Marry With Boss

By tiystories

5.7M 235K 17K

Hanya karena kesalahan yang bahkan tak Prilly sadari membuat Prilly terpaksa menandatangani perjanjian tertul... More

1
2
3
Visualisasi Leo
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
18
19
20
21
Q & A MWB
Penting!

17

177K 11.4K 1.8K
By tiystories

Teruntuk dia, yang selalu menyakiti.

___________________________________

Sejak hari itu, hari di mana Prilly merasa sangat kecewa dengan Ali, rumah Ali terasa sepi. Tidak ada keceriaan Prilly yang membuat keluarga Ali bahkan seluruh pelayannya tertawa bahagia karena ketengilannya. Prilly berubah 180 derajat, dia benar-benar menjadi Natasha.

Ali berdiri di ambang pintu, mengamati Prilly yang duduk di sofa kamarnya. Prilly terlihat sibuk dengan majalah busana yang dia lihat, sambil sesekali mengerutkan dahi, entah karena gambar yang dilihat atau karena merasa pusing. Ali tahu Prilly jarang sekali makan hingga wajahnya itu selalu terlihat pucat.

Sudah beberapa minggu ini Ali didiamkan Prilly, bahkan hari itu saja saat ia mengikuti mobil Prilly sampai rumah Ayahnya, Prilly seperti menganggap Ali tidak ada di sekitarnya. Dan sekeras apa pun usaha Ali ingin meluruskan kesalahpahaman, Prilly tidak pernah mau mendengarkannya.

Hari ini saja, Ali tidak berangkat ke kantor. Dia ingin meluruskan kesalahpahaman lagi, dengan harapan Prilly mau mendengarkannya kali ini. Dia ingin Prilly tahu, bahwa yang didengar Prilly di kantor dulu itu tidak benar.

"Kamu belum sarapan. Ayo turun bersamaku," ucap Ali, sama sekali tidak membuat Prilly menutup majalahnya. "Kamu dengar aku?"

"Aku gak lapar," jawab Prilly tak acuh. Matanya terus terpancang pada majalah. Ali tidak tahu bagaimana menjelaskannya pada gadis itu sementara sikapnya saja berubah seperti itu.

"Kalau begitu aku tidak akan pergi dari kamar ini."

"Terserah."

Mata tajam Ali pun terarah pada sesuatu yang tidak terlihat di dinding. Kata 'terserah' yang dilontarkan Prilly bukan pertama kalinya dia dengar. Dia tidak suka, dia ingin marah tapi tidak ingin membuat Prilly tambah marah.

"Sudah cukup," gumam Ali. Masuk mendekati Prilly dan berlutut di hadapannya. Ali merebut majalah dari tangan Prilly meletakkannya di meja. Prilly menaikkan satu alisnya saat mata hazelnya itu membalas tatapan Ali.

"Natasha tidak terlalu pendiam seperti ini. Kamu pendiam bukan karena ingin sama seperti Natasha, melainkan karena marah denganku."

Prilly mengalihkan tatapannya itu.

"Apa yang kamu dengar di kantor itu--"

"Udah berapa kali aku bilang, aku gak mau bahas itu!" Prilly menatap Ali tajam.

"Kamu tidak pernah memberikan aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya!" ucap Ali dengan tegas.

"Semua udah jelas!" Prilly mengalihkan tatapannya lagi. "Aku kamu anggap Natasha," suaranya terdengar serak. "Aku gak mau bicara apa pun sama kamu lagi. Kamu urus aja diri kamu sendiri." Prilly bangun meninggalkan Ali.

Ali hilang kesabaran. "Kalau memang seperti itu yang kamu pikirkan, maka kuanggap benar. Aku memang menganggapmu Natasha. Jadi, aku tidak perlu menjelaskan lagi!"

Langkah kaki Prilly berhenti, berdiri membelakangi Ali dengan tetesan air mata yang mengalir melewati pipinya. Ucapan Ali yang terdengar dingin penuh kemarahan membuat hatinya terasa sakit lagi. Ekspresi Prilly pun berubah mengeras, dengan segera menghapus air matanya saat Ali berdiri di hadapannya.

"Aku membuang waktuku berbicara denganmu, kamu tidak pernah mendengarkan apa yang kukatakan, tidak pernah memberikanku kesempatan menjelaskan apa yang sebenarnya yang ada di pikiranku. Sudah cukup aku bicara selama ini, kamu tetap keras kepala dengan pilihanmu, menjadi pendiam seperti Natasha. Padahal, kamu dan Natasha itu berbeda. Natasha tidak sependiam ini, dan perlu kamu ketahui Natasha lebih baik dari kamu. Jika kamu terus mengira aku menganggapmu Natasha, maka kamu benar, selama ini aku membayangimu Natasha, bahkan pagi itu saat kita bersatu, aku membayangi Natasha, seperti yang kamu katakan sebelumnya."

Dengan langkah lebarnya Ali pergi meninggalkan Prilly yang jatuh terduduk di lantai mendengar kata-katanya. Prilly menangis dalam diam menatap pintu kamar yang berdebam karena Ali. Selama ini Ali tidak pernah memberikan kesempatan pada Prilly untuk bicara, lelaki itu selalu menyela dengan berkata, "Bisa diam?" tidak jarang berkata, "Diamlah!" tidak jarang pula mendiamkannya saat sedang bicara. Lalu, salahkah jika Prilly bersikap sama? Membalikkan semua pada Ali bahwa diperlakukan seperti itu menyakitkan?

Natasha lebih baik dari kamu.

Selama ini aku membayangimu Natasha.

Prilly sangat tidak menyangka Ali membandingkannya dengan Natasha. Ali berkata Natasha lebih baik darinya. Kata-kata Ali itu terus terngiang membuat kepalanya seperti dipukul palu ratusan kali. Ditambah kenyataan pahit yang dia dengar, Ali membayangi Natasha saat selalu bersamanya, termasuk penyatuan mereka pagi itu, membuat Prilly tidak sadarkan diri.

Sementara di sisi lain, Ali mengendarai mobil dengan kecepatan yang tinggi, membuat pengawalnya yang mengikuti tidak bisa mengejar. Karena Ali ingin sendiri, agar kemarahannya itu tidak terlampiaskan pada pengawalnya lagi. Berulang kali Ali memukul stir hingga tangannya memar, dia marah pada dirinya sendiri karena mengatakan hal yang tidak dia pikirkan dulu. Perkataannya tadi pasti menyakiti Prilly, tentu Ali tidak segan mengumpat dirinya sendiri adalah orang bodoh.

Ponsel Ali di dashboard berdering, tanpa melihat siapa yang menelepon Ali langsung mengangkatnya. "Katakan ada apa? Aku sedang tidak ingin bicara dengan siapa pun."

"Ali, ini Mama." Ali mengernyitkan dahi, kemudian melihat layar ponselnya. Nama ibu nya tertera di sana. "Ada apa?"

"Mama dengar pembicaraan kamu dengan Prilly. Kenapa kamu bicara seperti itu, Al? Semua tidak benar bukan? Kamu tidak menganggap Prilly sebagai Natasha! Mama tahu itu! Bilang sama Mama perkataan kamu tadi itu salah!"

Ali diam saja.

"Ali! Kamu dengar Mama tidak?!" Bentak Dian di seberang sana.

"Aku mendengarnya."

"Prilly tadi pingsan," suara Dian terdengar serak, "Tapi saat dia bangun dia pergi dari rumah, bahkan tidak membawa barang-barangnya."

"Apa?!" Ali menginjak rem mobilnya mendadak, beruntung tidak ada mobil lain di belakangnya. "Dia pingsan? Lalu, dia pergi? Kenapa Mama tidak mencegahnya?"

"Mama sudah berusaha, tapi dia tidak mendengarkan Mama! Ke mana para anak buah kamu? Harusnya kamu suruh mereka jaga Prilly, setidaknya mereka bisa menahan Prilly pergi!"

Ali memukul stir mobilnya, lagi-lagi dia membodohi pengawalnya yang memang bodoh menurutnya. Bukannya menjaga Prilly di rumah, mereka malah mengikutinya.

"Aku akan mencari Prilly."

Ali memutuskan panggilannya. Kemudian menepikan mobil menunggu mobil Alex. Hingga selang beberapa menit mobil Alex datang dan berhenti di belakang mobilnya. Ali keluar menemui para anak buahnya yang langsung menghadap.

"Kenapa kalian mengikutiku? Kalian sangat tahu jika aku mengendarai mobilku sendiri, maka aku tidak perlu diikuti!"

"Maafkan kami, Tuan. Tapi, Anda sedang dalam bahaya," Alex yang menjawab.

"Bahaya? Maksudmu apa?"

Mereka saling pandang kemudian tertunduk.

"Sebenarnya, Jevan melarikan diri dari penjara, Tuan."

"Apa!!!" Mata Ali membulat sempurna.

"Sangat mudah bagi Jevan melarikan diri, Tuan. Mengingat dia sudah berkali-kali masuk penjara, dan berkali-kali berhasil melarikan diri."

Ali tidak memikirkan ini sebelumnya. Dia tahu betul musuhnya itu. Jevan sangat cerdik, harusnya dia membuat Jevan dihukum mati saja, atau dia yang membunuh Jevan. Karena Jevan sudah banyak merugikannya, mengusik ketenangan hidupnya, Ali sungguh tidak suka. Keinginan Jevan menghancurkan hidupnya tidak pernah hilang, mengaitkan dirinya dengan bunuh diri adik perempuannya itu karena tidak mendapatkan cinta darinya. Jevan terlalu buta untuk menerima fakta kalau dirinya tidak pernah bisa menjadi seorang Ali yang sangat sukses diusia muda, dan Jevan tidak pernah membuka mata hatinya kalau adik perempuannya mati bukan karena Ali, tapi karena kebodohannya dengan mengakhiri hidup sendiri.

"Aku sangat yakin ini bukan berita baru. Kapan dia melarikan diri dari penjara?" tanya Ali kemudian.

"Satu minggu yang lalu, Tuan," jawab Reon.

"Minggu lalu? Dan kalian baru memberitahuku? Apa kalian tahu nyawa istriku lebih dalam bahaya daripada aku? Apa kalian lupa kejadian apa yang pernah menimpanya? Kenapa kalian malah terus mengikutiku? Harusnya kalian memperketat penjagaan rumah!"

"Maafkan kami, Tuan. Kami hanya tidak ingin Jevan menemui Anda saat kami tidak bersama Anda," kata Alex.

"Sudah, aku tidak ingin mendengar alasan. Lebih baik kalian bantu aku mencari istriku, dia pergi dari rumah. Cari dia sampai dapat, kalau tidak kalian semua kupecat!"

Alex serta yang lainnya mengangguk dan bergegas masuk ke mobil. Mereka pergi berbeda arah dengan Ali.

***

Hari sudah sangat sore, tapi Prilly masih duduk diam di kursi taman kota setelah berpindah tempat sana-sini tidak tahu arah dan tujuan sejak pagi. Prilly tersenyum miris, dia sudah seperti gembel saja. Memakai blous warna krem pudar yang terakhir kali dia pakai bekerja di cabang kantor Ali, sekaligus dia pakai pertama kali ke rumah Ali sebelum menikah dengannya. Tas yang dia pakai tas slempang yang sudah lusuh, dia pergi benar-benar tidak membawa barang berharga dari rumah Ali, bahkan ponsel yang dibelikan Ali dia tinggalkan.

Prilly berharap keputusannya pergi meninggalkan Ali itu sudah benar. Dia tidak bisa memberikan kebahagiaan pada lelaki itu. Lebih baik dia tidak ada di dalam kehidupannya lagi daripada harus berperan menjadi Natasha semasa hidupnya.

Setelah melamun, Prilly bangun dari kursi panjang itu, tanpa sadar dia mengelus perut, merasa lapar karena sejak pagi belum makan. Prilly memutuskan untuk mencari rumah makan terdekat, namun baru beberapa langkah meninggalkan tempat itu, sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti, menghalanginya saat ingin menyeberang. Prilly membulatkan matanya melihat para lelaki berkacamata hitam dan jas formal keluar dari mobil itu. Mereka semua pengawal Ali. Prilly pun pergi, namun suara dalam Alex menahannya.

"Nona Prilly, jika Anda tidak ikut bersama kami, maka jangan salahkan kami berlaku kasar pada Anda."

Prilly tidak peduli. Dia segera pergi menjauhi Alex dan anak buahnya, namun mobil sport putih Ali datang menghalanginya. Ali keluar dari mobilnya melepas kacamata. "Pulanglah," ucapnya dengan ekspresi datar. Prilly menatap lelaki itu dengan malas. "Gak mau," balasnya tenang namun tidak mau dibantah, apalagi dipaksa. Prilly pun melangkah cepat, Ali tidak melakukan apa pun di sana hingga Alex yang menarik tangan Prilly menahannya pergi.

"Lepasin gue!" Prilly meronta karena tangannya dicengkram dua lelaki sekaligus. Dia menatap Ali dengan marah. Bisa-bisanya lelaki itu diam saja saat ia diperlakukan tidak baik oleh pengawalnya.

"Bawa dia ke mobil!" perintah Ali.

"Kamu jahat Ali!" teriak Prilly. Tidak peduli bagaimana pandangan orang-orang di sekitar taman itu. Di hadapannya Ali terlihat tertegun. "Kamu jahat!!!"

"Cepat bawa dia ke mobil, Alex!"

"Lepasin gue!!! Gue gak mau pulang ke rumah itu!!!" Pergelangan tangan Prilly terasa nyeri saat dia terus berusaha melepaskan diri. Tidak lepas dari pengamatan Ali, tapi Ali tetap diam Prilly diperlakukan seperti itu. Hingga Alex dan Reon menarik Prilly dengan paksa ke pintu mobil. Prilly pun mengerahkan seluruh tenaga yang dia punya untuk melawan keduanya, dia bisa menjadi perempuan kejam dalam waktu singkat. Prilly menendang tulang kering kaki Alex dan Reon bergantian hingga keduanya mengerang kesakitan, Prilly manfaatkan situasi seperti itu dengan melarikan diri. Dan saat anak buah Alex yang lain berusaha menangkapnya, dia sudah berlari.

"Tangkap dia!" Ali menatap tajam semua anak buahnya itu hingga mereka semua mengejar Prilly.

Prilly tidak sanggup berlari lagi, sedangkan anak buah Ali sudah ada di belakangnya. Entah kenapa perutnya terasa nyeri, tepatnya pada bagian bawah perutnya, kata orang bisa disebut turun bero, yang tidak Prilly ketahui apa maksudnya.

Sementara itu Ali mengepalkan tangan kanannya saat ada yang menelepon. Saat dia angkat teleponnya, suara lelaki yang sangat dia kenali membuatnya semakin marah. 

"Kau terlihat sangat marah, Ali."

Suara Jevan.

"Bukan urusanmu." Di balik kacamatanya, Ali memperhatikan sekitarnya. Kalau Jevan sudah berkata seperti itu, maka berarti musuhnya itu ada di sekitarnya dan tahu apa yang terjadi padanya sekarang. Sayangnya, Ali tidak melihat Jevan ada di sekitarnya. Jevan memang sangat pintar bersembunyi.

"Apa kau tidak kasihan dengan istrimu? Tega sekali kau membiarkan anak buahmu menyeretnya," Jevan terkekeh, "Tapi, istrimu hebat juga ya, bisa melarikan diri dari anak buahmu yang tolol itu."

"Diam kau, Jevan!" Suara Ali dalam penuh ancaman, yang dibalas tawa keras Jevan.

"Aku senang kau tambah marah. Sebentar lagi kau akan hancur, aku akan membuatmu merasa kehilangan untuk kedua kalinya."

Ali masuk ke mobil, menjalankannya pelan mengikuti anak buahnya yang mengejar Prilly. "Aku tidak akan membiarkan itu terjadi."

"Benarkah? Bukankah sekarang kau sedang ada di dalam mobil untuk menjemput Prilly? Oh, atau menjemput kematian Prilly?"

"Brengsek! Di mana kau? Keluar dari persembunyianmu!"

"Untuk apa aku bersembunyi? Aku tidak jauh dari Prilly. Kita hitung sama-sama, lihat apa yang terjadi pada istrimu itu."

"Kalau kau melakukan sesuatu padanya, aku akan menemukanmu dan tidak segan membunuhmu, Jevan!"

"Ck, ck, ck. Mengerikan sekali." Jevan tertawa lagi.

"Satu ..." Jevan mulai menghitung. Ali mempercepat laju mobilnya mencari Alex.

"Dua ..." Ali menemukan Alex sedang mencengkram tangan Prilly, namun lagi-lagi Prilly berhasil melepaskan diri.

"Ti---" Saat Prilly pergi ke jalan barulah Ali menyadari ada mobil yang melaju sangat kencang ke arahnya. Ali segera keluar dari mobil, "Hentikan dia, Alex!!!" Teriaknya. Alex belum menyadari maksud teriakkan Ali, juga tidak menyadari ada mobil yang ingin menabrak Prilly dengan segaja. Begitu juga Prilly yang terus berlari tanpa tahu nyawanya sedang dalam bahaya.

Alex dan anak buahnya mengejar Prilly untuk menangkapnya. Sementara Ali mengejar untuk menyelamatkannya. Ali masih menggenggam ponsel mendengar Jevan tertawa. "Prilly, awas!!!"

Dan Alex baru sadar ada mobil yang melaju kencang ke arah Prilly. "Nona Prilly menyingkirlah!!!"

Terlambat.

Prilly bahkan tidak sempat berteriak, hantaman keras itu membuat tubuhnya terpental sejauh lima meter. Berguling-guling di jalan aspal dengan darah yang bercucuran. Dan terkapar dalam keadaan mengenaskan di tengah jalan, kesadarannya langsung terenggut begitu saja.

"Tiga!" Jevan berdecak senang, "Sempurna!"

Ali menjatuhkan ponselnya itu. Suara Jevan sudah tidak terdengar lagi. Telinganya berdenging, pandangannya kabur oleh air mata yang bergerumul di kelopak matanya. Sejenak Ali merasa syaraf-syaraf tubuhnya tidak berfungsi hingga dia tidak bergerak di tempatnya. Namun, beberapa detik kemudian dia langsung berlari menghampiri Prilly. Berlutut memangku kepala Prilly, melihat hampir seluruh permukaan wajah Prilly tertutupi oleh darah dengan sangat terkejut. "Tidak," Ali menggelengkan kepalanya, "Tidak mungkin!" Ia mengelus pipi Prilly yang terbaluri darah. "Apa yang sudah kulakukan?!!" teriaknya menengadah ke langit. Kemudian menunduk mengguncang-guncang tubuh Prilly.

Tidak terlalu jauh dari Ali, Alex pergi mengambil mobil, lalu berhenti di dekat Ali. Ali pun segera membawa Prilly masuk dan pergi ke rumah sakit.

***

Ali menaruh telapak tangannya di dahi. Berjalan ke sana kemari di depan ruangan gawat darurat. Sesekali melirik pintu ruangan itu yang tak kunjung terbuka.

"Kalian itu benar-benar bodoh! Apa kalian tidak melihat mobil itu saat melaju kencang menghampiri Prilly?" tanya Ali dengan marah pada anak buahnya yang berjajar membelakangi dinding seperti patung.

"Maafkan kami, Tuan. Kami---,"

"Jangan memanggilku seperti itu lagi, kalian kupecat. Aku tidak ingin dengar apa pun dari kalian. Sekarang kalian pergi dari sini atau aku akan melakukan sesuatu terhadap kalian bahkan keluarga kalian akan terkena imbasnya."

Mereka pergi tanpa mengatakan apa pun lagi. Ali mengusap wajahnya gusar, ada atau tidaknya delapan anak buahnya, dia tidak peduli. Dia masih memiliki banyak anak buah.

Ali kembali melihat ke arah pintu. Dia menggertakkan giginya karena dokter dan perawatnya tidak juga keluar. Kemudian dia mendengar langkah kaki banyak orang dari arah samping. Saat menolehkan kepalanya, dia melihat Ayah, Ibu, dan Aris datang dengan tergesa-gesa.

"Bagaimana keadaan Prilly, Ali?" tanya Afraz panik. Dian tidak kalah panik, beliau mengguncang-guncang tangan Ali dengan air mata yang bercucuran. "Kenapa dia mengalami hal seperti itu? Ke mana kamu saat dia tertabrak?! Bagaimana dia Ali? Apa dia baik-baik saja?"

"Dokter sedang memeriksanya," jawab Ali datar. Ali tidak suka keluarganya bersedih seperti ini. Mantan anak buahnya itu sudah melaporkan hal yang dialami Prilly pada mereka. Membuat Ali menahan rasa kekesalannya.

Sementara itu Dian mengamati pakaian Ali yang terkotori darah Prilly. Hampir tiap sisi kemeja Ali tidak ada yang tidak terkotori. Bahkan saat Dian menatap wajah Ali, ada darah di pipinya. "Mama takut kehilangan Prilly, Ali. Mama takut."

"Tenangkan dirimu, Dian," Afraz menarik tangan Dian untuk sedikit menjauh dari Ali. Dian menangis dalam dekapannya. "Bagaimana kalau Dani tahu putrinya mengalami hal ini? Dia pasti tidak bisa terima."

"Kita jangan beritahu Dani dulu saja."

"Kita berdo'a saja untuk Kak Prilly, Ma," kata Aris. Dian mengangguk pelan.

Akhirnya, dokter keluar dari pintu itu. Ali langsung menghampirinya. "Bagaimana dia, Dok? Apa dia baik-baik saja?"

Dokter itu menarik napas sejenak, "Maafkan saya karena mengatakan ini, Tuan Ali, tapi keadaannya sangat jauh dari kata baik. Dia mengalami koma."

"Koma?" gumam Dian pelan. "Tidak, Dokter. Dia baik-baik saja!"

"Ma, Mama harus tenang!" Aris menahan Mama nya itu saat ingin menerjang dokter Aldrian.

Ali tertunduk dengan perasaan yang bergemuruh hebat.

"Dan mohon maaf sekali, janin dalam kandungannya tidak bisa diselamatkan."

Ali tercengang, dia menatap dokter tidak percaya. Dia pun tidak bisa berkata. Sementara Dian amat sangat terkejut sambil membekap mulutnya yang terbuka lebar.

"Ja-nin? Prilly hamil?" Dan Dian jatuh pingsan detik itu juga. Afraz segera membawanya ke ruang perawatan.

"Tuan Ali, apa Anda tidak tahu kalau istri Anda hamil?" Ali tidak menjawab apa pun. Kakinya bergerak mundur hingga punggungnya membentur dinding.

"Usia kandungannya masih sangat muda, memasuki minggu ke empat. Kecelakaan itu membuatnya keguguran." Mata Ali terasa panas, tapi dia tidak menangis juga.

"Kemungkinan dia bisa hamil lagi di masa mendatang itu sangat kecil. Tapi, jangan bersedih hati, Tuan. Tuhan berlaku adil pada semua makhluk ciptaan-Nya."

Ali sama sekali tidak menatap dokter.

"Untuk kondisi Prilly, kami akan mengeceknya secara berkala. Kami sudah menyiapkan beberapa kantung darah untuknya. Hasil rontgen tidak lama lagi keluar serta ct scan untuk mengetahui apakah ada luka dalam. Segera akan kami kabarkan, Tuan."

"Terimakasih, Dok," Aris yang berkata.

Dokter itu mengangguk pelan, "Kalau begitu saya permisi dulu." Dia pergi dari depan pintu itu.

Di depan ruangan itu hanya ada Ali, Aris, dan dua perawat yang baru keluar dari ruangan Prilly. Dua perawat itu langsung pergi setelah mengatakan akan memindahkan Prilly ke ruangan intensif. Aris tidak bisa menahan air matanya mendengar apa yang sudah dialami kakak iparnya. Aris pun menatap Ali yang seperti patung di dinding itu. Kakaknya itu tidak meneteskan air mata setetes pun, tapi Aris bisa mengerti di balik wajah datar Ali itu menyimpan luka yang mendalam.

"Kak?" Aris mendekati Ali, melihat wajah Ali dari dekat. Bisa Aris lihat ada air mata yang tertahan di kelopak mata kakak nya itu. "Kak Prilly pasti sembuh." Ali menegakkan badannya, meskipun begitu dia terlihat rapuh. "Kak?" Ali pergi begitu saja. "Kak? Mau ke mana, Kak?" Ali tidak menjawab sepatah kata pun. Dia berjalan keluar dari rumah sakit memasuki mobilnya hingga Aris yang mengikutinya pun kembali ke ruangan gawat darurat.

Ali mengendarai mobilnya menuju rumah. Sampai rumah, dia langsung ke kamarnya yang remang. Semua gorden tertutup, lampu pun tidak menyala meski hari memasuki malam. Tanpa menyalakan lampu, Ali berjalan lambat menghampiri kasurnya, terhuyung dan ambruk tepat di samping kasur. Ali menekuk sebelah lututnya menumpu tangan kanannya. Tatapannya kosong, tangannya itu meremas kunci mobilnya hingga meninggalkan jejak kemerahan, bersamaan saat ini ia merasa jantungnya juga diremas. Mulutnya terbuka untuk bernapas, dadanya terasa sangat sesak. Pertahanannya runtuh, air mata yang selama ini dia tahan-tahan menetes melalui mata kanannya, hingga kedua matanya itu meneteskan air mata yang sangat banyak.

"Apa yang sudah kulakukan?" Dia bertanya pada dirinya sendiri, dan dia tahu jawabannya. Menyakiti Prilly membuatnya merasa sangat menyesal, lebih dari itu dia sudah melenyapkan darah dagingnya sendiri. Andai saja dia tidak mengatakan sesuatu yang menyakiti Prilly, mungkin gadis itu saat ini ada bersamanya meskipun berubah pendiam, mungkin Prilly selamat dari rencana pembunuhan yang dilakukan Jevan, dan mungkin Ali akan mendapatkan kabar kehamilannya mengingat akhir-akhir ini Prilly selalu terlihat pucat dan tak jarang jatuh pingsan.

"ARRRGGGHHHHHHH!" Ali mengerang keras atas sesak yang dirasakannya. Dia pun merobek kemejanya. Beberapa kancing terpelanting di lantai. Dia menatap kemejanya yang berlumuran darah Prilly itu dengan nanar.

Kejadian di jalan itu membuat Ali membodohi diri sendiri, lebih tepatnya menyalahkan diri karena memperlakukan Prilly tidak baik. Tidak seharusnya ia membiarkan anak buahnya memaksa Prilly untuk pulang bahkan dengan cara menyeretnya sampai pergelangan tangan Prilly memar. Dan rencana Jevan pun berhasil dalam melukai Prilly. Ali pun berdiri melihat ke arah cermin, menatap siluetnya di sana dengan marah dalam kegelapan. Kemudian mengambil guci dan melemparkannya ke cermin itu, cermin dan gucinya sama-sama pecah. Belum cukup mewakilkan hatinya yang hancur karena ulahnya sendiri. Dan saat Ali ingin menghancurkan seisi kamarnya, tidak sengaja dia melihat selembar kertas yang terlipat rapi di dekat bantal. Ali pun menyalakan lampu tidur, duduk di tepi kasur mengambil surat itu dan segera membacanya.

Hubbiy, jangan marah :)

Ali langsung disadarkan membaca kalimat pertama yang dia ketahui ditulis tangan oleh Prilly.

Aku pergi ya, nyusul Mama, eh gak deng istri kamu yang imut ini masih perlu menebus dosa ke semua orang, hehe.

Ali kembali meneteskan air matanya.

Maaf ya biy udah beberapa minggu ini aku diami kamu, kita jadi sama-sama pendiam gitu ya, pasangan yang aneh wkwk. Gak seru ahh, jujur aja selama aku jadi pendiam aku gak nyaman, kamu kan tau sendiri aku pecicilan, sukanya ngoceh, berisik pokoknya. Aku masih mau kayak gitu, ngeledek kamu terus, hehe. 

Ali memejamkan matanya sesaat. Tangannya gemetar memegang surat itu. Dia kembali membacanya.

Aku berusaha nahan diri buat tetap jadi pendiam karena perkataan kamu di kantor itu. Ali, sayang, sebenarnya aku gak percaya kalau kamu anggap aku Natasha. Lagipula kalau kamu anggap aku Natasha, sejak awal kita kenal juga pasti kamu udah menghujani aku cinta, Ea. Terus kamu gak ngacangin aku muluk, kan katanya Natasha itu orang yang kamu cintai kan? Udah pasti kamu memperlakukannya spesial. Lah kalau aku? Boro-boro spesial biy, dapetin senyuman kamu aja susah gak ketulungan wkwkwk (Titik dua D yang banyak) (tertawa sambil gelosoran)

Tidak ada senyuman di bibir Ali, bahkan tawa sekali pun. Saat ini penyesalan yang dirasakannya.

Memang sih aku gak percaya, tapi aku lagi nguji kamu aja seberapa tahannya kamu kalau aku diami. Tau gak biy? Tiap kamu ngomong sama aku, berusaha jelasin perkataan kamu di kantor itu, bikin aku pengin ketawa, udah aku bilang kamu lucu kalau banyak omong.

Ali berdiri, berjalan ke arah jendela sambil tetap membacanya.

Oh ya, maklum biy akhir-akhir ini aku sensitif banget, dan ini alasan lain kenapa aku berubah diam. Maunya marah tapi aku gak enak sama kamu, makanya aku tahan. Aku juga sering pusing, mual, aku langsung nebak kayaknya aku hamil deh hehe, tapi aku gak ngecek, lagian kita baru ngelakuinnya sekali kan? Tapi, kalau aku benaran hamil hebat bener juned kamu wkwk. Kapan-kapan kita harus sering buatnya ya, biar cepet jadi (pasang puppy eyes)

Air mata Ali itu turun semakin banyak, ia membuka mulutnya terisak. Prilly merasakan gejala itu, tapi Prilly menutupinya dengan perubahan sikapnya itu. Bodohnya Ali tidak tahu apa-apa soal kehamilan seseorang di usia muda.

Oke, aku kebanyakkan nulis, pegel jari-jari aku. Ini terakhir, semoga kamu gak buang surat ini karena bertele-tele sebelum baca sampai akhir.

Ali menyibak gorden supaya tulisan Prilly lebih jelas.

Aku mau bilang, aku kecewa sama kamu.

Ali sangat tahu itu, bahkan jika Prilly mengatakannya langsung dia tidak tahu bisa menahan rasa sakitnya atau tidak.

Kamu membenarkan perkataan kamu sendiri di kantor kalau kamu anggap aku Natasha. Apa artinya usaha kamu selama ini buat jelasin ke aku? Gak ada artinya pasti ya :) Aku mengerti, biy.

Itu tidak benar, tidak seperti yang kamu pikirkan, batin Ali.

Sampai sini aja ya sayang, aku pergi, karena kamu anggap aku orang yang udah gak ada, maka seharusnya aku juga gak ada di hadapan kamu :)

No changed, baby. Still loving you. Always! Always! And always!

Dari biang kerok,
Anastasya Prilly Dafina Nathaniell Afrazanio binti Dani Dharmawan Fernando (Disingkat aja kalau malas baca *nyengirkuda*)

Ali melipat surat itu. Dia teringat tiap momen bersama Prilly, tanpa sadar, sebenarnya dia menyukai tingkah Prilly sejak pertama kali bertemu dengannya. Dan baru sadar, kalau dia memiliki perasaan spesial terhadapnya.

"Aku mencintaimu ..." Ali memandang foto Prilly di dinding.

Sungguh, pengakuan cintanya belum terlambat.

Ali tidak akan membiarkan Prilly meninggalkannya dengan mudah.

###
TBC...

Jangan lupa beli novel Best Wife ya! (Jiah malah promo)

Tinggalkan jejaknya ya hehehehe

Continue Reading

You'll Also Like

Amore By Red

Romance

93.9K 1.5K 27
"Oke deal. Kalau dari aku, pertama, tidak ada seks selama pacaran, tidak ada megang payudara atau kemaluan. Itu dilarang." Dia terlihat syok melihat...
10.1K 3K 44
Jangan sampai menjadi budak cinta. Jangan sampai kehilangan baru menyesal. Start : 25 Agustus 2019 Finish : 27 Desember 2019 Start revisi : 04 Agust...
131K 992 5
SPIN OFF BUKAN PACAR PURA-PURA(bisa dibaca secara terpisah) Meet Yoga dan Aya, si playboy mesum vs cewek manja yang bersahabat dari masa kuliah hing...
1M 62K 36
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...