Marry With Boss

Από tiystories

5.7M 235K 17K

Hanya karena kesalahan yang bahkan tak Prilly sadari membuat Prilly terpaksa menandatangani perjanjian tertul... Περισσότερα

1
2
3
Visualisasi Leo
4
5
6
7
8
9
10
11
12
14
15
16
17
18
19
20
21
Q & A MWB
Penting!

13

188K 10.6K 727
Από tiystories

Tiga lelaki ini begitu kontras, pikir Prilly. Yang kanan terlihat ramah, sementara yang tengah terlihat dingin dan kejam, dan yang kiri luar biasa ramahnya bahkan kelewat banyak berkata. Siapa lagi kalau bukan Verrel, Ali, dan Leo. Ketiga lelaki itu berjalan beriringan ke dalam mansion dengan segala pesonanya.

Mereka bertiga memutuskan membicarakan soal bisnis di rumah Ali. Dengan begitu Ali bisa menjaga Prilly, memastikan Jevan tidak datang dan melakukan sesuatu yang membahayakan Prilly.

"Mowning sayang." Tadinya, Prilly harap Ali yang mengucapkannya tetapi bukan, Leo yang mengucapkannya sambil senyum.

Prilly hanya tersenyum tanpa minat ke arah lelaki tengil itu. Lantas apa kabar dengannya? Dirinya juga tengil bukan?

"Kusut banget mukanya. Kenapa sayang?" Tanya Leo kemudian.

"Bisa diam?" ucap Ali dingin menghentikan Leo. Ali menatap Prilly yang berdiri dengan kruknya di ruang tengah, "Ada apa?"

"Gak, gak ada apa-apa," jawab Prilly, kentara sekali sedang berbohong.

"Neng kenapa? Marah ya Aa datang kemari? Atau kangen sama Aa? Padahal Aa baru pergi tadi pagi Neng." Prilly memutar bola matanya mendengar Leo bicara.

Verrel mengamati Prilly dengan tersenyum meski sebenarnya dia merasa khawatir dengan kondisi kaki Prilly, belum lagi bahaya yang mengancamnya.

Verrel ini sebenarnya teman Ali saat sekolah di menengah atas dulu. Memang Ali disebut-sebut tidak punya teman, tapi Verrel mengenal Ali dan sempat menjadi teman sebangku, entah Ali menganggapnya ada atau tidak, tapi Verrel tetap menganggap Ali temannya, bahkan sahabat hingga mereka menjadi rekan bisnis.

Selain itu, Verrel adalah sepupu kandung Prilly, tanpa Prilly ketahui. Dekat dengan Prilly atau tidak, Ali tidak berhak cemburu.

"Bagaimana keadaanmu, Prilly?" Tanya Verrel begitu saja. Prilly tersenyum tipis menatap Verrel, beralih dari Leo juga Ali.

"Maaf karena aku tidak sempat menjengukmu di rumah sakit," tambah Verrel. Ada nada sesal di dalamnya.

"Aku baik, Pak Verrel. Gak apa-apa kok Bapak gak jenguk yang penting Bapak udah bilang ke Mrs. Angela kalau sementara aku gak kerja dulu mendesain gaun."

Tersenyum. Senyum yang terus mengembang dan terlihat tulus. Tapi, mengapa hati Ali seakan tercubit ya? Verrel itu sepupu Prilly.

Tanpa Ali tahu, keceriaan Prilly yang selama ini ditunjukkan di hadapannya, sebagian besar hanya menutupi kesedihan, bukan kebahagiaan alami.

"Kalian ke sini mau ngomongin pekerjaan kan? Mau aku buatkan teh atau kopi?"

"Ada banyak pelayan di sini," kata Ali seolah tidak mau Prilly yang mengerjakan itu.

"Biar aku aja." Seperti biasa Prilly memaksa.

Verrel pun berkata, "Kalau begitu buatkan aku secangkir kopi hitam yang kental sedikit gula."

"Oke Pak Verrel. Pakai sianida gak?" Prilly terkekeh akan penawarannya sendiri.

"Boleh ..." Prilly terkejut mendengar jawaban Verrel. Sejurus kemudian Verrel tertawa. "Bercanda."

"Gak bercanda juga gak apa-apa kok Pak. Saya rela campurin sianida ke dalam kopi daripada ke dalam cinta, bisa ribet."

"Ada-ada aja kamu ya," Verrel tertawa bersama Prilly.

"Kalau Pak Leo mau minum apa?"

Leo memberengut merasa dikacangi sejak tadi.

"Pak Leo?" Tegur Prilly pelan. Leo pun mengerjapkan matanya.

"Apa Nona manis?"

"Bapak mau minum apa?"

"Susu ..."

"Susu?" Prilly tak percaya.

"Susu kam--," Sadar sedang ditatap tajam oleh Ali, kemudian Leo meralatnya, "Sus-uhm, suka-suka kamu aja deh."

Tadinya Leo ingin berkata, susu kamu. Andai itu terucap mungkin Prilly akan melayangkan jurus taekwondo ke wajahnya hingga lebam.

"Yaudah saya bikinin susu ibu hamil ya?" Tawar Prilly kemudian.

"Lah?" Leo melongo. Lalu tertawa bersama Verrel. Ali? Diam saja. Tidak ada asik-asiknya.

"Kalau kamu mau apa, sayang?" Kali ini Prilly bertanya pada Ali.

"Yeah, kita gak dipanggil sayang, Pak Verrel. Siapa yang gak iri?" Celetuk Leo. Prilly melototkan mata padanya meminta kesempatan untuk berbicara dengan Ali.

"Aku tidak ingin minum apa-apa. Aku hanya ingin kamu diam, istirahat di kamar."

Prilly menggeleng pelan mendengar jawaban Ali. "Aku habis dari kamar, bosan."

"Kuy ah ke kamar aja, Aa temenin," kata Leo.

"Ikut saja ke ruanganku. Kamu bisa membaca buku di sana sementara kami membicarakan bisnis," ucap Ali.

"Hm, oke, aku akan ke ruangan kamu setelah buatin Pak Verrel sama Pak Leo minuman."

"Jangan lama-lama." Ali pun pergi naik ke lantai dua di mana ruang kerjanya terletak tidak jauh dari kamarnya. Verrel dan Leo mengikutinya sampai ruangan itu.

Prilly bergegas ke dapur, ia meminta bantuan pada Ana dan Isabell untuk membuatkan minuman. Selama melakukan itu, Prilly bersenandung ria membuat Ana dan Isabell bahagia melihatnya.

Seorang pelayan lelaki membawa gelas kotor bekas kopi ke meja sebelah Prilly. Merasa aneh dengan penampilan lelaki itu membuat Prilly menatap matanya seolah ia pernah melihatnya.

"Kopi bekas Tuan Afraz?" Tanya Prilly. Ayah mertuanya itu belum lama kembali dari Milan bersama istrinya.

Mengangguk sambil menutupi sebagian wajahnya dengan topi. Pelayan lelaki itu terlihat aneh memutuskan kontak mata dengan Prilly begitu saja.

"Kenapa?" Tanya Prilly hati-hati. Pelayan itu menggeleng lalu pergi.

"Dia siapa?" Tanya Prilly pada Ana, "Aku belum pernah melihatnya," sambungnya.

"Mungkin pelayan baru, Nona," kata Ana.

Prilly tidak percaya. Kalau pun lelaki tadi benar pelayan baru mengapa tidak mengenalkan diri pada majikan terlebih dahulu?

"Kamu tidak mengenalnya, Ana?" Ana menggeleng.

"Kamu, Isabell?" Isabell pun menggeleng.

Prilly mengernyitkan dahinya. Sedetik kemudian ia mengangkat bahu. "Kalian berdua pergi saja, aku akan mengantar minuman ini."

Mariana dan Isabell pun melenggang pergi.

Baru Prilly ingin pergi, namun suara di belakangnya mengejutkannya.

"Well, karena kamu sudah melihat wajahku, sepertinya aku tidak perlu bersembunyi lagi."

Suara dingin yang berhembus mencapai telinga Prilly membuat bulu kuduk Prilly meremang. Prilly membalikkan badannya perlahan. Melihat lelaki berbadan tinggi memakai pakaian pelayan sambil melempar topi yang sempat menutupi kepalanya. Rupanya lelaki itu menyamar menjadi pelayan. Lelaki yang dua hari lalu mengiris jari sendiri dan memberi jejak di jendela dengan tanda silang.

Lelaki dengan wajah menyeramkannya namun tampan. Seperti iblis yang menyamar menjadi malaikat. Tidak jauh seperti Ali dengan wajah dingin yang dimiliki.

"Lo siapa?! Jangan macam-macam sama gue ya!" Bentak Prilly. Lelaki itu terkekeh sinis menegakkan badannya yang bersandar di tembok.

"Aku? Siapa? Kamu tidak mengenalku ya?" Dia melangkah mendekat penuh ancaman membuat Prilly melangkah mundur dan mengulurkan tangannya yang mengepal di depan dada.

"Diam di sana!!!"

"Shh jangan berteriak!" Ada api dendam di mata lelaki itu.

"Aku berusaha menghancurkan Ali tapi selalu gagal, tapi kali ini aku bisa menghancurkannya melalui kamu."

Prilly terkejut. Jadi, sebenarnya sasaran lelaki itu adalah Ali? Tapi mengapa dirinya yang-

"Bingung?" Tertawa jahat. Lelaki itu mengeluarkan pisau lipat dari saku celananya. "Hampir delapan tahun yang lalu aku sempat menghancurkan Ali dengan membunuh orang yang dicintainya."

"A-apa? Maksud lo apa?" Tanya Prilly dengan berani.

"Aku membunuh ... Natasha." Prilly semakin terkejut karenanya, "Sebenarnya aku hanya membantu mempercepat kematian Natasha saja. Kasihan kan, dia digerogoti penyakitnya." Wajahnya terlihat sedih tapi langsung berubah kejam.

"Sekarang giliranmu ..." Prilly beringsut menjauhinya.

Lelaki ini tahu soal Natasha. Berarti dia datang dari masa lalunya.

"Kenapa selalu ada orang yang membantu merubah seorang Ali. Tanpa orang itu tahu Ali sudah merenggut semuanya dariku, aku tidak ingin melihat dia bahagia, aku ingin dia merasakan kesedihan yang berlarut hingga bisnisnya terbengkalai dan aku bisa menguasai kekayaannya itu."

Sekarang Prilly tahu alasan penjahat ini melukainya. Agar Ali merasa sedih kehilangannya. Bahkan Prilly saja tidak tahu apa Ali akan merasa sedih jika terjadi sesuatu padanya.

"Ali sudah membunuh adikku," pandangan lelaki itu menggelap tertunduk sesaat, seperti menyimpan luka yang mendalam. "Dia mencampakkan adikku karena lebih memilih Natasha. Setelah Natasha pergi dia malah menemukanmu dan menikahimu."

"Ali gak mungkin seperti itu!" Teriak Prilly tak terima.

"Ya. Adikku bunuh diri tepat saat kalian menikah. Tapi, semua karena Ali! Ali yang menyebabkan adikku putus harapan hingga mengakhiri hidupnya!"

Oh betapa cinta dapat menghilangkan nyawa seseorang. Prilly pikir hal semacam itu hanya ada di sinetron namun ternyata dalam kehidupan nyata banyak juga kasusnya, mungkin salah satunya adik penjahat ini yang mencintai Ali.

"Ali gak bersalah! Seharusnya adik lo itu mengerti kalau Ali sama sekali gak mencintainya!"

Lelaki itu mengernyitkan alisnya, "Begitu ya? Bagaimana denganmu? Apakah Ali mencintaimu? Harusnya kamu sadar kalau kamu itu hanya sebagai pengganti Natasha."

Dar! Prilly tercenung. Dia benar. Prilly tidak tahu Ali mencintainya atau tidak. Dan apa maksudnya pengganti? Menikah dengannya saja Ali masih mencintai Natasha.

"Untuk apa kamu masih ada di sini? Harusnya kamu ada bersama adikku. Mengakhiri hidupmu seperti adikku karena tidak mendapatkan cinta dari lelaki yang sama. Percuma saja kamu menantikan cinta Ali yang tidak akan berbuah."

Menghasut. Satu kata yang ada di pikiran Prilly. Lelaki ini mencoba menghasutnya dengan cara seperti itu. Dia tahu semuanya. Cukup membuktikan kalau dia adalah lelaki yang berkedok penjahat dan sangat berbahaya. Pantas Ali sangat marah saat pengawalnya ceroboh dalam memperketat keamanan, hingga kini pun pengawal-pengawal Ali tetap ceroboh membiarkan si penjahat ini masuk. Mungkin memang penjahatnya yang terlalu cerdik dengan menyamar sebagai pelayan sampai mereka tak menyadari kalau musuh Ali sudah di dalam.

"Tenang saja, aku akan membantumu mengakhiri hidupmu. Mau ku iris nadimu, atau kudorong dari balkon rumah ini?"

Untuk sejenak Prilly merasa ngeri melihat senyum yang nampak mengerikan di wajah lelaki itu. Tidak ada candaan dari nada bicaranya.

Prilly bisa saja mengeluarkan jurus bela dirinya. Sayangnya, tangan kanan yang sempat mengalami luka masih terasa lemas hingga tidak mungkin jika ia layangkan pukulan pada lelaki itu.

"Takut? Jangan takut ... aku cuma mau bantu kamu mati kok." Tawa jahat itu kencang sekali.

Lelaki ini gila. Prilly berpegangan meja di belakangnya. Ia menatap pintu dengan cemas. Pintu kaca yang membatasi dapur dengan ruangan tengah, kalau ia beteriak pun belum tentu Ali yang berada di lantai dua mendengar.

"Mau minta tolong? Silahkan saja," ucap lelaki itu bisa membaca pikiran Prilly.

Tanpa pikir panjang Prilly bergerak, namun kruk yang menjadi alat bantunya berjalan terlepas hingga ia harus terjatuh ke lantai. Prilly menangis saat lelaki itu kembali tertawa.

"Ck, ck, ck ... kasihan gak bisa lari."

Tiba-tiba gedoran pintu mengalihkan perhatian penjahat itu. Ali ada di luar sana. Terkejut ketika melihat Prilly di lantai apalagi melihat pisau di tangan Jevan.

"Wow pahlawan kita sudah datang!" Seru Jevan.

"Lepaskan dia," ucap Ali tak kalah dinginnya dari Jevan saat pertama kali datang. Wajah Ali berubah tenang, datar, namun siapa tahu kalau lelaki itu bisa saja melakukan banyak hal yang dapat membalas perbuatan Jevan.

Kemarahan yang terpendam.

Menunggu Prilly selama hampir setengah jam membuat Ali merasa tidak enak hingga ia menyusulnya ke dapur. Dan terkejut melihat firasatnya yang buruk benar terjadi.

Prilly dalam bahaya. Jevan menarik Prilly dan mengunci kedua tangan Prilly ke balik punggungnya. Lalu menempelkan pisau lipat itu di pipi Prilly.

Ada keterkejutan di mata Ali sampai pintu kaca itu pecah dihancurkan oleh para anak buah Ali.

"Aaaaaww!" Prilly merasakan perih di tangannya saat Jevan memindahkan pisau itu dari pipi Prilly dan melukai tangannya. Luka yang terbuka itu meneteskan banyak darah ke lantai membuat Ali terlihat murka. Jevan tak tanggung dalam melukai seseorang. Musuh Ali satu ini sangat dendam padanya sejak lama. Iri dengan kekuasaan yang dimilikinya. Maka tak segan melukai orang terdekat Ali.

"Pertama, kau menghancurkan pintu itu dan masuk. Jadi, aku melukainya. Kalau kau mendekat, aku akan melenyapkan nyawanya."

Ali menahan para anak buahnya untuk menerjang Jevan saat Jevan menaruh pisau lipat itu ke leher Prilly. Untuk beberapa detik Prilly tidak bisa bernapas karena Jevan sedikit mengiris lehernya membuat Prilly merasakan perih yang menyiksa.

"Ali ..." lirih Prilly. Tatapan Ali padanya seolah memberikan kekuatan dan mengatakan semua akan baik-baik saja.

Jevan tidak tahu kalau ada Verrel yang masuk melewati jendela di belakangnya. Verrel bergerak tak menimbulkan suara dan langsung menerjang Jevan dari belakang dengan tangan kosong. Prilly terlepas dari tangan Jevan yang hampir menusukkan pisau ke lehernya. Prilly pun terjatuh di lantai dalam keadaan lemas dan Ali datang mengangkat tubuhnya.

Verrel melawan Jevan tanpa rasa ngeri, dibantu Leo yang tak lama datang mematahkan serangan Jevan saat ingin melayangkan tinjuan ke wajah Verrel. Dua lelaki itu tidak perlu diragukan lagi dalam hal bela diri. Dan para anak buah Ali mengepung Jevan hingga tidak bisa melarikan diri. Jevan ditangkap kemudian dibawa oleh polisi yang ditelepon oleh Leo sebelumnya.

Ali sudah tidak ada di dapur itu. Ia membawa Prilly ke rumah sakit karena Prilly tidak sadarkan diri.

***

Ada cubitan aneh di hatimu ketika melihat orang terdekatmu mengalami hal buruk, terutama pada orang yang kamu sayangi.

Ya. Ali akui perasaan sayangnya terhadap Prilly. Rasa kehilangan menatap wajahnya yang pucat dengan mata terpejam membuatnya benar-benar tidak enak sendiri. Dan Ali tidak suka itu. Harusnya ia tenang tapi percuma saja ia terlihat cemas. Sepertinya Verrel dan Leo menyadari raut wajahnya. Dua lelaki itu belum lama datang dan berdiri di dekat Ali. Bukannya memperhatikan Prilly, mereka berdua malah memperhatikan Ali, seolah ada sesuatu yang menarik di wajah Ali karena saat ini Ali terlihat berbeda, tidak pernah seperti itu sebelumnya.

"Bangunlah," gumam Ali sambil memperhatikan kelopak mata Prilly.

"Sabar ya Boss, gak lama lagi Prilly pasti sadar," ucap Leo, kali ini serius akan perkataan dan ekspresi wajahnya.

"Ini sudah 15 menit dia belum sadar." Ali tidak suka menunggu. Seperti biasa baginya 15 menit itu lama sekali.

Dan penantiannya pun berakhir. Bulu mata Prilly bergerak-gerak hingga mata cokelat terang itu terpancang indah menatap langit kamar, namun terlihat berkaca-kaca. Sepertinya Prilly teringat apa yang sudah dilakukan Jevan terhadapnya.

"Hei." Panggilan lembut Ali dan elusan tangannya di pipi Prilly mampu mengalihkan perhatian Prilly dari langit kamar. Air mata Prilly pun mengalir dari sudut matanya kala menoleh menatap Ali.

"Semua baik-baik saja. Jangan khawatir."

Prilly menggenggam tangan Ali di pipinya. Menangis sesenggukkan di tangannya itu.

Verrel menatap Leo sejenak dan dua lelaki itu pun meninggalkan ruangan memberikan privasi untuk Ali dan Prilly.

Ali membiarkan tangannya basah oleh air mata Prilly. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar lagi dari mulutnya.

"Di-dia ma-mau bunuh a-ku ..."

Ali mengulurkan tangannya mengelus puncak kepala Prilly. Tangisan Prilly bukannya berhenti malah makin kencang membuat Ali bangkit dari kursi lalu memeluk Prilly dengan posisi berbaring.

"A-aku takut ..." Tangan Prilly menyelip di antara kedua lengan Ali memeluk punggungnya.

Ali memejamkan matanya saat mencium puncak kepala Prilly. Memberikan ketenangan pada gadis itu meski tidak lewat kata-kata lagi. Hingga selang beberapa menit Ali bangun melepaskan pelukannya. Menunduk menatap Prilly yang masih menangis.

"Jevan sudah ditangkap," ucap Ali, setidaknya membuat Prilly sedikit lebih tenang.

Hening.

Hingga tangisan Prilly benar-benar reda.

Ali duduk di kursi mengamati Prilly.

"Kamu jelek kalau menangis."

Raut wajah datar Ali yang membuat Prilly kesal, bukan karena kata-katanya itu. Hingga Prilly harus menabok kencang bahu Ali lalu duduk di ranjang.

"Kenapa memukulku?"

"Kenapa? Kamu gak bisa senyum dikit ke aku gitu?" Prilly menghapus air matanya kasar, "Apa ini cara kamu menghibur? Istri kamu ini lagi ketakutan, malah dikatain jelek lagi!"

"Aku harus apa, kamu memang jelek."

Muka polosnya minta ditabok.

"Aliii!" Prilly tidak punya pilihan lain selain menjambak rambut Ali. Jadilah mereka seperti duo cewek alay yang berantem karena memperebutkan satu cowok. Sebenarnya Ali tidak harus menarik rambut Prilly, namun karena ia merasa sakit dijenggut Prilly jadi ia melakukan hal yang sama, bahkan berpindah mencubit kedua pipi Prilly.

"Aw has hamu yah." Prilly kesulitan bicara karena Ali menarik kedua pipinya kencang hingga sudut bibirnya tertarik ke kanan dan kiri.

"Awiii wepasin!"

Tak lama Ali melepaskan tangannya dari pipi Prilly lalu menggenggam pergelangan tangan Prilly hingga Prilly juga melepaskan rambutnya.

"Sakit," rengek Prilly sambil menangkup pipinya. Ali melihat pipi Prilly merah karena cubitannya itu.

Prilly ngambek dengan Ali tapi ketika melihat ekspresi Ali yang kesal langsung tertawa, apalagi rambut mereka sama-sama berantakkan seperti tidak pernah menyisir.

Melihat Prilly yang tertawa ngakak, Ali ikut terkekeh geli.

"Astaga!! Ada orang gila di sini! Pak? Pak Verrel! Telfon rumah sakit jiwa buat bawa pasangan gila ini!"

Suara Leo yang membahana itu menampilkan Verrel di ambang pintu dengan napas tersengal-sengal.

"Apaan sih kamu Leo, saya baru mau ke toilet! Kenapa kamu teri--" Omongan Verrel terputus ketika melihat ke dalam di mana ada Ali dan Prilly yang terlihat ... aneh.

"Kalian berdua kenapa?" Verrel mengepalkan tangannya di depan mulut. Sejenak ia terbahak bersama Leo melihat penampilan Ali.

"Rambut kenapa Li, kayak plok mangga gitu?"

Ali dan Prilly menatap datar kedua lelaki itu. Cocok sekali. Entah ke mana tawa mereka tadi.

"Sudah puas?" Desis Ali kemudian.

Verrel berdeham, begitu juga dengan Leo. Suasana ruangan itu menjadi hening.

Kemudian Ali berdecak sambil menata rambutnya, "Ah rambutku..." Lelaki itu pergi ke toilet.

Prilly tersenyum geli. Ali termasuk orang yang sangat menjaga penampilannya termasuk gaya rambutnya itu.

Tidak butuh waktu lama Ali kembali dari toilet. Tidak adil rasanya melihat Ali yang terlihat seperti sebelumnya. Tidak berantakan lagi. Dia selalu tampan, pesona yang dimilikinya memang tidak bisa diragukan. Sementara Prilly masih terlihat berantakan.

"Kemarilah."

Ali menyisiri rambut Prilly dengan jari-jari rampingnya. Haruskah Prilly melongo seperti orang bodoh?

"Ea ea sisir yang bener Boss biar cantik lagi," Goda Leo.

"Mengganggu," desis Ali yang langsung dapat teriakan dari Leo.

"Apa???!"

"Bisa diam?" Ali menatap Leo tajam. Well, dua kata itu biasanya ia katakan pada Prilly, namun kali ini ia katakan juga pada Leo.

Karena Prilly dan Leo sebelas duabelas.

Hening.

"Selesai," Prilly kembali rapi dengan rambut sedikit bergelombang yang melewati bahunya. Ali memasukkan dua tangannya ke saku celana mengamati Prilly.

"Cantik," gumam Ali tanpa sadar.

"Apa?" Prilly tersenyum lebar.

"Apa?"

"Kamu bilang apa tadi?"

"Memangnya aku bilang apa tadi?"

Prilly mendengus.

"Tonjok yuk, Pril!" kata Leo.

"Yuk ahh!"

"Ikutan dong," timpal Verrel, "Kayaknya seru nonjok muka Ali."

"Sebelum kalian menonjok wajahku, aku akan beri kalian pelajaran," ucap Ali serius dengan tatapan sangarnya.

"Pelajaran? Satu tambah satu sama dengan dua, berarti dua tonjokkan ya Bos. Dua tambah dua sama dengan delapan, jadi delapan tonjokkan ya Bos ..."

"Hei, bodohnya kau! Sejak kapan dua tambah dua, delapan?" Verrel menabok bahu Leo kencang membuat Prilly tertawa.

Ternyata Leo bisa memberi pengaruh buruk terhadap Verrel. Semoga saja Verrel tak sesomplak Leo. Itu saja harapan Prilly.

"Dua tambah dua itu angsa yang saling jatuh cinta. Ea." Leo menaik turunkan alisnya itu.

"Pergi dari sini atau mau kupecat?" ucap Ali datar.

"Huhuhu jahatnya dikau! Aku sudah bersamamu selama bertahun-tahun," balas Leo dramatis, kemudian menatap Prilly dengan tatapan galak, "Ini semua karena kamu! Kamu merebut Ali dariku, huh!" Leo mengibaskan tangannya.

"Najisin banget dah Pak Leo," cibir Prilly.

"Halah, najis-najisin kamu tetap suka kan?"

Ali menunduk sebentar. Terkadang ia bingung dengan Leo dan Prilly. Gaya bicara mereka sama. Mereka kembaran? Mengapa sama-sama mengesalkan?

"Sudah, diam!" kata Ali tegas hingga Leo pun diam. Anak yang baik.

Ali menatap Prilly sejenak. "Bersiap-siaplah, hari ini juga kita pulang."

"Aye aye sayaaang." Prilly mengedipkan sebelah matanya.

Kadang, dunia ini memang gak adil. Saat perempuan di luar sana dapat perlakuan spesial dari pasangannya, justru Prilly di sini yang melakukan itu. Berjuang agar pasangannya, yaitu Ali juga bisa memperlakukannya spesial seperti lelaki pada umumnya.

Semua karena ... Ali.

Tapi, seperti ini saja Prilly bersyukur. Meskipun pendiam, Ali itu manis. Ali punya cara tersendiri untuk menghibur dirinya.

***

Afraz dan Dian merasa sangat cemas dengan kondisi Prilly. Tidak lebih cemas dari seorang lelaki yang duduk di kursi roda. Lelaki berusia kepala lima yang baru sembuh dari penyakitnya. Datang beberapa menit yang lalu setelah dijemput oleh Afraz dan Dian di bandara. Pertama menginjakkan kaki di mansion Afraz, lelaki setengah baya itu dikejutkan dengan keadaan rumah yang berantakan dan sedang dirapikan oleh beberapa pelayan. Hingga salah satu pelayan memberitahukan apa yang terjadi dengan Prilly.

Tadinya, mereka ingin pergi ke rumah sakit, namun telepon dari Ali lah yang mencegah mereka. Akhirnya, mereka menunggu Prilly pulang di ruang tamu itu.

"Ke mana mereka? Kenapa belum sampai juga?" Gumam Dian tidak sabar. Beberapa kali melirik ke arah pintu menanti putra sulung dan menantunya datang.

"Kak Ali belum pulang ya, Ma?" Suara Aris datang dari arah tangga. Dian, Afraz, dan lelaki itu menatap ke arah Aris.

"Kamu kenapa pakai ketiduran segala sih? Sampai gak tahu kalau kakak ipar kamu dalam bahaya! Coba kamu telepon kakak kamu. Sudah sampai mana dia?" ucap Dian kesal.

Kebiasaan Aris, kalau malamnya habis tampil DJ di suatu tempat hingga pulang larut malam, maka paginya dia akan tidur bahkan bisa sepanjang hari. Tidak beda jauh dengan kakaknya itu. Hingga tidak menyadari kalau di dalam rumah ada kegaduhan.

"Maaf, Ma. Aris ngantuk banget soalnya. Aris udah telepon kakak, katanya bentar lagi sampai. Nah, itu kakak!" Aris melihat ke arah pintu, begitu juga semua orang di ruangan itu.

"Baru juga diomongin." Aris berjalan menghampiri ruang tengah dan duduk di dekat lelaki yang duduk di kursi roda.

Ali datang sambil mendekap Prilly dengan satu tangannya. Membantu Prilly berjalan sampai Dian ikut membantu.

"Kamu gak apa-apa, sayang?" tanya Dian lembut. Berada di pelukan Dian membuat Prilly selalu merasakan kasih sayang seorang Ibu.

"Aku gak apa-apa, Ma." Prilly dibantu duduk di sofa tepat di sebelah Dian.

"Syukurlah sayang kamu gak apa-apa. Ini gara-gara Mama yang jarang ada di rumah, jadi gak bisa menemani kamu."

"Mama gak salah. Mama jangan khawatir ya, Mama fokus aja sama bisnis Mama, aku di sini kan ditemani muka tem---maksudnya Ali, hehe."

Dian mengelus rambut panjang Prilly kemudian mengecup puncak kepalanya.

"Apa ada luka yang parah?" Kini Afraz bertanya. Prilly menggeleng seraya tersenyum.

"Tidak ada, Pa." Prilly mengusap perban di tangannya.

"Syukurlah tidak terjadi sesuatu sama kamu. Beruntung Jevan berhasil ditangkap. Lelaki itu memang selalu mencari masalah dengan Ali."

Prilly tidak mau mengingat lelaki itu lagi. Prilly alihkan perhatiannya ke arah lelaki yang duduk di kursi roda sebelah Aris. Di belakangnya ada satu perempuan dan satu lelaki. Mungkin pengawalnya.

Benak Prilly bertanya-tanya mengapa lelaki di kursi roda itu menangis. Prilly menatap Dian penuh tanya lalu menatap Ali yang tanpa ekspresi duduk di seberang kanannya.

"Papa," ucap Ali.

Prilly tak mengerti tatapan Ali. Ali berkata seperti itu memanggil Afraz atau ... lelaki yang dikursi roda? Kenapa pandangan Ali beralih ke lelaki itu?

"Papa?" Gumam Prilly lambat.

"Papa kamu. Papa kandung kamu."

Prilly membulatkan matanya memandang lelaki di kursi roda itu.

"Nak," suara lembutnya membuat mata Prilly berkaca-kaca.

Seorang lelaki yang membuatnya ada di dunia ini, yang ia pikir sudah meninggalkannya saat kecelakaan besar dulu, ternyata lelaki yang mengalami kecelakaan itu bukanlah Ayah kandungnya. Tapi, lelaki yang ada di hadapannya inilah Ayah kandungnya. Jauh, asing, terasa aneh, namun Prilly terenyuh saat mendekat menatap matanya. Merasa becermin melihat bola mata yang sama. Cokelat terang namun terlihat lemah.

"Papa?" Satu tetes air mata lolos dari kelopak mata Prilly. Prilly berlutut di hadapan Papa nya dan menangis di atas pangkuannya.

"Alhamdulillah, aku masih punya Papa." Prilly merasakan elusan tangan di puncak kepalanya.

Dengan suara seraknya, Dani berkata, "Putri Papa yang Papa pikir sudah tidak ada, ternyata tumbuh menjadi anak yang mandiri, diasuh oleh orang lain. Karena kesalahan Kakak kamu, Natasha. Kamu jauh dari kita semua. Ini Papa sayang, maafkan Papa baru menemuimu hari ini."

"Papa sakit ..." Prilly tidak kuasa membendung air matanya. Harapan Prilly adalah Papa nya akan selalu ada bersamanya setelah apa yang sudah dialaminya selama ini. Prilly ingin Papa nya bahagia karena masih ada Prilly meskipun Istrinya dan putrinya yang lain itu sudah tiada.

"Papa sudah sembuh sayang." Dani menghapus air matanya saat Prilly mendongak menatapnya. "Kalau Papa bisa memutar waktu ke masa lalu, Papa ingin menggendong kamu, mengajari kamu berjalan sampai bisa, bahkan menggendong kamu dan Natasha sekaligus. Tapi, Papa tidak bisa melakukan itu, yang terpenting sekarang Papa sudah bertemu kamu, Papa ingin menebus kesalahan Papa selama ini karena membiarkan kamu berada di luar sana bersama keluarga lain, meskipun begitu Papa sangat berterimakasih sama keluarga yang sudah merawat dan menjaga kamu."

"Papa gak salah, Pa. Ini memang takdir hidup aku. Semua yang terjadi biarkan aja, aku sudah sama Papa sekarang, aku putri Papa. Papa gak akan merasa sendirian lagi. Mungkin aku memang baru bertemu Papa, tapi hati aku mengatakan kalau aku harus menghormati Papa sebagaimana kewajiban anak pada orangtuanya. Aku merasakannya, Pa, merasakan adanya tali yang kuat yang membuat aku yakin kalau Papa memang Papa kandung aku."

Momen mengharukan itu disaksikan semuanya. Aris yang ada di sebelah Dani menahan air matanya untuk tidak jatuh. Ali hanya tersenyum tipis setelah itu kembali datar. Dian memeluk Afraz bahagia, karena telah berhasil menyatukan Prilly dengan keluarga kandungnya.

"Sudah jangan menangis lagi, dari dulu Papa paling tidak suka putri Papa menangis, apalagi karena Papa." Dani menghapus air mata Prilly.

"Lihatlah Rahma, bukankah putriku sangat cantik?" Dani bertanya pada perawatnya. Rahma yang berdiri di dekat Dani pun tersenyum.

"Ya, putri Anda sangat cantik, Tuan."

Rahma adalah perawat berusia kepala tiga yang merawat Dani semenjak sakit. Sebentar lagi Rahma meninggalkan pekerjaannya itu mengingat Dani sudah sembuh.

"Bagaimana menurutmu, Henry?" Kali ini Dani bertanya pada asistennya. Henry pun tersenyum.

"Tentu, dia sangat cantik, Tuan."

Henry adalah asisten Dani yang mengabdi sudah bertahun-tahun. Usianya sudah berkepala empat. Dia bahkan mengetahui apa yang terjadi dengan keluarga Dani.

"Kalau boleh saya ingin mengatakan, putri Anda---"

Ucapan Henry terpotong dengan suara deringan ponsel Ali.

"Maaf," Ali beranjak pergi untuk mengangkat ponselnya. Prilly melihat kepergiannya ke arah kolam renang.

"Sebenarnya nama kamu itu Anastasya, bukan Prilly," kata Dani.

"Anastasya? Mirip dengan Natasha."

"Tadinya, kami ingin memanggilmu Tasya, lalu Natasha dipanggil Nata, tapi karena saat itu kamu dinyatakan meninggal oleh penculik itu, jadi panggilan Tasya untuk Natasha."

Prilly tersenyum. "Anastasya nama yang bagus, Pa. Boleh aku pakai? Jadi, Anastasya Prilly."

"Tentu boleh, putriku." Prilly memeluk Dani lalu duduk di sebelahnya setelah Aris pindah ke sofa lain.

"Papa harus pulang sekarang, Nak."

"Kenapa buru-buru? Papa baru ada di sini kan? Papa belum lama ketemu sama aku. Papa belum cerita banyak hal sama aku. Papa belum makan atau minum. Papa--"

"Benar kata Ali, kamu beda ya," sela Dani.

"Berbeda?" Prilly menautkan alisnya.

"Kamu bawel sayang." Dani mencubit hidung Prilly sambil terkekeh.

"Ih aku gak bawel," rengek Prilly.

Dian dan Afraz ikut tertawa.

"Gak bawel sih cuma cerewet," timpal Aris.

"Apa bedanya? Ih Aris ah ..."

"Sudah, Papa bercanda," kata Dani. "Papa pergi dulu ya sayang, hari ini Papa mau cek kesehatan Papa terakhir kali, setelah itu kita bisa sama-sama lagi."

"Habis itu Papa ke mana? Papa gak tinggal di luar negeri lagi kan?"

"Papa tinggal di luar negeri cuma buat berobat. Papa tinggal di sini kok, kebetulan Papa beli rumah yang gak jauh dari sini."

"Aku jadi bisa nemuin Papa dong, aku mau merawat Papa sampai benar-benar sembuh."

"Tidak perlu, sayang. Ada Bu Rahma dan Pak Henry yang rawat Papa."

"Nggak. Biar bagaimanapun juga aku ikut merawat Papa. Aku anak Papa," ucap Prilly tidak bisa dibantah.

"Ya sudah, terserah kamu." Dani menoel hidung Prilly.

Ali kembali, melihat Papa dan Anak itu sedang bercengkrama dan terlihat bahagia.

"Sekarang, aku mau nemenin Papa check up."

Dani menggeleng tidak setuju. Ali mengernyitkan dahinya. Afraz dan Dian saling pandang. Sementara Aris sibuk memainkan ponsel menghubungi gebetannya.

"Tidak!" ucap Dani dan Ali kompak. Dani menatap Ali sejenak membuat Prilly mengikuti pandangannya. Seketika Prilly memelas menatap Ali.

"Kamu baru saja dari rumah sakit, Papa kan ditemani Rahma dan Henry. Lebih baik kamu istirahat ya, sayang," kata Dani. Prilly menatap Papa nya itu dengan cemberut.

"Aku gak apa-apa, lagi pula cuma nemenin Papa ke rumah sakit. Habis itu aku pasti pulang, please."

Prilly kembali menatap Ali, "Boleh ya aku ikut Papa? Ya? Ya? Kalau gak boleh aku akan memperkosa kamu di sini."

Ali semakin mengerutkan dahinya. Lagi-lagi Prilly mengancam kalau menginginkan sesuatu, sebenarnya dia tahu sekali Prilly tidak akan berani melakukan itu padanya.

"Baiklah. Kalau sudah selesai, hubungi aku. Akan kujemput," putus Ali.

Prilly pun senang bukan main, "Terimakasih, hubbiy!"

"Kalau begitu, ayo kita berangkat!" Ajak Dani akhirnya. Prilly pamit pada kedua mertuanya lebih dulu setelah itu pergi bersama Papa nya itu. Setidaknya siang ini Prilly bisa menghabiskan waktunya bersama Papa.

Ali menghubungi seseorang. Belum sampai deringan ketiga, orang yang dihubungi sudah datang. Leo dan Verrel. Ali pun memasukkan ponselnya ke saku.

"Kami ke atas," ucap Ali pada kedua orangtuanya. Kemudian pergi bersama Verrel dan Leo melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.

***

Sekitar pukul 7 malam Aris berdiri di ambang pintu kamar Ali sambil mengunyah keripik kentang. Aris melihat Ali berdiri di tengah kamar sambil memutar-mutar ponsel. Wajah Ali terlihat marah.

"Mikirin Kak Prilly, ya?" Ini. Sifat Aris yang ada dari dulu, suka banget usilin kakaknya yang super dingin.

"Mau apa ke sini? Pergi ke kamarmu," jawab Ali tak acuh.

"Tidak, cuma mau lihat bagaimana kondisi Kakak ditinggal nginap sama Kak Prilly." Aris cengar-cengir lalu memakan keripiknya lagi.

Ada perbedaan di raut wajah Ali. Entah terkejut atau marah, keduanya berlangsung cepat.

"Menginap?"

Aris menyengir semakin lebar. "Kakak gak tahu yaaa?"

"Teleponku tidak diangkat."

"Wah! Tega banget Kak Prilly ya, padahal dia baru aja nelfon Mama."

"Kau berbohong?"

"Buat apa aku berbohong soal ini Kak. Kalau dia tidak menginap pasti sudah pulang sejak tadi sore."

Aris berhasil membuat Ali semakin marah. Buktinya Ali meremas ponselnya sendiri.

"Ngantuk nih. Aku mau ke kamarku, selamat malam Kak, sementara kelonin guling aja dulu. Insya Allah bermanfaat."

Aris terkekeh geli, tidak peduli bagaimana Ali terlihat seperti ingin membunuhnya. Dan Aris pergi dari kamar Ali dengan tawa mengejek.

Ali menghampiri pintu setelah Aris benar-benar pergi, menutup pintu itu dengan bantingan keras kemudian menguncinya.

Entah kenapa dia menjadi gusar. Duduk di tepi kasur, menatap ponsel yang tidak menunjukkan tanda kalau Prilly menghubunginya. Hingga dilemparnya ponsel itu ke sofa seberang.

"Dia ..." Ali mengernyitkan dahinya menatap foto Prilly di atas nakas. Menggertakkan gigi karena merasa tidak dihargai. Prilly menginap tidak mengabarinya lebih dulu? Apa-apaan ini?

Ponsel itu berdering. Ali segera menghampiri ponsel itu, tanpa melihat nama di layarnya, dia langsung angkat begitu saja.

"Apa kamu sudah gila?! Mengapa tidak memberitahuku kalau menginap?!" ucap Ali marah.

Ali pikir dia akan mendengar suara Prilly. Tapi, suara bass yang sedikit serak milik Dani mengejutkannya.

"Saya? Gila?"

Ali menurunkan ponselnya memijit kening. Kemudian menghela napas menyatukan kembali ponsel itu ke telinga.

"Papa?"

"Ya, ini Papa. Bukan orang gila."

"Maafkan aku, Pa. Aku pikir--"

"Prilly? Papa sudah menduganya." Ali dengar Ayah mertuanya terkekeh geli di seberang sana.

"Papa sudah memaksa Prilly untuk menghubungi kamu, tapi dia tidak mau."

Ali mengepalkan tangan kirinya. Alasan apa yang membuat Prilly tidak mau menghubunginya? Serta tidak mengangkat puluhan panggilannya?

"Apa dia ada bersama Anda?" Tanya Ali kemudian.

"Dia sudah tidur di kamarnya, sepertinya kelelahan."

Ali memejamkan matanya sejenak. Lega? Mengapa ia merasakan itu? Memang sudah seharusnya Prilly tidur cepat. Prilly butuh banyak istirahat setelah apa yang sudah dialaminya.

"Kamu tenang saja, Papa akan menjaganya." Ali mengangguk meskipun Dani tidak melihatnya.

"Aku akan menjemputnya besok pagi."

"Baiklah."

Hening.

"Papa mau mengatakan sesuatu sama kamu, Al."

Apa pun yang mau dikatakan Ayah mertuanya, Ali siap mendengarkan. Sekali pun itu berhubungan dengan Prilly, mungkin saja Prilly sudah menceritakan tentang mereka berdua. Tapi, ini mengejutkan Ali, Ayah mertuanya itu justru terkekeh geli dan mengatakan, "Kamu punya guling? Untuk sementara peluk guling saja ya, Prilly Papa pinjam."

Dan panggilan itu terputus. Ali melihat layar ponselnya tak percaya, kemudian melempar ponsel itu ke kasur. Tadi Aris yang menggodanya, lalu Ayah mertuanya sendiri. Setelah ini siapa?

Ali berjalan lurus membenturkan kepalanya ke dinding. Meskipun pelan tapi sukses membuat keningnya berdenyut.

Mood Ali malam ini benar-benar buruk. Dia pun naik ke kasur dan memeluk guling yang menjadi teman tidurnya.

Ya. Teman tidurnya.

Terimakasih guling.

###

TBC...

Jhaaaa kasian sweet boss gak ada yg nemenin tidur.

Ekspresi aku ngetik chapter ini:
😊 😓 😨 😢 😁 😅 😭 😂😂😂😂

Tapi gak tau kalo kalian wkwkwk semoga malam minggunya terhubir eh terhibur :v

Συνέχεια Ανάγνωσης

Θα σας αρέσει επίσης

10.6M 51.7K 9
18++ Mungkin sedikit ada unsur dewasanya. Mohon yang masih dibawah umur bijak dalam membaca ya.. Tq... Kinan seorang Mc ulang tahun dari sebuah Resto...
Mantan Kok Romantis [COMPLETED] Από Taraaaa

Εφηβική Φαντασία

325K 10.8K 24
"Siapa bilang mantan itu harus musuhan? Buktinya aku dan dia tetap bisa kompak, pulang bareng, belajar bareng dan lainnya. Malahan kekompakan kami me...
Love Baby Από bellschan

Ρομαντική

12.5K 369 34
Hari ini adalah hari pertama aku bekerja sebagai pengasuh di Keluarga Wang. Mr. Wang He Di berusia 27 th memiliki putri usia 4 th, istrinya sudah l...
My Handsome Math Professor(new) Από lftandr

Εφηβική Φαντασία

46.3K 1.4K 17
Ini cerita ringan buat pengisi waktu luang, karena hamba masihlah awam. Sekian. Semogga bisa membantu menghilangkan gabut dan join akunnya eikee ya @...