Maaf

68.2K 2.9K 87
                                    

Lia pov

Hari ini kami resmi pindah, setelah obrolan panjang dengan ayah dan bunda semalam. Bunda terlalu bersemangat mempunyai menantu baru, sehingga beliau enggan melepaskan kami untuk tinggal di rumah sendiri.

Flash back

“tinggal di sini dulu lah sampai hari minggu.” Begitu kata bunda saat Tomas mengatakan niatnya untuk mengajakku pindah.

“kalo diundur-undur keburu masuk kantor kan bund.” Kataku membantu Tomas yang sudah kebingungan menolak.

“iya bund, nanti kalau aku udah masuk kantor kasian Lia beres-beres sendiri.” Tambah Tomas.

“biarin aja sih, Lia biar jadi istri berbakti beres-beres rumah. Lagian bunda kan belum merasakan punya mantu, lamaan dikit deh.” Rayu bunda sok manis.

“udah biarin aja bund mereka mandiri, bener kata nak Tomas, kasian Lia kalau nanti beres-beres sendiri. Bunda kan tahu rasanya pindahan.” Bela ayahku, YES!

“tuh dengerin bund, lagian bunda nih ibunya siapa sih? Kok malah aku yang dikorbanin.” Cibirku tak terima.

“ya udah deh, kalian boleh pindah. Tapi sering-sering kerumah ya sayang.” Kata bundaku, kira-kira kata sayang barusan buat siapa ya? Batinku tak enak.

“sayangnya buat siapa tuh bund?” tanyaku iseng, bunda kan nggak pernah manggil aku sayang. Boro-boro deh manggil, orang aku aja lebih mirip anak tiri dari pada anak sendiri.

“buat mantu bunda lah.” Jawab bunda mantap, tuh kan aku bilang juga apa? Mantu bunda tercinta deh.

“iya bunda.” Jawab Tomas dengan senyuman salah tingkah.

Flash back end

“ngelamunin apa?” tanya Tomas tiba-tiba.

“eh? Enggak kok.” Jawabku terkejut. Lalu lanjut menata barang-barang di rumah Tomas yang baru.

Seharian berkutat dengan barang-barang ternyata melelahkan, untung aja kita penganten baru jadi belum punya banyak properti.

“aku besok ke rumah Ara lagi ya Tom.” Pamitku saat kami hendak tidur.

“kamu tiap hari kesana lo.” Katanya dengan nada datar.

“nggak boleh ya?” tanyaku sedikit ketus, setelah kebodohanku yang menceritakan semuanya ke Ara waktu itu, Tomas jadi sedikit nggak nyaman kalo di deket Ara. Mau nyaman gimana kalo Aranya aja ngeliatin Tomas kaya nenek sihir ngeliatin snow white gitu.

“bukannya nggak boleh, tapi nggak enak kan sama Rafa. Emang dia nggak kerasa terganggu gitu?” jawab Tomas sedikit kesal.

“mereka nggak keberatan kok.” Jawabku mulai ngambek.

“yakin Rafa nggak keberatan?” ujarnya lagi, aku tak menjawab karena aku yakin kita bakal berantem kalo aku lanjutin. Mungkin karena aku anak bungsu dan kebiasaan dimanjain ayah, jadi aku nggak bisa nerima penolakan dari permintaanku.

Esoknya Tomas sudah mulai masuk kantor dan aku mulai bosan di rumah, setelah membereskan sisa pindahan kemarin aku memutuskan untuk membereskan kamar kami. Merencanakan untuk menambah beberapa pernak-pernik dan mengubah posisi ranjang. Aku berusaha membunuh kebosananku dengan cara melakukan apa saja yang bisa aku lakukan.

Sebulan sudah aku dan Tomas tinggal di rumah kami, selama ini baik-baik saja kecuali bagian dimana aku bosan setengah mati tiap dia pergi ke kantor. Aku sudah jarang ke rumah Ara, bahkan aku baru sekali menengok Aqeel sebulan ini. Tomas jarang mengijinkanku pergi ke sana, sementara di rumah aku bosan sekali.

You're My Cup of TeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang