Marry With Boss

Oleh tiystories

5.7M 235K 17K

Hanya karena kesalahan yang bahkan tak Prilly sadari membuat Prilly terpaksa menandatangani perjanjian tertul... Lebih Banyak

1
2
3
Visualisasi Leo
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
15
16
17
18
19
20
21
Q & A MWB
Penting!

14

169K 10.1K 919
Oleh tiystories

Cepet kan? XD

___________________________________

Benar-benar mengejutkan ketika Dian masuk ke kamar Ali. Untung saja Dian memiliki kunci cadangan semua kamar di rumahnya, penasaran mengapa sudah hampir siang ini Ali belum keluar dari kamarnya. Dan saat Dian melihat isi kamarnya itu, Dian membekap mulutnya lalu geleng-geleng kepala.

Semua bantal berserakkan di lantai. Yang membuat Dian tidak habis pikir adalah ke mana gaya tidur Ali yang seperti pangeran? Biasanya Dian melihat Ali tidur damai, tanpa gaya. Tapi, kali ini Ali tidur tengkurap dengan kaki dan tangan yang melebar menguasai kasur.

"Pangeran Mama berubah jadi kudanil begini," gumam Dian lalu memunguti bantal di lantai.

"Ali bangun, ini sudah siang. Biasanya meskipun hari libur kamu tetap bangun pagi terus nelor deh di ruangan kerja. Kenapa sekarang berubah? Ini hari spesial lho. Katanya disiplin sama waktu, tapi---" Perkataan Dian terhenti karena melihat bingkai foto Prilly di bawah tangan Ali. Senyum geli tercipta di wajah Dian yang ayu.

"Oh, jadi ini alasan kamu berubah, karena tidak ada Prilly di kamar kamu. Al, Al, baru sadar kalau Prilly itu berarti buat kamu?"

Dian menumpukkan bantal di belakang kepala Ali. Lalu menggoyang-goyangkan tangan Ali setelah memindahkan foto Prilly ke atas nakas.

"Al! Bangun!"

Dian sangat hafal Ali tipe orang yang kalau sudah tidur sulit dibangunkan siapa pun. Tapi, Dian tidak menyerah. Dian memencet hidung Ali hingga Ali tidak bisa bernapas dan menggeliat.

"Al, ini sudah siang lho, kamu tidak mau jemput Prilly?" Posisi tidur Ali berubah telentang. Perlahan bulu mata lentiknya itu bergerak hingga kelopak matanya terangkat.

"Mama?" Ali mengernyit sambil berusaha bangun menyenderkan punggungnya ke kepala ranjang. Menatap Dian yang berdiri sambil bersedekap.

"Buka yang benar mata kamu." Mata Ali memang masih terlihat sipit. Lelaki itu pun menguap lalu mengusap wajahnya. Matanya sudah tak sipit lagi namun terlihat sendu.

"Kamar kamu sudah seperti kapal pecah," kata Dian sambil menarik selimut Ali.

"Aku tidak bisa tidur." Dahi Ali berlipat-lipat. Ia bergerak dan duduk di tepi kasurnya.

"Karena Prilly?"

Ali melirik foto Prilly tapi dengan cepat mengalihkan tatapannya.

"Pergi mandi, setelah itu jemput Prilly."

"Jam berapa sekarang?"

"Setengah 9."

Ali ingat ini hari libur. Jadi, ia tidak terkejut bangun di jam yang tidak biasanya. Lagi pula ia baru tidur tadi subuh setelah belingsatan mencari posisi tidur yang enak namun tidak juga menemukannya. Ia merasa semalam itu ada yang aneh, hingga berakhir mengambil foto Prilly dan menaruh di dekat kepalanya. Tanpa sadar baru bisa tertidur.

"Eh, jangan melamun. Pergi mandi!" Teguran Dian menyadarkan Ali. Dan Ali langsung pergi ke kamar mandi membersihkan badannya.

***

"Papa yakin aku mirip Mama?" Prilly bertanya setelah Papa nya itu menceritakan banyak hal padanya tentang Mama. Setelah menghabiskan sarapan bersama, mereka duduk di halaman depan rumah sambil menikmati teh hangat dan makanan ringan. Dan itu sudah berlangsung dua jam, tapi memang menyenangkan bila bersama orang yang kita sayangi.

Dani meletakkan secangkir teh ke meja setelah menyeruputnya. Hanya seharian saja dia sudah sangat mengenali putrinya, mirip sekali dengan Dafina, istrinya.

"Papa mengatakan yang sejujurnya, kamu lincah seperti Mama. Mama kamu itu juga selalu terlihat ceria, orangnya lucu, penyayang, sama seperti kamu ini."

"Ah Papa ... aku jadi malu," Prilly menangkup kedua pipinya yang memanas. Terlihat menggemaskan di mata Dani.

"Kok malu sih?"

"Malu dong Pa disamain sama orang spesialnya Papa. Aku sama Mama itu beda. Mungkin Mama gak mengesalkan seperti aku, hehe."

"Mama kamu juga mengesalkan, Papa mengakuinya lho. Tapi, cuma sedikit, dan kamu banyak." Dani tertawa, sementara itu Prilly mencebikkan bibirnya. Artinya dia banyak mengesalkannya dong?

Mobil Ali yang hanya menimbulkan suara deruman pelan rupanya tidak mengalihkan obrolan Ayah dan Anak di halaman itu. Mereka berdua asik sekali dengan canda dan tawa yang hangat, bahkan Ali datang mendekat pun mereka tidak menyadarinya.

"Apa aku menganggu?" Tanya Ali.

"Ya, ganggu banget! Hus hus sana!" Prilly mengibaskan tangan, namun ia mengigit bibir bawahnya menyadari suara siapa yang baru ia dengar. "Eh? Hehe my hubbiy, kamu di sini ..." Sambil cengar-cengir seperti biasanya saat menoleh ke arah Ali.

"Nah, Ali sudah datang. Duduk Al," kata Dani. Ali mengambil kursi di sebelah Prilly.

Ketika jarak dengan Ali sudah dekat, barulah Prilly menyadari ada yang berbeda dari wajah Ali.

"OMAYGAT! NO! HUBBIY! MUKA KAMU KENAPA? ITU MATA KAMU KENAPA ADA LINGKARAN HITAMNYA?! KADAR KEGANTENGAN KAMU BERKURANG TAU GAK! INI GAK BISA DIBIARIN!"

Yeah, Ali anggap barusan merecon lewat.

"Bagaimana kesehatan Papa?" Ali mengalihkan pembicaraan Prilly. Menatap Dani yang sedang mengusap daun telinganya karena suara Prilly.

"Alhamdulillah, lebih baik. Papa sudah tidak duduk di kursi roda lagi." Dani tersenyum hangat.

Prilly menangis membuat Dani dan Ali sama-sama menoleh ke arahnya. Sama-sama menaikkan satu alis. Aneh saja mereka bisa terlihat kompak seperti itu.

"Ini gara-gara aku. Harusnya aku nurutin perkataan Papa buat ngabarin Ali kalau aku menginap di sini. Gara-gara gak ngabarin, Ali jadi gini deh. Ali gak bisa tidur karena gak ada aku di sampingnya."

Kepercayaan diri Prilly naik 99,9%

"Maafin aku, lain kali aku gak gitu lagi deh. Aku pasti ngabarin kamu kalau aku mau menginap atau bepergian."

"Percaya diri sekali," kata Ali.

Dani tidak bisa menahan tawanya melihat Prilly melototkan matanya pada Ali.

"Kamu aja yang gak mau ngaku. Tadi Mama telepon aku kok, bilang kalau kamu gak bisa tidur, terus peluk foto aku semalaman."

Ali terdiam.

Mang enak luh muka tembok!

Prilly pun tersenyum jahil. "Ayo ngaku ayo ngaku," ledeknya.

"Sudah selesai? Apa kamu sudah siap? Kita pergi sekarang."

"Pinter banget ngalihin pembicaraannya," dengus Prilly sambil menghapus air mata buayanya.

"Pa, aku pergi sama Ali dulu ya," pamit Prilly pada Papa nya. Dani menyambut tangan Prilly hingga punggung tangannya dicium. Ali melakukan hal yang sama.

"Aku pasti akan sering ngunjungin Papa. Papa harus jaga kesehatan Papa ya. Rumah kita gak terlalu jauh, kalau Papa butuh aku, telepon aku, aku pasti langsung nemuin Papa."

"Iya sayang, seperti yang kamu bilang." Dani mengusap rambut Prilly. Setelah itu Prilly pergi bersama Ali.

***

Mendengus, mencengkram stir kuat karena tidak bisa fokus. Bagaimana Ali tidak bisa fokus kalau Prilly selalu menatapnya dengan senyuman yang menggelikan.

"Bisa untuk tidak melihatku seperti itu? Buang-buang senyuman saja," ujar Ali pada akhirnya.

"Eh, senyum itu ibadah!" Protes Prilly sambil memperbaiki posisi duduknya dengan lurus, karena sejak dari rumah Papa nya dia duduk dengan posisi miring memperhatikan Ali yang menyetir.

"Tapi tidak berlebihan sepertimu. Apa kamu bawa cermin? Berkacalah, cengiranmu itu seperti kuda."

"Hah? Ish hubbiy jahat banget kamu!" Prilly mencubit pipi kiri Ali.

"Lepaskan," kata Ali hingga Prilly melepaskan cubitannya.

"Aku tuh senyam-senyum dari tadi karena kamu. Dengar ya sayang, kalau Mama gak telepon aku mungkin aku gak tahu kalau kamu gak bisa tidur tanpa aku. Aku berterimakasih banget sama Mama. Tadinya, aku mau nginap selama beberapa hari, pengin tahu gimana reaksi kamu tanpa aku. Eh, baru semalaman tanpa aku aja kamu udah kayak zombie, apalagi berhari-hari mungkin kayak mumi."

"Meskipun sudah diingatkan, rupanya tingkat kepercayaan dirimu tidak berkurang." Ali tersenyum sinis.

"Ngaku aja kali, gengsi digedein, malu sama bisul." Untuk ke sekian kalinya Prilly mendengus.

Prilly memperhatikan jalan, sadar kalau Ali mengendarai mobilnya bukan ke arah jalan pulang. Ia bertanya. "Lho? Ini kan bukan arah mau pulang? Kamu mau bawa aku ke mana? Culik aku ya? Mau buang aku ya?"

"Tidak tahu."

Prilly mengernyitkan dahinya. "Maksudnya, kamu gak tahu kita mau ke mana?"

"Memangnya kamu ingin ke mana? Ini liburan bukan?" Prilly langsung tersenyum cerah.

"Kamu mau ajak aku jalan-jalan?"

"Ya."

"Kalau gitu kita ke rumah Jasmin aja gimana? Semalam dia nelfon aku buat datang ke pesta ulang tahunnya, sekaligus pesta pertunangannya."

"Kenapa tidak datang malam saja?"

"Memang sih pestanya malam, uhm yaudah kita ke Mall aja ya? Aku mau beli hadiah buat Jasmin."

Prilly senyam-senyum memikirkan pesta itu. Kalau Ali ikut bersamanya, teman-teman kerjanya dulu pasti iri, termasuk Hana yang suka bersikap sinis terhadapnya. Ini lho Prilly, yang dulu mereka tindas sekarang berada di atas mereka, tapi Prilly tidak mau sombong, biar bagaimana pun juga mereka Prilly anggap teman.

"Baiklah. Hadiah apa yang mau kamu berikan padanya?"

Prilly bergumam tidak jelas. Ia belum memikirkan hadiah yang bagus buat Jasmin. Pasti berakhir mutar-mutar tidak jelas di Mall nanti.

Setelah dipikir-pikir Prilly pun menjentikkan jarinya. "Gimana kalau kamu aja? Aku bungkus pakai kardus kulkas terus aku kasih ke Jasmin."

Ali langsung menoleh menatap Prilly tajam. "Oh? Mau memberikanku pada Jasmin?"

"Jangan dong. Kamu kan milik Prilly seorang, hehe."

Ali mengalihkan pandangannya ke jalan raya.

"Tidak perlu memikirkan hadiah. Biar aku yang memberikannya."

"Memangnya hadiah apa? Jangan yang aneh-aneh deh, biy."

"Tidak, tenang saja."

Prilly pun hanya mengiyakan perkataan Ali. Lalu diam membiarkan mobil Ali terus melaju entah akan membawanya ke mana.

Mobil Ali berhenti di tepi jalan, tepatnya di sebuah jembatan dengan ketinggian 25 meter dari permukaan tanah. Perjalanan tadi berkelok-kelok dengan jalur yang menanjak membuat Prilly pusing. Ali keluar dari mobil lebih dulu. Prilly memperhatikannya dari dalam. Kemudian terkejut melihat Ali berdiri di tepi jembatan berpegangan satu besi di depannya. Buru-buru Prilly keluar, berlari menghampiri Ali dan langsung memeluknya dari belakang.

"Jangan." Tangan Prilly yang melingkar di perut Ali sangat erat. "Aku gak mau kehilangan kamu."

Entah pendengaran Ali yang terlalu tajam atau memang jantung Prilly berdetak kencang. Ali bisa mendengarkan detak jantung Prilly. Debarannya bisa Ali rasakan.

"Aku gak mau kehilangan kamu." Suara Prilly bergetar.

"Ada apa denganmu?" Ali memegang tangan Prilly yang ada di perutnya.

"Jangan bunuh diri Ali, hidup kamu masih panjang. Aku mau kamu selalu sama aku."

Ali tersenyum geli. Dia berdiri di tepi jembatan bukan untuk bunuh diri, melainkan melihat pemandangan di bawah yang terdapat sungai jernih serta pemandangan kota yang sangat indah di kejauhan sana di balik bukit-bukit kehijauan yang membentang. Tapi, mendengar Prilly berkata seperti itu perasaan hangat menjalari hati Ali. Benarkah Prilly tidak mau kehilangannya?

"Kemarilah." Ali melepaskan tangan Prilly di perutnya kemudian menarik Prilly untuk berdiri di sampingnya.

"Lihat ke bawah sana."

Dengan mata yang membulat sempurna Prilly bahkan tidak berani melihat ke bawah. Bukannya senang melihat pemandangan cantik di hadapannya, justru dia tegang. Dalam sekejap matanya pun terpejam. Buliran keringat sebesar biji jagung mengalir dari pelipisnya. Berdiri di tepi jembatan dengan penjagaan besi yang hanya menyerupai tambang membuatnya hampir gila. Mulas dan pusing menyatu.

"Ada apa? Kenapa memejamkan matamu?" Tangan Prilly yang ada di genggaman Ali terasa dingin. Prilly gemetar.

"Kamu----"

"Aaaaaaaaaaaaa Ali tolong! Tolong!" Kaki Prilly terpeleset namun dengan cepat Ali tarik tangannya hingga mereka jatuh bersama ke tengah jalan.

"Aku mati, aku mati, aku mati!!! Huaaaaa Mamaaaaa!!! Dosa aku banyak!!!"

"Hei hei buka matamu!" Ali menepuki pipi Prilly yang terbaring di bawahnya.

"Hah? Aku mati sama kamu?" Prilly membuka matanya.

"Jangan bodoh, kita berdua selamat."

"Beneran?" Prilly menatap Ali. Herannya Ali tidak berpindah dari atasnya. Lelaki itu menatap matanya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Alibaba? Kamu kenapa natap aku gitu? Jatuh cinta ya?" Ali tersadar. Dia memalingkan wajahnya kemudian berdiri menjauhi Prilly.

"Ali? Aku ditinggal?" Prilly duduk di tengah jalan itu. Untung jalanan sepi tidak ada kendaraaan lain selain kendaraan mereka. "Ali?" Ali yang baru sampai depan mobil kembali menghampiri Prilly. "Kamu lucu ya kalau gugup." Prilly terkekeh menyambut uluran tangan Ali.

"Gendong." Prilly berdiri di belakang Ali dan langsung melompat. Kemudian menyembunyikan wajahnya di bahu Ali, tidak mau melirik pemandangan sekitarnya apalagi pemandangan bawah jembatan yang menurut orang indah tapi menurut Prilly menyeramkan.

Karena Prilly takut ketinggian.

"Kamu takut ketinggian?" Tepat sekali Ali bertanya. Prilly menjawab dengan gumaman.

Tidak ada pembicaraan lagi di antara mereka sampai Ali menurunkan Prilly di depan pintu mobil menyuruhnya masuk.

"Sekarang mau ke mana?" Prilly memasang sabuk pengamannya.

"Terserah, kamu mau ke mana?"

"Ke hatimu aja boleh?"

"Mau ke mana?" Ali menatapnya tajam.

"Pulang!" Jawab Prilly ketus.

Ali menjalankan mobilnya meninggalkan tempat itu, tempat favoritnya kala sedang gundah gulana. Dia mendatangi tempat itu setahun sekali. Tempat yang menyimpan kenangan bersama keluarganya saat kecil.

***

"Turunlah!"

Prilly melihat ke luar jendela mobil sambil menautkan alisnya. "Butik?"

"Nanti malam mau ke pesta bukan?"

"Tapi, gaun di lemari kita---"

"Pilih saja gaun yang bagus untukmu nanti," sela Ali tegas lalu keluar dari mobil. Prilly menyusul. Mereka masuk bersama ke dalam butik yang sudah menjadi langganan keluarga Afraz.

"Cari gaun seindah mungkin," kata Ali. Kemudian seorang lelaki dengan langkah gemulai mendekati mereka. Lelaki yang berpenampilan seperti wanita dengan syal merah dan wajah yang dipoles make-up mencolok. Baju ketat tanpa lengan dan rok jeans sepaha yang menutupi celana lejing hitam tipis.

"Oh My God, Mr. Ali!" Suaranya yang seperti tikus kejepit membuat Prily meringis.

"Alibaba lebih tepatnya," ralat Prilly.

"Who are you? Oh, jangan-jangan kamu istri Mr. Ali, right?"

"Yeah," balas Prilly malas. Lelaki itu, ralat, setengah lelaki, memekik girang sambil memeluk Prilly.

"Amazing! Aku bisa bertemu langsung dengan istri Mr. Ali!" Prilly merasa risih di peluk olehnya. "Kenalkan namaku Andria."

"Andri," ralat Ali dengan wajah dinginnya.

"Sorry ya Mr. Ali aku habis selametan bikin tujuh nasi tumpeng buat ganti nama. And my name's Andria, okay?"

"Di mana Rea?" Tanya Ali mengalihkan pembicaraan itu. Tidak butuh waktu lama seorang wanita bernama Rea datang memeluk Ali, bahkan sebelum Andria pergi untuk memanggilkannya. Prilly terkejut. Berdiri di samping Ali memperhatikan wanita cantik blasteran yang memeluk Ali erat lalu bicara seolah tidak melihatnya.

Dan Prilly pun berdeham mengalihkan perhatian wanita itu.

"Maafkan aku. Kamu ... Prilly bukan?" Rea memeluk Prilly begitu saja. Hari ini dua orang asing sudah memeluknya tiba-tiba.

"Kamu perempuan yang sangat beruntung bisa menjadi istri Ali. Kamu sangat cantik." Rea mencubit pipi Prilly gemas.

"Ups!" Rea langsung tersadar, "Maaf aku lancang, habis pipimu lucu. Biar aku kenalkan diriku, namaku Reanda Boustan, panggil aku Rea. Pemilik butik ini." Wanita itu mengulurkan tangannya. Prilly pun menjabatnya seraya tersenyum.

"Aku Prilly."

Mereka saling lempar senyum. Prilly merasa minder sendiri, Rea sangat cantik dengan mata hijau dan rambut pirangnya, memiliki tubuh yang langsing bak model papan atas. Berdiri di dekat Ali, Rea lebih pantas. Pikiran itu langsung Prilly tepis jauh. Ali miliknya!

"Biar kutebak, Ali bawa kamu ke sini pasti untuk mencarikan gaun untukmu."

Prilly menyengir, "Oh, bukan. Kita ke sini cari bikini."

Jelas-jelas cari gaun! Batin Prilly kesal. Diam-diam memalingkan wajahnya mencibir.

"Kamu lucu banget!" Rea tertawa. Prilly hanya diam lalu melirik Ali malas.

"Carikan gaun yang pas untuknya," kata Ali pada Rea. Lewat tatapan Ali, Prilly langsung mengerti kalau Ali menyuruhnya mengikuti Rea. Akhirnya Prilly mengikuti Rea masuk ke bagian dalam butik. Prilly sempat menoleh ke arah Ali, lelaki itu sedang menelepon seseorang.

"Semua gaunnya sangat indah. Aku bingung memilihnya," ucap Prilly pada Andria yang entah sejak kapan sudah berjalan di sampingnya. Prilly melihat beberapa gaun di sisi kanan dan kiri yang dibungkus rapi oleh kotak kaca. Seolah tidak sembarang orang yang bisa menyentuh gaun itu. Melihat price tag gaunnya saja membuat Prilly menelan ludah.

"Semua gaun ini tidak ada apa-apanya, dear. Kamu belum melihat gaun khusus yang dirancang Rea," kata Andria dengan suara gemulainya.

"Gaun khusus?"

"Khusus untuk keluarga terpandang seperti kalian."

"Yang terpandang itu keluarga suamiku." Prilly terkekeh.

"Pernikahan menyatukan keluarga bukan?" Prilly pun mengangguk setuju.

"Pokoknya gaun-gaun itu khusus keluarga yang dikenal Rea saja. Kamu tenang saja, okay? Rea pasti menemukan gaun yang sangat pas untuk kamu."

"Oke."

Hening. Sampai mereka berdiri di depan pintu berwarna perunggu yang berkilauan oleh permata. Kemudian mereka masuk ke ruangan itu. Seketika Prilly terpana melihat seisi ruangan. Puluhan gaun indah di tata melingkar.

Gaun rancangan Rea luar biasa. Prilly merasa rancangan gaunnya yang bekerjasama dengan Mrs. Angela tidak apa-apanya dengan rancangan Rea yang wah ini. Kebanyakan gaun rancangan Rea yang mengembang di bagian bawahnya, ada beberapa yang hanya selutut tapi memiliki ekor gaun sekaki.

"Bagaimana? Kamu bisa memilih salah satunya," ucap Rea. Wanita itu berdiri tidak jauh dari Prilly.

"A-aku bahkan gak tahu yang mana yang pas untukku. Semua ini terlalu indah, aku merasa gak pantas." Prilly terlihat linglung.

"Jangan merendah. Semua gaun ini pantas untukmu, suamimu bisa saja membeli semuanya bahkan butik ini sekali pun. Pilih saja yang kamu suka." Rea tersenyum lembut.

"Atau kita coba gaunnya satu per satu bagaimana?" Karena Prilly diam saja Rea memberikan penawaran. Prilly tak punya pilihan selain menganggukkan kepalanya.

Rea dan Andria langsung sibuk. Dimulai dari Andria yang mengomentari riasan wajah Prilly hari ini untuk menyocokkannya dengan gaun. Prilly langsung tahu kalau Andria adalah penata rias wajah andalan Rea, itu pun setelah Rea membenarkannya. Sebenarnya Rea bisa saja menyuruh pelayan di butiknya untuk melayani Prilly, tapi karena Prilly pelanggan khusus jadi Rea yang mengambilkan tiga gaun di tangannya untuk Prilly coba.

"Mr. Ali bilang kamu mau datang ke pesta pertunangan sahabat kamu," ujar Andria.

"Benar."

"Aku akan merias wajahmu sedikit. Nanti malam kamu akan terlihat sangat cantik berkat tanganku."

"Aaa gak mau, nanti kamu dandanin aku kayak lenong." Prilly menangkup pipinya membuat Andria mendengus.

"Kamu meragukan aku?"

Rea terkekeh, "Andri, uhm maksudku Andria itu penata rias internasional. Kamu jangan khawatir, Prilly. Ayo ikut aku untuk mencoba gaun ini."

Prilly langsung ikut Rea ke ruangan ganti, meninggalkan Andria yang mengerucutkan bibir tebalnya.

Memiliki tubuh kekar seperti laki-laki pada umumnya tapi berdandan seperti wanita membuat Prilly geli sendiri dengan Andria.

"Kamu coba gaun satu ini ya, aku akan memanggilkan Ali. Kita lihat bagaimana reaksinya ketika melihatmu memakai gaun ini."

"Tapi, aku harus menemukan yang pas dulu, Rea."

"Tidak masalah, dicoba saja," Rea mengedipkan sebelah matanya lalu pergi untuk memanggilkan Ali.

Prilly mengelus gaun yang direbahkan Rea di atas matras putih di hadapannya. Terasa lembut di tangannya. Warna putih susu yang sangat memanjakan mata bertaburan kristal di permukaannya. Terdapat bunga-bunga kecil berwarna merah muda di bagian dadanya tanpa lengan. Kemudian Prilly melihat gaun lain yang digantung di sebelahnya. Gaun berwarna hijau muda yang jauh lebih mewah dari gaun sebelumnya. Prilly bingung sendiri mau mencoba yang mana dulu meskipun Rea menyarankannya mencoba yang putih. Dan ketika melihat satu gaun lagi yang berwarna biru muda, Prilly tambah bingung.

Ketiga gaun itu sama-sama indah.

Prilly mendengar suara Rea yang berbicara dengan Ali di luar. Prilly jadi gugup sendiri, bagaimana kalau Prilly mencobanya dan keluar nanti Ali tidak menyukainya?

"Prilly, apa kamu sudah mencobanya?" Itu Rea.

"Ya, sebentar lagi." Prilly mengatur napasnya. Tanpa berpikir lagi ia pun mengambil gaun putih saran Rea. Saat memakainya, gaun itu jatuh dari pinggulnya lembut tepat sampai mata kakinya. Membungkus tubuh mungil Prilly hingga di cermin sana Prilly merasa bukan melihat dirinya. Prilly pun merapikan rambutnya yang panjang kemudian keluar dari ruang ganti itu.

Setelah di luar, Prilly hanya melihat Rea yang tersenyum lebar ke arahnya. Rea menatapnya dari bawah ke atas dengan terpana. Andria yang duduk di sofa pun sampai berdiri melihat Prilly. Prilly merasa malu, takut tidak cocok memakain gaun mewah itu. Tanpa sengaja Prilly melihat Ali berdiri di dekat jendela. Lelaki itu sedang menelepon, dia memang orang yang sibuk. Entah dia sedang ada urusan apa sampai tidak melepaskan ponselnya.

"Kamu cantik banget." Suara Andria berubah serak. Tiba-tiba aura laki-laki tulennya kembali.

Mendengar suara itu membuat Ali menoleh saat masih sibuk menelepon. Melihat ke arah Andria dengan kernyitan dahi kemudian mengikuti pandangannya ke arah Prilly. Dan untuk sejenak Ali terpaku.

"Tuan, Tuan, Anda mendengar saya? Bisa Anda beritahu alamat rumahnya, Tuan?"

Ali disadarkan suara seseorang dari ponselnya. "Aku akan mengirimkanmu pesan." Tut. Ali mengakhiri panggilannya memasukkan ponsel itu ke saku celana.

Prilly memilin jari-jarinya di depan perutnya. Menunduk tidak berani lagi menatap Ali yang terlihat datar. Dalam hati Prilly menggerutu karena Ali tidak mengatakan apa pun terkait dengan penampilannya.

"Bagaimana, Ali? Menurutmu gaun ini cocok untuk Prilly tidak?" Tanya Rea.

Ali masih bergeming di depan sana.

"Atau kamu mau melihat Prilly memakai gaun yang lain?"

Ali tetap saja bergeming.

"Ali? Katakan sesuatu!" Rea mulai kesal.

Jangankan Rea, Prilly saja kesal dengan Ali. Prilly pun menatap Ali dengan berani meski dibalas tatapan dingin oleh lelaki itu.

"Gaun itu saja," kata Ali akhirnya. Kemudian memutar badannya ingin pergi, tapi sebelum pergi dia mengatakan sesuatu, "Dia terlihat cantik dengan gaun itu." Dan dia pergi meninggalkan Prilly yang tersenyum bahagia.

"Kamu dengar kan? Ali memujimu, sudah kubilang kamu itu cantik. Aku rasa bukan hanya gaun ini saja yang pas untukmu, tapi gaun lain juga." Rea ikut bahagia.

"Siap-siap ya nanti malam aku akan datang ke rumahmu untuk merias wajahmu, okay?" Suara Andria kembali terdengar seperti tikus kejepit.

"Okay. Terimakasih Andria, dan juga Rea."

Rea dan Andria mengangguk. Prilly kembali ke ruang ganti untuk memakai pakaian sebelumnya. Setelah itu, dia meninggalkan butik bersama Ali.

***

Malam ini Prilly sudah siap dengan balutan gaun indah dan riasan wajah bantuan Andria. Belum lama ini Andria pulang setelah meriasnya. Prilly tinggal menunggu Ali datang ke kamar untuk mengajaknya pergi ke rumah Jasmin. Dan Ali pun datang. Melihat penampilan Ali malam ini Prilly tidak mengedipkan matanya. Lelaki itu berdiri di ambang pintu dengan balutan tuxedo hitamnya, bukan jas resmi yang biasa dipakainya bekerja. Sambil memegang segelas jus lemon dan tangan yang dimasukkan ke saku celana, Ali menatap Prilly dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Mereka berdua sama-sama terpana.

"Sudah siap?" Tanya Ali memecahkan keheningan yang menciptakan kecanggungan itu. Prilly hanya mengangguk, namun Ali masih diam di ambang pintu. Hingga beberapa saat kemudian Ali masuk meletakkan jus jeruknya di meja. Melangkah mendekati Prilly dengan tidak melepaskan tatapannya sedikit pun.

Dalam sejenak Prilly merasa ada bahaya yang datang. Mau bergerak Prilly tidak bisa, seperti ada rantai berat yang mengikat kakinya. Sampai Ali berdiri tepat di hadapannya, aroma jeruk dari parfum lelaki itu langsung menenangkannya.

"Sebenarnya aku tidak ingin pergi."

Prilly mendongak menatap mata Ali. Terkejut saat Ali menarik tubuhnya lebih mendekat.

"Ka-kalau gitu, aku pergi sendiri."

"Tidak. Kamu tetap di sini." Tubuh Prilly menegang saat tangan Ali mengusap punggungnya yang polos dan meraih tengkuknya hingga hidung mereka bersentuhan. "Aku ingin menghabiskan waktu bersamamu," bisik Ali tepat di atas bibirnya.

Perubahan Ali ini membuat Prilly heran sekaligus takut.

"Aku sudah mengirimkan hadiah untuk temanmu. Jadi, kamu tidak perlu datang."

"Aku terlanjur janji untuk datang." Prilly mendorong Ali hingga Ali menjauh.

"Hanya malam ini saja aku ingin makan malam berdua denganmu," kata Ali. Entah kenapa dari matanya itu terlihat memohon.

"Nggak bisa, aku harus datang ke pesta Jasmin. Malam ini dia ulangtahun sekaligus bertunangan. Jasmin itu sahabat baik aku."

Ali terdiam.

"Kalau kamu gak mau ikut, aku gak masalah. Aku janji gak akan pergi lama."

"Ali, please."

"Baiklah. Supirku menunggu di bawah." Prilly tersenyum lalu memeluk Ali sebentar.

"Aku pergi dulu ya, Daah!" Prilly berlalu meninggalkan Ali di kamarnya.

Ali mengambil ponsel menelepon seseorang. "Batalkan semuanya. Aku tidak jadi makan malam di sana."

Prilly tidak tahu, kalau sejak siang Ali sibuk menyiapkan semuanya untuk Prilly. Dia ingin makan malam bersama di restoran mewah. Gaun yang dia belikan untuk Prilly bukan untuk menghadiri pesta Jasmin, tapi untuk menghadiri pesta kecilnya di restoran itu bersama dengan anggota keluarganya yang lain. Ali pun tidak bisa melakukan apa pun untuk menghentikan Prilly datang ke pesta Jasmin.

Karena Ali salah membiarkan Prilly juga tidak tahu, bahwa hari ini bukan hanya Jasmin yang berulangtahun, tetapi Ali juga.

##

TBC...

Maaf banget nih ya, maaf banget

Aku ...

Hiatus

See u in Maret 2017!

Kalo aku gak nongol di bulan maret, tegur aja oke? Laf u all :*

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

Adopted Child Oleh k

Fiksi Penggemar

202K 31.1K 56
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
10.6M 51.7K 9
18++ Mungkin sedikit ada unsur dewasanya. Mohon yang masih dibawah umur bijak dalam membaca ya.. Tq... Kinan seorang Mc ulang tahun dari sebuah Resto...
1.5M 89.5K 69
Antara fans dan idola yang tidak sengaja dipertemukan.