Kasyaf (Complete)

By SusanArisanti

1M 111K 9K

Sejak ditemukan nyaris mati di sebuah jurang, Nezaiya Lawaqi', menyadari tiga masalah besar yang menimpanya... More

Bab 1 Barbie Giant
Bab 2 Spesial
Bab 3 Idaman
Bab 4 Jumpa
Bab 5 Debar
Bab 6 Demimu
Bab 7 Kelam
Bab 8 Noktah
Bab 9 Memilikimu
Bab 10 Pumpkin
Bab 11 Janji
Bab 12 Dan Itu Disebut Cinta
Bab 13 Cicak
Bab 14 Gelombang
Bab 16 Samsara
Bab 17 Rindu yang Mencemburu
Bab 18 Gadis Kesayangan
Bab 19 Cahaya Cinta
Bab 20 Yang Terdalam
INFO PO

Bab 15 Melamar

40.5K 5K 371
By SusanArisanti

"Ada yang bisa kami bantu?" Tenaga kesehatan yang ada meja informasi menyapa Jeya dan Hammuka. Rambutnya dicepol ke atas, rapi. Sesungging senyum nampak, menyuguhkan keramahan yang sangat formal.

"Kami ingin tahu di mana pasien bernama Cici dari pesantren Al-Hikam. Kudengar, dia operasi usus buntu." Jeya menyahut tak kalah bersahabat, tak lebih dari basa-basi.

"Sebentar, saya cari datanya dulu, ya," lalu wanita itu sibuk dengan komputernya. "Pasien ada di ruang Mawar no. 37. Ada di lantai tiga, koridor selatan, dekat tangga turun."

Merasa sudah tidak ada keperluan lagi, Jeya mengucapkan terima kasih kemudian pamit. Hammuka langsung mengekorinya dan tidak tahu bahwa gadis yang berjaga di ruang informasi itu mengamatinya dengan penuh minat.

"Nanti kamu jaga jarak agar aku bisa memastikan dugaan kita." Jeya menyejajari Hammuka, menaiki tangga dengan ritme langkah sedang.

"Jika kamu dalam bahaya, bagaimana?"

"Kamu mengkhawatirkanku?" Jeya melirik sambil tersenyum.

Saat Hammuka menatapnya, dia menaikkan alis sebelah kanan.

"Tidak." Salah, lanjutnya dalam hati.

Jeya berhenti, "kalau aku dalam bahaya, aku yakin, kamu akan datang tepat waktu."

Hammuka menghela napas kemudian melanjutkan lagi langkahnya. Mengapa ada orang yang mempercayainya sebesar ini? Apakah dirinya memang pantas mendapatkan kepercayaan itu? Dipejamkan matanya, menikmati setiap sensasi berdekatan dengan Jeya, mengetahui apa yang dpikirkan gadis itu. Kemudian, ketakutan menjalari aliran darahnya, lalu berkumpul di jantung, mengirim denyut nyeri bukan main. Dia benar-benar tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika tidak bisa menjadi seperti yang diharapkan Jeya.

"Hammuka, aku ingin kamu mengerti." Jeya memandangi bahu Hammuka, menunduk kemudian melanjutkan ucapannya, "jika suatu hari nanti, aku mati, kematian itu sebenarnya hanya dinding semu milik waktu. Kamu tidak perlu bersedih jika aku dalam bahaya dan kamu tidak bisa menyelamatkanku. Atau begini, menangislah sewajarnya. Manusia selalu bersedih kalau dihadapkan pada perpisahan, tapi sebagian besar di antara mereka, jarang menghargai pertemuan. Jadi, selagi kita bersama-"

"Apa yang sedang kamu bicarakan?" potong Hammuka, tidak suka. Dia menghadap Jeya. Ekspresinya keras dan tidak hangat sebagaimana sebelumnya.

Jeya melanjutkan lagi langkahnya, meninggalkan Hammuka yang tertinggal tiga anak tangga.

"Kalau begitu, agar mudah bagiku menunjukkan perasaan, dan juga menghargai kebersamaan ini, bagaimana kalau kita segera menikah?" Pria itu bertanya sungguh-sungguh, tidak berniat menggoda seperti biasa.

Sejak ajakannya dicetuskan sepuluh detik lalu, Jeya mematung di tempatnya, tanpa sudi membalik tubuh. Kali ini, Hammuka memilih untuk bersikap agresif. Jika gadis itu tidak mau meraihnya, maka dia-lah yang harus mencapai Jeya. Buang jauh-jauh gengsi. Di depan cinta, harga diri hanya sekelumit rawon basi yang dikerubungi lalat hijau di pagi hari.

"Menikahlah denganku," ulangnya setelah berhadapan. Suaranya sangat maskulin, menyihir kaki-kaki Jeya serupa Jeli. Gadis itu menggigit bibir, suasana canggung ini, ajakan Hammuka yang sederhana, ralat, yang membuat jantungnya bekerja keras. Ughh, apakah salah seandainya dia berharap punya kemampuan berpindah tepat dalam satu kedipan mata?

Pada akhirnya, Jeya tidak bisa menghindar. Hammuka butuh jawabannya.

"Seperti perjanjian kita, Ham. Tapi, kamu harus minta maaf dulu pada ayahku, lamar aku padanya," tawar Jeya dengan kesepakatan baru. Dia menggerakkan leher yang kaku. Ternyata, ajakan menikah pria yang dicintai, bisa mengakibatkan penumpukan asam laktat. Sendi putarnya terasa kebas saat digerakkan.

"Dengan semua kecerobohanku, semua pasti tidak mudah. Tapi, mengeluh sekarang bukan pilihan yang tepat," Hammuka mengulum senyum singkat, "jadi, aku akan berusaha memperoleh ijinnya. Apa jawabanku cukup menyenangkanmu?"

Jeya diam. Hanya mata mereka yang saling terpaut. Meski tidak ada kata "ya" atau "tidak", gadis itu tidak meragukan kesungguhan Hammuka. Sama sekali.

***

Setelah bersalaman lalu berbasa-basi sejenak pada orang tua Cici dan dua orang santri yang menunggu, membuat Jeya sadar, pelaku yang sudah memprovokasi emosi Nisma tidak ada di sini. Dia ijin keluar. Di dekat pintu, Hammuka menunggu. Menatapnya ingin tahu. Dia menggeleng pelan.

"Aku harus bertemu Nisma. Dia di mana?" Jeya merasa was-was. Perasaannya benar-benar tidak enak. Entah kenapa.

"Tidak perlu. Nisma aman sekarang. Untuk saat ini, sebaiknya, kamu menjaga ayahmu saja. Oh ya, Jei, menurutmu, kenapa Benny ke rumah sakit ini?"

Mereka berjalan menuju lantai satu, tempat ayah Jeya dirawat.

"Istrinya jatuh dari tangga, terdorong olehnya. Eh, kamu rahasiakan ini, ya. Dia ketahuan menikah lagi, istrinya murka, dan dia tidak sengaja mendorong. Itu yang kuketahui saat menyentuh tangannya tadi." Jeya berbisik, "aku sangat mengerikan, kan? Rahasia yang harus ditutupi mati-matian, bisa tersibak dengan mudah olehku."

"Beruntungnya aku," gumam Hammuka setengah mengejek.

Jeya menoleh. Geram karena wajah pria itu sangat tengil. Mengingatkannya pada wajah Nisma yang pernah menyuruhnya membangunkan Hammuka lalu meloyor ke kamar mandi.

"Hammuka, kamu belum pernah aku tendang, ya? Ingin seperti Daniran?" bibir Jeya mengerucut, mirip pantat ayam setelah mengeluarkan telur.

Hammuka menyilangkan kaki, menghalangi langkah Jeya. Gadis itu terpaksa melangkah menyamping kemudian benar-benar berhenti karena Hammuka tepat di depannya, tidak mau menyingkir walaupun sudah dipelototi.

"Kamu pikir, kenapa lampu digunakan menerangi pada malam hari? Bahkan, hasil statistik kementrian perindustrian menyebutkan bahwa kebutuhan lampu hemat energi mencapai 430 juta per tahun? Belum lampu pijar, lampu halogen dan lainnya."

Jeya mundur pelan, menjaga jarak, "karena malam itu gelap. Mata butuh cahaya agar bisa melihat objek."

"Itu menurut otakmu yang sederhana."

Jeya tersinggung, "lalu bagaimana menurut otak mewahmu?"

"Lampu bisa menunjukkan strata sosial sebuah tempat. Lampu yang digunakan di warteg berbeda dengan lampu yang dipasang di mall. Lampu-lampu itu sejatinya digunakan untuk mengusir gelap, tetapi budaya pop mengubahnya menjadi sedemikian rupa. Menurutku, begitu juga kamu. Tidak ada yang mengerikan dari dirimu, Jei. Apa yang ada dalam dirimu adalah caramu menuju cahaya, menunjukkan setinggi apa spiritualitasmu. Poin penting dalam hidupmu bukan lagi tentang cara-cara manusia hidup dalam modernitas yang serba instan, melainkan cara menggenggam sinar meski terkungkung dalam gelap. Coba pikirkan, kamu punya peluang melihat aib, menyebarluaskannya kemudian tertawa karena melihat pendosa itu malu dan dikucilkan. Tapi, kamu tidak mengambil pilihan itu. Bagiku, itu sudah cukup jelas menggambarkan siapa dirimu. Tujuanmu adalah cahaya, bukan kegelapan."

Jeya terpesona pada penjelasan Hammuka. Selain baik, juga bisa memahaminya. Bahkan pria itu lebih paham tentang dia melebihi siapapun, termasuk dirinya sendiri.

"Ah, kamu mau membuatku semakin jatuh cinta, ya?" Jeya balas menggoda seperti cara Hammuka menggodanya.

"Tidak, aku ingin membuatmu bisa tidur di ranjangku." Hammuka agak mencondongkan tubuh, "tentu saja, setelah menikah."

Jeya ingin pingsan.

***

Hans membuka mata pelan. Awalnya, sekitar terlihat buram. Untung, pendengarannya masih normal. Ia tersenyum ketika mendengar Jeya memanggilnya ayah. Lalu, merasa bahagia karena jemarinya digenggam oleh sebuah tangan lentik. Pasti Jeya, pikirnya.

"Bagaimana keadaan Ayah?" wajah itu menatapnya. Sekarang, matanya sudah berfungsi normal.

Hans tersenyum lebih lebar.

"Hammuka akan membantu Ayah keluar dari penjara. Kami, maksudku, aku dan Hammuka, sudah tahu siapa yang sudah membunuh ibunya. Dan, itu bukan Ayah," celoteh Jeya riang. Dalam suaranya, duka sudah enyah dari hidupnya. Seolah dia bernapas hanya untuk bersenang-senang.

Hans menoleh ke kanan, ada Hammuka yang sedang duduk tenang menatapnya. Dia mengambil napas panjang seolah ada beban yang coba diusir jauh-jauh.

"Jeya, aku tidak suka dia ada di sini. Suruh dia pergi," kata pria paruh baya itu dengan sedikit memerintah.

Bahkan belum bicara, dia sudah ditolak, pikir Hammuka masam.

"Ayah," Jeya memegang tangan ayahnya lebih kuat.

"Aku minta maaf untuk kesalahanku yang disengaja. Pada waktu itu, aku digelapkan oleh amarah sehingga tidak bisa berpikir jernih. Sejujurnya, kehadiranku adalah untuk melamar Jeya. Pak Hans, aku tidak menjanjikan apa-apa, tapi aku akan berusaha menjadi pria terbaik yang pernah dia miliki."

Duuhhh! Jeya meringis nyeri. Bukan begitu cara melamar yang benar. Seharusnya, Hammuka basa-basi dulu, bukan tancap gas kayak dikejar dealine kawin. Lalu, lihat pemilihan katanya. Hammuka mungkin baru saja menghabiskan satu ton baja. Jadi kaku begitu.

"Terbaik?" Hans tidak percaya, dua matanya menyelidik, mencari kebohongan dari Hammuka. Tapi, dia tidak menemukan apa-apa selain rasa bersalah. "Apa yang kamu punya? Bahkan gajimu tidak seberapa dengan tugas yang terkadang menuntut nyawa. Tidak, aku tidak mau putriku menikah dengan pria yang bisa mati kapan saja. Aku tidak mau melihatnya menjanda. Selain itu, aku sangat pesimis kamu bisa memenuhi kebutuhannya."

Hammuka menelan ludah, "Jeya, gajiku kecil dan aku bisa mati kapan saja. Apa kamu keberatan?"

Dua pasang mata menatap Jeya sekarang. Menuntut jawaban, bukan meminta. Camkan itu baik-baik!

"Ayah," gadis itu menatap ayahnya, mengusap lembut punggung tangan Hans, "aku sudah pernah bilang padamu, uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Kalau gaji Hammuka sedikit, aku juga bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan."

Hans mengibaskan tangan Jeya, "aku tidak membesarkanmu dengan tujuan melihatmu menderita."

"Selama aku bersamanya, aku tidak akan membuatnya menderita." Hammuka berusaha meyakinkan calon mertuanya.

"Restuku tidak mudah didapatkan. Buktikan dulu kamu bisa membahagiakannya," pungkas Hans, masih belum melunak.

Jeya merengut, "kalau Ayah tidak memberikan restu, jangan salahkan kami jika terjadi hal-hal yang kami inginkan."

Hans bengong.

"Aku tidak akan minggat. Tapi, aku bisa pergi sembunyi-sembunyi untuk bertemu Hammuka. Lalu kisah berakhir dengan hamil di luar nikah." Jeya sangat totalitas berakting. Hammuka sampai melongo mendengar keberaniannya mengancam. "Selama berkas Ayah belum disidangkan, Ayah tetap ditahan. Dan, selama itu, aku bebas menemuinya. Oh ya, aku lupa memberi tahu Ayah..., sekarang aku tinggal di rumahnya."

Otak Jeya benar-benar kriminal, batin Hammuka geli. Dia gelagapan karena Jeya memberi kode agar ikut bicara.

"Asal Ayah tahu, Hammuka itu pria normal. Dan, pria normal mana yang tidak tertarik padaku?"

Sudah cukup brengsek belum? Begitulah mata Jeya kalau diartikan secara tertulis. Hah, Hammuka menahan tawa mati-matian.

Hans meradang. Belum jadi menantu saja, sudah bisa menyulap kelakuan Jeya bengal begini. Ia merasa gagal mendidik anak. Juga mencarikan suami yang tepat dan "benar". Kira-kira, apa yang Jeya dapatkan selama masuk pesantren?

"Ayah, plis..., plisss...."

"Apa kamu sudah tahu bagaimana keadaan putriku yang sesungguhnya?" Hans menahan napas, tegang. "Dengan keadaannya yang-yah, kamu tahu, apakah kamu bisa menerimanya?"

Hammuka mengangguk, "kalau aku tidak bisa menerimanya, tentu aku tidak akan membuang waktuku di sini."

Hans hanya bisa menyeka keringat dingin di keningnya lalu pura-pura kelelahan dan memejamkan mata.

Untuk sekarang dia tidak siap melepas Jeya. Dia ingin menghabiskan waktu yang sepuluh tahun ini sudah disia-siakan. Memberi kasih sayang sepenuhnya. Menjaga putrinya dengan penjagaan yang purna. Tapi..., Jeya benar.... Seorang ayah hanya akan menjadi ayah. Jika Hammuka adalah pilihannya, masihkah dia keras kepala tidak merestui?

"Maaf," Hammuka merasa rikuh karena ponselnya berbunyi. Ingin diabaikan, tapi setelah melihat identitas pemanggil pada layar ponsel, dia mengangguk sekali pada Hans, pertanda bahwa dia harus mengangkat panggilan Vanno. "Ya, Van?"

"Kamu di mana?"

"Masih di rumah sakit."

"Nisma tidak ada di kamarnya. Aku tadi pulang untuk mandi. Kulihat, Nisma sudah bangun dan ada di dapur. Nah, saat aku datang lagi, mau mengantarnya ke pesantren, dia sudah tidak ada. Apa dia ada di rumah sakit? Atau dia kembali ke pesantren sendirian?"

Hammuka mengerutkan kening, nalurinya sebagai kakak berteriak khawatir.

"Aku akan ke pesantren untuk memastikannya. Kamu cek di rumah sakit. Jangan lupa, nanti ada apel bersama kapolda. Kita tidak boleh terlambat. Hans akan dijemput oleh Damar dua puluh menit lagi."

Hammuka tidak bisa membuang waktu. Dia bergegas ke ruang rawat Cici, siapa tahu Nisma ada di sana.

"Ham! Ke mana?" Jeya merasa ada yang salah. Hammuka terburu-buru sampai lupa pamit. Pasti ada hal krusial yang dia hadapi. "Aku ikut!"

"Aku harus bersiap. Ada apel pagi di mapolres. Dua puluh menit lagi, ayahmu akan dijemput Damar dan timnya. Oh ya, Pak Hans, sampai bertemu lagi."

Tubuh pria itu sudah hilang ditelan pintu. Jeya menatap ayahnya. Ingin menemani Hammuka, tapi ayahnya sedang membutuhkan dirinya. Serba salah.

"Pergilah, jika kamu ingin," yakinkan Hans, berusaha memahami. "Ayah bisa jaga diri."

Jeya tersenyum, lalu mencium tangan ayahnya. Sambil berlari, dia mengucap salam. Hans memandangi dengan hati getir. Jeya benar-benar memedulikan Hammuka. Dia tidak tahu harus berterimakasih ada pria yang menerima putrinya apa adanya atau mengabaikan dan menganggap bahwa ketertarikan mereka hanya sementara. Keputusan untuk merestui itu masih buram.

************

Gaes, itu yang nanyain visual Jemmuka. Itu menurutku, lho. Kalian mah bebas milih siapa. 😁😁😁

Continue Reading

You'll Also Like

ONA (COMPLETED} By audle2

Mystery / Thriller

408K 14.4K 53
❗REVISI❗ /Dia yang tampak baik tetapi licik/ >>>>>><<<<<<< Sadar dari koma setelah mengalami kecelakaan membuat gadis bernama Melia Onalen...
41.4K 3.5K 12
Ini cuma cerita konyol dari dua orang yang bertemu secara tidak sengaja lalu jatuh cinta pada pandangan pertama. Klise banget? I know. Kenalan tanpa...
KANAGARA [END] By isma_rh

Mystery / Thriller

6.9M 520K 92
[Telah Terbit di Penerbit Galaxy Media] "Dia berdarah, lo mati." Cerita tawuran antar geng murid SMA satu tahun lalu sempat beredar hingga gempar, me...
337K 23.9K 34
Berisi tentang kekejaman pria bernama Valter D'onofrio, dia dikenal sebagai Senor V. Darah, kasino, dan kegelapan adalah dunianya. Tak ada yang dapat...