Assalamualaikum Calon Imam ✔

By amimomile

4.9M 269K 23.6K

(Sudah terbit, bagian tidak lengkap.) Nafisya Kaila Akbar, lima belas tahun memendam perasaan pada sosok pria... More

Prologue
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Epilogue
QnA With Alif
Akun IG khusus WP
Audiobook 1

Chapter 1

492K 15.6K 1K
By amimomile

"Aku tidak mau membuat hati milik Allah ini sakit hanya karena ulah hambannya. Allah itu pencemburu, dia cemburu ada nama lain di hatiku, di pikiranku atau pun di lisanku."

____________

SESEORANG melempari kaca kamarku dengan krikil membuatku semakin menarik selimutku untuk menutupi kepala sekaligus telinga. Berulang kali kubatinkan kalimat istigfar, tapi dia tetap pada usahanya. Percaya atau tidak ini sudah hampir jam sepuluh malam dan "si hantu" itu belum mau berhenti dari aksinya.

[LINE]
Makhluk Mars :

"Aku tahu kamu belum tidur Sya! dan jangan pura-pura tidur. Lampunya masih nyala, Allah Maha Melihat."

Kalau sudah bersangkutan dengan Allah. Aku tak bisa bersikap apapun. Siapa lagi yang berani mengangguku seperti ini kecuali Jidan Ramdani. Pria yang rumahnya berdiri megah tepat di sampingku. Aku tak membalas pesannya, dan dia tetap dengan usahanya yaitu melempari kaca kamarku dengan krikil.

"Sya! Nafisya!" Teriaknya. Arggt! Dasar penghuni mars.

Aku berdiri dan mengambil jilbab instan berwarna hijau toska senada dengan baju yang kukenakan sekarang. Syukurlah piama tidurku sudah berlengan panjang begitupun celananya. Kubuka jendela itu selebar mungkin. Membuat angin malam masuk tanpa ijin. Mengambil nafas panjang sebelum berteriak,

"Kenapa gak sekalian aja lemparin pake batu bata!" Akhirnya semuanya meluap. Pria di bawah sana hanya menunjukan jajaran gigi rapihnya sambil tersenyum konyol ke arahku tanpa rasa bersalah.

"Sssssstttttt!" katanya berteriak sambil menyuruhku tidak berisik padahal dia sendiri yang menciptakan kegaduhan. Sesuatu mengganjal otaknya. Ini wajar jika kami berumur di bawah sepuluh tahun, tapi dia masih melakukan ini padahal kami sudah duduk di bangku kuliah.

"Kalo ketauan Ummi kamu, kita bisa dinikahin ditempat," katanya waspada.

Kalau dia tahu batasan bahwa seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak boleh berduaan lalu kenapa dia terus menerus melempari kaca kamarku dengan krikil? Aku tak merespon perkataannya dan hanya menatapnya dengan tatapan kesal karena memang itu lah harapanku, menikah dengannya.

Tatapan yang kuberikan itu bukan tatapan mata bertemu mata, aku tidak pernah melakukan eye contact dengan pria mana pun. Aku cukup tahu kalau panah terdahsyat setan adalah melalui pandangan. Aku menatapnya tapi menatap ke arah lain yang sejajar dengan sosok Jidan.

Mengenai Jidan, terlalu bodoh memang berharap jodoh next door. Berharap suatu saat tetanggaku bertamu untuk melamarku. Berharap Jidan akan jadi imamku dimasa depan. Semua memang murni kesalahanku karena membiarkan rasa ini tumbuh.

"Sya, rencana tadi siang berhasil," teriaknya terlihat girang sekali. Jidan pernah mengatakan bahwa aku akan menjadi orang pertama yang tahu segala keputusan penting yang akan dia ambil di masa depan.

"Oh ... Selamat kalo gitu," kataku dengan nada yang terdengar biasa-biasa saja. Aku hendak menutup jendela sampai teringat sesuatu. Aku berteriak mengatakan ini berharap orang yang kamarnya berada di sebelahku juga mendengarnya.

"Inget ya Dan! Dalam Islam itu nggak ada yang namanya pacaran!" teriakku diikuti suara jendela yang dipaksa tertutup.

Bulir air mata itu kembali terjatuh. Sungguh, aku tidak ingin menangis lagi, terlebih hanya untuk seorang pria karena perasaan konyol ini. Aku ingin melupakan Jidan. Bukan kali ini saja aku berusaha untuk melupakannya, sudah sejak empat belas tahun lalu aku berencana melupakan perasaan ini. Sayang, semuanya tetap menjadi rencana sampai kami tumbuh dewasa.

Ingin kutinggalkan semua kenangan di masa lalu meskipun itu kenangan indah. Namun sekeras apapun aku berlari aku tidak akan pernah bisa meninggalkan masalalu. Ya Allah, kali ini saja tolong buat aku lupa akan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada atau sekedar muncul.

[LINE]
Makhluk Mars :

"Sya? Kenapa sih? Aku gak pacaran kok, ternyata respon kakak kamu baik. Makanya tadi aku mau ngasih tahu kalo aku mau ngambil langkah selanjutnya."

Aku membacanya tanpa membalas pesan dari Jidan. Kumatikan lampu kamarku detik itu juga. Pada akhirnya aku sendiri yang tersakiti karena terlalu berharap. Berharap bahwa Jidan satu-satunya pria yang bisa kupercaya untuk menjadi calon imamku. Harapan yang paling rendah adalah berharap kepada selain Allah, dan aku terlalu bodoh dan terlambat untuk menyadari itu.

Lagi-lagi handphoneku berdering.

[LINE]
Makhluk Mars.

"Kamu udah beneran tidur ya? Ya udah sampe ketemu besok di acara organisasi. Selamat tidur frozen kecil, Assalamualaikum."

Aku tak membacanya. Aku hanya membaca potongan-potongan pesan yang dimunculkan panel notification.

Sungguh, apa yang akan dilakukan Jidan di masa depan. Keputusan apa yang akan dia ambil. Aku sama sekali tidak peduli dan tidak ingin tahu. Bukan aku bermaksud untuk memutus tali silaturahim denganya atau mengakhiri persahabatan yang sudah lama terjalin dengannya. Andai bibirku bisa bicara tanpa ragu maka hanya satu hal yang akan ku minta dari Jidan.

Menjauhlah,

Pergilah sejauh mungkin dari hidupku, dan jangan pernah mencoba untuk kembali karena kamu tidak tau bahwa aku paling tersakiti. Ambil apa yang telah kamu putuskan, lakukan apa yang ingin kamu lakukan.

Allah tidak suka aku menyimpan perasaan ini, maka aku harus melawan perasaanku sendiri. Melawan khayalanku yang telah melewati batas tentang mu.

Harusnya kamu tahu Jidan bahwa aku telah gagal. Aku takut kecintaanku pada Allah pudar hanya karena kehadiran mu. Aku tidak mau membuat hati milik Allah ini sakit hanya karena ulah hambannya.

Allah itu pencemburu, dia cemburu ada nama lain di hatiku, di pikiranku ataupun di lisanku.

____________

Alarm yang kupasang masih menyediakan waktu tiga puluh menit lagi menuju pukul tiga. Aku terduduk sebentar sambil mengucek kedua mataku. Kepalaku pening. Rasanya berat sekali. Keterlaluan pria itu kemarin, gara-gara dia kantung mataku akan terlihat jelas hari ini.

Dinginnya udara tak membuatku mengurungkan niat untuk mengambil wudhu dan melakukan sembahyang tahajud seperti hari-hari biasanya.

Teringat bagaimana aku tertidur kemarin, alasan apa yang membuat air mataku meluap kembali sampai aku tertidur, membuatku merasa bodoh. Menangisi laki-laki yang bahkan tidak tahu bahwa aku meyukainya.

Mulai malam ini, bukan hanya Jidan yang akan mengambil keputusan. Aku sendiri yang akan merubah keputusanku. Merubah do'aku dimana nama Jidan selaluku sebut di dalamnya. Aku meminta agar ada seorang pria yang baik diantara yang paling baik, yang mampu menjadi imamku nanti. Membuat imanku sempurna dan mampu menuntunku sampai Jannah-Nya.

Akan kucari meski sampai pelosok bumi pria sehidup sesurga yang akan menjadi calon imamku dan kupastikan aku bisa melupakan Jidan. Selepas shalat tahajud, Jidan terus menerus mengirimkan pesan. Kalau dihitung bisa sampai dua puluh pesan. Ketika aku membuka line, handphone itu kembali bergetar.

[LINE]
Makhluk Mars :

"Assalamualaikum Sya, udah bangun? Ciee, rajin bener ketua acara sosialisasi."

Ingin kulempar handphone itu ke lantai dan membiarkan isinya berceceran. Sayangnya akalku masih sehat. Handphone itu satu-satunya yang kumiliki, jadi aku hanya melepas aplikasi line dari handphone tersebut dengan tiba-tiba.

Tumbuh sejak kecil dengan pria itu membuatku tahu banyak hal tentangnya. Aku mengintip sedikit ke jendela dan lampu di kamar sebrang sana sudah menyala, tanda Jidan juga sudah bangun. Kami memiliki kesamaan yaitu sama-sama tidak bisa tidur jika lampunya menyala.

Lampu kamarku yang awalnya menyala kumatikan secepatnya dan kunyalakan lampu belajar. Aku harus mulai melupakan Jidan secara bertahap, memulai gerakan move on besar-besaran. Aku tak mau terus menerus seperti ini, bergantung pada Jidan sama seperti ketika aku bergantung pada Abi dulu. Semua selalu sama, pada akhirnya kedua pria itu sama-sama menyakitiku.

Selepas shalat subuh sekitar pukul enam, aku turun kelantai bawah. Ummi sudah berkutik entah sejak kapan.

"Butuh bantuan My Queen?" tanyaku sambil memeluk pinggangnya dari belakang. Dulu Ummi adalah hidupku maka Abi adalah nafasku. Sekarang Ummi adalah hidup sekaligus nafasku dan Abi hanya benalu yang sempat hadir.

Bukanya aku ingin menjadi anak durhaka, tapi sungguh terlalu menyakitkan untukku ketika Abi lebih memilih pegi di hari pertama aku masuk sekolah. Saat anak-anak lain diantar oleh ayah mereka kesekolah, saat itu Abi malah memutuskan pergi dari rumah. Dengan mudahnya dia membuangku begitu saja.

Dia memiliki keluarga lain? Ya, dia memiliki kelurga lain. Dia meninggalkan aku dan Ummi seolah kami hilang dari dunianya. Padahal hari itu hari pertama aku mulai mengenal dunia luar yang sesungguhnya.

"Duduk dan makan aja pricess, nanti terlambat lagi ..." balas Ummi dengan begitu halusnya.

Aku melihat banyak makanan di atas meja ada roti dengan berbagai selai lengkap dengan tiga gelas susu, dan salah satunya milikku karena warnanya coklat. Satu hal yang membuatku merasa lapar yaitu ikan dengan bumbu balado pedas. Ummi itu hebat makanya kujuluki Queen. Aku seperti hidup dalam dunia Disney. Ummi adalah salah satu bidadari surga yang ditakdirkan hidup di bumi bersamaku.

Tiba-tiba terdengar seseorang menyalakan bell rumah sambil berteriak mengucap salam beberapa kali.

"Biar Ummi yang bukain." Ummi siap beranjak pergi ke depan sampai aku melarangnya membukakan pintu.

"Ngga usah dibuka Mi, paling mau ganggu sarapan kita." Aku sudah bisa menebak siapa yang akan datang sepagi ini sambil berteriak dan mengetuk pintu seperti itu.

Kak Salsya turun dari lantai atas dengan pakaian yang tak kalah rapi. Dia nampak anggun dalam balutan pakaiannya berupa dress dibawah lutut yang berwarna biru langit. Sangat disayangkan dia tidak memakai jilbab. Mungkin Kak Salsya juga trauma terhadap perpisahan Abi dan Ummi. Dia pernah bilang "Jika menutup aurat itu melindungi Abi dari api neraka, untuk apa melakukanya? Abi saja tidak melindungi kita kan?" begitu katanya.

Kak Salsya benar. Lalu kenapa aku menutup aurat padahal setiap keputusan itu membutuhkan alasan. Jika aku tidak bisa menutup aurat untuk melindungi Abi dari api neraka. Maka aku menutup aurat karena Allah yang memerintahkannya, ini adalah sebuah kewajiban dan kurasa alasan itu cukup.

"Biar Salsya aja yang buka pintunya Mi." Seketika aku langsung terkena mood breaker ketika mendengar itu. Nafsu makanku langsung ambruk kebagian dasar.

Membuka pintu katanya? Sekalian bertemu juga begitu? Awas saja akhirnya malah zina mata padahal ini masih pagi. Mereka akan bertatap wajah dan saling bercengkrama menanyakan kabar padahal mereka saling bertemu kemarin sore.

Astagfirullah Sya! Kamu kenapa lagi? Kamu mulai berprasangka buruk lagi. Ayolah jangan bilang kalau kamu sedang cemburu. Kak Salsya hanya akan membukakan pintu untuk Jidan, tidak lebih. Berhenti Nafisya, berhentilah. Logikaku bermonolog.

Setelah Kak Salsya pergi ke ruang depan untuk membukakan pintu. Seseorang masuk sambil mengikuti langkah Kak Salsya.

"Eh, ada Jidan? Ayo duduk Nak ... kita sarapan bareng," ajak Ummi yang memang luar biasa baik. Entah terbuat dari apa hati Ummi itu, berlian dan mutiara pun tak bisa menandinginya. Ummi juga berkata bahwa Jidan itu sudah seperti anaknya sendiri. Mungkin karena Ummi tidak punya anak laki-laki.

"MasyaAllah, kayaknya makanannya enak-enak semua nih, Mi. Kalo gini Jidan jadi laper lagi, padahal baru selesai sarapan batusan di rumah," kata Jidan basa-basi sambil menatap makanan di meja. Aku sama sekali tak menatapnya. Tas kecil berisikan handphone langsung kuraih sambil berdiri.

"Ummi, Fisya berangkat sekarang ya," kataku. Ummi langsung menatapku heran begitupun Kak Salsya dan Jidan.

Pasalnya roti di piringku belum sepenuhnya habis dan tak bisanya aku tidak meminum susu coklat buatan Ummi. Aku memang paling tidak bisa menolak susu coklat. Aku tidak boleh kufur nikmat, bukan? Jadi aku pergi ke dapur membawa tumbler dan kotak makan kosong, memindahkan makanan dan susunya untuk dibawa pergi.

"Karena ada Jidan ya?" tanya Kak Salsya menebak isi pikiranku ketika melihatku lebih memilih pergi. Memang benar adanya. Kalau terus menerus seperti ini, kapan perasaan terlarang ku akan hilang?

"Iya, nggak nafsu makan lihat mukanya, bosen," jawabku bercanda. Namun tanpa melihat kearah Kak Salsya atau pria itu sedikit pun.

"Kalian berantem? Fisya, kamu udah lupa dengan adab menyambut tamu?" Lerai Ummi. Adab menyambut tamu? Oh, aku tidak pernah lupa sedikit pun tentang itu, tentang memperlakukan tamu sebagai raja. Aku mencium tangan Ummi.

"Tamu macam apa yang berkunjung dua kali sehari? Fisya berangkat sekarang Mi, Assalamualaikum," kataku.

Setelah berjalan keluar komplek, di sebelah kanannya langsung ada halte yang letaknya tak bergitu jauh. Aku berdiri sendirian di sana. Beberapa bus yang lewat selalu penuh dengan penumpang. Tentu saja, ini hari jum'at dan ini jam berangkat kerja.

Dari pada berdiri bosan, kuputuskan untuk memasang earphone mendengarkan murotal surat Al-Kahfi dengan volume paling kecil. Saat bus kesekian datang, aku malah tidak kebagian tempat duduk sama sekali.

Terpaksa berdiri? Ya tentu saja. Aku harus sampai  di panti asuhan Insan Kamil Mandiri tepat jam sembilan pagi dan jaraknya cukup jauh dari rumahku karena harus melewati perbatasan kota.

Sekitar satu jam aku masih belum kebagian tempat duduk. Ketika bus yang kutumpangi akan sampai ke alun-alun kota, mobil di depanya malah tidak begerak sama sekali. Jalanan ini memang tidak terlepas dari macet, tapi bagiku ini salah satu metode melatih kesabaran. Toh kalau kita tidak sabaran tetap akan macet, kan?

Orang-orang di dalam bus membicarakan sekaligus menebak apa yang terjadi di jalan melingkar yang mengelilingi taman itu. Suara ambulan terdengar menggema, mengalihkan perhatian kami. Bukan hanya satu, ada enam ambulan yang berhasil melintas dan tertangkap mataku saat itu.

"Ada apa ya, De? Ko banyak ambulan gitu," tanya kakek yang memegang tongkat dan juga berdiri di sampingku.

Melihat keadaanya yang bungkuk, membuatku geram pada orang yang duduk di depan ku. Stiker yang ditempel di kaca jelas menunjukan bahwa kursi duduk diprioritaskan untuk, ibu hamil, ibu yang menggendong anak-anak, orang tua, dan penyandang cacat. Dia kategori yang mana? Dari seragamnya jelas sekali bahwa dia anak SMA, tapi dia duduk dan bersandar dengan santainya sambil memainkan handphone. Kalau masih muda sudah bersandar, maka tua dia akan berbaring.

"Mungkin ada kecelakaan motor yang nerosbos lampu merah, Pak. Di pertigaan jalan ini kan banyak banget yang sering nerobos lampu merah," kata salah satu penumpang lain mewakiliku untuk menjawab.

Aku hanya tersenyum pada kakek itu. Arloji di tanganku sudah menunjukan jam delapan, tapi aku masih sangat jauh dari panti asuhan itu. Aku bisa terlambat kalau seperti ini. Akhirnya kuputuskan untuk turun dan memilih berjalan kaki, setelah melewati kemacetan ini mungkin aku bisa naik bus lain di halte berikutnya.

Sungguh, rupanya Allah tengah murka sampai-sampai menurunkan musibah seperti ini. Memang terjadi kecelakaan, tapi ini lebih mengerikan dari dugaan bapak-bapak tadi.

Ini bukan kecelakaan biasa, ini kecelakaan beruntun dimana sebuah truk tangki bensin terguling tepat ditikungan jalan. Enam mobil tabrakan di belakangnya bahkan ada mobil yang sudah tak berbentuk.

Banyak garis polisi yang sudah dipasang. Aku bisa melihat orang menjerit dimana-mana. Ketakutan dan kepanikan, lengkap dengan korban yang berlumuran darah. Beberapa kali aku mengucapkan kalimat istirja'. Kakiku gemetar, sangat tidak manusiawi jika aku melintas begitu saja hanya untuk bisa terlepas dari kemacetan ini. Tanganku ikut gemetar dan aku mulai berkeringat tak jelas.

Seorang anak terduduk di dekat mobil yang agak berasap sambil memeluk lututnya. Aku hendak menghampiri anak tersebut karena dia nampak kesulitan bernafas. Dia juga terlihat memegang perut bagian kanannya sambil meringis kesakitan, tapi langkahku terhenti ketika seorang menahanku.

"Maaf De, Mas, Mbak! Tolong menjaga jarak dengan area kecelakaan!" kata seorang petugas mengusir kami yang hendak melewati tempat itu. Aku tahu benar bahwa seragamnya merupakan seragam polisi berpangkat briptu.

"Saya anggota PMI pasif, Pak," kataku sambil terburu-buru mengeluarkan kartu anggota PMI yang bertuliskan namaku.

Polisi tersebut membaca keterangan bahwa aku seorang mahasiswa farmasi. Maka dia memperbolehkanku untuk melintasi garis pembatas itu dan ikut andil dalam membantu kecelakaan tersebut.

Anak itu nampak kehabisan nafas sambil terus menerus memegangi bagian tubuh antara rongga dada dan rongga perut. Betapa terkejutnya aku ketika tangan anak itu melemas, warna merah darah langsung menyebar membasahi kemejanya.

Dia mengalami pendarahan hebat. Bagian yang dipegangnya tadi mengalami luka sobek yang cukup besar. Mungkin akibat goresan benda tajam sejenis kaca.

Aku berteriak meminta pertolongan sampai seorang PMI yang lain menghampiriku.

"Tolong bawakan tandu!" kataku. Pria itu malah mengamati keadaan anak tersebut.

"Tandunya dipake korban lain yang kondisinya bener-bener parah," jawab PMI itu. Aku menatapnya kesal.

"Ambulan?" tanyaku semakin panik.

"Ambulan cuma ada sembilan, dan semuanya udah di pake. Dua ambulan dalam perjalanan menuju kesini," jelas pria itu.

Tidak akan mungkin, itu memakan waktu terlalu lama. Jalanan di pusat kota telah mati total. Aku berusaha mengecek nadinya yang ternyata sangat lemah sekali.

"Anak ini gak terluka parah kok. Dia bisa istirahat sebentar sambil nunggu bantuan," katanya. Aku hampir mencekik pria di depanku yang sepertinya masih duduk di bangku SMA dan belum paham tentang tahap-tahap penyelamatan dimana semua korban harus dianggap kritis.

"Istirahat dan meninggal perlahan, begitu?!" kataku dengan nada sedikit meninggi. Syukurlah aku melihat sosok Pak Gilang saat itu. Dosen biologi yang menaruh minat tinggi terhadap bidang kesehatan. Dia salah satu pegurus himpunan mahasiswa yang mengikuti PMI di universitasku.

Aku melambaikan tangan. Pria dengan rambut hampir semua putih itu menatapku. Dia menghampiri kami lalu mengamati keadaan anak tersebut. Dia melakukan hal yang sama yang kulakukan sebelumnya, yaitu memeriksa nadinya. Pakaiannya sudah kotor sekali dan beberapa bagian dipenuhi dengan noda darah.

"Dia sedang kritis!" Kata Pak Gilang yang langsung terlihat cemas. Jika dugaanku benar, maka apa yang dipikirkan Pak Gilang juga sama dengan perkiraanku. Pak Gilang menatap ke jalan bagian kanan di mana suara klakson saling beradu di sana.

"Bantu saya mengangkat nya," titah Pak Gilang pada pria yang tadi menghampiriku pertama. Aku mengikuti kemana Pak Gilang pergi sambil kubawa kotak P3K yang dibawa PMI muda tadi. Dia berjalan menuju arah selatan jalan, di mana arah tersebut menuju rumah sakit. Dia mengetuk sebuah kaca mobil yang paling cepat dia temukan.

Sirine baik dari ambulan maupun polisi saling beradu menambah kebisingan kota. Pemilik mobil itu membukanya "Maaf menganggu perjalanan anda, Pak. Kami dari PMI bisakah anda membantu kami?" Pria pemilik mobil itu nampak ragu sekaligus linglung.

"Tapi saya ..."

"Apa yang bisa saya bantu?" kata pemilik mobil itu mengulang perkataanya.

"Begini ... Kami kekurangan ambulan, dan keadaan anak ini sangat kritis. Bisakah anda memutar balik mobil anda dan mengantarnnya sampai rumah sakit?" tanya Pak Gilang.

Pria itu menatap kebagian belakang jalan yang sangat penuh dengan mobil lain. Tapi karena mobilnya paling depan tentu saja sangat mudah baginya memutar arah. Apalagi jalanan besar ini dibagi menjadi dua bagian dengan pembatas di bagian tengahnya.

"Baringkan dia di jok belakang," kata Pria itu setelah melihat anak yang umurnya kira-kira baru tiga belas tahun itu terkapar lemah. Pak Gilang menatapku yang sudah berdiri memegangi kotak P3K.

"Saya percayakan sama kamu, Sya. Bagus−" Dia menatap sesuatu di tanganku. "−kamu udah bawa obat-obatannya. Kamu tahu apa yang harus kamu lakuin kalo sewaktu-waktu anak itu kritis. Saya titip anak ini ya. Saya percayakan sama kamu."

"Tapi Pak, saya mau-" belum sempat aku menolak, Pak Gilang pergi begitu saja setelah menyerahkan tanggung jawab yang begitu besar itu padaku.

Setelah anak tersebut dibaringkan di jok belakang. Aku duduk di kursi depan tepat di samping pria itu. Dengan lihainya dia memutar mobilnya ke jalan yang berlawanan arah. Aku tidak tahu dalam kecepatan berapa mobil ini melaju.

Rasanya ini diluar rata-rata karena jantungku ikut berdebar tak karuan. Aku terus mengawasi anak di belakang lewat kaca spion depan. Kulitnya benar-benar pucat pasi, dia juga kesulitan bernafas, dan memukuli bagian dadanya sambil merintih kesakitan. Hipotesisku sementara waktu mengatakan bahwa dia mengalami syok hipovolemik, suatu kondisi kegagalan sirkulasi akibat volume darah yang rendah.

Tiba-tiba dia semakin sulit bernafas, bibir dan kukunya juga berubah warna menjadi biru tanda darah sulit mengalir keseluruh tubuh. Aku panik setengah mati. Kupikir pria di sampingku juga sama, karena dia semakin mempercepat laju mobilnya.

Aku pindah ke kursi belakang. Kubongkar kotak P3K itu untuk mencari perban atau kain apapun yang bisa kugunakan untuk menyumpal luka itu. Kututup lukanya dengan kain kasa kemudian kutekan kuat agar pedarahannya tidak semakin banyak.

Tanganku langsung berlumuran darah, "Kamu harus tetep sadar, jangan tidur!" kataku berusaha membuat anak itu tetap sadar. Perlahan dia menutup matanya. Suhu tubuhnya semakin mendingin tapi detak jantungnya terasa cepat sekali.

Pria itu sibuk mempercepat laju mobilnya "Tolong cek denyut nadinya!" perintah pria itu.

"Turun drastis," kataku. Dia memarkirkan mobilnya di pinggir jalan lalu keluar dan membuka pintu belakang, membuatku bingung kenapa dia malah berhenti.

Pria itu menggendong anak itu dan membaringkanya terlentang di terotoar. Awalnya dia mengecek nadi anak itu, kemudian beberpa kali menekan bagian jantung korban karena sekarang anak itu mengalami henti jantung, karena supply darah darah dalam tubuhnya benar-benar berkurang.

Selama lima menit dia melakukan hal yang sama. Aku berlari mengambil kotak P3K di dalam mobil. "Kamu mau ngapain?" Tanya pria itu sementara tangan ku sibuk membuka bungkus alat suntik dengan terburu-buru.

"Syok hipovolemik, dia harus dapet obat pacu jantung. Disini cuma ada Dopamin, obat ini harus segera disuntikkan pada pembuluh darah vena melalui akses vena," kataku. Aku mengambil dopamin, spuit dan jarum suntik sekali pakai.

"Itu hanya diagnosa kamu, jangan gegabah. Kita nggak bisa bertindak tanpa hasil pemeriksaan laboratorium," kata pria itu.

Dia benar, belum tentu anak ini mengalami syok hivopolemik. Bisa saja dia pengidap aritmia atau dekompesasi jantung, tapi aku yakin diagnosaku sudah benar. Kita tidak mungkin menunggu untuk sampai ke rumah sakit, apalagi melakukan pengujian lab. Tanganku gemetar antara memegang obat dan alat suntiknya.

Aku mengambil nafas panjang, bermaksud menenangkan diriku sendiri. Aku harus yakin jika melakukan ini, karena konsekuensinya akan sangat fatal. Bismillah, hanya Engkau sebaik-sebaiknya penolong Ya-Rabb. Aku berusaha menemukan pembuluh vena dalam leher anak tersebut, karena posisi vena di leher anak-anak lebih mudah ditemukan.

Aku bahkan tidak pernah menyuntik orang sebelumnya. Setelah aku menyuntikan obat tersebut aku bisa sedikit bernafas lega. Kulihat pria itu juga mengucapkan syukur karena dada anak tersebut kembali naik turun meskipun masih belum sadarkan diri.

"Tolong buka pintu mobilnya, ini gak akan bertahan lama," kata pria itu dan langsung menggendong kembali anak tersebut ke dalam mobil. Aku duduk di belakang sekarang. Berusaha menghentikan kembali pendarahan pada anak itu. Mobil kami melaju seperti satu-satunya pemilik jalan, dia seperti sedang mengemudi dalam permainan driver racing.

"Heish! Jalannya di blokade!" dengus pria itu sambil memukul stir kasar ketika melihat jalan tersebut sudah penuh dengan mobil yang tidak sabaran dan menggunakan jalur satu-satunya.

Jantungku hampir lepas dari tempatnya karena dengan tiba-tiba pria itu menaikan mobilnya ke terotoar dan mengebut disana. Syukurlah tidak ada orang berlalu lalang. Handphoneku berdering sejak tadi. Aku sempat melihat Rara mengirim pesan.

1 Message from : Rara

"Assalamualaikum Sasa, kamu masih dimana ? kita udah mau mulai nih"

Tunggu,

Kenapa aku baru tersadar bahwa bagian kerah pria itu berwarna merah padahal kemejanya berwarna putih.

Astagfirullah, itu darah! Warna merah di kemejanya itu darah. Kulambaikan tangan kiriku di depanya. "Kamu ngapain lagi sih!" tanya pria itu sedikit kesal.

"Mas, kalau sekiranya Mas mulai pusing. Segera bilang ke saya ya?" pintaku. Pria itu memandangku bingung, dia tidak tahu kalau bagian pundaknya terluka karena terlalu fokus menyetir. Ketika kutatap leher kursinya, ternyata ada penyangga besi kecil yang patah disana. Pasti besi patah itu yang menggores kulitnya.

Kami sampai dirumah sakit. Percaya atau tidak pria itu menggendong anak SMP tadi sendiri. Suster langsung mengambil alih anak tersebut yang langsung dilarikan ke ruang UGD untuk melakukan penanganan tepat. Sementara aku bergegas menuju bagian administrasi untuk mendaftarkan nama anak itu.

"Permisi Sus, saya penanggung jawab untuk korban yang baru datang barusan." Suster itu kebingungan mencari sesuatu karena tidak hanya aku yang ada di tempat itu.

Aku bukan satu-satunya orang yang sibuk ditempat ini. Banyak orang orang yang datang menanyakan sanak sodaranya. Aku yakin semua korban dibawa ke tempat ini. Apalagi ini hanya rumah sakit cabang dimana semua serba terbatas.

"Maaf banget ya De. Rumah sakit lagi kacau jadi saya catat dulu disini untuk registrasinya. Namanya siapa ?" Tanya suster itu sambil memegang sebuah kertas yang asal dia ambil.

"Saya Nafisya Kaila Akbar, Sus," kataku.

"Nama pasien?" Sambung sang suster. Aku sempat membaca name tag diseragamnya tadi.

"Irsyad Latif Muhammad," jawabku.

"Ade ini walinya?"

"Bukan, saya hanya anggota PMI yang nganter tadi," jawabku. Suster itu mengangguk.

"Silahkan tanda tangan disini," Pinta suster itu dan aku menurutinya.

"Sus, tolong bilang sama dokternya untuk segera melakukan CT Scan. Pasien mengalami pedarahan hebat di dekat lambung, dia banyak kehilangan darah tadi. Bibirnya sempet biru dan dia sudah mendapat suntikan dopamin dengan dosis minimum untuk anak tiga belas tahun," lanjut ku. Suster mengangguk lalu kembali melanjutkan tugasnya.

Pria itu muncul di belakangku setelah dia memarkirkan mobilnya. Membuatku teringat bahwa aku tidak datang ke tempat ini sendirian.

"Saya bawa dua korban, Sus," kataku. Suster tadi menatapku kembali.

"Dua korban?" tanyanya dengan alis beradu, aku mengangguk lagi.

"Siapa nama korban yang kedua?" tanyanya dengan buku dan tangan yang siap mencatat. Aku menatap pria itu.

"Mas, siapa nama lengkapnya?"

"Saya?" Dia balik bertanya sambil menunjuk diri sendiri. Aku mengangguk menyetujui pertanyaanya. Siapa lagi yang datang kesini bersamaku selain dia.

"Alif−"

"Alif Syaibani Alexis."

_____________

To be continued.

Alhamdulillah, chapter satu bisa dipublish. Sampai bertemu di chapter dua. Yuk, bijak meninggalkan jejak.

Jangan lupa follow akun wattpad Ima juga buat dapet notif kapan update. Kalo udah bebas unfollow lagi kok.

Tag me @ima.madani or @mor.fem if you share something from this story.

Jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan utama.

Continue Reading

You'll Also Like

5.5M 39.4K 4
Kedatangan guru killer di SMA Bakti menjadi mainan baru bagi teman-teman Aisya. Aisya ditantang menakhlukan hati guru itu. Lalu akankah Aisya berhasi...
743K 97K 35
Wajib baca Hi, ust Agam! Dulu, lanjut baca Jodohku Yang Mana? Baru cerita Banana Cinta, biar gak bingung. Satu buah pisang membawa seorang Ali Husei...
1.1M 87.8K 50
NIQAB SERIES | Spinoff Di Balik Niqab ⚠️Awas baper | Mengaduk emosi ⚠️ Galiena, seorang perempuan non muslim berasal dari Jerman yang ternyata memili...
36.5K 3K 11
SasuHina. A continuation of Love Song. Lanjutan kisah Sasuke dan Hinata di Love Song. SasuHina . . ItaHina . . slight MenmaHina