pernah ditawarkan Jimin untuk dia tempati bersama ibunya.

Perpaduan bir dan tiga botol soju yang teramat buruk, pelan-pelan Sera mengingat telah menceritakan semuanya pada Jimin, tentang Taehyung juga perasaannya yang tolol kepada pria berengsek itu. Matanya yang perih tidak sanggup lagi mengeluarkan air mata, berpikir yang akan Taehyung lakukan bila dia ketahuan berada di apartemen Jimin.

Seolah semua keburukannya kemarin belum cukup, kini terdengar ketukan dan sapaan dari arah pintu. Sera mendekatkan telinga pada pintu kamar, melirik Jimin masih tidur seperti orang mati.

"Jimin, Sera—! Apa kalian sudah bangun?"

Itu suara Bibi Soohee, pikir Sera, tapi kemudian, kenapa Bibi Soohee tahu aku sedang di sini?

Sera buru-buru kembali ke ranjang tidur, membungkuk, berusaha membangunkan Jimin yang masih tidur telungkup di bawah selimut, tidak bergerak sedikit pun.

"Jimin, bangun!" Sera menepuk bahu Jimin, tapi pria itu tetap tidak bergerak.

"Jimin—Oppa! Jimin, bangun!" Sera menguncang bahu Jimin lebih keras, berusaha terus membangunkan sementara ketukan di pintu belum berhenti.

"Hhmm... kenapa?" Jimin terdengar mengeluh, menekan sebelah matanya yang tertutup, lalu membalikkan badan.

Suara Jimin serak dan rendah, matanya satu masih tertutup, satu terbuka sedikit. Bibirnya bergerak-gerak, agak cemberut, ekspresi wajah bingung karena nyawanya masih setengah tercecer di bawah ranjang.

"Ibu." Sera menunjuk pintu dari atas bahu. "Ada Ibu di luar," tukasnya, cemas.

"Ibunya siapa?" Jimin toleh kanan, toleh kiri, lalu duduk bersandar. Sambil menguap, dia menggaruk kepala belakang sampai rambutnya yang memang sudah berantakan semakin mencuat sana sini.

"Ibumu."

"Kenapa Ibuku ada di sini?" Jimin mengerjap dua kali.

"Aku tidak tahu." Sera mulai jengkel, melihat Jimin cuma menguap dan tak acuh. "Jimin, aku serius. Aku harus jawab apa, kalau Ibu tanya kenapa aku ada di kamarmu. Jangan tidur lagi!"

Sera setengah menarik lengan Jimin supaya pria itu tidak rebahan, tapi Jimin malah balik menariknya. Sera seketika jatuh ke rangkulan Jimin, bertepatan pintu kamar terbuka. Han Soohee berdiri di sana dengan ekspresi terlalu senang.

"Oh, kalian sudah bangun?" Sapa Soohee dengan gembira, tertawa melihat Sera buru-buru mendorong Jimin dan berdiri tegap.

"Ibu bilang juga apa, kalian pasti cocok."

"Bibi Soohee, ini tidak seperti yang Bibi pikirkan." Sera mencoba menjelaskan, melirik Jimin yang cuma menguap, manggut-manggut tidak jelas.

"Tenanglah, Sera. Semalam Ibumu bilang kau menginap di sini, karena Ibu hafal Jimin sulit dibangunkan jadi Ibu ke sini bawa sarapan untuk kalian."

Sera tidak tahu, apa kolerasinya dari Jimin telat bangun dengan sarapan.

"Ibu tunggu di luar, kita sarapan sama-sama. Jangan lama-lama, oke?"

Sera kembali pada Jimin setelah Soohee keluar, meminta jalan keluar tapi Jimin cuma merenggangkan punggung.

"Sekarang bagaimana?" tanya Sera, duduk di pinggir ranjang.

"Apanya yang bagaimana?"

"Jimin, tolonglah, ini akan jadi salah paham yang berkelanjutan."

Jimin menguap lebar sambil menggeliat, mendesah seiring otot lengannya direnggangkan.

"Kau dengar tidak sih?"

Jimin masih sibuk merenggangkan otot leher.

"Oppa!"

"Hhmm...."

Sera berdecak kesal. "Kau sengaja ya, membawaku ke sini supaya semua orang salah paham?"

"Semalam kau mabuk jadi aku bawa ke sini, kau mau tidur di jalan?" Jimin mendengus samar. "Seharusnya setelah kau ditolong seseorang, ucapkan terima kasih."

Sera menatap Jimin sungkan.

"Bar itu tidak aman untuk didatangi perempuan sendirian, kalau mau kesana ajak temanmu atau siapa lah. Atau cari kedai soju dekat jalan raya, kau paham?"

Sera mengangguk, lalu membungkuk singkat. "Terima kasih, maaf merepotkanmu."

"Pikirkan orang-orang yang mengkhawatirkanmu."

"Tidak ada yang peduli padaku."

"Ibumu," kata Jimin, tegas. "Ibumu meneleponku karena kau tidak bisa dihubungi padahal sudah tengah malam, Ibumu mencemaskanmu semalaman. Apa itu tidak cukup?"

Sera tidak berkata apa-apa.

"Ibumu baru bisa istirahat, setelah beliau tahu kau bersamaku."

Jimin beranjak dari ranjang lalu masuk kamar mandi, meninggalkan Sera yang masih kaku di ujung ranjang.

Dia terbiasa mandi sebelum keluar kamar. Butuh 15 menit sampai Jimin berdiri lagi di depan Sera dengan setelan kaos putih lengan pendek dan rambut setengah basah, dia meminta Sera mandi juga sebelum keluar dan bergabung di meja makan dengan ibunya.

"Cari saja baju ganti di lemari," kata Jimin sebelum meninggalkan Sera sendirian di kamar.

🍁🍁🍁

Sepeninggalan Jimin, Sera mencoba menarik napas sampai lebih normal selama sepuluh menit, sebelum melipir ke kamar mandi. Awalnya dia hanya ingin cuci muka, tapi setelah menghidu dirinya sendiri barulah dia sadar kalau ternyata dia sangat bau. Bau muntahan semalam masih tertinggal, Sera mandi dan kemaras.

Dia masuk walk in closet Jimin dan mencari pakaian ganti, memilah-milah di antara deretan baju yang ditumpuk rapi. Sera tidak menyangka, kalau Jimin punya lemari serapi itu.

Pandangannya jatuh pada dress perempuan di rak paling kanan, matanya mendelik setelah sadar satu rak isinya cuma pakaian perempuan lengkap dengan bra dan celana dalam. Sera mengambil satu setel pakaian dalam dan dress yang paling atas, dress putih panjang di atas mata kaki, mirip pakaian tidur jaman kerajaan tempo dulu.

Kalau dilihat-lihat, dress katun motif bunga timbul itu terlalu kecil untuk Luna. Sepanjang dia melihat penampilan Luna di tivi dan majalah, gadis itu tidak mungkin suka gaun yang sedang dia coba.

"Kenapa aku seperti maid tahun 70," gumam Sera, sembari mengeringkan rambut dengan handuk dan menyisirnya asal, lalu buru-buru keluar dari kamar.

"Oh, ternyata baju Niara pas kalau kau pakai, kupikir tidak muat."

Sera berjingkat, tahu-tahu Jimin muncul di depannya dengan sepiring nasi goreng kimchi yang masih hangat.

"Baju ini punya Niara?"

Jimin mengangguk, meminta Sera duduk di meja makan.

"Nia suka menginap, dia lebih suka di kamarku dibanding kamar tamu. Jadi kalau Niara ke sini, aku yang pindah kamar. Mangkanya kamarku rapi, dia suka bersih-bersih termasuk merapikan lemari."

"Ah, pantas lemari bajumu rapi sekali." Sera menyadari sesuatu, sembari melirik nasi goreng di meja yang wanginya memenuhi dapur, dia mengitari pandang kesekeliling ruang.

"Ibumu kemana?"

"Sudah pulang, katanya ada urusan."

"Kok cepat sekali," komentar Sera, sambil mulai makan. Matanya membesar, begitu nasi goreng yang ternyata sangat enak itu masuk ke mulutnya.

"Bukan Ibu yang pergi terlalu cepat, kau saja yang siap-siapnya terlalu lambat."

"Astaga, ternyata aku selamban itu. Maaf—" Sera jadi tidak enak hati, padahal dia makan nasi goreng kimchi yang dibuatkan Soohee.

Jimin minum jus jeruk di gelasnya. "Cepat habiskan makanmu, kuantar kau pulang," tukasnya.

"Kau sudah harus kerja sepagi ini?"

"Ini sudah jam 1 siang, Nona Sera." Jimin menunjuk yang sedang Sera makan, menu berat bila dimakan di pagi hari.

"Ya, maaf, Tuan Park. Aku tidak lihat jam." Sera menyendok nasi goreng lebih keras sampai permukaan sendok beradu dengan giginya, membuang muka ke mana saja asal bukan ke arah Jimin.

Keduanya tidak saling bicara untuk waktu yang lama. Sera makan, Jimin sibuk dengan tablet yang dia pegang, mencari berita-berita aktual tentang calon kliennya yang baru meski nihil.

"Tidak perlu diantar, aku bisa pulang sendiri." Sera berkata setelah selesai makan, dia juga sudah cuci piring.

"Hhmm... apa?" gumam Jimin, terlalu rendah, fokusnya masih ke layar tablet. Jimin tidak sadar Sera sudah membersihkan meja, duduk lagi di depannya dengan segelas air dingin.

"Semalam aku tidak berniat ke bar kalau taksinya tidak mogok, Taehyung meninggalkanku di jalan. Mau bagaimana lagi," kata Sera, tapi Jimin masih fokus pada pekerjaan dan tidak melihatnya.

"Kau pasti sangat sibuk, lebih baik aku pulang sendiri. Aku tidak ingin merepotkanmu lebih banyak lagi." Sera beranjak dari kursi. "Terima kasih untuk semua bantuanmu, aku tidak akan melupakannya."

"Tentu saja kau tidak boleh melupakannya." Jimin tiba-tiba bersuara, sebelah tangannya sudah menahan lengan Sera saat gadis itu baru hendak berlalu.

"Duduk!" pinta Jimin, lembut tapi tidak bisa dibantah, dia setengah menarik Sera kembali ke kursi. "Ada urusan yang harus kubicarakan dengan Ibumu, jadi kau akan kuantar pulang."

"Urusan apa?"

"Rumahmu, aku sudah mengurus semuanya. Jika Ibumu setuju, minggu depan sudah bisa naik sidang."

"A-apa?—kau benar-benar mengurusnya?" Sera tampak lemas di kursinya, tidak menyangka semua kata-kata Jimin kemarin bisa dipertanggung jawabkan.

"Apa maksudmu dengan 'benar-benar mengurus'? Apa aku tampak sedang bercanda, waktu menawarkan jasa hukum padamu?"

"Maksudku, kupikir kau tidak akan mengurusnya sampai sejauh ini. Bukannya perjanjian kita sudah dibatalkan?"

"Kau belum mengembalikan cincinnya."

"Ah, ini—" Sera langsung mengangkat jarinya yang tersemat cincin, mencoba menarik cincin yang mendadak kesat di jarinya.

"Woah! Sepertinya jariku menggemuk dalam semalam." Sera tertawa sumbang, saat Jimin mengamati usahanya sambil bersedekap. "Oh, nasi goreng tadi sudah memproduksi lemak untuk jariku."

Sera masih sibuk melepas cincin sampai jarinya sakit, saat Jimin tiba-tiba mengganti topik.

"Minggu depan temani aku ke acara premier film Taehyung dan Luna."

"A-apa?" Sera berhenti menarik cincin dari jarinya, seketika terpaku.

"Ada undangan premier film Luna dan Taehyung."

"Ke-kenapa aku harus ikut pergi? Aku tidak mau, pergi saja sendiri."

"Karena undangannya untuk dua orang. Kupikir seru juga kalau mengajak pacarku ke acara mantan pacarku, benarkan?" tanya Jimin, senyumnya tersungging tipis.

"Pa-pacar?—Siapa yang pacarnya siapa?" Sera mulai panik, cincin tidak bisa ditarik dan cara Jimin tersenyum menggundang arti yang tidak baik.

"Kau pacarku dan aku pacarmu."

"Se-sejak kapan?"

"Sejak semalam. Kau yang memintaku jadi pacarmu, omong-omong."

"Itu, itu karena aku setengah sadar." Sera mulai mengingat lagi kejadian semalam. "Aku sedang mabuk, tidak bisa berpikir jernih, seharusnya kau tidak boleh memanfaatkan keadaan."

"Sayang, sejak kapan pria tidak memanfaatkan keadaan dari situasi yang menguntungkan?"

Sera yang ingin kembali berdebat seketika mengatupkan bibir lagi. Tiba-tiba dia jadi berdebar saat Jimin beranjak dari kursi, menatapnya kelewat lekat dari ketinggian.

"Ma-mau apa?" Sera mendongak dari kursi duduknya, jantungnya semakin memukul keras saat tidak sengaja melihat otot lengan Jimin yang kini bertumpu di sandaran kursi.

"Menciummu, sebagai tanda kalau sejak semalam kita sudah jadian."

"Kau—ternyata kau semesum ini?!" Sera buru-buru menutup bibirnya rapat-rapat dengan kedua tangan, menggeleng cepat-cepat saat Jimin malah kian membungkuk di depannya.

Harusnya Sera memundurkan kursi dan menyelamatkan diri dari situasi mesum itu, tetapi dia seolah-olah dipaku begitu manik mata Jimin bersitatap dengannya. Sera baru menyadari mata Jimin sangat memikat, tajam tapi memabukkan, membuat Sera tidak bisa berpaling atau pun sekedar berkedip.

Dia juga baru memperhatikan kalau Jimin punya bekas luka di pipi kiri, tepat di bawah mata. Sera baru hendak bertanya, tapi kemudian matanya justru pelan-pelan tertutup saat tahu-tahu Jimin mencium puncak kepalanya. Lembut dan Hangat.

Sera tidak memperkirakan reaksi tubuhnya sendiri; aliran darah berdesir sangat cepat, naik dan berkumpul di kedua pipi. Kedua tangannya lunglai dan jatuh ke pangkuan, sehingga dia hanya bisa berkedip saat Jimin mencium bibirnya sekilas.

"Nah, sekarang sudah resmi."

Sera berkedip lebih sering guna mengumpulkan kembali kesadarannya yang sempat tercecer, menarik napas panjang seraya menyakini reaksi tadi lumrah terjadi, sebab Jimin orang asing dan mereka tidak akrab. Siapa yang tidak deg-deg-an bila berada di posisinya—pikirnya, demi meyakinkan dirinya sendiri.

Sera berdiri dari kursi, mendongak menatap Jimin dengan kesal.

"Dasar pria mesum! Kau menciumku tanpa izin. Tidak sopan!"

"Aku hanya mencium pacarku."

"Ti-tidak, aku tidak mau jadi pacarmu! Aku bukan pacarmu dan kau bukan pacar—"

"Aku tidak mau putus," sela Jimin, menahan tawa pada reaksi Sera yg terlihat lucu di matanya.

"Kau—" Sera menunjuk Jimin, tapi Jimin malah mengusap puncak kepalanya sambil tertawa.

"Ayo, kuantar kau pulang."

Kesal, tapi Sera tetap mengikuti Jimin ke pintu depan. Sera sempat melirik Jimin yang tengah memakai jaket, lalu dia kembali sibuk mencari sepatunya tapi tidak terlihat di mana pun.

"Kau lihat sepatuku?"

"Aku buang."

"Hah?"

"Semalam aku membuang sepatumu," tukas Jimin, meneliti kaki Sera sembari mengira-ngira. "Tunggu di sini sebentar," katanya sebelum masuk lift, turun ke lantai bawah.

Satu jam berlalu, Sera nyaris ketiduran di sofa depan tivi sewaktu Jimin muncul lagi di pintu, membawa paper bag dan sebuket bunga tulip merah. Sera mengernyit melihat bunga yang Jimin apit di lengan, sambil menyerahkan barang yang dibawa.

"Ini—" Jimin menyerahkan paper bag Chloe Lauren. "Ibumu bilang, kau cuma suka pakai sepatu kets dan flat shoes."

"Iya, pakai high heels pegal." Sera tersenyum lebar melihat flat shoes merah yang dibeli Jimin. "Terima kasih, harusnya tidak usah diganti sebagus ini juga."

Jimin mengangguk samar, bersiap masuk private lift lagi tapi Sera menahan.

"Tunggu sebentar, barangku masih di kamarmu."

"Dua menit atau kutinggal," katanya, melirik Rolex silver yang melingkari pergelangan tangan.

"Astaga! Kenapa harus sekejam itu sih."

Sera terbirit-birit ke kamar Jimin sambil mengeluh, mengambil pakaian kotor di kamar mandi dan menjejalkannya ke paper bag sepatu. Rasanya tidak sopan meninggalkan cucian, padahal dia sudah ditolong dan merepotkan Jimin sejak semalam.

Sera membutuhkan tiga menit lebih lama dari yang sudah ditentukan, sempat berpikir Jimin benar-benar meninggalkannya. Tetapi kalau dipikir-pikir lagi jadi mustahil, sebab Jimin ingin mengantarnya pulang bukan mereka sedang janjian untuk pergi keluar sama-sama.

"Maaf, lama menunggu," kata Sera, buru-buru pakai sepatu.

Jimin memperhatikan Sera memakai sepatu barunya dengan gembira, lalu menyerahkan bunga yang dia bawa.

"Untukmu," ucap Jimin singkat.

"Gimana?" tanya Sera, bingung. Sungguh, bunga tulip yang dibawa Jimin sangat cantik, cocok untuk diberikan kepada pasangan dan jelas itu bukan dia.

"Dari orangtuaku, kata Ibu kau ulang tahun."

Sera tertawa kecil sambil menerima bunga.

"Ulang tahunku masih bulan depan, 9 Maret. Eh, tapi tidak apa-apa juga dapat hadiahnya sekarang, bunganya terlalu cantik untuk ditolak."

"Iya, cantik," ujar Jimin, matanya tertuju pada Sera bukan pada bunga yang dipegang Sera.

Sera manggut-manggut sambil menghidu bunga, di antara dering ponsel Jimin yang menunda keduanya masuk lift. Soohee menelepon, percakapannya agak ganjil tapi Jimin tetap menuruti keinginan ibunya.

"Antar Sera pulang sekarang, pakai pakaian yang sopan. Kita akan menghadiri acara penting setelah ini."

Sesudahnya mereka berangkat, di dalam lift Sera melirik Jimin sambil tersenyum aneh.

"Kau terlihat seperti ingin menjambret pria tampan," ujar Jimin, sambil bersedekap.

"Cih!" Sera mencibir. "Oppa, kau tahu—"

Jimin melirik Sera sewaktu gadis itu menyapa dengan panggilan yang selama ini dia dengar hanya dari Niara, semua mantan pacar tidak ada yang memanggil dia seakrab itu, termasuk Luna. Tetapi kemudian, Jimin ingat kalau Sera lima tahun lebih muda darinya.

"Kau tahu ungkapan, I purple you?" tanya Sera, penasaran.

"Tidak tahu," jawab Jimin, tak acuh.

"Ck! Tidak asik, masa tidak tahu sih? Itu kalimat sakral antara fans dan Idol pria yang sedang terkenal saat ini, sama seperti bilang sarang—" Sera buru-buru berhenti bicara, mengingat kalau pria yang ada di depannya Jimin bukan Taehyung.

"Jangan bicara hal bodoh di depanku, aku tidak tertarik membahas perihal fans dan Idola. Mereka semua seperti orang sakit, mencintai Idola sampai melupakan segala hal padahal Idolanya tidak tahu kalau kalian hidup di dunia ini. Tidak masuk akal!"

Pintu lift terbuka, Jimin keluar duluan dan buru-buru menyeberangi lobi, meninggalkan Sera di belakang yang sibuk memikirkan perkataannya. Ya, Jimin benar, dia melupakan kuliah dan hidupnya, demi mencintai idola yang justru membunuh karakter dari dalam dirinya. Sera sampai lupa, betapa menyenangkan sosok dirinya sebelum bertemu Taehyung.

Langkahnya terhenti di dekat pintu lobi yang terbuka otomatis, menatap pantulan bayangan diri di dinding kaca. Dia tidak pernah merasa seburuk sekarang, untung ini bukan kencannya dengan Jimin. Dia hanya akan pulang ke rumah, melupakan hal buruk yang terjadi kemarin.

🍁🍁🍁

Tidak ada percakapan selama di perjalanan, Jimin fokus menyetir sambil menerima telepon dari asistennya. Di sebelahnya Sera memandangi pohon Sakura yang mulai bersemi, merah muda, mengantarkan kenangan jalan-jalan bersama Taehyung. Andai kemarin dia meminta maaf dengan lebih serius, mungkin sekarang mereka sedang minum teh sambil menikmati Sakura dari balkon apartemen.

Dia melirik ponselnya di tas, tidak berani membuka pesan Taehyung yang banyak, sudah bisa ditebak isinya makian dan omelan kasar yang membuatnya takut. Seperti kaum primitive, Sera tidak tahu kemana perginya semua keberanian bila sedang berhadapan dngan Taehyung.

Sera melihat cincin ungu yang masih tidak bisa dilepas dari jarinya, ditambah predikat semu di antara dia dan Jimin membuatnya melirik pria itu. Dia tidak tahu apakah Jimin bersungguh-sungguh menjadikan dia pacarnya, atau hanya semacam ancaman pengingat karena Jimin butuh dirinya untuk membalas Luna.

Sera mendesah pelan, kali ini membuang pandang ke sisi jendela. Kemudian tanpa pernah diduga, kalimat-kalimat Jimin semalam kembali memenuhi ruang ingatan di otaknya yang kini sudah bersih dari alkohol. Apa benar Jimin akan melindunginya dari Taehyung? Apa Jimin tidak akan menyakitinya, seperti yang Taehyung lakukan padanya?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu mengusik keyakinan Sera, selain sebab hatinya masih terlalu goyah mengambil keputusan. Sebentar ingin lepas dari Taehyung, tapi di sisi lain dia terus saja membiarkan pria itu mengusai dirinya.

Layar ponsel yang tengah Sera pandangi mendadak menyala, dia baru sadar kalau ponselnya sedang berada di mode silent. Setelah membaca nama Taehyung, mendadak wajah Sera jadi seputih kapas.

"Siapa?" tanya Jimin tanpa pernah Sera duga, ternyata mereka sudah sampai depan rumah.

"Taehyung?" tebak Jimin dengan akurat, melihat Sera pucat pasi dan agak gemetaran.

"Berikan ponselnya," Jimin menengadahkan tangan tapi Sera diam saja. Rahangnya mengeras, monolidnya turun, menatap dingin dan gelap pada Sera yang bergeming.

"Sera, kau dengar aku?" Suara Jimin semakin rendah, nyaris seperti bisikan yang serak.

Sera menggeleng kaku, masih memegangi ponselnya erat-erat. Dia berdengap saat ponselnya ditarik paksa oleh Jimin, tombol speaker dihidupkan sehingga dia bisa mendengar percakapan sengit kedua pria itu.

"Apa yang sudah kau lakukan dengan Jimin, hah?!" bentak Taehyung tanpa kata pembuka. "Sengaja mengabaikan teleponku. Jawab!"

"Jangan membentaknya, Anjing!" balas Jimin tak kalah keras. "Apa perkataanku padamu semalam belum cukup jelas?"

"Pikirmu kau bisa mengambil Sera dariku. Sera, dengarkan aku," kata Taehyung tiba-tiba. "Aku mencintaimu, di mana posisimu, aku jemput. Jimin hanya memanfaatkanmu demi membalasku dan Luna."

Sera bergeming, jemarinya saling genggam dalam luapan perasaan yang kalang kabut. Sudah lama dia ingin mendengar Taehyung mengatakan hal itu, hubungan Taehyung dan Luna juga cuma rekayasa. Sejak awal dia tahu Jimin punya tujuan meski Jimin membantu kasus ayahnya, dia tahu pada akhirnya Jimin akan pergi juga setelah semua urusannya dengan Luna selesai.

"Cho Sera, jawab aku! Aku tahu kau ada di sana, kau mendengarku?!"

"Ti-tidak—" jawab Sera samar, air matanya jatuh saat Taehyung kembali memaki.

"Berengsek!"

"Berhenti memakinya!" sela Jimin. "Aku tidak peduli kau percaya atau tidak, tapi yang pasti karirmu hancur kalau berani menyentuhnya lagi. Paham?!"

Panggilan itu selesai. Jimin memblokir nomor Taehyung sebelum mengembalikan ponsel pada Sera yang pucat pasi, terisak tertahan sampai tubuhnya terguncang. Jimin mengusap bahu Sera lembut, menurunkan tensi wajahnya agar sedikit melunak.

"Hei, tidak apa-apa," kata Jimin, jemarinya nyaris menyentuh pipi kanan Sera kalau dia tidak buru-buru menahan, memilih menunggu sampai Sera terlihat lebih nyaman.

"Jimin," panggil Sera, setelah dia selesai menenangkan diri dan berhenti menangis.

"Hhmm?"

"Kau benar-benar akan menjagaku dari Taehyung? Maksudku, kalau aku setuju dengan perjanjian kita—"

"Selama kau memakai cincin ini," Jimin menarik jari Sera yang tersemat cincin setinggi dada. "Kau tanggung jawabku, tidak ada yang boleh menyentuhmu apa lagi menyakitimu."

"Ba-bagaimana kalau ternyata Taehyung mengubah target dan menyakitimu?"

"Ya, tinggal dilawan saja. Apa susahnya, hhmm?" Jimin tertawa kecil. "Tidak usah repot-repot mengkhawatirkanku, nanti jadi naksir beneran kau juga yang repot," tukasnya, tersenyum dengan matanya yang menyipit.

"Ti-tidak, aku tidak mungkin naksir padamu."

"Aku juga tidak sih." Jimin meraih tangan Sera dan menjabatnya lembut. "Kita belum pernah berkenalan secara resmi. Setelah kuingat-ingat, waktu kecil kita pernah bertemu."

"Iya, sepertinya kita pernah berangkat sekolah sama-sama, tapi aku lupa detailnya."

"Aku ingat ada anak tetangga menyebalkan yang suka minta permen, ada tiga orang—"

"Aku salah satunya, Ibu yang bilang begitu sih. Kau ada di ingatanku tapi aku lupa wajahmu."

Keduanya tertawa, masih dengan kedua tangan yang saling bertaut.

"Jadi, sekarang kita pacaran, nih?" tanya Jimin tiba-tiba.

Sera berdiam diri lagi, melepas genggaman Jimin dari tangannya.

"Hanya selama perjanjian kita berjalan, sampai kau mendapatkan rumahmu lagi dan temani aku ke acara premier itu."

"Baiklah," jawab Sera pada akhirnya.

Sera mendesah panjang sebelum keluar dari mobil, mengabaikan semua pikiran kusut yang bersemayam di kepalanya dan berjalan duluan, naik tangga ke unit di lantai dua. Di belakang Jimin melirik mobil Ibunya terparkir. Di pikirannya sang Ibu menunggu di rumah, ternyata ada di rumah Sera. Dia belum sempat menanyakan acara penting apa yang akan dihadirinya.

Jimin segera menyusul Sera, tapak kakinya berdentang saat dia setengah berlari di tangga. Di undakan terakhir sebelum sampai di lantai dua, dia melihat Sera memaku depan pintu, melirik ke arahnya dengan cemas.

Ternyata, Jimin juga dibuat tertegun di muka pintu, ketika melihat ayahnya duduk di ruang tamu bersama Niara, ibunya, dan ibunya Sera. Sejak kapan ayahnya pulang dari Amerika? Kenapa dia tidak tahu ayahnya sudah pulang?

"Akhirnya Kakak Ipar datang juga." Niara memeluk Sera yang memaku. "Eonni, ayo kita semua sudah menunggu kalian dari tadi," tukasnya dengan nada terlalu gembira.

Kepanikan berdentang di kepala Sera, dia melirik Jimin, mencoba minta penjelasan tapi pria itu malah hanya mengedikkan bahu. Sera duduk di sebelah ibunya, sementara Jimin diminta duduk di sebelah sang ayah.

"Halo, Paman, Bibi, apa kabar?" Sera berinisiatif menyapa duluan, membungkuk sopan.

"Halo Sera," jawab Jinjae ramah. "Tidak disangka setelah sama-sama dewasa kalian malah jadi pasangan, padahal waktu kecil kalian tidak akrab."

Sera tersenyum kaku, melirik Jimin yang seperti lepas tangan. Pria itu cuma menikmati efek dari sandiwara yang dia mulai tanpa rencana matang. Sekarang Sera tidak tahu, bagaimana cara menjeda para orangtua agar tidak menjadikan perjodohan ini official.

"Jodoh memang tidak akan tertukar, tanpa banyak berusaha kalian dekat dengan sendirinya. Sera, terima kasih sudah menyetujui perjodohan ini," kata Soohee, nadanya terlalu gembira.

"Maksud kedatangan kami ke sini, adalah untuk melamar Sera secara resmi sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Aku orang kuno, sementara anak-anak jaman sekarang punya pemikirannya sendiri. Kalian tinggal bersama, 'kan?" tanya Jinjae dengan sangat mendadak pada putranya.

"Tidak!" Sera menyalak lebih dulu, berubah gugup melihat Soohee tersenyum penuh arti.

"Tidak apa-apa Sayang, Ibu bisa memaklumi."

"Ayah, sebenarnya Sera sudah kulamar, tapi dia belum menjawabnya sampai sekarang." Jimin ikut memperkeruh keadaan.

Kini semua orang menatap Sera, Jimin mati-matian menahan tawa melihat wajah Sera yang memaku dan pucat pasi.

"Ti-tidak, maksudku bukan begitu."

"Jadi kau menerima lamaranku?" tanya Jimin, tawanya nyaris meledak.

Sera berkedip lebih sering, jengkel melihat Jimin yang terang-terangan menahan tawa.

"Jimin, aku percayakan Sera padamu," kata Mishil tiba-tiba. "Sera, kau setuju 'kan?" tambah Mishil pada putrinya.

Ponsel di genggamannya bergetar, satu pesan Taehyung yang terlihat di layar membuat Sera memaku. Lalu akhirnya dia menjawab, meski bergetar dan tidak yakin.

"Iya, aku setuju menikah dengan Jimin."

Para orangtua sontak bersuka cita, tapi tidak dengan Jimin yang kini tengah memperhatikan Sera diambang tangis sambil memandangi ponsel. Jimin tidak perlu menjadi jenius, untuk mengetahui siapa orang yang mengirim pesan pada Sera.

[]

👑 🐻 👑

Continue Reading

You'll Also Like

3.6K 1K 10
Diusia pernikahan yang hampir menginjak 5 tahun, Taehyung dan Bora belum berencana memiliki anak, tetapi kedudukan Taehyung sebagai pewaris menuntutn...
935K 76.8K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
Bittersweet By `

Short Story

74.2K 8.8K 15
I never thought that trapped in a lie was this sweet. ©2017, goldyoongs
1.6M 145K 73
Ziel adalah candu. Tawanya Candanya Aroma tubuhnya Senyum manisnya Suara merajuknya dan Umpatannya. . . . "Ngeri bang." - Ziel "Wake up, Zainka."...