(END) SEAN AND VALERIA

By matchamallow

18.7M 893K 32K

ISI MASIH LENGKAP! ROMANCE DEWASA Seri ke 1 dari trilogi Sean-Rayhan-Daniel/ Bastard Squad Series MENURUT S... More

Harap Dibaca โค๏ธโค๏ธ
Part 1-Pertunangan
Part 2-Pesta Topeng
Part 3-Pesta topeng part 2
Part 4-Siapa Kau Sebenarnya?
Part 5-Dilema dan Penyangkalan
Part 6-Akan Kuhancurkan Hidupmu
Part 7-Keputusan
Part 8-Pertemuan
Part 9-Pernikahan
Part 10-First Night With You...
Part 11-Kiss Mark
Part 12-Tenang Sebelum Badai
Part 13-(PRIVATE) Aku Membencimu...
Part 14.1 - Apa Kau Mencintaiku?
Lanjutan part 14 (part 14.2) - Apa kau mencintaiku
Part 15.1 - Maafkan Aku
Part 15. 2-Maafkan Aku
PART 15.3 - Maafkan Aku
PART 15.4 - Maafkan Aku
Part 16.1 - Jealousy
Part 16.2 - Jealousy
Part 16.3 - Jealousy
Part 16.4 - Jealousy
Part 17.1 - About Daniel
Lanjutan Part 17.2
Part 17.3
Part 18-About Fabian
Part 18.2 - About Fabian
Part 18.3 - About Fabian
PART 19- Dating
Part 19.2 - Dating
Part 19.3 - Dating
Part 20-Realize
Part 20.2 - Realize
Part 20.3 - Realize
Part 21-Fallin in Love
Part 21.2 - Fallin in Love
Part 21.3 - Fallin in Love
Part 22.1 -Don't Leave Him
Part 23.1 - That Day
Part 23.2 - That Day
Part 23.3 - That Day
PART 24.1 - Lost
Part 24.2 - Lost
Part 24.3 - Lost
Part 25.1 - Somewhere Only We Know
Part 25.2 - Somewhere Only We Know
Part 26.1 - Faded
Part 26.2 - Faded
PART 26.3 - Faded
Part 26.4 - Faded
Part 27.1 - Runaway
Part 27.2 - Runaway
Part 27.3 - Runaway
Part 27.4 - Runaway
Part 27.5 - Runaway
Part 28 - Masa Lalu Sean
Visualisasi Tokoh dan Promo Cerita Sekuel
Part 29 - END - When Love is Not Just A Word to Say
EPILOG, EXTRA PART, SECRET CHAPTER

PART 22.2 - Don't Leave Him

182K 10.5K 276
By matchamallow

Setelah tamat dibaca yang cepat ya, karena mau author revisi dan edit ceritanya. Maklum karya pertama. Thank u.

***

"Kira-kira anakmu laki-laki atau perempuan ya, Val?" Indira menatap perut Valeria sambil melihat-lihat pakaian bayi.

Tadi siang keempat temannya ini meneleponnya untuk mengajaknya jalan-jalan saat ia berada di kantor Sean. Setelah Sean memberinya ijin, ia langsung menyuruh mereka untuk menjemputnya di sana.

Sejak beberapa bulan lalu, setelah keempat temannya ini, minus Gwen mengetahui tentang pernikahan rahasianya, entah sejak kapan mereka juga mengetahui tentang kehamilannya dan menjadi semakin sering mengunjunginya. Mereka lebih antusias daripada dirinya menyangkut kelahiran bayi.

"Aku lupa menanyakannya pada dokterku." Valeria memegang pipinya. Apakah jenis kelamin bayi sudah bisa dilihat saat usia kandungan enam bulan?

"Sepertinya kalau dilihat dari penampilanmu yang bersih dan cantik, artinya anakmu perempuan, Vale." Maudy tersenyum manis padanya.

Valeria membayangkan ia memiliki seorang anak perempuan yang bisa ia dandani sesuka hati dan merasa senang.

"Tunggu, Maud. Teori itu belum ditentukan secara ilmiah dan belum bisa dipastikan kebenarannya." Dinda yang sejak dahulu dikenal oleh mereka karena pengamatan yang teliti tentang suatu hal menyanggah ucapan Maudy. "Kurasa anakmu laki-laki, Val. Karena kamu suka memakai celana." tegasnya.

"Itu juga gak ilmiah kali!!" Maudy memprotes sambil melemparkan celana bayi pada Dinda. "Vale itu dari dulu kan memang jarang pakai rok."

"Apa aja sih sama saja, asal sehat kalau orangtua bilang. Bener kan, Val?" Gwen menengahi mereka. Valeria hanya mengangguk.

"Tapi kalau Vale pinginnya punya anak laki-laki atau perempuan?" Indira bertanya kembali dan disertai anggukan teman-temannya. Mereka juga ingin tahu.

Valeria memikirkan baik-baik pertanyaan mereka. Memiliki anak laki-laki sebagai anak pertama juga menyenangkan. Ia bisa melindungi adik-adiknya nanti. Tapi ia juga ingin mengunciri rambut anak perempuan. Pastilah lucu dan menggemaskan. Ia jadi kebingungan memutuskan pilihan.

Sebenarnya apa yang dipikirkannya?

Kenapa Valeria bisa lupa tentang perjanjian Sean. Anaknya tidak akan pernah memiliki adik. Entah itu laki-laki ataupun perempuan.

"Val!!!" Valeria tersentak dari lamunannya karena teman-temannya meneriakinya tepat di telinganya.

"Aduh, kalian itu! Udah deh, aku suka dua-duanya. Mau cowok, mau cewek pasti aku akan..." ucapannya terhenti.

Apakah setelah lahir, Sean akan memperbolehkannya melihat anaknya? Sean tidak sekejam itu bukan?

"Mencintainya..."

Oh Tuhan!! Ia tidak bisa membayangkan jika Sean sampai memisahkannya dari anaknya sendiri. Pemikiran mengerikan ini baru saja melandanya semenjak usia kehamilannya semakin tua dan bayinya mulai menendang perutnya. Entah sejak kapan dalam dirinya mulai tumbuh rasa cinta kepada seorang anak yang belum dilahirkannya itu.

Ia tidak rela jika harus memberikannya pada Sean. Ini adalah anaknya juga, ia yang bersusah payah mengandung selama berbulan-bulan, bukan Sean! Sean tidak perlu merasakan rasa mual dan tidak nyaman saat awal kehamilannya. Sean juga tidak pernah mengetahui rasanya meminum begitu banyak vitamin dan susu.

Ia harus melarikan diri dari Sean.

Pikiran itu membuatnya lemas.

Ia tidak ingin melakukannya tapi kenapa rencana itu tiba-tiba muncul di benaknya. Ini tidak bisa dibiarkan terus menerus. Ia perlu membicarakan hal ini pada seseorang, tapi tentu saja bukan keempat temannya ini. Meski mereka tahu pernikahannya dengan Sean, mereka hanya tahu ia bahagia. Gwen tahu tentang permasalahannya, tapi Gwen sendiri juga belum pernah memiliki hubungan serius dengan seseorang.

Tiba-tiba ia teringat pada seseorang yang begitu dekat dengannya dan mengetahui segala permasalahannya sejak awal. Ia bahkan yang pertama kali tahu tentang semua rahasianya.

"Teman-teman, setelah ini, bisakah aku minta tolong diantarkan ke suatu tempat?" pintanya.

***

Jean menatap rancangan gambar kantor barunya yang akan segera dikerjakan dalam waktu beberapa minggu ini. Ia baru saja menemukan sebuah tempat yang strategis dan langsung menyewanya setelah mengadakan negosiasi harga dengan pemiliknya. Dalam waktu dekat ia sudah akan bisa beroperasi sebagai notaris.

Bel pintu apartemennya berbunyi.

Jean bergegas menuju pintu dan mengintip melalui lubang kecil di tengah pintu. Ternyata adik perempuannya, Valeria. Cepat-cepat ia membuka pintu setelah melepaskan beberapa kunci.

"Vally." Ia memeluk Valeria seketika sebelum Valeria sempat menyapanya. Sudah lama ia tidak bertemu dengan adiknya itu karena terlalu sibuk dengan rencananya sendiri. Kadang ia pulang ke rumah untuk berkunjung, tapi Valeria sudah tidak tinggal di sana. Dan ia tidak sudi berkunjung ke tempat tinggal Vally yang baru, rumah Sean Martadinata. Jean merasa dirinya agak egois tapi apa boleh buat.

"Dengan siapa kau kesini?" Jean melepaskan pelukannya tapi masih tetap memegang bahu adiknya. Adiknya yang kini sama tinggi dan bahkan mungkin lebih tinggi darinya itu terlihat baik-baik saja tanpa luka apapun selama tinggal dengan Sean. Mungkin ia terlalu paranoid jika sudah menyangkut Sean.

"Tadi diantar teman-teman sekolah. Baru habis belanja." Valeria memperlihatkan kantung belanjaan yang ditentengnya. "Aku juga bawa kue, Kak." Ia tersenyum.

Jean mempersilakannya masuk dan membersihkan meja dapur dari kertas-kertas yang sedari tadi berserakan lalu menyuruh Vally duduk di sana.

"Nanti pulangnya bagaimana?" Ia bertanya sambil membuatkan minuman untuk mereka.

"Gampang, Kak, nanti nelepon sopir aja, atau kalo gak bisa ya pesan taksi." Valeria menjawab sambil menatap sekelilingnya.

"Nanti Kakak aja yang antar. Kasihan kamu."

Valeria menoleh padanya. "Kak Malik nggak ada?"

"Masih dua hari lagi baru balik." Jean menjawab. Valeria hanya manggut-manggut.

Jean menatap Valeria dari ujung rambut hingga ujung kaki. Adiknya memakai blus longgar berwarna abu-abu dan celana jeans serta sepatu high tops tanpa tali. Ia tidak tampak seperti hamil enam bulan. "Memangnya kamu tidak sesak apa memakai celana jeans seperti itu?"

Valeria menunduk melihat arah pandang kakaknya. "Ah, ini celana hamil kok, Kak." Ia menaikkan sedikit ujung blusnya dan memperlihatkan celananya. Ternyata celana itu memiliki pinggang karet, bukan resleting. Perut Valeria sudah membesar dan baju itu cukup baik menyembunyikan kehamilannya.

"Sekarang pakaian hamil sudah keren-keren, Kak. Nanti kalau Kakak hamil, Vally tunjukin deh toko yang menjual baju hamil yang modis." Valeria tersenyum menampakkan giginya.

"Masih lama kayaknya." Jean mendengus. Ia memang belum merencanakan akan memiliki anak, karena masih berfokus pada karirnya.

Sebelumnya Mama Papanya sudah menyuruhnya cepat-cepat menikah karena ingin memiliki cucu, tapi ia belum ingin. Sebenarnya ada untungnya juga Valeria hamil. Orangtuanya jadi tidak terlalu menekannya lagi.

"Gimana Sean? Dia baik-baik saja ke kamu kan?" Jean mulai menanyakan hal yang semenjak tadi ingin ditanyakannya.

"Dia baik, Kak." Valeria mulai agak merona dan membuat Jean tercengang sejenak. "Aku kemari karena ingin membicarakan sesuatu hal yang menyangkut tentangnya."

"Apa itu?"

Valeria mulai duduk dengan tidak nyaman. "Kakak ingat tidak sebelum pernikahanku, Kakak pernah menceritakan setelah Sean datang ke rumah berniat menikahi Vally karena saat itu Vally hamil dan ia mengancam Vally karena Vally menolak."

Jean mengangguk-angguk. Ia memang teringat saat itu karena dirinya yang berbicara pada Sean mewakili adiknya.

"Vally ingin menegaskan sekali lagi karena Kakak juga mengatakan Sean berniat menceraikan Vally setelah anak Vally lahir. Apa itu benar, Kak? Apa Sean benar-benar mengatakan itu? Itu bukan karangan Kakak agar aku setuju menikahi Sean, bukan?" Valeria menatapnya dengan sendu.

Jean kebingungan melihat tingkah Valeria tapi ia menjawab sesuai kenyataan pada saat itu. "Sean memang mengatakan hal itu, Vally. Dan Kakak waktu itu tidak setuju kau menikah dengannya, jadi Kakak tidak mungkin mengarang cerita."

Adiknya terlihat kecewa dan memalingkan wajahnya. "Begitu ya, Kak."

"Memangnya ada apa, Vally? Apa Sean menyakitimu lagi? Kalau memang benar, biar Kakak yang akan berbicara padanya.."

"Tidak Kak Jean. Sean nggak menyakiti Vally kok." Valeria memotong ucapannya dengan cemas. "Ia malah sangat baik sama Vally setelah kejadian kecelakaan itu. Sean nggak pernah marah lagi dan memberikan apa saja yang Vally inginkan. Dia juga memperlakukan Vally seperti istri, terus dia juga sabar ngadepin Vally kalau lagi ngambek..."

Jean mendengarkan Valeria yang terus mengoceh membicarakan tentang kebaikan Sean yang terasa agak ganjil di pikirannya. Apa adiknya ini benar membicarakan Sean, si makhluk tanpa hati yang dikenalnya? Sosok yang dikatakan Valeria amat jauh dari visualisasi kepribadian Sean Martadinata.

Dan adiknya itu merona setiap membicarakan tentang Sean.

Ia tidak mungkin salah mengartikan tatapan mata Vally dan juga bahasa tubuh adiknya itu setiap menyebut nama Sean. Ia tidak mungkin salah menduga karena ia sendiri juga pernah mengalaminya...

"Vally!" Jean menghentikan ocehan Valeria.

Valeria berhenti berbicara dan menatap bingung Kakaknya dengan matanya yang begitu besar.

"Kamu jatuh cinta pada Sean bukan?"

Jean mengawasi reaksi adiknya. Adiknya membeku menatapnya tanpa berkedip. Jean juga menatapnya dengan serius. Sesaat suasana ruang apartemennya menjadi hening karena kebisuan mereka.

Jean menahan napas saat menyaksikan setitik airmata bergulir menuruni pipi Valeria. Sial!! Adiknya benar-benar jatuh cinta pada manusia terkutuk itu! Bagaimana bisa?!

Dari semua hal yang paling tidak disangkanya di dunia ini setelah menyaksikan pernikahan adiknya dan Sean, yang satu ini yang paling tidak diharapkannya. Valeria pasti akan tersakiti nantinya.

Ia tidak rela jika Valeria yang harus menjalani semua ini! Kenapa Valeria harus mengalami takdir yang seburuk ini. Kenapa bukan dirinya? Kenapa?

Valeria memalingkan wajah seakan malu menatapnya seperti anak kecil yang baru saja ketahuan. "Maafkan aku, Kak." Ia menjawab pelan sambil terisak.

Jean menaruh minumannya dan berdiri merangkul adiknya yang masih duduk di kursi. "Kenapa harus minta maaf, Vally? Kamu tidak salah apa-apa."

Valeria terisak semakin keras di cekungan lehernya. Ia mengelus-elus rambut adiknya. "Kak...aku tidak mau Sean mengambil anakku, Kak..." Valeria terdengar pilu.

"Dia tidak akan mengambil anakmu, Vally." Jean menenangkan Valeria.

Valeria melepaskan diri darinya. "Jangan membohongiku, Kak!! Apa Kakak bisa memberikan jaminan padaku atas perkataan Kakak tadi? Bisakah Kakak mengatakannya kembali? Tolong katakan Sean 'pasti' tidak akan mengambil anakku? Katakan, Kak!! Katakan!!!" Valeria mengguncang-guncangkan bahu Jean.

Jean terdiam dan memalingkan wajahnya.

Valeria benar. Ia tidak bisa memberikan jaminan tentang hal itu. Jean tersadar Valeria bukan adik kecilnya lagi yang bisa ia tenangkan dengan kebohongan lagi seperti dulu saat kelinci peliharaan Valeria mati dan Jean mengatakan bahwa kelincinya telah menjadi bintang di langit.

"Kak...aku akan membawa anakku pergi."

Ucapan Valeria terdengar bagaikan sambaran petir di siang bolong.

"No!!" giliran Jean mengeratkan tangannya pada bahu Valeria kembali. "Apa yang kaupikirkan, Vally?! Please..Vally jangan lakukan rencanamu yang satu ini. Kau tidak tahu bagaimana Sean?"

Jean tidak bisa membayangkan apa yang akan nekad dilakukan Sean jika Valeria sampai melakukan rencananya ini. Sean pasti akan mengejar Vally hingga ke ujung dunia dan tidak akan berhenti hingga menemukannya, seperti sumpahnya dahulu dan jika Sean menemukan Valeria, ia tidak tahu apa yang akan Sean lakukan pada adiknya.

Jean tidak akan membiarkan itu terjadi.

"Dari ucapanmu tadi, sepertinya Sean memperlakukanmu berbeda dengan orang-orang yang selama ini dikenalnya, Vally. Sean tidak pernah sebaik itu di mata seluruh manusia di muka bumi yang pernah berhubungan dengannya. Kalau dia benar memperlakukanmu seperti itu, dirimu berarti 'sesuatu' baginya. Cobalah berbicara dengannya dulu sebelum memutuskan jalan yang berbahaya ini, Vally." Jean mencoba mempengaruhinya.

Valeria mencerna perkataan Kakaknya dan ia teringat kejadian saat ia berbicara dengan Sean tentang perasaannya dan malah membuat Sean menjauh darinya.

"Nggak, Kak. Aku nggak bisa melakukannya lagi." Valeria menggeleng-geleng. "Sean bukan seseorang yang suka membicarakan sesuatu yang menyangkut emosi, Kak."

Jean kehabisan akal. Ia harus segera meyakinkan adiknya ini sebelum benar-benar melakukan rencana bodohnya itu. "Vally!! Jika kau tidak bisa melakukannya untuk dirimu sendiri, tolong pikirkan Mama dan Papa."

Valeria memandangnya kembali dengan syok. Ia baru teringat akan keberadaan ayah dan ibunya.

"Bayangkan apa yang akan Sean lakukan pada Papa dan Mama jika kau pergi. Siapa yang akan Sean cari terlebih dahulu? Pasti mereka, bukan? Jika kau memutuskan ingin pergi, Papa dan Mama pasti membantumu tanpa mempedulikan diri mereka sendiri. Kau mau mengorbankan Papa dan Mama?!"

Valeria menelan ludah. Jean sepertinya berhasil meyakinkan adiknya kali ini. Valeria amat menyayangi ayah dan ibunya.

"Renungkan kata-kata Kakak baik-baik, Vally. Kita pasti akan menemukan jalan keluarnya nanti. Tapi jangan coba-coba meninggalkan Sean. Jangan pernah lakukan itu!!"

***

Jangan pernah meninggalkan Sean.....

Valeria berjalan gontai memasuki kantor Sean sambil memikirkan ucapan Kakaknya.

Kakaknya mengantarkannya hingga ke depan kantor dan menurunkan Valeria di sana. Berbicara dengan Kakaknya mungkin menenangkan hatinya untuk saat ini, tapi tidak memecahkan masalahnya.

Masa depannya tetap terpampang suram di depannya.

Valeria kebingungan dan melihat sekitarnya. Beberapa karyawan Sean memberi salam padanya dan beberapa bahkan membungkuk. Mereka memberikan senyum yang paling manis untuknya dan Valeria membalas senyuman mereka dengan lemah. Ia memasuki lift pribadi dan menekan tombol lantai teratas.

Saat lift terbuka, ia berjalan dengan gontai kembali sambil menyeret belanjaannya yang tidak seberapa. Sean tertawa saat menerima tagihan kartu kreditnya dua bulan lalu dan malah menyuruh Valeria menggunakannya lebih banyak lagi. Padahal Valeria sempat kelimpungan saat itu. Dan tentu saja ia tidak mau menggunakannya berlebihan. Ia hanya membeli pakaian hamil yang diperlukan secukupnya dan keperluan bayinya nanti. Toh juga ini anak Sean, jadi tidak apa-apa jika ia menggunakan uang Sean untuk bayinya.

Lisa melihatnya melangkah dengan lesu saat akan membuka ruangan Sean. "Pak Sean masih di ruang meeting, Nyonya." seruan Lisa membuatnya menoleh.

"Apa Nyonya mau menunggu sambil saya ambilkan camilan?" katanya.

Valeria meringis padanya. "Aduh, Kak Lisa ini kok manggilnya 'Nyonya' gitu sih!?"

Lisa juga meringis sambil mendekatinya agar pembicaraannya tidak terdengar. "Habisnya harus manggil apalagi, Nyonya? Masa Miss? Meski Nyonya lebih cocok dipanggil Miss, nanti Pak Sean marah pada saya. Miss itu kan artinya masih lajang."

"Panggil Vally aja, nggak apa-apa, kok." Valeria bergumam.

"Apalagi itu!? Yang benar saja, Nyonya. Pak Sean bukan memarahi saya lagi kalau sudah seperti itu, tapi langsung memecat saya." Lisa membetulkan kacamatanya yang sudah betul. "Pokoknya terima saja, ya, Nyonya. Terima saja, please. Gaji saya sudah besar disini."

Valeria tertawa sambil mengangguk-angguk. "Masa Sean sejahat itu sih, Kak Lisa?"

"Nyonya tidak tahu sih Pak Sean seperti apa. Saya sudah bekerja sebagai sekretarisnya selama tiga tahun dan selama itu saya belum pernah melihat Pak Sean tersenyum. Jangankan mengharapkan dia tersenyum, tidak membentak saya sehari saja sudah bersyukur." Lisa mengelus dadanya.

Lisa sebenarnya agak heran terhadap rasa rendah hati istri bosnya yang satu ini. Selama ini ia terkadang menemui istri-istri yang disebut nyonya sosialita, semuanya rata-rata bergaya agak bossy, menuntut ini itulah dan selalu mengeluh tidak puas dengan hasilnya. Mungkin karena Nyonya Valeria ini masih muda dan belum tersentuh oleh pergaulan sosialita. Tapi sebentar lagi pasti nyonya-nya ini pasti akan didekati oleh mereka, dan Lisa tidak tahu apa ia akan berubah. Ia berdoa semoga saja tidak.

"Tapi semenjak ada Nyonya, Pak Sean berubah jadi seperti ini." lanjut Lisa.

Valeria terpana mendengarnya. Lisa mengatakan Sean berubah semenjak ada dirinya. Kak Jean juga mengatakan Sean memperlakukan dirinya berbeda. Apa itu semua benar? Alangkah senangnya jika itu benar...

"Pokoknya, Nyonya sudah dianggap sebagai malaikat di tempat ini. Semua karyawan disini bisa tenang bekerja karena Pak Sean jarang marah lagi dan Nyonya dianggap penyebabnya. Jadi mereka semua diam-diam mengagumi Nyonya meski Nyonya tidak sadar."

"Oya? Kalian jangan berlebihan, ah!." Valeria hanya bisa menjawabnya singkat sambil merona.

"Sungguh, Nyonya! Kami berdoa semoga Nyonya selalu bersama Pak Sean supaya tetap seperti ini." Lisa menggenggam tangannya dan menatapnya dengan bersungguh-sungguh.

Lisa adalah orang kedua hari ini yang menyuruhnya untuk tidak meninggalkan Sean secara tidak langsung. Bukan hanya Lisa, tapi semua karyawan di tempat ini jika benar yang dikatakan Lisa tadi.

Ia tidak akan meninggalkan Sean...

Tapi bagaimana dengan nasib dirinya dan anaknya?

Adakah yang akan peduli?

***

Continue Reading

You'll Also Like

238K 17.8K 43
Nara, seorang gadis biasa yang begitu menyukai novel. Namun, setelah kelelahan akibat sakit yang dideritanya, Nara terbangun sebagai Daisy dalam dun...
499K 39K 17
[SEBAGIAN DI PRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU BARU BACA] Dilarang ada hubungan antara senior dan peserta OSPEK, Galen, sebagai Ketua Komisi Disiplin terpa...
6.9M 47.5K 60
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
549K 4.3K 24
GUYSSS VOTE DONGG ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ cerita ini versi cool boy yang panjang ya guysss Be wise lapak 21+ Gavin Wijaya adalah seseorang yang sangat tertutup, ora...