You're My Cup of Tea

By elmirosalia

1.6M 57.1K 1.7K

we're perfect each other, cos you're my cup of tea. More

You're My Cup of Tea
Happy Day? or....
New Life, Our Life.
Maaf
Diluar Perkiraan
Temani Aku
Love you, Dear.
Love you, Dear. (re-post)
Happy Life
Pulang
Pasangan Usil
Dia,
I Love You.
I Love You Anyway
Call It 'My Day'
Tetangga Solid
The Coolest Wifey
Pertarungan Sengit
Istri Ajaib
END
Epilog

Hati Baru

109K 3.1K 91
By elmirosalia

Setelah acara pertunangan salah paham itu, Lia dan Tomas mulai melakukan misi mereka –lebih tepatnya misi Lia. Setiap senggang, Tomas akan mengajak Lia pergi berkencan. Nonton, ke taman hiburan atau Cuma putar-putar nggak jelas. Namun hubungan mereka bukannya semakin dekat malah semakin canggung, Tomas yang selalu membatasi dirinya dan terlihat kaku di depan Lia, sedangkan Lia malu untuk memulai duluan.

“Liana Mahya Ratifa.” Panggil seorang lelaki paruh baya dari atas podium.

Hatinya berbunga saat mendengar namanya dipanggil, akhirnya hari besar ini datang juga batinnya senang, dia telah resmi menyandang gelar SE. Lia berjalan dengan sangat anggun menuju podium, senyum manisnya tak luntur barang sedetik, kini ia berdiri di atas podium menyampaikan beberapa kalimat sebagai mahasiswi ekonomi dengan hasil terbaik, IPK 4,00 berhasil diraihnya meninggalkan sahabatnya, Ara dengan selisih nilai 0,2 poin.

“alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT karena ijinNYAlah hari ini saya bisa berdiri di atas podium ini, tak lupa terima kasih kepada kedua orang tua saya, ayah bunda, tanpa do’a kalian Lia nggak akan bisa mendapat prestasi yang sedemikian rupa, untuk kakak saya yang selalu menyemangati saya dengan cara-cara uniknya ‘i love you bro’.” Ucap Lia penuh haru, tak peduli para peserta wisuda hari ini sedang riuh tertawa karena kalimat cinta untuk kakaknya barusan.

“untuk teman-teman saya, Ara, Fai, Bagas, Anton dan teman-teman sekelas yang sudah mau repot-repot membantu saya disaat saya sedang butuh, ibu kantin yang selalu setia menyediakan asupan nutrisi untuk kami semua, terima kasih atas jasa-jasa kalian, saya sampai bingung mau bicara apa lagi, hehe. Dan tentunya kepada para pengajar, yang telah mendidik dan membimbing kami selama hampi 4 tahun terakhir, terima kasih sebanyak-banyaknya. Kepada bapak Rusdi dan bapak Raka selaku dosen pembimbing saya selama skripsi, terima kasih dan maaf telah merepotkan bapak selama 5 bulan terakhir.” Ucap Lia menutup pidatonya, air mata haru menyembul di ujung mata, pidato menawan yang telah disiapkannya seminggu terakhir buyar begitu saja saat dia berdiri di atas podium.

Acara wisuda hari ini sangat mengharu biru, satu per satu mahasiswa yang mewakili fakultas masing-masing menaiki podium menyalami bapak rektor dan jajarannya, menerima ijazah mereka dengan senyum mengembang. Tak ketinggalan Ara yang saat itu sedang mengandung 6 bulan, tubuhnya yang mungil kini mulai berisi, bajunya terlihat kedodoran dan hanya dia yang tidak menggunakan heels, wajahnya pun tak absen dari senyuman. Terlihat Rafa dengan setia menemani Ara dalam acara ini dan yang paling baru adalah Tomas juga ada di sana. Untuk apa? Tentu saja untuk menemani calon istrinya, Lia. Ini karena Ara yang memanas-manasi orang tua Lia untuk menjodohkan putri semata wayangnya itu, dan kenapa pilihannya Tomas? Entahlah, takdir? Karena tak ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini, maka jawaban itu masih menjadi jawaban terbaik.

Lia pov

Hari ini, emmhh, aku nggak tau kata apa yang tepat untuk mendeskripsikannya, bahagia? Tentu saja, apalagi dia juga ada di sana siang ini, memberiku sedikit senyuman saat aku sedang menyampaikan kalimat-kalimat berantakan di atas podium. Lelaki itu, lelaki pertama yang membuatku seperti ini, desperate.

“cieee, selamat ya nek.” Rafa menghambur memelukku saat aku turun dari podium. Bukan pelukan yang romantis karena rafa hanya menempelkan badannya satu detik.

“heeehh, apaan lo peluk-peluk sembarangan, bini lo noh perhatiin, pokoknya kalo ada apa-apa sama calon ponakan gue, lo orang pertama yang gue cari.” ancamku ganas, hahaha. Sudah beberapa bulan ini aku sensi pada Rafa, entahlah, padahal yang hamil Ara.

“idih, kenapa situ marah-marah mulu sih, sehari aja jangan ngomel-ngomel napa, gue jadi kasian sama anak gue ntar kalo punya tante doyan ngomel kaya lo.” cibir Rafa tak mau kalah.

“gue bukan ngomel tau, gue Cuma khawatir sama calon ponakan gue” balasku tak terima.

“oke oke, sekarang minggir, gue mau menyambut istri tercinta.” jawab Rafa sambil menyingkirkan tubuhku ke arah Tomas, aku yang terkejut hilang keseimbangan dan menubruk Tomas, untung saja Tomas sigap menangkap tubuh mungilku sehingga aku tidak tersungkur ke tanah, dasar om om sialan! Makiku dalam hati, tapi kenapa aku jadi deg-degan gini ya di pegang Tomas.

“sayaaangg, selamat yaaa.” Rafa dengan autisnya teriak-teriak saat Ara menuruni podium. Ara cemberut aja ngeliat Rafa, haha rasain, palingan bentar lagi si Ara bakal ngamuk gara-gara Rafa udah malu-maluin.

“ih kok cemberut gitu sih?” tanya Rafa sembari memeluk Ara yang sudah berdiri di depannya.

“gimana nggak cemberut? Orang suaminya kaya orang autis gitu teriak-teriak di tempat umum, malu-maluin tau.” cibirku cuek. Rafa melotot ke arahku, hahaha.

“ngapain tadi peluk-peluk Lia?” Ara mengerucutkan bibirnya, nada merajuk menari-nari dari tiap kata yang keluar.

“nah loh, kenapa gue? Gue nggak ngapa-ngapain, laki lo tuh yang meluk-meluk, kalo gue mah ogah” jawabku tak terima, ini kenapa jadi cemburu ke aku coba.

“enggak yang, kan ngasih selamat. Nggak ngapa-ngapain kok suer deh, lagian aku nggak napsu sama cewek jadi-jadian gitu.” jawab Rafa cuek, ih bener-bener deh ini orang. Nyebelin banget! Ini lagi calon suami satu, dari tadi diem aja nggak ada aksi calon istrinya di hina dina begini.

“idih, siapa juga yang mau sama om-om macam lo, amit-amit deh.” jawabku dengan nada ku buat-buat.

“jangan ngambek ya yang, nggak ngapa-ngapain kok.” Rafa memeluk Ara mesra, eh buset gue di cuekin.

“lagian lo kenapa sih Ra jadi sensi gitu, mentang-mentang hamil.” cercaku sebal.

“ih ih nyalahin orang hamil, dosa lo.” balas Ara dengan muka sok. Ih males banget rasanya pengen aku timpuk itu muka, untung lagi bunting calon ponakan, coba kalo nggak, udah gue banting pasti.

“lagian kamu nih Tom, calon istri di peluk-peluk Rafa kok boleh sih? Kalo aku jadi kamu, udah aku banting si Rafa biar tau rasa.” oceh Ara lancar, dan oh god, siapa yang dia ajak bicara tadi? Pilar gedung ini kah? Aku menoleh ke arah pilar tampan di sebelahku, dia tersenyum, hanya senyuman. Hhhh

Jangan bayangkan hubunganku dengan Tomas semanis hubungan Rafa dan Ara, mungkin mereka adalah satu dari sekian pasangan yang dijodohkan dan bahagia dari awal pernikahan mereka. Tomas dan aku,  bagaimana aku menggambarkannya? Tomas bukan orang yang kasar dan dingin, dia hangat namun aku merasa dingin. bingungkan? Begitupun aku, aku dan Tomas sudah sebulan di jodohkan, aku tak tau bagaimana awalnya hingga papanya  melamar aku untuknya.

Acara wisuda ini begitu melelahkan, semua rentetan acara sudah selesai satu jam lalu, dan kini keluargaku, keluarga Ara, keluarga Rafa, dan tak lupa Tomas sedang berada di salah satu restoran. Konsepnya lesehan dan membaur dengan alam, jadi banyak pohon  dan rerumputan hijau tersebar di bawah kaki kami.

“om, Lia kapan nikahnya sih?” tanya Ara dengan cueknya kepada ayahku. Minta mati ini bocah.

“kapan ya enaknya? Nak Tomas maunya nikah kapan?” jawab ayahku yang malah bertanya balik ke Tomas. Ya tuhannn, apa ini? Kenapa aku penasaran setengah mati gini sama jawaban Tomas?

Dia tersenyum, lagi-lagi hanya tersenyum. Yah beginilah Tomas kalo berhadapan dengan keluargaku ataupun aku, padahal dulu beberapa kali aku bertemu dengannya dia nggak gini, ngomong dan becanda dengan normal sama Rafa dan teman-temannya, suka goda-goda Ara juga.

“terserah om aja, kan yang ngasih ijin om.” jawab Tomas sopan, aku menganga. Ini pertama kalinya dia menjawa pertanyaan seputar pernikahan, biasanya cukup dengan senyuman dan semua pertanyaan terlupakan.

“ehm, kayanya bentar lagi bakal ada yang nyusulin kita nih Raf.” sindir Aldi yang sedari tadi asyik membuntuti Tomas.

“iya nih Al, nggak enak juga kalo lama-lama jadi bujangan, mendingan cepet-cepet aja gitu ya.” timpal Rafa cuek, Rafa yang sedang menggandeng tangan Ara cengar-cengir dengan bahagianya di samping Aldi. Ayah juga senyum-senyum aja dari tadi, ini konspirasi nggak boleh dibiarin.

“jadi om, kapan nih? Kan si Tomy udah nyerahin sama om.” tanya Ara cuek, sok manja, ih lama-lama gue timpuk high heels juga nih.

“yah, nanti diobrolkan dulu, kalo om sih pengennya cepet-cepet aja, niat baik nggak boleh di tunda-tunda.” Jawab ayahku mantap, dan Tomas? Lelaki itu sepertinya melupakan tanggung jawab yang harus dia tanggung karena ucapan sembarangannya, dia dengan cueknya melenggang. Ugghh

“Tomy?” tanyaku mengintrupsi.

Ara memandangku ganjil.

“kenapa Li? Cemburu aku manggil Tomas, Tomy? Ya ampun, nggak ngapa-ngapain akunya, manggil doang.” jawabnya sok tua, padahal selama hamil, dia itu kaya anak kecil banget.

“idih, ngapain cemburu, maaf ya sini bukan situ yang cemburu sama temen sendiri.” jawabku kesal, Ara hanya mencibir tanpa suara.

Bukan maksud nggak mau dinikahin nih ya, aku mau, mau banget malah. Tapi masalahnya, Tomas ini misterius banget, sikapnya ke aku baik sih, tapi nggak tahu kenapa aku ngerasa ada yang dia sembunyiin dari aku. Aku pokoknya nggak mau nikah dengan rahasia yang masih tersimpan, apalagi kalo itu nyangkutin aku, nggak rela bener-bener deh.

Tomas pov

Pernikahan? Hmm, aku tersenyum sinis. Kami sedang merayakan kelulusan Ara dan Lia, kali ini aku hadir bukan sebagai teman Rafa, tapi sebagai calon suami Lia. Bagaimana bisa dengan Lia? Akupun tak terlalu mengerti, yang aku tau tiba-tiba papa mengajak aku bicara empat mata dan garis besar dari semua pembicaraan adalah papa pengen aku cepet-cepet nikah, aku anak tunggal, usiaku sudah 27, semua teman-temanku sudah menikah, bahkan anak Riko sudah dua, usia papa sudah nggak muda lagi, papa pengen ada penerus keluarga, yah intinya nikah.

Aku harus jawab apa? Bilang “pa, jangan terlalu bermimpi, anak papa nggak akan nikah.” gitu? Bisa berhenti mendadak jantung papa.

Apalagi mama yang sudah seperti alarm tiap jam berbunyi “kapan kamu ngenalin pacar kamu ke mama Tom?”. Sebenarnya aku juga nggak kepikiran untuk sebuah perjodohan, tapi ternyata papa yang kepikiran. Kata papa beliau punya kenalan yang mempunyai anak perempuan masih single, mana aku tau kalo anak kenalan papa itu Lia? Dan parahnya lagi aku udah terlanjur janji ke papa bakal nerima perjodohan ini siapapun calonnya, Lia pun menerima perjodohan ini, entah karena apa alasannya.

Jangan salah sangka, aku bukan homo. Aku hanya..., aku hanya belum bisa melupakannya. Aku juga sangat ingin menikah, tapi hanya dengannya, sekarang usiaku 27 tahun, sudah 7 tahun aku menunggunya. Renata, gadis cantik bermata coklat terang dan senyum yang mematikan. Bahkan aku masih sangat ingat senyum manisnya sampai hari ini, detik ini. Sayang, dia pindah ke Amerika saat kami masih kuliah dan dua tahun lalu sebuah undangan pernikahan sampai ke rumahku, yah dia sudah menikah dua tahun lalu, ironis bukan. Jangan bayangkan kami sudah berpacaran dan putus karena tidak ingin LDR dan alasan lainnya, kami belum pernah berpacaran, kami hanya berteman, bahkan aku baru mengungkapkan perasaanku beberapa detik sebelum dia terbang ke Amerika. Dia tidak pernah menyuruhku menunggu, dia langsung memberiku jawaban saat itu, ‘maaf’. Kata itu sempat mengganggu tidurku berbulan-bulan, menurunkan berat badanku sampai 5kg sebulan, wow.

“woy calon penganten! Diem aja dari tadi.” Rafa menonjok lenganku pelan. Aku baru ingat, kami sedang dalam perayaan kelulusan Lia dan Ara.

“maklum Raf, sindrom pra nikah.” Goda Aldi yang sedang asik menggendong Rifki, anaknya yang berusia 1 tahun. Kenapa Aldi disini? Jangan lupa tentang Disa yang tak lain adalah kakak kaget Ara.

Aku hanya tersenyum, mau jawab apa? ‘nggak, ini lagi nginget-nginget mantan gebetan’ gitu? Tiba-tiba aku merinding mengingat apa yang akan di lakukan ayah Lia padaku.

“eh Tomas sekarang jadi pendiem ya yang.” Kali ini Disa mulai ikut bicara.

“ah masa? Perasaan lo aja kali Dis.” Jawabku masih senyam-senyum, entahlah aku juga merasa akhir-akhir ini lebih gagu dari biasanya.

“beneran lo Tom, biasanya sih emang diem, tapi sekarang tambah diem, kamu gugup mau nikah? Kan masih lama, lamaran juga belum.” Canda Disa yang entah kenapa tak terdengar lucu di telingaku. Aku tersenyum (lagi).

Semua yang ada di sini sedang senang, tertawa, bersenda gurau kesana kemari dan obrolan mereka tak lepas dari pernikahanku dan Lia. Aku hanya bisa tersenyum-senyum, aku merasa bersalah dengan semua ini, bagaimana mungkin aku akan menikahi wanita yang sama sekali tidak aku cintai.

Lia, dia cantik, baik pula. Entahlah aku pun tak terlalu mengenalnya, aku membangun dinding di antara kita, setinggi mungkin. Apakah pernikahan yang dibangun dengan sebuah rahasia akan berjalan dengan baik? Entahlah.

****

Hari pertama tanpa status mahasiswa, Lia menarik nafas dalam dan menghembuskannya keras, lega sekali dalam hati.

“nduk, nanti malam kita ada acara lo sama keluarganya om Wisnu.” Suara bunda Lia dari ambang pintu.

“ih bunda nih ngagetin, iya bundaaa. Inget banget kok.” Jawab Lia mantap.

“ya sudah, sekarang buruan mandi, masa anak perawan jam segini belum mandi, udah sarapan lagi, ya ampun.” Bundanya geleng-geleng melihat Lia yang sedang asyik makan kue kering di atas meja kerjanya.

“laper bunda, hehe.” Jawabnya asal.

Malam datang begitu cepat pikir Lia, sekarang dia sudah duduk manis di tengah jamuan makan kedua keluarga, mereka tentu saja sedang sibuk membicarakan acara pernikahan Lia dan Tomas.

Lia pov

“jadi, Lia mau nggak nikah sama Tomas.” Tanya om Wisnu tiba-tiba, gimana jawabnya coba, kan malu kalo ketauan pengen banget. Lagian juga tanyanya kenapa baru sekarang sih? Di saat aku sudah terlanjur suka sama Tomas? Akhirnya, Aku hanya tersenyum malu-malu, sementara Tomas masih diam sambil tersenyum juga.

“Li, kita jalan-jalan yuk.” Ajak Tomas yang membuatku tersenyum bingung –yah, walaupun aku tetap mengikuti langkah Tomas sih.

“kamu yakin mau menikah sama aku Li.” Tanya Tomas saat kita sudah menjauh dari kerumunan keluarga. Aku nganga, gimana caranya jawab lagi coba.

“kamu mau nikah sama orang yang belum kamu kenal dengan baik?” tanyanya lagi yang sukses membuatku menganga untuk yang kedua kalinya.

“kamu nggak mau nikah sama aku?” tanyaku balik.

“bukan gitu, kalo aku siap kapanpun, dengan siapapun itu.” Jawabnya santai.

“berarti kalo kamu nggak dijodohin sama aku, kamu juga akan menikahinya?” tanyaku penasaran.

“yah, siapapun yang dijodohkan papa padaku akan aku terima, toh semua akan sama saja, menikah tanpa cinta.” Jawaban yang terdengar miris di telingaku.

“kalau kamu ngelakuin ini dengan terpaksa mending kita nggak usah nikah aja, semua yang di awali dengan keterpaksaan sering berakhir nggak baik.”

“kamu kenapa nerima perjodohan ini?” tanyanya.

“kenapa aku harus nolak?” tanyaku balik –masa aku harus jawab nerima perjodohan ini karena kemarin salah paham? Nggak banget deh, dia hanya mengedikkan bahu.

“pilihan orang tua pasti yang terbaik untuk anaknya, lagi pula aku nggak lagi jatuh cinta sama seseorang jadi nggak ada alasan untuk menolak. Aku juga suka sama niat keluargamu yang datang melamar, mereka berniat baik bukan? Itu tanda orang serius.” Jawabku yang entah terdengar seperti apa.

“walaupun yang melamar bukan keluargaku apakah akan kamu terima juga?”

“mungkin.” Jawabku singkat.

“bukankah itu berarti kita sama saja, akan menikah dengan siapapun yang dipilihkan orangtua kita untuk kita. Apa bedanya?”

“aku menerima bukan karena terpaksa sepertimu, aku juga mempertimbangkan, selama ini aku rasa kamu pantas menjadi seorang suami, kalo aku nggak suka sama sikap kamu mungkin aku sudah nolak kemarin.” Jawabku sedikit ragu, memang sih aku nggak terpaksa nerimanya Cuma nggak sadar aja kemari. Mempertimbangkannya juga baru setelah kita diresmiin tunangan kemarin, setelah dia sering ngajakin kencan kalo bahasa gaulnya, dan itupun semata-mata untuk menguatkan diri sendiri.

“sikapku? Kamu tau dari mana tentang sikapku?” tanyanya dengan alis terangkat.

“dari perlakuanmu ke aku, kamu menghormati aku, entah sebagai calon istri atau sebagai perempuan pada umumnya, tapi itu sudah jadi nilai tambah tersendiri.” Jawabku sok diplomatis.

Tomas tersenyum sinis, “jangan mudah menilai seseorang yang baru kamu kenal, bisa-bisa salah nilai.” Jawabnya berat.

“kalau begitu bantu aku untuk membenarkan penilaianku terhadapmu.” Ku lihat Tomas mengerutkan dahi saat aku mengatakan kalimat barusan.

“jangan terlalu misterius, setidaknya biarkan aku mengenalmu.” Lanjutku dan entah kenapa dia menarik nafas panjang. Tiba-tiba nyaliku menciut, aku takut sesuatu yang disembunyikan Tomas akan melukai hatiku, tapi ini demi cinta kan?

“kau pikir begitu?” tanyanya lembut, aku mengangguk mantap.

“baiklah, aku mencintai wanita lain.” Jawabnya yang terdengar seperti sambaran petir di telingaku.

Hening

“apa kamu mau menikah dengan seseorang yang mencintai orang lain?” tanyanya lagi, aku yang tiba-tiba diam karena syok, tambah diam lagi karena pertanyaannya barusan.

“kenapa kamu nggak nikah sama dia aja?” tanyaku yang terdengar seperti rintihan, ya tuhan, ini sangat menyakitkan.

“andaikan bisa, pasti aku sudah menikah dengannya sejak 7 tahun lalu.” 7 tahun? Batinku, bagaimana bisa selama itu.

“kenapa?” tanyaku memberanikan diri.

“dia sudah menikah 2 tahun lalu.” Jawabnya dengan senyuman sinis mengembang di wajahnya.

“lalu kau kemanakan 5 tahun sebelumnya?” tanyaku dengan tenggorokan yang mulai sakit karena menahan agar air mataku tidak jatuh.

“dia teman kuliahku, pindah ke Amerika 7 tahun lalu, kita teman dekat tapi aku terlalu pengecut untuk mengungkapkan perasaanku, sok mempertimbangkan nasib persahabatan kita padahal nasib cintaku sedang di ujung tanduk.  Di detik terakhir keberangkatannya baru aku berani mengatakan perasaanku padanya, hahhh, bahkan sampai sekarang aku masih menyesali sikap pengecutku dahulu kala.” Ceritanya lancar, tenggorokanku semakin sakit menahan tangis.

“ehm, lalu apa jawabannya?” tanyaku lagi.

“dia bilang maaf, aku tak tahu itu maksudnya maaf aku tak bisa menerimamu atau maaf yang lain. Tapi saat menerima undangan pernikahannya aku tau bahwa itu berarti maaf dia tak bisa menerimaku, namun aku dengan bodohnya masih menunggunya sampai detik ini.” Deg! Jantungku berdetak tak karuan, sampai detik ini?

“bukankah penantianmu akan percuma? Dia sudah menikah.” Aku terus menekannya, berharap dia akan sadar dan melihat aku yang sekarang ada di hadapannya.

“aku tau itu akan percuma, tapi entahlah aku tak bisa mengenyahkan bayangannya dari pikiranku barang sedetik.” Ucapnya pelan, kami mengobrol menghadap jalan, pandangan kami sama-sama tertuju pada jalanan yang ramai akan kendaraan, sejak beberapa detik lalu aku sudah tak tertarik melirik ke arahnya.

“apakah kamu mau mengorbankan hatimu untuk menikah dengan seorang pria yang sedang patah hati?” tanyanya setelah keheningan kami yang cukup lama.

Aku tersenyum miris, apa jawaban yang cocok untuk pertanyaannya? Bagaimana aku rela kalau begitu alasannya, jadi selama ini dia dingin karena itu, ada seorang wanita di hatinya, bukan karena kita belum mengenal.

“mau bagaimana lagi, mungkin sekarang orangtua kita sudah menentukan tanggalnya. Kalau kita mau membatalkannya sekarang pasti akan menjadi masalah. Lagi pula sekarang kita berada di posisi yang sama.” Jawabku lemah.

“posisi yang sama? Sama-sama di jodohkan dengan orang yang tidak kita kenal? Tidak kita cintai?” tanya Tomas.

Aku menggeleng lemah, pandanganku beralih ke ujung kakiku.

“kita sama-sama akan menikah dengan seseorang yang sedang patah hati.” Jawabku dengan senyuman miris.

“aku patah hati, tapi kamu? Apa kamu juga mengalami hal sepertiku? Tadi kamu bilang sedang tidak jatuhcinta pada siapapun.” Tanyanya.

“sampai beberapa menit yang lalu aku baik-baik saja, tapi setelah itu aku patah hati. Bagaimana mungkin aku tidak patah hati? Calon suamiku ternyata masih mencintai masa lalunya.” Jawabku miris.

“maaf.” Jawabnya lemah, aku diam.

“apa kita batalkan saja perjodohan ini? Aku akan bilang ke orangtuamu dan orangtuaku, biar aku saja yang mengatakan, jadi kamu nggak akan disalahkan.” Lanjutnya.

“apa kamu pikir itu solusi terbaik?” tanyaku.

“mungkin.”

“kamu pernah dengar istilah yang mengatakan cara terbaik untuk menyembuhkan luka hati yaitu dengan mencari hati yang baru?” tanyaku lagi. Dia mengangguk samar.

“mungkin kamu bisa mengobati luka hatimu dengan menemukan hati yang baru untuk mengisinya. Mungkin kita bisa mencoba dulu.” Lanjutku kemudian.

“bukankah itu berarti kamu tidak menemukan hati yang baru?” tanyanya.

“kalau aku berhasil mengobati luka hatimu, berarti aku mendapat hatimu yang baru, tanpa dia di dalamnya.” Jawabku dengan senyuman mengembang.

“jangan di batalkan, banyak cara menumbuhkan cinta diantara dua jiwa. Kalau gagal satu cara, pakai cara yang lain. Aku akan jadi dokter hatimu, asal kamu memberiku kesempatan untuk mengobatinya.” Lanjutku yang sekaligus menjadi tekad dalam hatiku, apa yang harus aku lakukan saat seseorang yang sudah terlanjur aku cintai masih terjebak dalam masa lalunya selain membantunya berjalan maju? Aku kira nggak ada selain cara ini.

“kesempatan seperti?” tanyanya dengan wajah bingung yang semakin menyebalkan, warna matanya coklat terang dengan bulu mata lentik dan alis yang tebal, perpaduan sempurna dengan hidung mancungnya ditambah lesung pipit disetiap senyumannya, untuk kesekian kalinya aku terpesona.

“runtuhkan dinding yang membatasimu, aku ingin masuk secara perlahan dalam zonamu, bukan sebagai turis yang hanya singgah lalu terlupakan begitu saja, aku ingin menjadi pemilik sebagian saham hatimu.” Jawabku tersenyum.

“aku nggak bisa jamin itu akan berhasil.” Jawabnya penuh sesal.

“investor selalu memiliki resiko bukan?” jawabku enteng yang disambut senyuman samar darinya.

high return, high risk.” Lanjutku sambil tersenyum mantap.

“sekali kita masuk dalam uji coba ini kita nggak akan pernah bisa keluar lagi.” Ujarnya mengingatkan.

“aku tau.” Jawabku mantap

“kalau kamu beruntung kamu bisa mendapatkan hatiku yang baru.” Lanjutnya.

“benar.” Jawabku lagi.

“kalau kamu gagal, kita akan menghabiskan sisa hidup kita tanpa adanya cinta diantara kita.” Lanjutnya kali ini dengan suara yang sedikit pelan.

“aku yakin aku akan berhasil.” Aku tersenyum sombong, sebenarnya dalam hati akupun sedang ketar-ketir dengan kemungkinan yang kedua.

“jangan terlalu PD selama ini aku belum pernah melupakannya sedetik pun.” Ujarnya dengan wajah yang sinis.

“memangnya setelah kejadian itu, kamu pernah nyoba deket sama cewek lain?” tanyaku penasaran, dia menggeleng.

“itu bukan berarti kamu nggak bisa melupakan, tapi kamu nggak mau melupakan. Kamu belum pernah mencoba bagaimana bisa bilang nggak bisa.” Dengusku sebal.

Aku masih penasaran seberapa dalam dia mencintai masa lalunya, ada sedikit keraguan dalam hatiku, bisakah aku menjadi pemilik sebagian hatinya? Entahlah, yang jelas aku sudah terlanjur jatuh hati padanya dan aku tidak ingin melepaskannya sekarang. Dia masih bisa di sembuhkan.

Tomas pov

Ini gila, benar-benar gila, bagaimana mungkin Lia mengajukan dirinya sebagai dokter hatiku? Tau apa dia? Lalu bagaimana kalau pengobatannya gagal? Apakah itu berarti dia harus merelakan perasaannya menderita bersamaku? Entahlah, aku tak menolak dengan usulnya, toh aku sudah tidak terlalu peduli lagi dengan hal yang bernama ‘cinta’. Bagiku cintaku sudah pergi bersamaan dengan keberangkatan Renata hari itu.

“jadi kita setuju untuk acara pernikahan akan digelar 3 bulan lagi?” tanya ayah Lia pada kami yang hadir di sana. Kami sudah kembali ke jamuan makan ini, sesuai seperti yang dikatakan Lia, orangtua kami sudah menentukan hari pernikahan kami.

Aku memandang wajah-wajah yang hadir di sana, kedua orangtuaku, kedua orangtua Lia dan kakaknya, mereka senang mendengar kabar baik itu, sementara Lia, entah kenapa cahaya di wajahnya tak secerah saat pertama dia datang tadi.

“setuju sekali mas Shandi, semakin cepat semakin baik.” jawab papaku dengan semangat dan diamini oleh semua orang yang hadir, kecuali aku dan Lia tentunya. Kami hanya tersenyum ala kadarnya.

Acara makan malam akhirnya selesai, semua sedang menuju parkiran, pikiranku kacau, apa yang harus aku lakukan dengan semua ini? Apakah aku salah saat jujur pada Lia tadi? Ku lihat wajahnya lesu semenjak kita ngobrol tadi.

“pa, Tomas jalan dulu ya.” Pamitku pada papa.

“kemana?”

“biasalah anak muda.” Jawabku asal. Setelah mendapat ijin, aku langsung memacu mobilku ke taman dekat kampusku dulu.

 Di sini pertama kali aku dan Renata bertemu dan kami juga sering menghabiskan waktu duduk-duduk di bangku taman ini. Tempat duduk favorit kita adalah kursi panjang yang ada pohon beringin pendek disisi kirinya dan menghadap ke air mancur. Kami sering sekali menghabiskan waktu di sana, dulu. Sekarang, tempat ini menjadi tempat favoritku untuk mengenang Renata, ini adalah istana penuh kenangan kami.

Aku duduk di kursi itu lagi, entah sudah berapa kali kursi ini di cat ulang selama 7 tahun terakhir dan aku adalah orang yang paling setia mendudukinya. Hampir setiap malam aku disini, duduk menatap langit dan mengingat kenangan-kenangan kami di masa lalu. Hari ini pikiranku kacau karena pernyataan Lia, patah hati? Ha ha, dalam waktu sekejap aku sudah menyakiti hatinya. Kupejamkan mataku dan mendongak ke arah langit, membiarkan angin malam membelai wajahku, aku butuh angin ini untuk membawa sebagian beban hatiku bersamanya. Selalu saja tentang Renata, tapi bagaimana mungkin aku berpaling hati saat aku masih mencintainya.

Going back to the corner where i first saw you

Gonna camp in my sleeping bag, i’m not gonna move

Got some words on cardboard, got your picture in my hand

Saying, “if you see this girl can you tell her where i am”

Some try to hand me money, they don’t undertand

I’m not broke, i’m just a broken hearted man

I know it makes no sense but what else can i do

How can i move on when i’m still in love with you

(*)Cause if one day you wake up and find that you’re missing me

And your heart starts to wonder where on this earth i could be

Thinkin maybe you’ll come back here to the place that we’d meet

And you’ll see me waiting for you on the corner of the street

So i’m not moving, i’m not moving

Policeman says: “son, you can’t stay here”

I said: “there’s someone i’m waiting for if it’s a day, a month, a year”

Gotta stand my ground even if it rains or snows

If she changes her mind this is the first place she will go.

(*)

People talk about the guy, that’s waiting on a girl

There are no holes in his shoes, but a big hole in his world

Maybe i’ll get famous as the man who can’t be moved

Maybe you wont mean to but you’ll see me on the news

And you’ll come running to the corner

Cause you’ll know it’s just for you

I’m the man who can’t be moved

(the man who can’t be moved – the script)

****

Lia pov

“Li, mulai besok kamu kerja di perusahaannya Tomas ya.” Kata ayah di pagi yang masih terlalu dini ini, masih jam setengah 6, kami sedang melakukan senam rutin kami di pagi hari.

“eh? Kenapa harus di perusahaan Tomas sih yah, perusahaan ayah aja deh.” Tawarku, jujur deh nggak nyaman bakal seperusahaan sama dia.

“ini yang minta nak Tomas sendiri lo, katanya dia bakal sibuk akhir-akhir ini makanya nggak ada waktu buat pendekatan sama kamu.” Bujuk ayah, alah palingan ini juga rencana ayah sama om Wisnu.

“ciee, yang mau nikah, udah main pendekatan aja, nggak apa-apa lagi dek, lebih romantis kalo di kantor, lebih deket bisa lepas kangen.” Goda kak Rangga usil. Aku mencebikkan bibir mengikuti gaya bicaranya.

“iya nduk, bener itu idenya nak Tomas, lagian kan kalian masih tiga bulan lagi menikah, masih ada waktu buat pendekatan.” Bunda ikut-ikut dalam rencana ayah ini.

“emang Lia di sana kerja jadi apa sih yah?” tanyaku penasaran.

“jadi sekretarisnya nak Tomas.” Jawab ayah santai, apa? Jadi sekretarisnya Tomas? Idih, kok jadi ngeri gini ya?

“gimana nduk? Mau kan?” ayahku terus membujukku.

“gimana ya yah? Di kantor ayah aja deh, ya?” aku memelas.

“udah, tinggal terima aja susah bener sih, ini menguntungkan kamu lo.” Ish, kakak sablengku ini ikut-ikutan aja.

“ya udah kalo abang mau, abang aja yang jadi sekretarisnya Tomas, biar kerjaan kakak di kantor ayah aku yang ngerjain, gimana? Deal? Deal.” Pertanyaanku ku jawab sendiri, kali ini kak Rangga tak tinggal diam, dengan kekuatan super dia menjitak kepalaku.

“aduuhh, sakit tau!! Tuh yah, abang nakal, dasar.” Aku ngamuk-ngamuk sambil berusaha membalas jitakkannya.

“sudah, sudah, ini kok malah berantem sih.” Bunda menjewer telinga kita berdua.

“aduh bund, sakit bund, abang tuh yang mulai.” Rengekku manja.

“enak aja, kamu yang bikin jengkel gitu.” Protes kak Rangga nggak mau kalah.

“bund, udah dong, sakit nih.” Rengek kak Rangga, aku dari tadi sibuk mempertahankan telingaku, takut lepas, bunda itu kalo ngejewer sakitnya ya ampuuunnn.

“udah pada gede masih aja kaya anak kecil, jitak-jitakkan. Ini lagi anak perempuan satu, udah mau nikah masih aja kaya anak kecil berantemnya, bunda kan udah bilang jadi anak perempuan tuh harus anggun, sopan, lemah lembut, bla bla bla.” Bunda ceramah panjang bersamaan dengan dilepasnya telinga kami.

“tuh dengerin, udah mau nikah juga.” Kak Rangga malah ikut-ikutan bunda.

“kamu juga ini, udah tua masih suka ganggu adikmu. Mana calonmu? Sampe sekarang nggak di bawa ke bunda.” Gantian bunda ngamuk ke kakak, hahaha, rasain salah siapa ganggu-ganggu? Sampe mana-mana kan endingnya, kenapa jadi nanya calonnya kakak coba? Kan aku jadi keingetan kejadian sebulan lalu dimana aku menerima perjodohan atas dasar salah paham, Hhh.

“sudah bund, masih pagi masa udah marah-marah, nanti di sini, di sini, di sini, kerutannya nambah lo.” Ayah yang dari tadi asyik memperhatikan kali ini angkat bicara, khas ayah, menenangkan sambil menggoda bunda, menunjuk 3 bagian rawan keriput yang amat di jaga bunda, dahi, sudut mata, dan sudut bibir. Ayah memang paling tahu kelemahan bunda, haha.

“astaghfirullah.” Ucap bunda khidmat, hehe, gini nih bunda kalo baru sadar dari marah-marah, langsung nyebut.

“aduh yah, punya anak dua umurnya udah di atas 20 tahun semua, tapi kelakuannya kaya anak umur 7 sama 5 tahun, berantem terus.” Keluh bunda dengan ekspresi lebay banget.

“ih, bunda mah lebay, orang kita akur gini.” Kak Rangga merangkulku sok akrab, idih.

“iya bund, kita kan nggak pernah berantem, sodara paling rukun abad ini.” Aku ikut-ikutan merangkul kak Rangga.

“ya gitu itu bund anakmu, giliran gini pasti sok akrab.” Cibir ayah nyebelin.

“eh eh, tadi bilang anak siapa?” bunda protes, seakan tersadarkan dari suatu hal.

“eh? Anak kita bunda sayang.” Jawab ayah salah tingkah.

“nah gitu baru bener, emang bunda bisa bereproduksi sendirian?” sungut bunda lucu, aku dan kak Rangga benar-benar nggak bisa nahan ketawa.

“eh, ini kok malah ngelantur kemana-mana, balik ke topik awal. Gimana nduk, mau kan kerja di kantornya nak Tomas?” ayah mendesak lagi, ahh, aku nggak mau. Bisa-bisa mati muda kalo tiap hari ketemu Tomas, senam jantung tiap hari, apalagi jadi sekretarisnya, bisa-bisa senam jantungnya berkali-kali lipat lebih sering. Hhh.

“kok malah diam, ya udah gini aja, kita voting.” Kata ayah kalem, apa? Voting? Bad feeling.

“siapa yang disini setuju Lia kerja sama Tomas?” tanya ayah pada kakak dan bunda, dan mereka bertiga bareng-bareng angkat tangan, dengan begitu kalahlah aku yang hanya punya 1 suara (diri sendiri).

“ya udah, keputusan udah diambil, mulai besok kamu kerja sama Tomas.” Ayah menutup sidang, selesai sudah perkara.

“ih yah, nggak adil tau, yang mau kerja kan Lia, kenapa jadi votingnya kakak, bunda sama ayah?” protesku tak terima.

“salah siapa ditanya diam?” jawab ayah sambil melenggang masuk rumah, itu berarti keputusan final, nggak bisa diganggu gugat. Aarrgghh, harus nyiapin jantung nih.

****

Pagi ini bunda sudah heboh, bunda yang biasanya kalem jadi mendadak rock n roll, berkali-kali nongol tiba-tiba di pintu kamar, padahal ini masih jam setengah 6 dan kerja di mulai jam 8, bayangin sodara-sodara.

“nduk, jangan lupa lo hari ini kamu kerja di tempatnya Tomas.” Ini sudah kelima kalinya bunda berdiri di pintu dan mengingatkan jadwalku.

“iya bunda.” Jawaban yang sama dari pertanyaan pertama.

“eh, mending kamu siap-siap sekarang deh, hari pertama itu nggak boleh telat, apalagi nanti kalo kamu berangkat agak siangan macet, bisa-bisa image kamu jatuh di hari pertama, apalagi mau kerja jadi sekretaris calon suami, harus bener-bener mencerminkan pegawai teladan.” Bunda malah mengeluarkan wajengan supernya, hei ini masih setengah 6, aku masih sibuk online, hehe.

“ini masih setengah 6 bunda, lagian ntar kalo nyampe sana duluan mau ngapain? Buka kantor?” cibirku tak bersemangat.

“ehh, mana boleh gitu, siap-siap sana, nanti kamu telat kalo macet.” Celoteh bunda, yah dari pada harus sakit telinga dengerin bunda ngomel mending sekarang aku siap-siap, pikirku.

Pernah dengar istilah perkataan adalah do’a? Dan ridlo orangtua adalah ridlo Tuhan? Itulah yang terjadi padaku pagi ini, karena sudah meremehkan bundaku tadi, aku terjebak macet. Macet sodara-sodara sudah satu jam aku di dalam taksi ini, berangkat setengah tujuh dan sekarang setengah delapan belum juga bergerak padahal jarak kantor calon suamiku itu masih sekitar dua puluh menitan. Aku mulai panik, berkali-kali melihat jam dan bertanya pada supir taksi apakah ada jalur lain. Akhirnya dengan kekuatan super, aku memilih jalan dari sini, semoga aku bisa sampai kantor dengan selamat dan masih utuh segala-galanya. Aku menghela nafas lalu berjalan dengan sepatu berhak sialan ini.

“maaf mbak, saya mau ketemu sama pak Tomas Fauzi.” Tanyaku pada resepsionis di depanku. Dia memandangku dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“sudah buat janji?” tanyanya ketus.

“sudah.” Jawabku santai.

“atas nama siapa?” tanyanya lagi.

“Liana Mahya Ratifa.” Jawabku dengan nafas yang masih ngos-ngosan.

“oh anda sudah ditunggu dari setengah jam yang lalu.” Jawab mbak resepsionis itu dengan tatapan mencemooh dan nada yang ketus.

Setelah mbak itu menunjukkan di mana letak ruangan Tomas, aku langsung ngacir begitu saja. Risih deh diliatin kaya gitu, berasa makhluk dari planet mana gitu nyasar ke sini.

“permisi pak.” Kataku sepelan mungkin saat aku sudah membuka pintu ruangan Tomas.

“masuk.” Jawabnya tanpa menoleh padaku.

“dari mana kamu? Seharusnya kamu sudah ada di kantor sejak setengah jam yang lalu.” Ujarnya dingin.

“ma maaf pak, saya tadi terjebak macet.” Jawabku gugup.

“alasan klasik, semua orang di sini punya masalah dengan macet, tapi mereka bisa mengatasinya. Itu pinter-pinternya kamu aja ngatur waktu.” Jawabnya lagi ketus.

“maaf pak.” Jawabku hampir mengis, katakan aku cengeng silahkan saja. Lagian emang maunya aku kejebak macet? Nggak! Emang maunya aku kerja di sini? Nggak! Batinku sebal.

“maaf, maaf saja dari tadi. Sekarang mendingan kamu balik ke me-.” Kalimat Tomas terhenti saat melihat ke arahku, kenapa? Aku pun bingung padahal aku nggak nangis lo sumpah –walaupun pengen banget.

“mendingan kamu langsung ke meja kamu.” Ujarnya kemudian sambil menunjuk sebuah meja di dalam ruangannya lalu kembali menekuri pekerjaannya.

Aku diam, menuruti semua perkataannnya dengan diam dan sebal yang luar biasa. Kenapa tempatku di sini? Di dalam ruangannya? Bukankah harusnya aku duduk di meja sekertaris di depan ruangannya tadi? Pikirku bingung, lalu ku lihat Tomas yang sedang menghubungi seseorang.

“Ratri, ke ruanganku sekarang.” Ujarnya dingin.

Tak lama muncul sesosok perempuan berperawakan tinggi di pintu ruang kerja Tomas, dengan heels hitam tinggi, rok mini berwarna tosca dan atasan berwarna senada.

“ini berkas-berkas yang bapak minta berusan.” Ujarnya sopan.

“terima kasih, tolong kamu hubungi wakil dari perusahaan konstruksi yang menawarkan kerja sama dengan pihak kita kemarin ya?” ujar Tomas denagn serius yang diangguki oleh wanita cantik di depannya.

“ada lagi yang harus saya lakukan pak?” tanyanya sopan.

“udah itu aja dulu, nanti kalau ada lagi saya panggil kamu.” Jawab tomas tegas.

“baik pak, saya permisi.” Ujar wanita itu lalu keluar tanpa repot-repot menoleh ke arahku.

Bukankah itu tadi wanita yang aku lihat di luar? Di meja sekertaris Tomas? Pikirku dalam hati. Aku penasaran setengah mati.

“umm, pak saya mau ke toilet sebentar.” Ujarku ragu karena Tomas sanagt serius dengan pekerjaannya.

“pakai toilet di ruangan ini saja.” Ujarnya dingin.

“umm, saya pakai toilet karyawan saja. Permisi.” Ujarku sebelum Tomas menahanku lagi.

Bukan karena aku ingin ke toilet, tapi aku ingin menyelidiki siapa wanita barusan. Apakah dia sekertaris Tomas atau bukan?

“permisi.” Ujarku yang sudah berdiri di depan wanita tadi.

“ya, ada yang bisa saya bantu?” jawabnya sopan.

“umm, saya Lia yang tadi ada di dalam.” Ujarku sedikit kikuk.

“saya Ratri, sekertaris pak Tomas.” Jawabnya balasnya ramah.

“senang berkenalan dengan anda.” Ujarku dengan senyum ramah.

“begitupun dengan saya, apakah anda membutuhkan bantuan saya?” tanyanya lagi, oke aku sadar ini jam kerja tapi aku terlanjur kepo.

“ummm, sebenarnya saya pengen nanya sesuatu sama mbak Ratri.” Jawabku disertai cengiran aneh.

“maaf sebentar mbak.” Sela Ratri lalu mengangkat telpon yang mengintrupsi obrolan kita. Kepo berkepanjangan deh aku.

“maaf mbak, kayanya kita tunda dulu ya pertanyaannya. Saya dipanggil bos.” Ucapnya menyesal.

“eh, iya mbak. Maaf saya ganggu kerjaan mbak.” Kataku sebelum akhirnya ngacir ke toilet.

Aku sudah seperti cacing yang ditaburi garam, tak bisa diam barang sedetik pun. Semenjak memasuki toilet semenit lalu, aku terus mondar-mandir dan tak henti-hentinya menggigiti kuku jari tanganku. Bagaimana bisa aku bertanya seperti tadi pada Ratri? Bagaimana kalau dia nanti bilang ke Tomas perihal pertanyaanku? Bisa-bisa aku dicap kepo sama dia, yah meskipun ku akui aku memang panasaran berat dengan motifnya mempekerjakanku sebagai sekertaris, padahal dia masih memiliki sekertaris.

Akhirnya setelah menarik nafas panjang berulang-ulang dan membasuh tanganku aku memutuskan untuk kembali, Ratri sudah duduk di mejanya, sibuk menekuni berkas-berkasnya. Dengan gaya sok anggun aku melewatinya, menyapanya sebentar sambil melemparkan senyuman yang aku yakin lebih mirip ringisan daripada senyuman.

“mbak Lia.” Panggil Ratri saat aku hampir mencapai pintu ruang kerja Tomas.

“umm, ya?” jawabku ragu.

“nanti istirahat makan siang kita bareng ya?” lanjutnya dengan senyuman ramah.

“umm, boleh.” Jawabku dengan senyum ragu-ragu. Setelah itu aku kembali ke dalam ruangan Tomas dan mendapatinya lebih sibuk dari saat aku meninggalkannya tadi.

“aku kira kamu pingsan di kamar mandi.” Kalimat sambutan yang sangat manis dari calon suami tercinta. Aku langsung cemberut mendengarnya, duh kok dia jadi galak gini sih di kantor, dengusku sebal.

“tadi nyasar nyari toiletnya.” Jawabku cuek.

“kan udah aku bilang pake toilet di sini aja.” Ucapnya lalu mengalihkan pandangannya ke arahku.

“ummm, aku kan karyawan, mana boleh pakai toilet bos.” Jawabku cepat lalu duduk kembali di mejaku. Yaampun kenapa jadi grogi gini sih diliatin sama dia, batinku sebal.

Tomas kembali menekuni dokumennya, terlihat sibuk dan seksi. Aku nyengir mesum melihat Tomas saat ini, kemeja dengan dasi sedikit longgar dan rambut yang sepertinya habis diacak-acak, eerrr.

“bola matamu bisa keluar kalau kamu memandangiku seperti itu.” Ucapnya acuh tanpa menoleh ke arahku, sial!

“siapa bilang aku memandangimu?” sangkalku.

“trus kamu ngeliatin apa sampe ngiler gitu?” tanyanya masih dengan tatapan pada berkas-berkasnya.

“uummm, itu, kopi kamu.” Jawabku ragu sambil celingukan mencari sesuatu yang bisa dipake alasan. Tomas beralih memandangku dengan sebelah alisnya naik sehingga menimbulkan kerutan di dahinya, dia jadi makin.....seksi, dan sekali lagi aku terperangkap dalam pesonanya.

“kopi hum?” tanyanya yang tiba-tiba sudah di depanku. Eh? Sejak kapan dia disini?

“mm, iya kopi.” Jawabku cepat.

“kamu boleh meminumnya kalo kamu mau, lagi pula aku sudah cukup kenyang dengan kopi hari ini. Itu cangkirku yang ke lima.” Jawabnya santai sambil duduk di mejaku yang masih kosong.

“kelima?” ulangku syok. Dia hanya mengangguk santai, oh dia gila. Bahkan ini baru jam sebelas, masih satu jam lagi menuju jam makan siang dan masih lima jam menuju berakhirnya jam kantor.

“kenapa?” tanyanya acuh.

“ng nggak apa-apa, hehe.” Jawabku cengengesan, emangnya kenapa kalo dia minum kopi satu tanki sekalipun? Badan-badan dia, urusan-urusan dia, kataku dalam hati.

“uummm, sepertinya kamu sibuk banget hari ini. Ada yang bisa aku bantu?” tanyaku setengah ragu, helo aku kesini buat kerja bukan buat jadi pajangan macam patung di pojokan sini.

“nggak usah, lagian ini pertama kalinya kamu masuk, anggap saja masih dalam tahap adaptasi.” Jawabnya santai lalu berlalu menuju pintu.

“nanti kalau waktunya makan siang, pergilah. Tak usah menungguku kembali.” Ucapnya sebelum menghilang di balik pintu. Ish! Siapa juga yang mau menunggunya? PD sekali.

Sesuai janji, aku dan Ratri makan siang bersama lagi pula aku juga diuntungkan dengan makan siang ini, aku anak baru dan belum mengenal siapapun disini kecuali Ratri dan Tomas, selain itu aku bisa segera menuntaskan rasa penasaranku tadi pagi.

“mbak, kita duduk di pojokan aja ya?” pinta Ratri saat kami sampai di kantin, ampun deh kenapa hari ini nasibku di pojokan mulu sih?

“iye deh terserah kamu.” Jawabku sambil tersenyum manis.

“oiya, jangan panggil mbak deh. Lia aja, lagian umur kita palingan nggak beda jauh.” Lanjutku yang jujur berasa tua banget kalo dipanggil mbak sama dia, kalo aku liat-liat Ratri ini kayanya seumuran sama Tomas deh.

Kami sudah duduk di meja pojok, dekat dengan jendela besar yang mengarah ke taman. Kantor Tomas berbentuk persegi empat lantai dengan taman di tengahnya, jadi kalau dilihat dari atas kantornya seperti donat, tapi persegi.

Setelah memesan makanan, kami berbincang-bincang seperti teman baru. Mulai dari alamat sampai akhirnya Ratri menanyakan aku bekerja di bagian apa? Kenapa aku bisa diruangan yang sama dengan Tomas, dan lain sebagainya. Aku pun menjelaskan apa adanya, bekerja di kantor ini karena dipaksa orangtuaku dan posisiku yang masih ambigu –mana mungkin aku bilang kalau aku rencananya bekerja di sini sebagai sekertaris Tomas. Oh kecuali bagian aku adalah calon istri Tomas, aku sama sekali tak ingin menyinggungnya di sini.

“Ratri, emang kamu ada rencana mengundurkan diri ya?” tanyaku akhirnya karena rasa penasaranku yang semakin besar.

“hah? Kok kamu bisa ambil kesimpulan gitu?” tanyanya bingung, sial! Karena pertanyaanku aku jadi bingung sendiri harus menjawab apa.

“uumm, tanya aja sih.” Jawabku salah tingkah.

“kamu ini aneh deh, jangan-jangan kamu punya indra keenam ya?” tanyanya sambil memicingkan mata.

“hah?! Kok bisa?” tanyaku dengan bodohnya.

“ya mana aku tau, kalo kamu beneran punya indra keenam kan gawat, semua yang kamu katakan bisa jadi bentuk dari gambaran masa depan yang kamu dapat. Jadi, besar kemungkinan aku bakal dipecat sama pak Tomas mengingat aku tak punya keinginan untuk resign.” Jawabnya panjang.

“ah, enggak kok. Aku nggak semengerikan itu.” Jawabku sambil meringis, sekali lagi aku terlalu cepat menyimpulkan, lalu? Sebenarnya untuk apa aku bekerja di sini kalo Cuma duduk di pojok ruangan Tomas? Aaarrggghhh!!! Dasar manusia es nyebelin!!!!

haii,

makasih yah atas jejak-jejak di part sebelumnya.
semoga part ini nggak mengecewakan dan membosankan.

happy reading :*

Continue Reading

You'll Also Like

288K 9.7K 33
Sesorang pernah bilang padaku kalau rasa itu akan timbul seiring waktu. Kita bisa saja saling jatuh cinta jika sering bersama. Karena saat kau tak ad...
1.9K 517 32
"Katanya kalau kita hidup di pasar jodohnya bakal sama orang pasar juga, seperti penjual dan pembeli. Begitulah selintingan yang pernah kudengar, dan...
383K 4.8K 6
Rank #1-marriage, 8/8/2018 18+. Ketika seorang yang super duper rapi dan bersih menikahi seseorang yang sangat berantakan. Berawal dari patah hati, E...
960K 44.7K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...