RELATIONSHIT

By captcheese

1.2M 70.5K 1.9K

Ketika Kinar dan Aric sama-sama saling jatuh cinta pada akhirnya, tetapi sesuatu menghalangi mereka dan membu... More

Satu~
Dua~
Tiga~
Empat~
Lima~
Enam~
Tujuh~
Delapan~
Sembilan~
Sepuluh~
Sebelas~
Dua Belas~
Tiga Belas~
Empat Belas~
Lima Belas~
Enam Belas~
Tujuh Belas~
Delapan Belas~
Sembilan Belas~
Dua Puluh~
Dua Puluh Satu~
Dua Puluh Dua~
Dua Puluh Tiga~
Dua Puluh Empat~
Dua Puluh Enam~
Dua Puluh Tujuh~
Dua Puluh Delapan~ {END}

Dua Puluh Lima~

49.4K 2.1K 153
By captcheese

KINAR berdiri di depan sebuah meja kerja yang berserakan dengan kertas-kertas.

Di dekat meja itu terdapat sebuah kursi empuk yang kosong. Layar computer di atas meja masih hidup dan menunjukkan sebuah dokumen. Ruangan yang besar itu bisa membuat Kinar kepanasan. Gerah. Padahal sudah ada AC yang dihidupkan.

"Saya heran kenapa ada anak yang cukup keras kepala seperti kau."

Kinar menghela napas. Dari sudut matanya, ia bisa melihat jika pria berumur hampir setengah abad itu berdiri di depan kaca jendela besar mengarah ke jalan raya. Pak Arjuna-ayahnya Kinar sedang memperhatikan jalanan yang macet.

"Kenapa kau susah sekali diatur?" Tanya Pak Arjuna.

"Karena ayah tidak memberikan kebebasan-sedikit saja untukku." Jawab Kinar dengan sengit.

Pria itu berbalik dan menatap Kinar dengan tajam. "Terpaksa saya batalkan pertemuan dengan Pak Hendra."

"Kalau bisa, tidak usah bertemu saja."

"Tinggal menjawab lamarannya saja kenapa? Apa susahnya berkata iya?"

Kinar mendengus. "Apa susahnya memberikan aku kebebasan?"

"Jangan bertanya! Jawab saja!"

"Kenapa memaksa sekali? Ayah nggak pernah ngerti aku!"

Pak Arjuna mendengus dan menatap Kinar dengan tajam ke manik mata Kinar. "Kau... Cepat katakan kau terima lamaran itu. Setelah kau terima lamaran itu, saya tidak akan mencampuri kehidupanmu lagi. terserah kau mau melakukan apa. Dan perusahaan ini, terserah kau mau menjalankannya atau tidak. Jika kau menerima lamaran Angga-yang melamarmu itu, Angga yang akan menjalankan perusahaan ini. Bagaimana?"

Kinar terdiam. Ayahnya sudah menawarkan pilihan yang bagus sekali menurutnya. Jika ia menerima lamaran Angga, hidupnya akan bebas. Ia bisa kembali bercanda dengan teman-temannya, ia bisa bertemu kakak dan ibunya, dan ia juga bisa...

Kinar terdiam. Ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Sesuatu yang mungkin bisa jadi membuatnya menolak lamaran Angga itu. Aric. Tapi...

Kinar menghela napas terlebih dahulu. "Aku mene-"

Entah bagaimana, seseorang membuka pintu ruangan kerja ayahnya dan langsung masuk ke dalam tanpa izin.

Kinar menoleh dan terkejut. Ia mungkin harus ke dokter untuk mengecek apakah jantungnya masih ada atau tidak.

Aric-baru saja ia pikirkan, langsung hadir di dalam ruangan itu. Dengan mukanya yang masih babak belur dan jalannya agak pengkang, tapi ia kini sudah berdiri dan berani menatap tajam Ayah Kinar.

"A-aric!" pekik Kinar pelan. Sumpah, ia terkejut dan masih terkejut. Bagaimana bisa seorang Aric menuju kesini? Oh, Kinar lupa. Aric selalu keras kepala dan seorang yang paling nekat dalam berbuat sesuatu.

Aric menoleh dan menyunggingkan sebuah senyum kecil di bibirnya yang sudut bibirnya sedikit koyak dan berdarah. Kemudian Aric kembali menatap pria yang masih dalam keterkejutannya.

"Siapa kau?" Tanya Pak Arjuna dengan nada yang agak sedikit mencerminkan kekagetannya.

Aric tersenyum sopan. "Maaf saya langsung menyelonong masuk ke ruangan Anda, Pak Arjuna. Dan maaf saya sudah menghajar satpam-satpam Anda di bawah yang tidak memperbolehkan saya masuk. Dan sekali lagi, saya minta maaf karena mengacuhkan ucapan asisten Anda dan mohon jangan pecat dia."

Kinar melongo. Dalam hal yang cukup nekat dan penuh resiko ini, Aric masih sempat-sempatnya berkata seperti itu. Dia memang sudah gila.

Aric kembali berbicara. "Perkenalkan saya adalah Alaric Aldrin Nachla. Agar lebih akrab, panggil saya Aric. Saya temannya putri Anda yang bernama Kinar."

Pak Arjuna mengerutkan keningnya. Ia menatap Kinar yang terbengong melihat Aric, lalu menyeret pandangannya kembali ke Aric. "Jadi apakah kau sudah diajarkan oleh orang tuamu untuk bersopan santun?"

"Orangtua saya sudah mengajarkan saya dan adik saya untuk bersopan santun. Dan tadi saya sudah minta maaf. Saya menyelonong masuk kesini dengan satu tujuan. Yaitu menjelaskan Anda sesuatu yang menyangkut Kinar dan masa depannya." Jawab Aric dengan tenang dan tanpa dosa.

Kinar menggelengkan kepalanya. Tak percaya dengan apa yang lagi Aric lakukan. apa yang ada di pikiran cowok itu sekarang? Ia sudah dipukul sampai wajahnya babak belur seperti itu, tapi masih belum kapok juga.

"Oh? Apa itu?" Tanya Pak Arjuna yang tampaknya tertarik dengan tujuan Aric ke ruangannya.

Aric terlebih dahulu menatap Kinar dan melempar senyum. Lalu ia membuka mulut dan menatap Pak Arjuna. "Saya memang bukan siapa-siapa disini. Saya hanya seorang pemuda yang sedang mencari banyak hal. Saya hanya ingin Anda tidak memaksa Kinar untuk menjawab lamarannya tadi-maaf, saya tadi sempat menguping sebentar."

Jantung Kinar hampir copot. Ia kini hanya bisa diam mendengarkan Aric menjelaskan semuanya dan ayahnya yang mungkin akan membantah dengan sarkatis.

Aric kembali melanjutkan sebelum Pak Arjuna menyela. "Jodoh tidak bisa dipaksakan. Ini bukan jaman Siti Nurbaya. Lagipula tidak ada orang yang mau dijodohkan dengan orang yang tidak mereka kenal bukan? Saya tau Anda dan istri Anda memang dulunya dijodohkan. Tapi jaman Anda dan sekarang sangatlah berbeda jauh."

Kinar masih tidak percaya. Bagaimana Aric tau semua itu? Sampai-sampai Aric tau jika ayahnya dan ibunya dulu dijodohkan?

Kinar merasa ia tidak pernah menceritakan itu pada Aric. Ia hanya menceritakan jika kedua orang tuanya berpisah tapi belum bercerai hingga sekarang.

"Ayah saya memang bukan pemilik tambang minyak atau perusahaan bisnis. Ayah saya hanya direktur perusahaan music yang tidak terlalu terkenal. Dan saya yakin ayah saya bukan saingan berat Anda seperti teman Anda yang mempunyai anak untuk dijodohkan pada Kinar. Saya juga tau jika Kinar akan menolak lamaran itu, Anda pasti akan memaksa dengan segala cara sampai Kinar menerimanya. Walau itu memakai kekerasan fisik." Aric masih melanjutkan pidatonya.

Kinar kembali terperanjat. Apa-apaan ini? Malah Aric yang mengutarakan semua yang ada di pikiran Kinar. Ya ampun.

Tapi yang anehnya, ayahnya masih diam dan sibuk manggut-manggut mendengar pidato yang Aric sampaikan.

"Saya ingin memberitahu Anda jika saya mencintai anak Anda. Saya juga ingin Kinar menjadi milik saya, bukan milik orang lain." Kayaknya Aric mengakhiri pidatonya.

Ingin sekali Kinar menepuk tangan keras-keras dan tersenyum bangga serta menitikkan air mata bahagia pada Aric. Dan ia juga ingin berlari untuk memeluk Aric. Tapi...

"Kau tidak punya hak untuk membuatku tidak memaksa Kinar untuk menerima perjodohan dan lamaran itu. Jadi jangan ikut campur urusan saya dan Kinar! Sekarang silahkan keluar dari ruangan ini sebelum-"

Aric menyela Pak Arjuna. "Saya tadi memang sudah dipukuli. Saya rela dipukuli lagi hingga saya pingsan atau mungkin mati. Itu demi Kinar. Kata orang, cinta itu memang butuh pengorbanan besar. Dan inilah pengorbanan saya untuknya. Saya ingin membebaskannya dari Anda yang seperti dictator yang tak punya hati. Takdirnya bukan di tangan Anda tapi ada pada Tuhan. Dan pilihan ada di tangan Kinar. Saya akhirnya tau mengapa anak dan istri Anda meninggalkan Anda. Mereka tidak suka sifat Anda yang memaksa, seperti dictator dan egois.

"Anda boleh saja egois. Jika kita tidak egois, harga diri akan diinjak. Tapi egois Anda terlalu berlebihan dari garis batas. Anda hanya memikirkan diri sendiri dan kehidupan Anda. Anda tinggalkan anak dan istri Anda. Tapi istri Anda tidak menceraikan Anda karena suatu hari ia tau jika Anda akan berubah dari sifat ini. Walaupun Anda sudah sering menghancurkan harapannya."

Kinar makin terkejut dengan perkataan Aric yang cukup menohok. Bahkan Pak Arjuna juga terkejut. Aric... ia sudah berbicara kelewatan batas. Memang semua itu benar-malah benar banget.

Kinar malah senang Aric berbicara blak-blakan seperti itu agar ayahnya sadar. Tapi ia tau jika nanti ayahnya bakal...

Ayahnya langsung terjatuh dan terkapar di lantai. Tangan kanannya menyentuh dada kirinya. Matanya melotot. Mulutnya memekik lirih. Kinar langsung berlari dan berlutut di sisi ayahnya.

"Ayah..." Kinar memanggil ayahnya dengan lirih.

Ayahnya membuka mulut, tapi tidak mengeluarkan suara. Aric ternyata keluar ruangan dan kembali dengan membawa beberapa orang.

"Cepat panggil ambulans." Seru Kinar yang mulai ketakutan. Jangan lagi...

--------------------------------------------------------------------------

Sedaritadi Kinar berjalan mondar-mandir di depan sebuah ruangan. Di atas pintu ruangan itu terdapat lampu yang dihidupkan akan berwarna merah. Dan lampu itu memang sedang dihidupkan, pertanda jika operasi masih dilaksanakan.

Sesekali Kinar berhenti mondar-mandir dan berdiri di depan pintu. Jari-jarinya sedaritadi diremas-remasnya. Ia kalut. Takut. Bingung. Cemas.

Kinar kembali berjalan mondar-mandir hingga seseorang menariknya duduk dalam sekali tarikan.

"Aric..." Kinar mulai menangis. "Ayah, Ric. Ayah."

Aric menarik Kinar ke dalam pelukannya. Ia mengelus rambut Kinar dengan pelan. "Sudah. Sudah. Berdo'a aja semoga bokap lo masih baik-baik aja."

Kinar mengangguk. Tiba-tiba kecemasannya hilang sedikit. Rasa nyaman dan hangat menyelimuti tubuhnya.

"Ini kesalahan gue. Kalo gue gak ngomong gituan, pasti bokap lo gak begini jadinya." Kata Aric dengan lirih.

Kinar melepaskan pelukan Aric dan menatap Aric. "Bukan kesalahan lo kok. Kalo pun lo gak datang dan gue nolak lamarannya itu, bokap gue pasti juga bakal kayak gini."

Aric menghembuskan napas. "Tapi ini gara-gara gue."

"Udahlah, Ric. Yang terjadi biarin aja terjadi. Kecuali kalo lo punya tombol reset."

Keduanya terdiam. Sesekali Kinar melirik lampu itu dan pintu ruangan operasi.

Aric memecahkan keheningan. "Bisa gak lo balikin badan lo?"

Kinar menatap heran Aric. "Buat apa?"

"Udah. Turutin aja. Entar bakal tau kok."

Kinar menurut. Ia berbalik. Kini ia memunggungi Aric. tiba-tiba ia merasa jika Aric akan memeluknya dari belakang. Tapi ternyata bukan. Aric memasangkan sesuatu di lehernya.

"Sip. Sekarang lo boleh balik lagi." kaat Aric.

Kinar menghadap ke Aric. ia menunduk dan melihat jika kalung keberuntungannya itu sudah bertengger di lehernya lagi. ia menatap Aric dan tersenyum. "Makasih."

Aric menggeleng. "Harusnya gue yang ngucapin makasih. Berkat kalung itu, keluarga gue masih utuh aja. Entah kalung itu kok bisa buat gituan. Dan mungkin kalung itu yang bikin gue bisa ketemu lagi sama lo."

Kinar tersenyum. "Makasih karena masih nyimpan kalung ini."

"Rencananya sih gue mau buang. Soalnya pemiliknya gak balik-balik. Tapi entar kalo ketemu pemiliknya dan denger kalo kalungnya udah gue buang, pasti bakal langsung nangis darah. Kan gue nggak tega." Kata Aric sambil tersenyum jahil.

Kinar mencubit lengan Aric. "Rese."

Aric hanya tersenyum.

"Lo... kok bisa ngomong begituan tadi itu?" Tanya Kinar.

"Yaaa... itu semua karena lo, Kin. Kalo bukan karena lo, gue gak bakal senekat itu. Tadi itu gue habis dipukulin, terus pingsan, pas sadar ya gue langsung pergi ke perusahaan bokap lo-gue tau karena habis kepoin nyokap lo sih. Gue gak mau lo jadi milik orang lain. Kalo lo jadi milik orang lain berarti selama ini gue sia-sia nungguin lo. Dan gue gak tau gimana kok gue bisa ngomong nyablak dan menohok banget. Padahal tadi skenarionya gak segitu amat."

Kinar mengangkat alisnya. "Skenario?"

"Iya. Pas perjalanan ke perusahaan bokap lo, gue nyusun scenario dulu buat ngadepin bokap lo." Jawab Aric.

Kinar tersenyum. Ia memandang wajah Aric yang babak belur. Tangannya langsung terulur untuk menyentuh pipi Aric yang membiru. Aric memekik pelan. Kinar langsung menurunkan tangannya.

"Sakit banget ya?" Tanya Kinar khawatir.

"Nggak juga. Tadi udah dikompres sama diobatin temen kok." Sahut Aric.

"Bener?"

"Iya. Tanyain aja temen gue."

Kinar manggut-manggut. Ia terdiam sejenak menatap lantai rumah sakit. Lalu mulutnya tiba-tiba terbuka dan berbicara. "Gue sebenarnya... Gue juga-"

"Kinar!"

Kinar menoleh ke belakang dan menemukan ibu dan kakaknya yang berlari di koridor menghampiri dirinya. Kinar langsung bangkit dan berlari memeluk ibunya dan kakaknya.

"Ibu..." panggil Kinar dengan lirih. Kini ia menangis lagi.

Ibunya mengelus-elus rambut Kinar. Lalu mereka berbincang sebentar untuk menghilangkan rasa rindu selama empat tahun.

"Bu, Ayah, Bu." Kata Kinar.

"Iya, Sayang. Aric tadi udah ngasih tau lewat telpon." Kata ibunya menggenggam tangan Kinar.

Kinar menitikkan air mata. "Harusnya aku langsung terima aja lamarannya biar Ayah gak kayak gini."

"Sebenarnya itu karena gue, Kin. Bukan elo." Protes Aric.

"Kalian berdua udah ngelakuin hal benar kok. Ayah emang harus dapat pelajaran biar sadar." Kata Kak Naomi.

Ibunya menghela napas. "Naomi..."

Kak Naomi langsung mingkem. Mereka berempat kini duduk di depan ruang operasi. Hingga lampu telah dipadamkan dan pintu ruangan itu terbuka.

Kinar langsung tegak dan berjalan menghampiri dokter. "Dok, gimana ayah saya?"

Dokter itu menghela napas. "Pak Arjuna mengalami stroke yang lumayan parah."

Kinar terdiam. Lalu ia bertanya. "Stroke?"

"Iya. Apa Pak Arjuna pernah mengalami stroke sebelumnya?" Tanya Dokter itu menatap tajam Kinar.

Kinar menelan ludah. "Enam bulan yang lalu, ayah saya terkena stroke ringan. Beliau sudah menjalani fisioterapi beberapa minggu dan Alhamdulillah berhasil."

"Kalau begitu, Pak Arjuna harus mengikuti fisioterapi lagi. Ya walaupun harus berbulan-bulan dan kondisinya tidak akan fit seratus persen. Tapi saya tegaskan jika stroke ini lebih kuat. Saya ragu jika kondisinya tidak bisa seperti dulu. Dan..."

Dokter itu berhenti sejenak. "Ini merupakan sebuah keajaiban jika Pak Arjuna siuman. Tapi kalau tidak... kita hanya bisa pasrah. Kami sudah melakukan sebisa mungkin. Dan kalau pun beliau siuman, mungkin saya akan memvonisnya jika ia akan lumpuh."

Bagaikan disambar petir di siang bolong, Kinar tak percaya dengan apa yang didengar. Dokter itu menepuk ringan pundak Kinar dan memohon diri. Kinar menundukkan kepalanya dalam-dalam. Menyesali perbuatannya.

Ini bukan kesalahan Aric. Kalau aja Kinar mengikuti keinginan ayahnya dari awal, pasti gak akan kayak gini. Gak akan.

Sepenuhnya, Kinar menyesal. Sangat menyesal.

-----------------------------------------------------------

(A/N):

Oh, ya. Sebelumnya aku minta maaf. Tapi untuk kelanjutan cerita Relationshit udah aku masukin ke mode privacy. Yang mana tinggal tiga part lagi.

Jadi gimana dong kalau mau baca cerita selanjutnya tapi gak bisa kebuka?

Berarti kamu harus follow aku dulu. Baru bisa lanjutin bacanya. Kalau masih gak bisa walau kamu udah follow aku, coba delete Relationshit dari library, terus kamu add lagi. Pasti bisa deh.

Aku bukannya gila angka followers. NO! Aku hanya mau membuat cerita aku ini masih dalam safe zone dari penjahat penjiplak yang mungkin akan datang. Walau cerita aku ini labil, seenggaknya aku udah sedia payung sebelum hujan, ya gapapa kan.

Maaf membuat kalian gak nyaman.

With love, Captcheese.

Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.7M 63K 28
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
2.6M 350K 34
"Emang kenapa kalau jam sebelas kembar?" "Katanya bisa ngabulin permohonan. Lo nggak tahu?" "Nggak, nggak suka percaya gituan." Jaebi Immanue...
27.2K 1.4K 54
Follow dulu sebelum baca .. + .
11.4K 1.3K 4
Keysha kayak nggak suka sama cowok, bisa dibilang benci. Namun, ia harus terima kenyataan tetanggaan dengan cowok aneh. Bagaimana tidak, pertemuan pe...