FALLING STARS

By ChristinaTirta

1.2K 128 33

Pernah jatuh cinta pada seseorang yang luar biasa keren tapi selalu menganggapmu "hanya" sebagai adik manis y... More

WHAT DOESN'T KILL YOU, MAKE YOU WANT TO BE A KILLER

SUNGGUH PAGI YANG ANEH

838 81 19
By ChristinaTirta


Sungguh pagi yang aneh

YUP. Anya yakin ia tidak salah mengenali. Ia memajukan tubuhnya, mengamati wajah cowok itu dari dekat. Walau telah banyak berubah, cowok itu masih memiliki senyum yang sama. Senyum yang membuat kedua matanya menjadi garis. Dahi Anya berkerut. Kenangan yang dimilikinya dengan cowok itu sama sekali tidak menyenangkan.

"HEI! Bukannya elo itu anak nakal yang dulu hobi banget ngelemparin kami batu?" Ia memasang muka garang sembari berkacak pinggang

Wajah salah tingkah cowok itu seolah mengkonfirmasi kata-katanya. "Emangnya kamu masih ingat, ya?"

"Jelas!" semprot Anya.

Cowok itu menggaruk kepalanya, benar-benar terlihat grogi. Kalau dilihat-lihat, cowok itu sama sekali tidak terlihat seperti bocah menyebalkan yang seperti anak setan itu. Kini cowok itu tampak lumayan ramah dan menyenangkan. Wajahnya pun cukup enak dilihat dengan kulit putih bersih, rambut hitam tebal yang agak mengombak, dan senyum yang lebar.

"Ngg, waktu itu aku kan masih anak-anak. Lagian, kayaknya aku pelempar yang payah, deh. Batunya nggak kena kalian, kan?" tanyanya memasang wajah polos.

Dengan sengit Anya menarik lengan kausnya. "NGGAK kena lo bilang? Lo lihat ini?"

Cowok itu tampak terperangah. "Tapi, batu kan nggak tajam," sergahnya.

"Nggak tajam dari Hongkong?" Anya meraba bekas luka yang menandai kulitnya. "Lagian emangnya lo nggak ada hobi lain selain gangguin anak-anak cewek di kompleks ini?" lanjutnya dengan nada tajam. "Hobi yang normal seperti main layang-layang, main sepeda, atau main game kek. Atau ini elo..." Ia berhenti, menunjuk kepalanya sebelum melanjutkan, "Memang ada kelainan?"

Senyum cowok itu terlihat menyesal. "Bukan begitu... Aku betul-betul nggak maksud bikin kamu luka kayak gitu. Tadinya aku cuma iseng. Swear."

Anya membenahi lengan kausnya. "Kalau gitu selamat deh, keisengan elo membuahkan hasil kerja nyata."

"Hei, aku minta maaf. Aku betul-betul nggak nyangka. Please, jangan marah lagi ya?" Ia lagi-lagi tersenyum. "Ngg, omong-omong, namaku Louis. Tapi, panggil aja Lou."

Dengan enggan Anya menyambut uluran tangan Lou. "Anya," ucapnya.

"Akhirnya kita kenalan juga ya," cengirnya. "Aku nggak nyangka kamu masih ingat aku."

Anya melepas topi dan menyisir rambut pendeknya yang terasa lengket dengan jari-jarinya. Pagi rupanya sudah mulai beranjak tinggi. Angin sejuk berangsur memudar. "Lo tau, ada dua jenis orang yang susah dilupain. Pertama yang bikin hati senang. Dan yang kedua, lo bisa tebak jenis yang gimana?"

Lou meringis. "Ngg, nyebelin?"

Kali ini tawa lepas dari mulut Anya. "Yup, seratus buat elo. Omong-omong, ke mana aja elo selama ini? Rasanya udah lama banget gue nggak liat elo." Ia mendongak, rumah Lou memiliki pergola yang dihiasi oleh bunga Bugenvil. Setiap pagi ia selalu melewati rumah ini sebagai rute tetapnya saat menjalani rutinitas lari pagi. Biasanya pagar rumah itu selalu tertutup rapat. Namun, pagi ini berbeda.

Kali ini pagar bercat putih itu terbuka. Ada dus di sudut luar pembatas pagar. Karena penasaran, Anya pun menghampirinya. Isi dalam dus itu membuatnya tercengang. Ada anak kucing di dalamnya. Mungil dan bertumpuk-tumpukan di salah satu sudut. Tampak begitu imut dan menggemaskan. Hampir saja ia tergoda untuk mengganggu tidur mereka. Saat itulah Lou keluar rumah dan mengajaknya mengobrol.

"Aku tinggal di Jakarta sekarang," jawab Lou. "Oh ya, kamu memang hobi lari pagi ya? Kayaknya beberapa kali aku pernah ngeliat kamu lari lewat rumahku."

"Yup. Emangnya anak kucing itu punya siapa?" Anya menunjuk pada dus berisi anak-anak kucing.

"Bukan punya siapa-siapa. Kamu mau miara mereka?" Lou balik bertanya.

Seraya mendesah pelan, Anya menggeleng. Sebenarnya ia sangat menyukai kucing. Sayangnya, kakaknya pernah punya pengalaman buruk dengan anak kucing dan menyimpan dendam kesumat pada makhluk tak berdosa itu. Kakaknya sudah dapat dipastikan akan melayangkan protes habis-habisan bila ia nekat memelihara mereka lagi.

"Kamu mau gendong mereka?" Lou menghampiri dus dan mengangkat salah satu anak kucing dari dalam dus.

Anya mendekat dan membelai kepala mungil anak kucing dalam dekapan Lou. Senyum lembut menghiasi wajahnya.

"Hmm...." Lou mengamati anak kucing itu, kali ini dengan wajah serius. "Aku belum punya nama yang cocok buat dia. Kamu punya ide? Sayangnya, aku sama sekali nggak tau apa anak kucing ini jantan atau betina." Ia terkekeh.

"Hm, biasanya, sih, orang-orang milih nama yang berhubungan sama warna," ucap Anya. Ia mengamati anak kucing itu dengan teliti. Bulu anak kucing itu abu-abu dengan warna putih di setiap ujung kakinya. "Lihat deh, dia kayak pake kaus kaki putih di setiap kakinya. Gimana kalau namanya Whitty dari white socks?" usul Anya.

"Hei, kamu betul!" Lou tertawa. "Hm, Whitty. Cocok, kok."

"Omong-omong, mereka masih punya induk?" tanya Anya.

Lou mengangguk. "Kamu tahu kucing putih belang yang biasa nongkrong di sini?"

"Oh, jadi dia induknya? Pantas aja mendadak gendut." Anya terkikik. "Pintar juga dia pilih-pilih tempat beranak." Ia lantas melirik Lou yang masih saja menggendong anak kucing itu. "Setau gue, anak kucing yang baru lahir nggak boleh kebanyakan dipegang atau digendong lho."

"Hah? Memangnya kenapa?" tanya Lou heran.

"Katanya nanti induknya nggak kenal bau mereka dan yah..." Anya sengaja berhenti, tersenyum geli melihat Lou mendadak gugup.

"Dan yah? Yah apa maksudnya? Memangnya kalau digendong baunya bisa berubah? Aku nggak pake parfum apa-apa kok. Dan..." Lou mengendus tengkuk anak kucing yang masih berada dalam dekapannya. "Bau anak kucing ini masih sama-sama aja."

Anya mengangkat bahu. "Katanya sih, nanti induknya nggak mau ngurusin anak-anaknya lagi. Tapi terserah elo mau percaya atau enggak."

Dengan wajah panik, Lou akhirnya mengembalikan anak kucing itu kembali ke dalam dus. Anya berpaling, mengikik diam-diam.

Lou mengusap kedua telapak tangannya ke permukaan celana bermudanya. "Kapan-kapan, boleh aku gabung lari sama kamu?" tanyanya kemudian.

Seraya mengenakan topinya kembali, Anya balik bertanya. "Gabung? Gabung gimana maksud lo? Gue nggak punya tim lari atau sejenisnya lho," kikiknya.

Cengiran Lou muncul kembali. "Bukan itu maksudku. Ngg, maksudku ya lari bareng-bareng gitu."

Mulut Anya membentuk huruf O. "Kalau gitu sih, silakan aja. Elo kan nggak perlu minta izin segala. Jalanan ini bebas kok, milik bersama, bukan milik gue atau nenek gue."

Wajah Lou menjadi kian berseri-seri. "Jadi, boleh aku jemput kamu?"

Kedua alis Anya bertautan. "Jemput? Kenapa harus dijemput segala? Gue selalu lewat rumah lo kok. Kalau elo mau, tunggu aja di sini."

Untuk beberapa saat, mereka saling berdiam diri. Teringat akan rasa hausnya, Anya membuka tas selempangnya dan mengeluarkan botol minumnya. Seraya menenggak minumnya, ia memperhatikan Lou. Cowok itu mungkin seusia dengannya atau sedikit lebih tua. Penampilannya rapi dan senyumnya ramah. Ia masih tak bisa percaya cowok itu adalah anak bandel yang pernah sangat ingin ia hajar habis-habisan.

"Omong-omong, kamu masih kuliah?" tanya Lou.

Anya menutup botol minumnya. "Iya, semester akhir. Kalau elo?"

"Aku baru lulus awal tahun ini."

"Kenapa elo balik lagi ke sini?" tanya Anya, mendadak penasaran. Sepertinya sudah lama sekali ia tidak menjumpai tanda-tanda kehidupan dalam rumah Bugenvil itu.

"Ada kerjaan." Hanya itu jawaban Lou.

Anya menengok pada arloji di pergelangan tangannya. "Gue cabut dulu deh, udah siang."

"Besok jangan lupa ya!" sahut Lou riang.

"Oke." Tubuh Anya berbalik dan ia pun mulai berlari kecil.

"Aku tunggu di sini!" Suara Lou terdengar kembali.

Tanpa membalikkan tubuh, Anya melambaikan sebelah tangannya. Senyum lepas di wajahnya. Ia dapat membayangkan senyum di wajah cowok itu. Senyum yang membuat mata di wajahnya menjadi garis yang lucu. Cowok yang bersikeras menggunakan sebutan aku-kamu padahal ia sudah bergue-elo. Sungguh cowok dan pagi yang aneh.

*

Sambil bersenandung riang, Lou mengangkat dus berisi anak kucing dan masuk ke dalam rumah. Setelah menaruh dus itu di depan pintu, ia pun menutup pagar.

Ia sungguh tak menduga, rencana mereka akan berjalan lancar. Yah, walaupun sempat disemprot Anya, ia sama sekali tidak keberatan. Harus diakuinya bahwa perbuatannya di masa lalu sungguh keterlaluan.

Setelah menutup pagar, ia pun mengempaskan tubuhnya di kursi rotan di depan jendela rumahnya, persis di samping dus berisi anak kucing.

Kepalanya melongok pada dus. "Untung aja ibu kalian milih rumah yang tepat," kekehnya.

Kemudian, seolah teringat sesuatu, ia mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Untuk beberapa saat, ia hanya tepekur memandangi layar yang hitam. Jarinya bergerak ragu. Ia tahu, ia sedang bermain dengan sesuatu yang bisa menyakiti dirinya sendiri.

Namun, senyum kembali tergambar di wajahnya. Ia tak peduli. Ia pernah melewatkan kesempatan ini. Ia tak mau menyesal lagi walaupun hatinya adalah taruhannya.

Jarinya menekan-nekan layar sentuh ponselnya. Kemudian ia menempelkan ponsel itu di telinganya. Tak lama terdengar jawaban.

"Rencana kita berhasil!" seru Lou tanpa basa-basi.

"Iya, Anya masih ingat sama aku. Dan, iya, kamu betul, dia memang ngomelin aku panjang-lebar." Ia tertawa.

"Tapi, dia nggak mau miara anak kucing itu," lanjutnya.

Matanya melebar mendengar kata-kata lawan bicaranya. "Tapi...." Ia berhenti dan akhirnya mendengarkan dengan wajah serius.

Tak lama kemudian, ekspresinya berubah, ia menggeleng seolah tak percaya. "Cuma kamu yang bisa punya ide segila itu." Tawanya berderai. "Iya, brilian, deh. Tapi tetap gila."

Sekonyong-konyong wajah Lou melembut, senyumnya menipis. Ia menundukkan tubuh, kedua sikunya bertopang pada pahanya. Sebelah tangannya yang bebas mengusap wajahnya. "Omong-omong, gimana keadaanmu hari ini?"

Lou mendengarkan, senyumnya perlahan mengembang. "Iya, aku tahu, kamu memang kuat dan keren. Aku cuma khawatir. Iya, iya, aku tahu aku nggak perlu khawatir."

Ia melirik pada dus di sampingnya. Keempat makhluk di dalamnya masih asyik terlelap. Seraya mematikan ponsel dan menyurukkannya kembali pada saku, ia pun mendesah pelan. Ia tak pernah membayangkan akan mengalami situasi seperti ini.

***

AUTHOR'S NOTE

CERITA BARU DI TAHUN YANG BARU HIHIHI

OK, SO FAR, GIMANA PENDAPAT KALIAN? KIRA-KIRA MINAT NGGAK BUAT BACA LANJUTANNYA?

VOMENT YA, BIAR AKU SEMANGAT NIH.

THANKS ALOT AND HAPPY NEW YEAR, EVERYBODY

XO XO

CHRISTINA TIRTA

Continue Reading

You'll Also Like

1.8M 194K 52
Ditunjuk sebagai penerus untuk mengabdikan dirinya pada pesantren merupakan sebuah tanggung jawab besar bagi seorang Kafka Rafan El-Fatih. Di tengah...
4.3M 98.3K 48
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
888K 6.3K 10
SEBELUM MEMBACA CERITA INI FOLLOW DULU KARENA SEBAGIAN CHAPTER AKAN DI PRIVATE :) Alana tidak menyangka kalau kehidupan di kampusnya akan menjadi sem...
335K 9.6K 41
Alskara Sky Elgailel. Orang-orang tahunya lelaki itu sama sekali tak berminat berurusan dengan makhluk berjenis kelamin perempuan. Nyatanya, bahkan...