Marry With Boss

By tiystories

5.7M 235K 17K

Hanya karena kesalahan yang bahkan tak Prilly sadari membuat Prilly terpaksa menandatangani perjanjian tertul... More

1
2
3
Visualisasi Leo
4
5
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Q & A MWB
Penting!

6

158K 9.7K 347
By tiystories

"Berhenti di sana Pak Bos Alibaba!!"

Ali menghentikan langkahnya mendengar teriakan Prilly. Saat ia berbalik Prilly langsung menerjangnya dengan setengah memeluk badannya. Dan sebelum gadis itu mencium pipinya, ia langsung menaruh telunjuk di dahinya menahan kepalanya yang sedikit maju.

Prilly sendiri nampak kecewa sambil mengerucutkan bibirnya. Pagi ini gagal sudah rencananya ingin mencium Ali.

"Dasar Bos Pelit!"

Ali memegangi kedua lengan Prilly, "Minggir, aku ingin pergi," ucapnya datar.

Prilly menatap Ali sejenak dengan kesal lalu melepaskan pelukannya.

"Pergi ke mana sih Pak Bos? Mau ngilang lagi selama sebulan ya? Baru aja kita menghabiskan waktu bersama kemarin. Apa aku ini membosankan?"

"Menyebalkan tentu saja."

Prilly pun berdecih, "Dasar Bos jahat!"

"Berhentilah mengumpat untukku. Sekarang minggirlah."

Prilly tak bergerak sama sekali di hadapan Ali. Ia malah memperhatikan penampilan Ali yang selalu keren dari atas ke bawah.

"Pak Bos mau kerja kan? Gak mau kasih ciuman buat istrinya dulu gitu?"

Ali menaikkan satu alisnya. Seperti biasanya.

"Yaudah... kalau Pak Bos emang gak anggap aku di dunia ini lebih baik aku tinggalkan aja dunia ini."

Halah! Dramatis banget gue!

Prilly menanti-nanti reaksi Ali. Ia penasaran apakah lelaki itu marah karena perkataannya. Tapi, saat ini tidak ada kemarahan sedikit pun yang ia temukan di mata Ali sampai lelaki itu berkata demikian yang cukup mengejutkannya.

"Itu lebih baik, tinggal lah di planet lain bersama dengan makhluk aneh sepertimu."

Mata Prilly membulat sempurna. "Apa??!! Huaaaa Pak Bos jahat!"

Beraninya lelaki itu mengatakan hal seperti itu padanya!

"Eh? Tapi Pak Bos bisa bercanda juga ya, hehe."

Tak ada perubahan dari raut wajah Ali.

"Cepat minggirlah! Aku sudah terlambat!"

"Gak mau!" Prilly langsung merentangkan tangannya. Kalau saja tangannya panjang mungkin ia bisa menjangkau kanan kiri pintu yang jaraknya cukup jauh hanya karena mencegah kepergian Ali.

"O ya Pak Bos, makasih atas waktunya kemarin sore bahkan sampai malam. Pak Bos udah beliin aku handphone, boneka, kita jalan-jalan, ternyata Pak Bos emang baik banget!"

"Sudah bicaranya? Minggir."

"Ih Pak Bos bentar dulu... bilang sama-sama sekarang!"

"Sama-sama."

"Aih Pak Bos nurut banget sama istrinya. Uhm, boleh aku ikut Pak Bos pergi?" Tanya Prilly kemudian.

Ali terkejut namun dalam sekejap berubah datar lagi.

"Kenapa mau ikut?"

Prilly tersenyum lebar lalu bersedekap.

"Aku kan istri Pak Bos, jadi boleh dong ikut Pak Bos ke mana aja? Lagi pula nih ya, asal Pak Bos tahu, aku itu kalau memiliki sesuatu posesif banget! Pak Bos kan milik aku sejak sebulan yang lalu, jadi aku bakal posesif sama Pak Bos! Ke manapun Pak Bos pergi aku harus tahu, sama siapa, dan ketemunya sama siapa. Kalau bisa sih aku ikut Pak Bos terus, mau Pak Bos mandi atau buang air, hehe."

"Tidak. Diam saja di rumah."

"Gak mau Pak Bos. Bosan!"

"Kubilang-diam-di-rumah," ucap Ali penuh penekanan.

"Dibilang gak mau, maksa ih! Cium juga nih."

Ali terlihat mengepalkan tangan kanannya. Lagi-lagi menahan amarah.

"Ayo dong Pak Bos, boleh ya boleh ya, please mau ikuttt, janji deh gak akan bikin malu Pak Bos apa lagi ngerepotin."

Ali masih bergeming di tempatnya.

"Aku penasaran kalau di luar Pak Bos ngapain aja. Jangan-jangan Pak Bos bikin surat perjanjian lagi ya biar bisa nikahin karyawan rendahan kaya aku? Oh tidakkk aku gak rela, cukup satu Prilly aja yang jadi korban Pak Bos Alibaba!"

Prilly tertunduk sebentar.

"Lagi pula aku tuh gak mau dimadu, aku kan udah manis, eh? Beda ya artiannya?"

Ali sudah sangat sabar mendengarkan celotehan Prilly.

"Pak Bos diem aja sih? Yaudah aku gak ikut deh, tapi nebeng boleh? Sampai rumah temen aku aja, soalnya mau ngelamar kerjaan bareng."

"Ganti pakaianmu, ikut saja denganku."

Prilly langsung tersenyum lebar. Pak Bosnya selalu diancam dulu baru mau menuruti keinginannya.

"Tapi aku udah janji sama tem--"

"Ganti pakaianmu!"

"Ahay! Pak Bos takut banget ya kalau aku kerja?"

"Prilly Dafina Harsya!"

"Ralat Pak Bos, Prilly Dafina Nathaniell Afrazanio."

Rasanya Prilly melihat wedus gembel keluar dari hidung dan telinga Ali melihat wajah lelaki itu merah padam menahan amarah.

"Iya iya ganti, tapi gantinya di depan Pak Bos ya?"

Ali kembali menatap Prilly dengan tatapan yang lebih tajam.

"Ampun Pak Bos Alibaba, hehe." Prilly langsung lari ke kamarnya.

***

Berkali-kali Ali menghela napas sambil melirik jam tangannya. Sementara jemarinya terus berkutat di atas keyboard laptopnya. Lima belas menit sudah ia menunggu Prilly tetapi Prilly belum juga menunjukan batang hidungnya. Dengan sabar Ali menunggu di dalam mobil padahal ia sendiri tak suka yang namanya menunggu.

Hingga akhirnya yang ditunggu pun datang. Ali melihat ke luar kaca mobil di mana ada Prilly sedang kerepotan memperbaiki sepatu heels hitamnya di depan pintu rumah. Gadis itu menggigit roti sandwich yang menyumpal mulutnya. Di tangan kirinya terdapat berkas-berkas yang tidak Ali ketahui. Penampilannya pun terlihat biasa saja dengan celana hitam panjang yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, dia memakai blus biru muda dilapisi blazer kantoran. Rambut panjangnya yang biasa terurai itu digelung indah.

Ali tak berkedip menatap Prilly saat masuk ke dalam mobilnya. Wajah yang natural hanya dengan lipstick berwarna pink dan bedak. Ali tak berbohong mengakui Prilly itu sangat cantik.

"Pwak Bwos?" Prilly berkata dengan mulut yang terisi penuh oleh roti yang baru saja ia lepaskan.

Ali langsung mengalihkan tatapannya ke laptop yang ada di pangkuannya.

"Jalan!" Lelaki itu langsung menyuruh Radi melajukan mobilnya.

"Pak Bos udah sarapan? Nih istri Pak Bos yang baik hati udah bikinin sandwich daging." Prilly menunjukkan kotak bekal mungil pada Ali kemudian membukanya di hadapan lelaki itu.

Tanpa izin lebih dulu Ali sudah mengambilnya kemudian memakannya sambil kembali sibuk dengan laptop di pangkuannya.

"Pak Bos, boleh aku bilang sesuatu?"

Ali tak menjawab apa-apa, ekspresinya pun tak berubah namun Prilly anggap diamnya Ali adalah jawaban benarnya.

"Dulu, Pak Bos yang kelihatan ngejar-ngejar aku banget. Pak Bos ingat waktu aku kerja di restoran? Pak Bos nyuruh manajernya mecat aku, terus aku nolak Pak Bos mentah-mentah. Kenapa sekarang aku ngerasa Pak Bos anggap pernikahan ini gak ada artinya? Pak Bos tau gak? Aku udah nerima pernikahan ini, ya mungkin aku yang harus berjuang supaya pernikahan ini gak garing. Pak Bos kan orangnya garing banget, jutek pula, tapi kalau cuek kayaknya lumayan deh, Pak Bos kan perhatian sama aku."

Prilly memakan lagi roti isinya yang tersisa setengah.

"Wagian nih ya pwak bwos akuh sebwagai pewempuan..." Prilly menelan rotinya terlebih dahulu, "...punya prinsip menikah sekali dalam seumur hidup, jadi aku akan menganggap hubungan ini serius. Mungkin semua perempuan punya prinsip yang sama tinggal gimana kita ngejalanin kehidupan pernikahannya aja."

"Meskipun Pak Bos bilang kelakuanku aneh, ya gak apa-apa, kalau gak aneh bukan istri Pak Bos dong hehe. Tau gak sih Pak Bos? Sebenarnya aku berusaha mempertahankan pernikahan ini, makanya jadi orang jangan dingin-dingin amat dong Pak Bos, sekali-kali ajaklah istri Pak Bos yang imut ini bercanda, tapi jangan kelewatan kayak Pak Leo."

"Nanti bukannya bikin aku ketawa malah bikin aku nyeret Pak Bos ke RSJ."

Ali menoleh sebentar menatap Prilly tajam.

"Tapi Pak Bos, kalau memang pernikahan ini gak bertahan lama aku siap kok cerai, mumpung aku belum jatuh cinta sama Pak Bos."

Belum jatuh cinta katanya mah...

Entah mengapa hati kecil Prilly tak setuju mulutnya berkata seperti itu.

"Perceraian bukan perkara mudah," gumam Ali pelan sambil menutup laptopnya. "Sudah jangan banyak bicara, nikmati saja perjalananmu."

Prilly tersentak, "Amit dah gue udah ngomong panjang lebar dibales gitu doang," cibirnya.

Ali terlihat memejamkan matanya membuat Prilly terus memperhatikannya. Tiba-tiba saja Ali berkata, "Apa tidak ada pekerjaan lain selain menatapku seperti itu?"

Prilly langsung mengerjapkan matanya.

"Pak Bos merem ayam ya? Haha diam-diam pasti Pak Bos natap aku juga."

"Sudahlah diam."

Ya ampun nih orang kebangetan banget ya gak ada asik-asiknya!

"Hih gue cipok luh!"

"Apa?"

"Apa Pak Bos?"

"Cipok? Itu apa?" Ali menoleh lagi menatap Prilly.

Prilly pun tertawa, "Masa Pak Bos gak tahu cipok? Itu loh temannya bakso, bulat, kenyal, berisi, pas di tangan... lho? Kayaknya aku salah tafsir."

"Bicara yang benar."

Prilly menarik ujung bibirnya ke atas, "Bulat, ada isinya, bisa dimakan pakai saus sama kecap."

"Oh," Ali mengangkat satu alisnya, "Kurasa bukan itu arti yang sebenarnya."

"Memang bukan!"

"Lalu?"

"Apa aku harus kasih tahu Pak Bos blak-blakkan?"

"Itu lebih baik, dan lebih baiknya lagi mempraktekkannya padaku."

Prilly melototkan matanya, "What? Jadi sebenarnya Pak Bos tahu artinya?"

"Bisa diam?"

Prilly mengembuskan napasnya kasar, "Oke!"

Setelah itu hening. Bahkan selama perjalanan itu tak ada lagi pembicaraan di antara mereka. Apa-apaan bosnya itu pura-pura tak mengetahui arti candaannya.

***

Prilly melangkah di samping Ali dengan anggun. Bagaimanapun juga ia tidak boleh bersikap memalukan di hadapan kolega bisnis Ali yang sudah duduk mengitari meja besar untuk rapat.

Seorang lelaki berdarah Jerman berdiri dari kursinya menghampiri Ali, "Selamat pagi Tuan Ali Afraz."

Ali mengangguk hormat, "Selamat pagi Tuan Abelard."

Prilly pun melirik Ali. Lelaki itu sama sekali tak menunjukkan senyumnya. Ternyata dia benar-benar pemalas! Malas tersenyum maksudnya.

Tiba-tiba wanita cantik datang dan berdiri di sebelah kanan Ali. Prilly tahu wanita itu adalah sekretaris Ali yang bernama Deana.

"Satu bulan, Anda tidak mendatangi kantor ini lagi. Kudengar Anda menikahi seorang karyawan yang bekerja di salah satu cabang kantor Anda." Lelaki berdarah Jerman itu menatap Deana, "Ternyata istrimu sangat cantik Tuan Ali."

Prilly terbelalak.

Woy Pak, lo salah lihat, gue istrinya Ali!

"Maaf, dia sekretarisku," ucap Ali datar membuat Deana yang baru saja tersenyum malu berubah murung. Ali langsung menggenggam tangan Prilly, "Ini istriku, Prilly Dafina Afrazanio."

Lelaki tua itu terkejut namun sedetik kemudian ia tersenyum lembut.

"Maafkan saya Mrs. Afrazanio."

"Tidak apa-apa Mr. Abelard."

Kolega bisnis Ali yang lainnya pun berdiri menghampiri Prilly dan menjabat tangannya. Suatu kehormatan bagi mereka bisa bertemu dengan istri pewaris perusahaan Afraz Company.

Prilly merasa bahagia. Tadinya ia pikir Ali tidak akan mengenalkannya, atau paling tidak mengenalkannya hanya sebagai karyawannya saja, tapi ternyata lelaki itu mengenalkannya sebagai istri di hadapan semua kolega bisnisnya.

Aaa Pak Bos bikin mules!

Prilly melihat Leo memasuki ruangan. Seperti biasa lelaki itu mengedipkan sebelah matanya lalu sibuk memberikan berkas-berkas pada Ali. Sebelum rapat dimulai, Ali membawa Prilly keluar ruangan dengan menggenggam tangannya lembut.

"Pergilah ke kantin di kantor ini, aku tidak akan lama."

"Awas aja kalau lama, istri Pak Bos yang imut ini bakal ngamuk."

"Terserah kamu mau melakukan apa."

"Beneran? Kalau cium Pak Bos sekarang boleh gak?"

"Sudah, pergilah ke kantin. Aku akan menyusulmu nanti."

"Aye aye Pak Bos!" Prilly mengangkat tangannya hormat pada Ali. Ia pun bergegas ke kantin yang terletak di lantai dasar gedung kantor.

Sampai di kantin Prilly mengambil meja yang tak jauh dari pintu masuk. Ruang kantin begitu sepi sebab para karyawan di kantor sedang sibuk bekerja. Hanya ada beberapa pemilik warung saja yang ada di dalamnya. Prilly pun memesan minuman lalu mengeluarkan berkas-berkas yang sudah ia bawa. Kemudian mulai melakukan sesuatu yang belakangan ini ia sukai.

Menggambar.

Sebenarnya Prilly sangat suka menggambar sesuatu yang berhubungan dengan gaun sejak kecil. Bahkan ia iseng mengerjakannya setiap pulang bekerja, sampai sekarang pun ia masih mengerjakannya sejak Ali menghilang selama satu bulan dan ia malah semakin menyukai kegiatan itu.

Saat ini tangannya memegang pensil di atas gambar yang hampir jadi. Senyum di bibirnya tak pernah luntur sampai ada seseorang yang bicara sesuatu mengejutnya.

"Gambar yang bagus."

Ujung pensil Prilly patah. "Ya ampun ya ampun ini kantin angker banget dah, kenapa gue dengar suara seksi sih?"

"Seksi?"

"Omaygat dia bales kata-kata gue!"

Hidung Prilly mengendus mencium sesuatu. Aroma parfum kombinasi bunga lavender dan rosemary yang mampu memikat hati cewek-cewek.

"Halo."

"Pakai halo-haloan lagi!"

"Nona Prilly Dafina Harsya, benar?"

"Ya Juned, setannya tahu nama gue!"

"Aku berdiri di belakang kamu."

Prilly segera bangun dari kursinya dan menoleh ke belakang. Hampir saja kepalanya dengan lelaki itu berbenturan.

"Oemji, ini orang ganteng amat yak," gumam Prilly menatap wajah lelaki itu dari dekat.

"Hai." Lelaki itu tersenyum ramah.

"A-anda siapa ya?" Tanya Prilly gugup.

Lelaki itu terkekeh melihat jelas kegugupan Prilly.

"Aku Verrel."

"Oalah Mas Verrel toh!"

So kenal banget lo Prilly!

"Salam kenal ya Mas, aduh maaf tadi aku malah ngomong yang nggak-nggak, sampai ngira Mas itu setan."

"Gak apa-apa." Verrel menarik kursi di meja Prilly. "Jangan panggil Mas."

"Yaudah Akang aja gimana?" Verrel tergelak mendengar tawaran Prilly.

"Terserah kamu deh."

Prilly pun kembali duduk di kursinya menatap Verrel yang duduk di seberangnya.

"Tunggu deh, Pak Verrel bekerja di sini?

"Tidak, kebetulan perusahaan ini milikku."

"Kalo Pak Verrel pemilik perusahaan ini kenapa gak ikut meeting?"

"Aku baru menjadi pemilik perusahaan ini. Papa aku yang ikut dalam meeting itu. Sebenarnya dia cuma kasih tahu koleganya kalau nanti mereka akan bekerjasama denganku bukan dengannya lagi."

"Oh."

"Oh saja?"

"Kenapa? Pak Verrel nyesek ya?"

Lagi-lagi Verrel tergelak karena candaan Prilly, "Kamu lucu ya."

"Boneka kali Pak!" Dengus Prilly.

"Kamu gak mau tanya dari mana aku tahu nama kamu?"

"Nah, iya tuh kok Pak Verrel tahu nama aku?"

"Suamimu yang mengenalkanmu di ruangan itu."

"Lho? Pak Verrel tahu kalau aku udah bersuami? Yah... padahal aku baru mau pedekate sama Pak Verrel."

"Aku bisa dibunuh sama suami kamu."

"Kalau dia bunuh Pak Verrel, aku bunuh dia balik." Prilly cengegesan. Bisa-bisanya ia berkata seperti itu.

"O ya, Pak Verrel gak seharusnya ada di sini. Kolega bisnis orangtua Pak Verrel pasti mau tahu tentang Pak Verrel."

"Biarkan saja, nanti mereka akan tahu. Aku ke sini kebetulan haus."

"Aneh, padahal Pak Verrel bisa memanggil OB."

"Bisa saja, tapi aku maunya ambil sendiri, bagaimana?"

"Yah, sekarepmu Pak!"

Verrel tersenyum geli. "O ya, gambarmu itu pasti akan dapat penawaran tinggi dari tanteku."

Prilly menunduk menatap gambarnya sendiri, "Maksud Pak Verrel gambar gaun ini?"

"Iya, tanteku itu seorang desainer. Dia bisa saja membeli hasil gambar kamu atau bisa kerjasama merancang gaun dan kalian berdua bisa memperoleh keuntungan sama besar."

Mata Prilly berbinar-binar. Kebetulan sekali ia sedang mencari pekerjaan. Apa dengan kegiatan isengnya ini ia akan menghasilkan uang?

"Wah, keren ya Pak. Boleh aku ketemu sama tantenya Pak Verrel?"

"Tentu saja. Ini kartu namaku, nanti akan aku berikan alamat rumah tanteku." Verrel menyerahkan kartu namanya pada Prilly kemudian berdiri, "Sepertinya aku harus pergi."

Prilly tersenyum merekah menatap kartu nama Verrel, "Makasih ya Pak!"

"Ya, sama-sama," balas Verrel kemudian meninggalkan kantin.

Sekali lagi Prilly menatap kartu nama Verrel di tangannya. Ia yakin sumber rezekinya berasal dari tante lelaki itu. Setidaknya pekerjaan yang ia lakukan mendapatkan penghasilan melalui gambarnya sendiri.

"Ssst, cantik, lagi apa?"

Prilly mengangkat wajahnya melihat lelaki yang baru saja menghempaskan pantatnya di kursi bekas Verrel duduki.

"Pak Leo?"

"Halo Nona manis semanis jahe, apa kabar? Gimana malam pertamanya sama Pak Bos? Enak? Rasanya? Stroberi? Anggur? Cokelat? Pare?"

"Pare Pak Leo..." Prilly mengerucutkan bibirnya. "Kabar saya baik Pak Leo, cuma sedih aja ngelewatin malam pertama sama Pak Bos, udah gitu Pak Bos pake ngilang sebulan."

"Sabar ya sayang, Aa bilang juga apa, kenapa gak nikah sama Aa aja waktu itu?"

"Ih Pak Leo! Pak Leo juga ngilang sebulan, Bapak kan asistennya Pak Bos, pasti ngintilin dia ke mana-mana."

"Tapi seenggaknya Aa gak akan ngelewatin malam pertama yang gak melakukan apa-apa gitu."

"Terus Pak Leo mau langsung tancap gas gitu?"

"Ya kenapa nggak?"

"Mesum deh Pak!"

"Kamu juga mesum. Gak nyadar?"

Prilly memutar bola matanya. Sejenak ia tersadar dengan kehadiran Leo.

"Pak Leo kok di sini? Kenapa gak nemenin Pak Bos meeting? Bukannya kalau ngomong dia diwakilin terus ya?"

"Gak sering. Dia punya aturan sendiri kapan dia harus diwakilin dan ngomong sendiri."

Prilly hanya manggut-manggut.

"Boleh nanya gak Pak Leo?"

"Ya boleh dong, masa gak boleh sih buat gitar spanyol Aa ini. Apa sih yang nggak buat kamu sayang? Kamu boleh tanya apa aja, tanya Juned kapan disunat juga bolehhh."

"Yaudah kapan Juned disunat?"

"Waktu Aa SMA."

"What?!"

"Gak percaya? Kalau kamu gak percaya buat apa kita jalin hubungan kayak gini."

"Saya gemas sama Pak Leo," kata Prilly kemudian, "Rasanya saya mau ambil tambang aja buat Pak Leo."

"Jahat banget sih kamu, masa Aa mau digantung."

"Bukan gantung Pak, tapi mau nyeret Pak Leo ke RSJ."

"Rumah Sakit Juned, ya?"

Prilly mengatur napasnya. "Rumah Sakit--"

"Jalinan cinta dan kasih sayang."

"Rumah Sakit Jiwa Pak!" Prilly tercenung sesaat. Ia sendiri lama-lama kesal dengan sikap Leo. Lalu, apa kabar Ali yang menghadapi sikapnya ya?

"Eh bengong! Mikirin enaena sama saya ya?" Goda Leo sambil menjentikkan jarinya di depan wajah Prilly.

"Ah udah saya mau pulang aja." Prilly menatap kesal Leo yang tersenyum menunjukkan lesung pipinya.

"Tapi Pak Bos nyuruh saya nemenin kamu lho."

"Saya ada urusan mendadak Pak," Prilly melirik kartu nama Verrel, "Pak Leo bilangin ke Pak Bos aja ya saya mau ketemu sama tantenya Pak Verrel."

Leo mengerutkan dahinya, "tantenya Pak Verrel? Pemilik perusahaan ini? Kamu kenal sama dia?"

"Belum lama kita ngobrol-ngobrol. Daah Pak Leo saya pergi dulu ya!"

"Tapi--," Leo menghela napasnya karena Prilly pergi begitu saja.

***

"Dia di mana?"

Ali menatap tajam anak buahnya yang kini berdiri di dalam ruang kerjanya.

"Kami tidak tahu di mana Nyonya Prilly, Tuan. Kami sudah mencarinya ke mana-mana bahkan kami mendatangi rumah Tuan Verrel dan tantenya, tapi mereka bilang Nyonya Prilly sudah pulang sejak sore."

Ali berdiri dari kursinya tetapi membelakangi para pengawalnya itu.

"Pergi dari ruangan ini. Aku membayar kalian bukan untuk menjadi patung seperti itu. Jangan kembali sebelum kalian menemukannya," desis Ali tajam. Mereka pun bergegas meninggalkan ruang kerjanya.

Ali kembali ke kamarnya. Lelaki itu mengusap wajahnya dengan gusar sambil berdiri di dekat jendela kamarnya. Setelah rapat selesai tadi pagi ia mendapatkan kabar dari Leo kalau Prilly pergi ingin menemui tante dari pemilik baru perusahaan yang akan bekerjasama dengannya. Gadis itu bahkan tak meminta izin dulu padanya!

Ali benar-benar marah setelah mencari tahu tentang tante dari partner bisnisnya itu. Wanita itu adalah desainer ternama, pakaian rancangannya dipakai oleh para orang hebat dan artis terkenal. Setelah tahu dari Verrel kalau Prilly mau jalin kerjasama dengan wanita itu tentu membuat Ali semakin marah.

"Lho? Pak Bos belum tidur?"

Suara itu mengejutkan Ali. Ali langsung berbalik melihat Prilly berdiri memegangi knop pintu kamar.

"Dari mana saja?" Tanya Ali datar.

"Aku udah nitip pesan ke Pak Leo kan?"

"Ya. Tapi Mrs. Angela bilang kamu pulang dari butiknya sejak sore."

"Oh hehe, maaf ya Pak Bos habis itu aku langsung pergi nemuin Jasmin, sahabat aku. Kita ketemuan di kafe, ngobrol bareng sampai lupa waktu deh."

"Jadi, kamu tetap ingin bekerja?" Tanya Ali langsung.

Prilly melangkah masuk berdiri di hadapan Ali, "Iya. Aku sama Mrs. Angela bekerjasama merancang gaun pernikahan."

"Bukankah aku sudah melarangmu bekerja?"

"Tapi Pak Bos--"

"Kamu tahu sekarang jam berapa?"

"Jam sepuluh malam."

"Kamu sadar apa yang kamu lakukan di luar sana? Kamu menghabiskan waktumu dengan kegiatan tidak berguna!"

"Tidak berguna? Aku menemui Mrs. Angela dengan tujuan bisa kerja terus ketemu sama sahabat aku, Pak Bos bilang itu tidak berguna?"

"Harusnya kamu tidak pergi!!!" Bentak Ali hilang kendali. Tidak peduli bagaimana reaksi Prilly yang saat ini menundukkan kepalanya. "Berikan ponselmu." Prilly diam saja, Ali langsung membuka tas mungilnya dan mengambil ponselnya.

"Ini? Aku menghubungimu sejak pagi tapi kamu tidak mengangkatnya." Kemudian Ali membanting ponsel baru itu ke lantai.

"Apa gunanya benda itu, hm? Percuma saja aku membelikanmu benda itu dan mengajakmu pergi, keputusanmu tetap sama ingin bekerja!"

"Percuma ya," ujar Prilly dengan suara bergetar. "Percuma menghabiskan waktu sama istri sendiri."

"Aku merasa bukan istri Pak Bos," sambung Prilly lalu menarik napasnya, "Aku bisa kok beli handphone baru pakai uang hasil jerih payah sendiri. Satu lagi Pak Bos, meskipun Pak Bos ngelarang aku bekerja, aku tetap bekerja biar bisa nyicil utang 259 Milyar demi mengakhiri hubungan ini karena aku merasa Pak Bos terpaksa sama pernikahan ini." Tandas Prilly setelah itu pergi ke kamar mandi.

Ali terpaku menatap lantai. Bukan pada ponsel yang sudah dibantingnya tapi pada beberapa tetes darah di bawah sana.

Darah siapa?

Sudah pasti itu darah Prilly. Ali membulatkan matanya lalu berdiri di depan pintu kamar mandi dengan bingung lalu berjalan ke sana kemari di kamarnya.

Beberapa menit sudah berlalu namun Prilly tak kunjung keluar dari kamar mandi. Sampai akhirnya Prilly keluar dengan jubah handuk yang dipakainya.
"Kamu berdarah," gumam Ali.

"Gak Pak Bos, aku lagi gak haid." Prilly cengegesan.

Apa ini? Pikir Ali. Prilly bersikap seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

"Tunjukan lukamu."

"Luka apa sih Pak Bos? Luka hati aku mana bisa dikasih lihat."

"Demi Tuhan! Aku sedang serius."

"Lho? Pak Bos kan memang selalu serius. Kapan sih Pak Bos bercanda sama aku?"

"Tunjukan lukamu sekarang juga!"

Prilly pun melangkah mendekati Ali kemudian mengulurkan tangan kanannya.

"Ini cuma kecelakaan kecil Pak Bos, khawatir banget kayaknya."

"Diam!" Ali memperhatikan luka Prilly yang menyerupai sayatan itu. "Kenapa bisa seperti ini?"

"Keserempet motor di jalan, terus aku jatuh kena batu tajam deh."

Ali menarik tangan Prilly dan menyuruhnya duduk di tepi kasur. Lelaki itu membuka laci meja di dekat kasurnya dan mengeluarkan kotak p3k dari sana.

"Aduh sakit Pak Bos!" Prilly meringis saat Ali membalut lengannya dengan perban putih setelah meneteskan antiseptik.

"Pak Bos, jujur aku pulang dari butik Mrs. Angela jam 4 sore terus aku pergi ke restoran dan gak sengaja ketemu sama Jasmin sahabat aku, kami ngobrol banyak di sana sampai lupa waktu. Aku juga pergi ke rumah Jasmin ngerayain pesta mendadak pernikahan aku sama Pak Bos, kan waktu kita menikah mereka gak diundang."

"Maaf kalau aku bikin Pak Bos khawatir. Aku bukannya gak mau angkat telfon Pak Bos, tapi karena mode silent dan sibuk diskusi sama Mrs. Angela soal kerjasama."

Ali tak mengatakan apa-apa. Lelaki itu bangun meletakkan kotak p3k di atas nakas.

"Pak Bos? Udah gak marah kan?" Prilly memperhatikan Ali yang diam saja seperti memikirkan banyak hal dengan dahi yang berkerut.

"Pak Bos?"

"Tidurlah, ini sudah malam," ucap lelaki itu pelan.

Prilly tertunduk. Apa ia tanyakan saja pada Ali tujuan pernikahannya?

"Aku gak mau tidur sebelum Pak Bos jawab pertanyaan aku."

"Apa yang ingin ditanyakan?" Ali menatap Prilly datar.

"Pernikahan ini... Pak Bos terpaksa ya? Kalau ya kenapa Pak Bos buat surat perjanjian itu? Padahal Pak Bos tau aku gak akan mampu bayar kerugian 259 Milyar."

"Tidak terpaksa, tapi ini keputusan."

"Apa bedanya kalau hati Pak Bos sebenarnya gak nerima aku?"

Ali tak menjawab. Lelaki itu bergerak lalu naik ke sisi kasur lain dan menyandarkan punggungnya pada tumpukan bantal.

"Aku menunggu jawaban Pak Bos lho," Prilly pun memperbaiki posisi duduknya ke hadapan Ali.

"Tidak ada jawaban untuk itu."

Prilly tertunduk kecewa. Tanpa ia sadar Ali terus memperhatikannya.

"Aku udah gak punya siapa-siapa lagi di dunia ini Pak Bos. Aku cuma punya Pak Bos yang aku percaya selalu ada saat aku sedih. Aku nanya sama Pak Bos tujuan dari pernikahan ini karena aku takut sesuatu yang gak aku inginkan terjadi. Dan kalau itu benar terjadi sama siapa lagi aku meluapkan kesedihan aku?"

Mata Prilly berkaca-kaca menatap Ali. Tanpa meminta izin ia menaruh kepalanya di atas paha Ali.

"Janji sama aku kalau Pak Bos gak akan ninggalin aku."

Ali menaruh telapak tangannya di atas kepala Prilly lalu mengelus rambutnya. Tentu perlakuan Ali itu membuat Prilly terkejut.

"Janji Pak Bos?"

Prilly memejamkan matanya karena Ali tak juga membalas perkataannya.

"Kalau Pak Bos gak janji aku perkosa sekarang juga."

"Aku berjanji," ujar Ali akhirnya.

Prilly pun tersenyum senang sampai ia terlelap di pangkuan Ali.

Ali tak menghentikan tangannya di kepala Prilly. Lelaki itu memikirkan perjanjian yang Prilly ajukan. Tanpa Prilly meminta, ia sudah berjanji pada seseorang yang sudah meninggalkannya. Pernikahan ini pasti Ali jaga dan ia tidak akan meninggalkan Prilly.

Satu hal yang benar-benar mengusik ketenangan Ali ketika berada di dekat Prilly. Menatap wajahnya apa lagi jika sedang sedih mengingatkan Ali pada gadis itu.

"Kenapa wajah kalian serupa?"


***

TBC...

TF

Continue Reading

You'll Also Like

68.5K 4.8K 51
Bagaimana bisa Bear Hug dari seorang cowok dingin dihadapan Salsa terasa se-menghangatkan ini? Salsa bahkan lupa, sudah berapa lama ia menenggelamkan...
1M 82.7K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
10.1K 3K 44
Jangan sampai menjadi budak cinta. Jangan sampai kehilangan baru menyesal. Start : 25 Agustus 2019 Finish : 27 Desember 2019 Start revisi : 04 Agust...
420K 17.5K 39
[WARNING!! Bahasa non baku dan banyak bahasa kasar, dimohon dengan sangat agar pembaca memilih bacaan dengan cermat] "Ngapain sih lo ngikutin mulu gu...