A.M

By minibiggg

107K 9.7K 1.6K

Mia tak punya alasan lain untuk mencintai Arka. Sejak ditemukan Arka dalam keadaan menggenaskan lima belas t... More

Entah Sampai Kapan
Tengah Malam, Kain Lusuh, dan Sepotong Pai
Senyummu Mengalihkan Duniaku
Cinta... Alasan Atas Segalanya
Kopi Pembawa Petaka
Modus Berakhir Pupus
Si Penjilat
Hujan
Irresistible
Stasiun Senen
Ketika Ia Berubah
Dan Mendung pun Mulai Bergelayut
Salah Fokus
Kepiting Saus Merah
Saatnya Menyerah
Bukan Siapa-siapa
Selangkah Lebih Dekat
The Right Answer
Drama Hati
The Painting
Trapped
How Can?
Stop Denial!
Sebuah Pemahaman
Pengakuan
27

Kebetulan-kebetulan

3.3K 327 46
By minibiggg

Seumur hidupnya, Giri belum pernah masuk ke dalam kamar cowok. Dibesarkan oleh seorang nenek yang menjunjung tinggi nilai kesopanan, hal itu pasti masuk dalam daftar berbahaya yang tidak boleh dilakukan oleh gadis seumurnya -- atau bisa jadi sepanjang hidupnya. Lima menit berlalu, ia masih menatap kosong pintu kayu di depannya yang tertutup rapat. Tulisan 'Do not enter! Hot content inside' terpampang jelas di depan pintu. Membuatnya semakin ragu bahkan untuk sekedar memegang gagang pintu.

Ini semua karena Anis, teman sekelasnya yang tidak berhenti meneror sejak pagi untuk bertanya apakah lukisan yang dipesannya di Arka sudah selesai atau tidak. Lagipula manalah Giri tahu. Meski Arka pacarnya, ia sama sekali tidak tahu tentang apa yang dikerjakan pemuda itu, apalagi tentang daftar pesanan yang dikerjakannya. Tapi bagi Anis, yang berteriak histeris saat Giri mengaku berpacaran dengan Arka, sampai membuat mereka telat ke kelas berikutnya, sangat wajib hukumnya seorang cewek tahu segala hal yang dikerjakan pacarnya. Termasuk urusan pesanan lukisan untuk hadiah ulang tahun Ayahnya hari ini. Harus selesai pagi ini, atau Giri harus merelakan Arka berkencan dengannya sehari saja. ancaman jenis apa itu? sungguh Giri tak tahu kalau Arka sebegitu populernya di kalangan teman-temannya.

Giri sudah mengirimkan pesan WA ke Arka, tapi tak satupun dibalas. terakhir dilihat saja semalam. dan berhubung terror dari Anis semakin kejam seiring naiknya matahari, akhirnya Giri memutuskan untuk bertanya langsung. Cukup berjalan beberapa langkah, mengetuk pintu, bertanya, lalu urusan beres. Namun wajah Dahlia lah yang menyambutnya di balik pintu. Bilang kalau Arka belum keluar kamarnya sejak pagi. Malah dengan santai menyuruhnya untuk naik ke kamar anak lelakinya.

"Arka lagi di kamarnya, Giri. Masuk aja gih. Biar dia malu kebiasaan buruknya bangun siang dilihat kamu." ujar Dahlia sambil tertawa. Lantas kembali sibuk menekuni majalah di tangannya. "Kamarnya yang di sebelah kiri, Ri. " tambahnya lagi dengan nada santai. Seolah mengizinkan seorang gadis masuk kamar anaknya adalah hal biasa, tapi untuk Giri, jelas ini bukan hal biasa.

Dihelanya nafas pelan, lalu tangannya terangkat ke atas. Mengetuk pintu tiga kali diiringi dengan menyebut nama Arka. Pada ketukan ketiga, pintu akhirnya terbuka. Wajah bantal Arka langsung muncul dan yang membuat Giri kaget adalah pemuda itu keluar tanpa mengenakan baju. Bersandar lemah di tiang pintu dengan mata setengah tertutup.

"Iya Mamaku sayang.... ini aku udah bangun." Ujar Arka dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. Mengucek mata dan rambutnya sembarangan. Masih belum sadar kalau Giri lah yang berdiri di depannya.

"Emm... Ini Giri, Kak. Bukan Bu Lia." Sahut Giri pelan. Mukanya bersemu merah melihat Arka yang bertelanjang dada di depannya. Pantas saja Anis suka berteriak histeris kalau artis idolanya shirtless atau terlihat bagian tubuhnya sedikit saja. ternyata memang begini rasanya. Campuran antara rasa malu dan penasaran akan pemandangan di depannya. roti sobek, begitu Anis menyebutnya.

Masih setengah sadar, Arka kembali mengerjapkan matanya. Berusaha melihat sosok perempuan yang membangunkannya ini lebih jelas. Sejak kapan Mamanya berubah muda seperti ini. atau sejak kapan juga rambut Mia kembali berwarna normal seperti ini?

"Loh Giri?" seru Arka tak percaya begitu sisa kesadarannya terkumpul sempurna. matanya yang lengket otomatis melotot sempurna. "Giri ini serius kamu? kenapa bisa disini?" sambung Arka masih dengan nada tak percaya.

"Ih... Kak Arka... pake baju dulu sana baru pegang-pegang." Giri berusaha menepis sentuhan Arka di bahunya saat pemuda itu mendekat ke arahnya.

"Kok kamu bisa disini? Mama yang nyuruh ya? Oh oke... oke... aku pake baju dulu." Arka tertawa pelan. Ia segera meraih kaos bersih di lemari. Memakainya cepat, lalu menyilahkan Giri masuk.

"Lagi berantakan banget nih, Ri. Biasa lah, namanya juga cowok." Arka terkekeh pelan sambil merapikan tempat tidurnya.

Giri hanya tersenyum tipis. Dengan langkah pelan ia masuk ke kamar Arka. Matanya langsung sibuk mengamati keadaan sekeliling. Kamar Arka sama seperti kamar cowok pada umumnya. Berantakan sudah hal yang biasa. Hanya saja, kamar Arka lebih banyak didominasi dengan tumpukan kanvas dan lukisan-lukisan yang sudah jadi. Gitar kesayangannya tergantung di dekat jendela. dan yang membuat berbeda, tentu saja banyaknya tempelan foto-foto Arka bersama mamanya dan Mia. Giri tak menyangka kalau pacarnya itu termasuk pria penyayang keluarga.

"Itu Mia yang masang." Beritahu Arka tiba-tiba saat Giri tampak serius memandangi satu fotonya bersama Mia.

"Lucu." Gumam Giri pelan. Foto itu diambil saat Arka dan Mia naik roller coaster di Dufan. Bisa ditebak, ekspresi keduanya memang sedang jelak-jeleknya disana. namun bagi Mia, foto itu sangat berharga, sampai mati-matian memaksa Arka untuk memasangnya di kamar. Sama seperti Giri, Arka tidak tahu dimana letak keindahan seninya di foto itu.

"Ngomong-ngomong, kamu ngapain pagi-pagi kesini, sayang? sampe nyusul ke kamar lagi. kangen ya?" tanya Arka berusaha mengalihkan perhatian Giri dari mengomentari satu-satu foto yang tertempel di dinding.

"Mama kakak kok yang nyuruh aku kesini." sahut Giri berusaha menjelaskan. "Tujuanku kesini juga cuma mau nanya lukisan Anis udah jadi gak? Dia nanyain mulu nih."

"Terus?"

"Udah."

"Gak mau bilang kangen gitu?" pancing Arka.

"Udah ketemu, ngapain kangen-kangen." Balas Giri tak mau kalah. "Lagian kakak aku WA dari tadi gak masuk. Ditelfon juga gak aktif."

"Hapeku mati, lupa di-charge." Arka menunjuk ponselnya yang tergeletak di atas kasur. "Tapi kan sebagai gantinya kamu langsung nyusul kesini. ngomong-ngomong, Mama jarang loh ngizinin cewek masuk ke kamarku."

"Jarang?" ulang Giri. "Berarti pernah dong?"

Arka menyengi malu. "Maksudku kamu satu-satunya cewek yang pernah itu, Ri. Cewek lain yang pernah kesini paling ya Luna, istrinya Stefan, sahabatnya Mia, atau gak temen-temen pas jenguk aku kalau lagi sakit. Itu pun bertahun-tahun yang lalu."

"Alah... pandai banget sih ngelesnya? Pantes aja nenek langsung nyeramahin aku buat waspada sama cowok kayak kakak." Balas Giri sambil tertawa.

"Serius nenek kamu bilang gitu?" tanya Arka tak percaya. Ingatannya kembali terbayang kejadian seminggu lalu, saat dia ke Bogor mengantar Giri pulang ke rumah neneknya. Apa yang dipikirkan Arka selama perjalanan yakni mengantar Giri pulang, berkenalan sebentar dengan dengan keluarganya, lalu mereka akan menghabiskan waktu dengan berkencan romantis ala Arka. Puncak dengan udara dinginnya sungguh kombinasi yang pas untuk lelaki sepertinya. Tapi semua angan-angannya langsung buyar begitu ia bersalaman dengan nenek Giri. Arka masih ingat dengan jelas bagaimana cara mata wanita itu menyipit tajam saat melihatnya untuk pertama kali. Dilanjut dengan mengomentari rambut panjangnya, bertanya masih kuliah atau sudah kerja, dan pertanyaan lainnya sampai waktu yang diharapkan Arka untuk kencan romantisnya terbuang begitu saja dengan obrolan panjang bersama nenek Giri. Jangankan pergi keluar, punya waktu untuk ngobrol berduaan dengan Giri saja ia tidak bisa.

"Gak gitu juga sih. Cuma sepulangnya kakak nenek langsung gantian nyeramahin aku. Gimana cara pacaran yang bener. Gak boleh ini, gak boleh itu."

"Jadi aku udah dapet restu kan?"

"Mungkin." Jawab Giri pendek. "Tapi dari cara kakak ngerespon neneku sih kayaknya nenek oke-oke aja sama kakak. Dan ngomong-ngomong, kok bisa sih kakak ngerti drama india yang diomongin nenek?" Giri balas bertanya penasaran.

"Gimana gak ngerti, Ri. Orang tontonan nenek kamu sama Mama tuh sama aja. Tiap hari yang ditonton drama India." Arka geleng-geleng kepala pasrah.

Giri tertawa pelan. Kedua pipinya bersemu merah saat kembali teringat adegan obrolan Arka dan neneknya waktu itu. Melihatnya, Arka hanya bisa terpana. Sejak awal, senyuman itulah yang membuatnya terpesona pada Giri Adisty. Arka tak menampik, di antara banyak hal yang menarik di diri perempuan, kecantikan berapa pada urutan pertama. Bagi Arka, kecantikan adalah anugerah Tuhan, dan sudah seharusnya disyukuri dan dinikmati. Dalam kamusnya, mensyukuri dan menikmati anugerah tersebut adalah dalam bentuk tingkah nyata, yakni dipacari.

Merasa diperhatikan, Giri berhenti tertawa.

"Jangan ngeliatin aku kayak gitu dong, Kak!" Lagi, pipi putih itu bersemu merah. Giri menggerakan kepalanya ke arah lain.

"Kamu tahu kan aku ini seniman?" Arka tiba-tiba bertanya. Ia melangkah mendekati Giri yang sedang berdiri di samping meja. "Sebagai seorang seniman, wajar kalau aku ini selalu tertarik pada hal yang indah. dan hal indah itu kamu, sayang." lanjut Arka mengobral gombalannya.

"Jadi kakak nyamain aku kayak karya seni? Lukisan misalnya?"

Arka otomatis mengangguk.

"Aku gak mau." Ujar Giri tegas. "Meskipun indah, ujung-ujungnya cuma dijadiin koleksi."

Kali ini Arka menggeleng cepat. "Bukan gitu maksud aku, Riri. Kamu cantik, dan kamu milikku. Bukan koleksi yang siap dilelang dimana-mana." Koreksinya cepat. Diraihnya tangan Giri. Meletakkannya di depan dada. "Can you fell that? Kalau di depat kamu itu jantungku selalu deg-degan, Ri. Darahku berdesir cepat. Udah kayak lagu aja."

Giri tersipu malu. Menarik cepat tangannya dari dada Arka. Ia berdehem pelan. Entah mengapa atmosfir di sekitarnya mendadak berubah. Ditambah lagi dengan keberadaan Arka yang sekarang berada tepat di depannya. saat Giri berusaha menjauh, ia malah semakin tergencet kea rah dinding dan meja. Dengan posisi Arka yang masih berdiri di depannya, otomatis ia tak bisa bergerak kea rah lain.

Merasakan hal yang sama, Arka juga turut berdeham kecil. ia melirik sekilas ke arah pintu yang tertutup rapat. Bagi lelaki normal sepertinya, ini jelas cobaan berat. Berada di kamar tertutup dengan seorang gadis cantik dengan posisi dekat seperti ini pula. Otomatis Arka bisa merasakan jin di dalam tubuhnya mulai bereaksi. Oh Mama, kenapa kau biarkan bidadari cantik masuk ke kamar anakmu yang demon ini, Ma? Arka lelah sendiri dibuatnya.

"Kak... kenapa? Mukanya kok tegang gitu?" Giri bertanya pelan. Ia berusaha mencairkan suasana. Sungguh ia adalah mahasiswi kedokteran. Tanpa bertanya pun ia tahu apa yang dipikirkan lelaki di hadapannya. Ia tahu hormon apa saja yang mulai bereaksi saat ini. baik di tubuh Arka dan tubuhnya sendiri. Dan ia sungguh tahu harus ada tindakan cepat yang dilakukannya sebelum semua hormon-hormon itu meledak menjadi sesuatu yang ia sendiri tak ingin memikirkannya.

"Kamu gak kuliah, Ri?" Arka balas bertanya. Nada suaranya terdengar cepat. Jelas sepeti sedang menahan sesuatu. pengalamannya dengan pacar-pacarnya dulu, Arka tak perlu sesusah ini untuk melakukan sesuatu. selain berparas cantik, daftar panjang mantannya selalu memiliki sifat yang sama. Manja dan agresif. Arka tak perlu memulai banyak hal hingga akhirnya mereka bergelayutan sendiri di lengannya, lanjut meraba leher hingga berciuman sekalian. Namun di depan Giri, Arka hanya bisa menahan nafas penuh kefrustasian. Sebulan sudah usia mereka berpacaran, skinship yang dilakukan tak lebih dari sekedar pegangan tangan dan rangkulan di bahu. Itu pun selalu Arka yang memulai dan direspon Giri; 'Malu kak, ada yang ngeliatin.' Dan sekarang, dengan posisi seperti ini tanpa ada orang yang melihat, apakah Giri berpikiran sama sepertinya?

"Kan sabtu, Kak. Libur." Ujar Giri tak kalah pelan.

Arka menyengir. Giri balas menyengir.

"Ri..." panggil Arka lirih. Gadis itu terkesiap begitu mengetahui nada suara Arka yang mulai berubah. Ia menggigit bibirnya pelan. Dan belum sempat Giri melepaskan gigitan di bibirnya, Arka sudah lebih dulu mengambil tindakan. Diraihnya kepala Giri, membenamkan bibirnya ke bibir mungil gadis itu. hanya sekilas, namun cukup membuat Giri kaget hingga hampir kehabisan nafas.

Arka menjauhkan kepalanya, mengusap bibir Giri dengan jemarinya. Bukannya Arka tak mau melanjutkan ciumannya, hanya saja ia sadar belum sikat gigi. Ia tak ingin pengalaman ciuman pertamanya bersama Giri berakhir buruk. Akan ada kesempatan lainnya. Dan dilihat dari respon yang diberikan Giri, Arka yakin kesempatan itu akan datang dalam waktu dekat.

"Maaf ya, Giri Adisty." Ujar Arka memecah keheningan. Cepat, Giri menunduk. Pipinya bersemu merah. "Maaf karena gak bisa nahan diri buat nyium kamu. Kamu tahu, aku suka gak tahan kalau udah terlanjur sayang." lanjut Arka lagi. tulus dari hatinya yang paling dalam. Seplayboy-playboynya Arka, ia tak pernah berbohong saat mengatakan sayang pada kekasihnya. Semuanya tulus. Hanya saja waktu dan keluarga yang tak mengizinkannya untuk menjalin hubungan lebih lama. Alhasil, ia mencari yang baru, mengulang kalimat yang sama.

Giri mengangkat mukanya perlahan-lahan. Menatap muka Arka dengan perasaan campur aduk. Antara bahagia dan malu. Ini yang pertama untuknya. Walau sekilas, cukup membuat sendi-sendinya mati rasa.

Arka menahan nafas melihat wajah Giri yang bersemu merah. Sekali lagi tak kuasa menahan diri untuk kembali membenamkan bibirnya di bibir Giri. Tak peduli ia belum sikat gigi. Tak peduli apa komentar Giri sesudah ini. yang dipikirkan arka hanya satu. Dan sesuatu itu menggerakkannya untuk kembali mendekat. Kembali mengecup bibir Giri dengan penuh kelembutan.

Sejak pagi ini Arka sadar, betapa pentingnya bangun cepat dan sikat gigi di pagi hari.

******

"Muka lo, Mia, bisa gak sih senyum dikit? Gue gak mau ya baby gue ketularan energy negative gara-gara elo." Luna hanya bisa mengernyit aneh melihat raut wajah sahabatnya yang ejak tadi tertekuk muram. Mereka baru saja selesai belanja perlengkapan bayi. Meski baru memasuki usia lima bulan, Luna bersikeras untuk menyicil segala persiapan untuk menyambut kelahiran bayinya kelak. "Lo kan tau gue bukan orang kaya raya, Mi. Jadi ya dicicil belinya. Sekalian gue survey harga di toko, lumayan lah buat laporan ke big boss, biar uang belanja gue ditambah lagi." ujar Luna saat Mia berkomentar panjang tentang betapa terlalu cepatnya ia membeli perlengkapan bayi.

Mia hanya balas menatap datar. Sesekali ia kembali berkomentar mengenai pilihan Luna. Sekaligus jadi pawang saat Ibu hamil itu mulai kalap ingin membawa pulang segala perlengkapan bayi yang lucu-lucu itu. "Kan lo sendiri yang gak mau cek jenis kelaminnya, Lun, jadi mending beli peralatan yang warnanya netral aja. Masa baby lo lahirnya cowok pake stroller warna feminim gini sih? Ini juga sepatu untuk anak usia setahun. Ya kali anak lo langsung dipaksa jalan begitu lahir?" Mia menarik paksa sepasang sepatu bayi yang dipegang Luna. Mengembalikannya ke tempat semua. Ibu hamil itu merajuk, bilang betapa Mia tak mengerti isi hati ibu hamil sepertinya.

Usai puas berbelanja, akhirnya mereka memutuskan untuk melepas lelah sebentar di sebuah kafe. Sambil menunggu Stefan datang, Luna kembali kalap memesan es krim dan kue-kue manis. Beruntung saat ia hendak memesan kopi, Mia segera mencegah.

"Kalau nafsu makan lo gak kekontrol gini, bisa-bisa sebelum sembilan bulan aja badan lo udah melar kayak ikan paus, Luna." Komentar Mia mengabaikan ucapan Luna. Kalau Luna berkomentar tentang energy negatif di dirinya, maka Mia tak habis pikir melihat sahabatnya ia melahap semua pesananya seperti orang kesetanan.

"Lo gak tau sih, Mi. jangankan nunggu sembilan bulan, sekarang aja Stefan sering komentar kalau tidur berasa meluk gajah. Kurang ajar banget gak itu suami? Tapi gue biasa aja. Yang penting bayi gue sehat. Gue sehat. Toh Stefan juga seneng-seneng aja tuh, malah makin rajin melukin gue." Balas Luna santai. Menyuapkan potongan terakhir kue sus ke dalam mulutnya. "Dan sekarang stop komentarin gue. Saatnya gue enterogasi elo nih, Mi. kenapa sih dari tadi kusut banget itu muka? Lo gak seneng nemanin gue belanja?" tuduh Luna sengit. Bukan hanya karena efek kehamilan yang membuatnya begitu sensitif. Tanpa diberitahu pun ia tahu sahabatnya ia sedang dirundung kesal. Sangat terlihat dari raut wajahnya yang jarang mengumbar senyum seharian ini.

"Gue seneng kok, Mamah Luna. Cuma lagi gak enak badan aja nih." Jawab Mia berusaha tersenyum manis. "Mungkin efek kehujanan semalam."

"Alasan. Jangan bohong di depan bayi gue lo, ntar dia ikutan suka bohong." Ancam Luna lagi. mengelus perutnya perlahan.

Mia tertawa pendek. "Jangan kebanyakan ngambek juga, Lun, ntar anak lo ikutan suka ngambek. Jangan suka ngancem dan nuduh orang sembarangan juga." Balas Mia tak mau kalah. Ia kembali tertawa pelan saat Luna memutar bola mata penuh kebosanan.

Mia sendiri tak tahu mengapa hari ini perasaanya tidak enak begini. Tidak ada alasan pasti. Hanya saja, sejak panggilannya ke Arka tak kunjung diangkat, perasaan itu muncul layaknya jamur di musim hujan. Cepat merambat kemana-mana. Padahal ia menelfon Arka hanya minta diantarkan bajunya yang ketinggalan di rumah. Namun begitu ia menelfon Dahlia, mamanya itu menjawab dengan jawaban yang sukses membuat harinya berantakan.

"Arka lagi keluar sama Giri. Jalan-jalan paling." Jawab sang ibu begitu panggilannya diangkat. Mia hanya mendesah kecewa. Lalu meminta tolong bajunya dikirimkan via go-jek atau siapa saja yang bisa mengantar. Namun saat panggilan hendak ditutup, Dahlia berseru lagi. "Kamu tau gak, Mi, tadi pagi kan Giri datang ke rumah nyariin Arka. Jadi mama suruh aja masuk ke kamarnya. Gak tau mereka ngapain aja disana, pas keluar muka Giri udah merah kayak udah rebus. Sampe lupa pamit. Menurut kamu, mereka gak lakuin yang macem-macem, kan? Kok Mama jadi merasa bersalah ya nyuruh anak polos baik-baik ke kamar Arka. Kamu kan tahu sendiri dia itu gimana. Halo Mi... Mia?"

Suara Dahlia yang memanggil namanya semakin samar-samar terdengar. Namun kalimat mamamanya sebelumnya sukses membangun imajinasi yang berkelebatan di kepala Mia. berduaan di kamar, wajah memerah malu, lalu terbayang lagi cengiran badung Arka sesudahnya. Tak perlu diucapkan dengan jelas, Mia sudah tahu apa yang terjadi. Ia hanya perlu mengabaikannya. Namun saat terbayang Arka lah salah satu pelakonnya, Mia hanya bisa menahan nafas penuh emosi. Ia marah, cemburu, tentu saja. Semuanya menjadi di luar kendali. Dan semuanya berimbas pada acara belanjanya bersama Luna. Efek patah hati memang berbahaya. Dan yang lebih berbahaya tentu saja sorot mata haus rasa ingin tahu di mata Luna. Mia kadang lupa kalau sahabatnya itu bagaikan wartawan gosip. Tak akan berhenti bertanya sebelum mendapat jawaban puas.

"Stefan masih lama gak sih? Kalau iya kita nonton dulu yuk. ada film bagus nih." Ajak Mia penuh antusias. Berusaha mengalihkan pembicaraan saat sadar tatapan mata Luna semakin mengancam.

"Nonton sambil bawa tentengan kaya gini? Ogah!" tolak Luna mutlak. "Percuma deh lo ngeles di depan gue. Bertahun-tahun gue kenal elo, gue tahu kalau tampang lo sekarang itu sejenis tampang galau, cemburu akan cinta yang tak terbalas. Arka lagi, huh?" tembak Luna langsung. Matanya semakin menyipit tajam saat Mia hanya diam tak membalas. Sahabatnya itu hanya tersenyum hambar. Pura-pura mengalihkan emosi hatinya dengan mengaduk-aduk gelas minumannya.

"Nak, semoga kalau kamu besar nanti gak kayak Tante Mia ya? Mama gak akan biarin kamu gagal move on dari cinta yang gak kesampaian gitu. Kalau suka ya bilang, kalau ditolak ya cari yang baru. oke, sayang?" sindir Luna seolah berbicara dengan perutnya.

Bibir Mia tertekuk masam. "Jahat lo, Lun. Kebanyakan ngehina gue, bisa-bisa anak lo lahir mirip gue lagi. ya gak apa sih, secara gue cantik."

"Percuma cantik kalo jomblo." Luna tertawa senang. "Daripada lo mikirin Arka, mending lo cerita ke gue tentang boss baru lo itu. Tante Lia tuh semangat banget pas cerita dia nganterin lo pulang."

"Boss baru apa?" Tanya Mia tak percaya. Apa-apan maksud mamanya sampai bercerita ke Luna perihal Rey yang mengantarnya pulang. Bukan hanya itu, Mia tak habis pikir kenapa semua orang berpikiran yang sama seperti Mamanya.

"Kita gak punya hubungan apa-apa kok, Luna. He is my boss, and I work for him. Nothing special!" jawab Mia akhirnya. Lelah dipandangi tatapan tajam Luna. "Soal dia nganter gue pulang ya karena kebetulan aja. Yang ada ya, gue ngerasa hubungan gue sama dia itu malah makin buruk. buruk banget."

"Kata lo gak punya hubungan apa-apa. Tapi sekarang ngaku kalau hubungan kalian makin buruk."

"Hubungan antara boss sama bawahan maksud gue."

"Kenapa bisa gitu? Apa karena lo nolak cinta dia?"

"Astaga, Lun. Please deh, jangan sembarangan nuduh gitu!" Elak Mia cepat.

"Jadi karena apa dong. Give me details, Mia. Gak mungkin kan boss jadi jahat tiba-tiba ke bawahannya. Setahu gue kan elo pekerja yang handal, perfeksionis, jarang banget bikin masalah. Malah jadi kesayangan pemred sebelumnya. So why?"

Mia menghela nafas. Sepanjang usia persahabatannya dengan Luna, Mia selalu bercerita apa saja. Baik masalah pekerjaan, teman, keluarga hingga tanpa diberitahupun Luna tahu sendiri tentang perasaannya ke Arka. Namun untuk bercerita mengenai masalahnya dengan Reynald, Mia bingung hendak mulai dari mana. Ia sendiri tidak tahu ini bisa disebut masalah atau tidak. Sejak obrolan absurd mereka di perjalan itu Mia selalu berusaha menghindar jika bertemu Reynald. Di kantor, saat Reynald melintas di depannya, Mia akan berpura-pura sibuk sendiri. mengambil pulpen jatuh lah, sibuk bertanya mengenai pekerjaan ke siapa saja di dekatnya, atau apa saja asalkan ia tidak bertemu pandang dengan bossnya itu. Meski Mia sendiri tak tahu mengapa ia bersikap begitu. Sungguh ia ingin bersikap biasa-biasa saja, namun demi mengingat kejadian malam itu, saat dimana ia menuduh Reynald hendak melakukan tindakan macam-macam kepadanya, mendadak rasa malu dan canggung menyusup memenuhi dadanya. Alhasil, alih-alih bersiap biasa, Mia malah bertindak sebaliknya. Mungkin menghindar lebih baik. Terlebih saat ia sempat menangkap basah bossnya itu sedang menatapnya dengan tatapan tajam. Mungkin saja senin nanti Mia menerima surat pemecatan di meja kerjanya.

"Bukan masalah besar kok, Lun. Gue ngerasa gak enak aja ke beliau. Soalnya pas pemotretan edisi editorial bulan ini tuh gue ngelakuin kesalahan. You know, jadi konsepnya tuh pemotretan underwater gitu. Natural. Eh gue malah salah konsep pas make-up-in modelnya, dan ya begitu deh." Mia mengendikkan bahunya. Ia tak sepenuhnya berbohong. Ia memang melakukan kesalahan beberapa hari lalu. Tapi Mbak Julie lah yang memarahinya, sementara Reynald sedang pergi rapat bersama pimpinan majalah pusat di Singapore. Setidaknya Mia cukup bersyukur. Baru dimarahi Mbak Julie saja dia sudah takut setengah mati, apalagi kalau sampai Reynald tahu. Bisa-bisa sekarang ia sudah jadi pengangguran.

"Pemotretan underwater? Duh gue pengen deh foto hamil pake konsep kayak gitu. Tapi pas gue bilang ke Stefan malah diketawain. Katanya 'Kamu baru nyelup di air aja udah kelelep, yang.' Emang sableng laki gue." Balas Luna gagal fokus. " Eh balik ke obrolan kita deh. Terus, hubungan kalian jadi buruk gara-gara itu doang? Wajar kali, Mi. gue juga suka dimarahin boss kalau salah ngasih laporan. Abis itu besoknya biasa lagi. tapi kok elu kayaknya sampe baper gini sih? Jangan bilang lo---"

"Luna...Luna...Luna.... Stop berimajinasi yang enggak-enggak deh, bumil. Ingat orok, bu!" potong Mia cepat. Matanya melotot lebar saat Luna kembali ngotot ingin menyampaikan isi kepalanya. Mia sudah tahu apa itu. pasti intinya sama. Kembali menuduh ia memiliki hubungan tersembuyi dengan Reynald. Kenapa semua orang berpikir seperti itu ya Tuhan, jerit Mia dalam hati. Baik mamanya, ibu-ibu tetangga, sampai sahabatnya sendiri berpikir sedemikian rupa. Padahal Luna belum pernah sekalipun bertemu dengan Reynald. Dan Mia yakin, jika Mia cerita semua kejadian yang terjadi antara dirinya dengan Reynald, Luna pasti akan kehilangan imajinasinya itu dalam sedetik. Secara sahabatnya itu pernah meninju seorang cowok saat SMA dulu karena berani-beraninya menghadang Mia saat ke toilet.

Bukannya diam, Luna malah tertawa. Selama beberapa menit kemudian Mia hanya pasrah menjadi bahan olokan Luna. Bahan obrolan berubah meski masih berkutat seputar Mia. Dengan santainya Luna menyodorkan daftar nama pria untuk berkencan dengan Mia.

"Pilih aja salah satu di antara mereka, Mi. semuanya udah lewat proses seleksi ketat dari gue kok. Saran gue sih sama ini aja, namanya Danny. Arsitek. Temennya bang Andre. Daripada malam minggu lo kelabu mulu." Luna memulai profesinya sebagai marketing pria idaman-teladan di depan Mia.

Mia hanya mengangguk, menanggapi seadanya segala penjelasan Luna tentang nama, pekerjaan, hingga kebiasaan-kebiasaan pria yang disodorkannya. Ini bukan pertama kalinya Luna bertingkah seperti ini. sudah terlalu banyak lelaki yang dikenalkannya dengan Mia dan bisa ditebak, akhir kencan mereka selalu berakhir dengan sang pria yang menaruh harapan besar pada Mia, sementara Mia hanya menanggapi semuanya dengan cuek. Berkilah kalau lelaki yang ini kurang disinilah, terlalu agresif lah, tidak sesuai seleranya serta banyak alasan lainnya. Alasan yang berakhir menjadi jomblo duapuluh lima tahun, sementara semua temannya sudah mulai menyebar undangan hingga siap menimang anak sebentar lagi.

Untungnya semua penjelasan Luna cepat terpotong saat Stefan muncul menjemput istrinya.

"Hai Mia, hai sayangku!" sapa Stefan ramah. Menyuggingkan senyuman lebar kea rah Mia, dan semakin lebar saat melihat istrinya.

Stefan menarik kursi di sebelah Luna. Mengecup bibir Luna sekilas.

"Lama gak ketemu, gimana kabar lo, Mia?"

Mia tersenyum simpul. "Baik Papah Epan." Jawabnya riang. "Papah darimana aja, masa mamah belanja gak ditemanin sih?"

"Jiah... gak kebayang gue punya anak kayak elo, Mi." Stefan tertawa melihat Mia yang pura-pura menjadi anaknya. "Tadi papah abis nyari duit, anakku. Biar mamah kamu makin sneeng belanjanya. Kan bentar lagi kakak Mia mau punya adik. Gak liat perut mama kamu udah kayak ikan paus?" Balas Stefan akhirnya.

Mia tertawa lepas. Disambut oleh Stefan yang tidak bisa tertawa lebih lama karena keburu dicubit oleh sang istri.

"Ampun, sayang!" Stefan merintih kesakitan sambil mengusap pinggangnya. Luna memberikannya tatapan tajam.

"Gara-gara siapa badanku gede gini? Kamu kan? Sembarangan aja ngejek istri hamil." omel Luna lagi. Stefan hanya menyengir tak tahu malu. Meminta pertolongan dari Mia.

"Emangnya lo darimana, Fan? Masa sabtu masih kerja aja sih." Mia bertanya.

"Namanya aja udah nikah, Mi. bentar lagi punya baby, jadi gue harus kerja lebih giat lagi." jawab Stefan bangga. "Kan gak selamanya kita numpang di rumah emak gue."

"Jadi lo mau pindah? Udah dapet rumahnya?"

Lagi, Stefan menynggingkan senyum penuh kebanggan. Ia melirik Luna, membiarkan istrinya itu menjawab pertanyaan Mia.

"Alhamdulillah udah, Mi." jawab Luna tersenyum lebar. "Tapi pindahannya masih seminggu atau bisa lebih deh. Masih nyicil perabotan dulu."

"Ya ampun, Luna, Stefan... selamat ya!" seru Mia tak kalah semangat. "Pantes aja badan lo makin kurus, Epan. Ternyata banting tulang demi keluarga, ya. gue terharu. Pokoknya kalau kalian butuh bantuan bilang aja ke gue. Lagian kenapa baru bilang sih?"

Stefan tersenyum sumringah. "Rencananya malah mau bilang nanti pas udah pindahan, Mi. sekalian syukuran rumah baru gitu."

"Gue pasti dateng!" seru Mia lagi.

"Harus dong." tambah Luna tak sabaran. "Pokoknya elo, Arka, harus datang dan berhubung Arka bawa pacarnya, lo juga harus bawa pasangan ya, Mi. makanya sekarang gue mati-matian maksa lo sama si Danny ini."

Raut gembira di wajah Mia langsung hilang, digantikan dengan wajah cemberut miliknya.

"Emangnya harus? Gue ajak Pram aja deh."

"Temen lo yang melambai itu? No!"

Stefan terbahak melihat ekpresi kekalahan di wajah Mia. seperti Ayah yang perhatian, diusapnya rambut Mia. "Yang sabar ya, jomblo"

"Kalian jahat." Sungut Mia kesal. "Gue udah biasa kok datang sendirian. Mana tau seminggu ke depan Arka udah putus, yaudah deh, hilang tuntutan gue harus bawa pasangan."

"Putus apaan? Orang tadi gue liat mereka pas di lampu merah kok. Mesra banget." Celetuk Stefan tiba-tiba.

Mia otomatis tercekat. Kenapa hari ini berita tentang Arka selalu diiringi dengan kehadiran pacarnya yang sok imut itu.

"Pokoknya ya, Mi, gue gak mau tahu. Mau siapa pun itu, lo harus bawa pasangan. Oke? Nih profil sama kontaknya Danny. Gue udah ngasih nomor lo ke dia, kok. Selamat mencari pasangan, sayang!" Ujar Luna saat sadar sahabatnya mulai dirundung kegalauan lagi.

Mia mengangguk lesu. Tidak ada salahnya mencoba. Ia menyimpan kertas berisi profil lelaki bernama Danny itu ke dalam handbagnya. Untuk beberapa waktu ke depan, ia hanya diam. mengamati interaksi sepasang suami istri di depannya itu.

"Yang, aku mau pipis nih. Ke belakang dulu, ya. Mia, temenin gue yuk!" Luna mendorong kursinya.

Mia mengangguk. Mengikuti Luna ke toilet.

"Jangan bilang sekarang lo lagi galau gara-gara apa yang dibilang Stefan, Mi." Tebak Luna saat melihat ekspresi wajah Mia kembali kusut.

"Apaan sih? Gue biasa aja kok." Jawab Mia sekenanya.

"Percaya aja deh." Luna tersenyum sinis. Ia berjalan mendahului Mia. sementara sahabatnya memilih menunggu di luar. Saat sedang memerika ponselnya, Mia merasa ada seseorang yang memanggil namanya. Ia memutuskan untuk mengabaikannya saja. Bisa jadi itu panggilan untuk orang lain yang kebetulan bernama sama dengannya.

"Kak Mia!!!"

Kali ini suara yang memanggil namanya terdengar lebih nyaring disertai suara langkah kaki yang berjalan buru-buru. Mia otomatis menggerakkan kepalanya. Menyapu keadaan sekeliling. Dan tepat tak jauh tiga meter darinya, Tira tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya ke arah Mia.

Kaget, Mia melangkah mendekati Tira. Gadis kecil itu semakin tersenyum lebar.

"Tira, kok bisa disini? Sama siapa?" tanya Mia seraya berjongkok. Menyamakan tinggi badannya dengan Tira. Gadis itu langsung melompat-lompat minta dipeluk. Mia sedikit kewalahan disergap begitu. Kakinya berusaha menjaga keseimbangan di atas sepatu berhaknya. Tapi Mia tetap tertawa menyambut ciuman Tira.

"Itu, sama Papa." Satu tangan Tira merangkul leher Mia, satu lagi menunjuk ke arah luar. Mia mengikutinya dengan leher yang terasa kaku. Tepat tak jauh dari tempat mereka, Reynald sedang berdiri di luar toilet. Menyandar di dinding sambil menekuri layar ponselnya. Sebelah tangannya menenteng paper bag dari brand ternama, dan ia hanya bisa menelan ludah penuh keirian saat Tira berkata; tadi aku abis belanja baju, Kak. Bagus-bagus banget bajunya. Seingat Mia, pengalaman pertamanya berbelanja barang branded seperti itu saat awal kuliah. Mati-matian mengumpulkan uang dari hasil kerja di toko kue Mamanya sendiri.

Mia hanya tersenyum tipis. Bersyukur karena Reynald belum menyadari keberadaanya. Percuma saja ia menghindar bertemu langsung di kantor kalau ujung-ujungnya bertemu juga di luar. Mia mengutuk dalam hati, kenapa sepertinya semesta begitu senang mempertemukannya dengan bossnya itu.

Namun perasaan lega Mia hanya berlangsung beberapa detik. Karena sesudahnya, Reynald menoleh ke arah pintu toilet wanita. Memastikan apakah anaknya sudah selesai atau belum. Dan saat itulah pandangannya bertemu dengan mata Mia. Ia bisa merasakan senyum perempuan itu perlahan memudar begitu melihatnya.

Kepala Reynald mengangguk perlahan. Menyapa ramah Mia lewat anggukan kepalanya. Gadis itu balik mengangguk, tersenyum kaku, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Tira.

"Hai, Mia!" Reynald akhirnya memutuskan untuk mendekat.

"Hai, pak!" Mia balas menyapa. Ia kembali tersenyum kikuk. Apa lagi alasannya saat ini? tidak ada pulpen yang bisa pura-pura dijatuhkannya. Tidak ada juga orang lain yang bisa diajaknya membicarakan masalah pekerjaan tiba-tiba. Jadi yang dilakukan Mia hanya berusaha bersikap biasa.

"Habis belanja, pak?" tanya Mia penuh basa-basi.

Reynald tersenyum tipis. Mengangkat tentengan di tangannya.

Mia menghela napas pelan-pelan. Fakta bahwa Luna sedang berada di dalam toilet sana membuatnya semakin bimbang. Baru saja sahabatnya itu ngotot minta diberi kejelasan tentang hubungannya dengan sang boss, dan sekarang tiba-tiba mereka berada di suatu tempat yang sama. Semoga saja Luna tidak bertanya macam-macam begitu keluar nanti. Karena seingatnya, Mia tidak pernah bilang kalau Reynald lah ayah angkat dari Tira.

"Kamu sendiri?" Reynald bertanya.

"Sama temen, pak. Ini lagi nungguin dia di dalem." Jawab Mia. menunjuk pintu toilet wanita.

"Tira, udah selesai kan? Mau pulang sekarang?" kali ini Reynald bertanya pada Tira. Gadis kecil itu mengangguk. Mia otomatis mendesahkan nafas lega. Cepat pulang sana, jangan sampai ketahuan Luna.

"Kak Mia, aku pulang dulu ya! kapan-kapan main ke rumah dong. boleh kan, Pa?"

Reynald mengangguk.

"Kalau sempet ya, Tir. Abis boss aku suka ngasih banyak pekerjaan." Sahut Mia sambil melirik wajah datar Reynald.

"Janji ya, Kak?" Tira mengacungkan jari kelingkingnya. Mia membalasnya dengan jepitan kelingking juga.

"Janji, sayang." Dikecupnya kedua pipi Tira. "Hati-hati ya pulangnya. Daag!"

Mia menganggukkan kepalanya sekali lagi kea rah Reynald sebelum sepasang ayah-anak itu pergi dari hadapannya. Saat sosok mereka benar-benar hilang, barulah Mia bisa mendesahkan nafas lega. Ternyata pertemuan mereka tak sesulit yang dikira Mia. Reynald masihlah atasannya yang berwajah datar. Dilihat dari sikapnya yang begitu, Mia yakin pria itu sudah melupakan kejadian memalukan di mobil. Setidaknya Mia bisa beraktivitas tenang saat ke kantor nanti. Tak perlu repot-epot bermain petak umpet dari bossnya lagi.

Saat ia berbalik badan, Luna sudah berdiri sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Seperti biasa, sahabatnya itu menatapnya dengan tatapan penuh ingin tahu.

Mia menyengir. "Udah selesai, Lun?"

"Tadi siapa?" bukannya menjawab, Luna malah balik bertanya.

"Tira. Adik gue yang di panti itu. jadi ada keluarga yang mau ngadopsi dia. Masih tahap adaptasi sih sekarang. tadi itu Ayah angkatnya."

"Kalau itu sih gue tau, Mia. yang gue tanya itu, cowok yang sama dia itu siapa?"

"Kan gue udah bilang, itu ayah angkatnya, Lun."

"Serius lo? Udah nikah dong. sayang banget."

Alis Mia bertaut. "Sayang kenapa? Laki orang coy!"

"Kirain gue abangnya atau omnya gitu, Mi. masih cakep soalnya. Terus cuma jalan berdua lagi. istrinya kemana?"

"Istrinya... mmm... gak tau sih, mungkin di rumah kali." Jawab Mia sekenanya. Malas memberitahu Luna kalau ayahnya Tira tadi seorang duda. Sekarang saja Mia bersyukur bukan main karena Luna tidak tahu bahwa Ayah Tira tadi adalah Reynald yang otomatis bossnya di kantor. Ia tak terbayang pertanyaan jenis apa yang akan dilontarkan Luna kalau tahu semuanya.

"Sayang udah punya istri. padahal kalau gak, mau gue paksa buat pacaran sama elo. Cocok deh kayaknya." Celetuk Luna tiba-tiba. Mia hanya menyengir. "Oh iya, Mi. bener gak sih kalo kita sering ngomongin orang pas lagi hamil ntar anaknya bakal mirip orang yang kita omongin?"

"Kata orang sih gitu. Kenapa emangnya?"

Bibir Luna tersenyum lebar. Matanya menerawang seperti sedang membanyangkan sesuatu yang aneh. "Sayangnya gue gak kenal dia, Mi. kalau kenal, gue rela deh omongin dia sepanjang hari biar kalau anak gue lahir bisa secakep itu."

"Dia siapa?"

"Cowok tadi, Mi. papanya si Tira itu. gue mau anak gue gedenya cakep kayak dia."

******

It's been long time, guys! terakhir apdet itu sekitar Mei, sekarang udah Oktober aja. lima bulan juga coy. gilaaa udah kaya usia kandungannya si Luna ya. haha. Maapken saya ya.

untung-untung masih ada yang baca cerita ini, kalau masih ada yang baca, jangan lupa divote ya, dikomen juga. biar aku gak lupa diri lagi. biar ceritanya cepet diapdet. bye.

selamat membaca. asli susah banget bikin satu chapter ini. ngumpulin feel cerita yang udah tercerai berai itu susah ternyata. kalau kurang memuaskan maafkan ya....

Bye...





Continue Reading

You'll Also Like

29.3K 7.2K 11
Swipe right. Dua kata yang tidak asing untuk pengguna dating apps. Bermula saat Liora merasa iri dengan teman-temannya yang sudah punya pacar, akhirn...
1.8M 219K 68
"Daripada galau tiap hari, kenapa nggak nikah sama gue aja? You know me. I'm a good man. Cowok kampret takut komitmen gitu buat apa dipertahanin?" -S...
159K 27.1K 21
Mili sangat membenci kondisi ini. Dikejar-kejar oleh Mamanya sendiri yang mau menjodohkannya. Bahkan, titah untuk menikah sebelum usia 24 tahun terus...
75.7K 14.3K 12
DRUNK DIAL verb past tense: drunk dialed; past participle: drunk dialed: make a phone call to (someone) while drunk, typically one that is embarrassi...