Me And Ketua Rohis (√)

By Rosangelynz

902K 54.2K 2.5K

Bersiaplah untuk jatuh cinta! Niat awal Airi masuk Rohis itu Cuma buat PDKT sama ketua Rohis ganteng yang gam... More

Part #1. Jodoh dari Tuhan
Part #2. Seleksi
Part #3. 999 Kemungkinan
Part #4. Ke-gap? Eh
Part #5. Jatuh Dengan Mengenaskan
Part #6. Naura's Power
Part #7. Nastar Keju Rasa Cinta
Part #8. Jarak
Part #9. Strategi [1]
Part #10. Strategi [2]
Part #11. Kerikil
Part #12. Sebuah Tawaran
Part #13. Roti Baper dan Perdebatan Milk Tea
Part #14. Hukuman Belalang Sembah
Part #15. Nyungsep
Part #16. Lesung Pipi
Part #17. Mas-mas Rumpi
Author Note
Epilog
spin-off? up!

Part 18#. Surat Aqsal Untuk Airi

47.4K 2.9K 336
By Rosangelynz



A/N:

//Duh maaf ya, updatenya lama banget terus tiap update pasti minta maaf:"( pengennya sih nggak ngaret tapi susah, tiap hari yang diliat faktur. 7/6, 8/24 duduk di depan komputer, entry data, bikin laporan dan bla bla bla. Kepala gue seolah buntu buat nyari bahan cerita. ditambah kurang piknik :"v habis liburan Cuma dipake buat molor sama nonton drakor, gak ada inspirasi. Susah nyusun cerita. Moga aja part ini nggak mengecewakan ya. Oh ya, siapa yang tahun depan kuliah? Ada yang mau ke manajemen? Ato teknik informatika ga?//



"Aqsal!"

Airi buru-buru menghapus jejak air mata di pipi begitu mendengar suara menyebalkan memanggil nama Aqsal. Diiringi derap langkah yang kian mendekat. Airi bergegas pergi menjauh, meninggalkan Aqsal yang masih membatu di tempatnya berdiri.

Aqsal diam tak merespon, bukan berarti mengiyakan. Dia hanya bingung. Sekarang gini, deh. Gimana nggak bingung coba kalo cewek yang gencar-gencarnya PDKT dengan segala metode—mulai dari yang aneh sampe ekstrem—mendadak mempertanyakan pendapat Aqsal tentang cewek yang ngejar cowok itu gimana?

Murahan, kah?

Hina?

Nggak punya harga diri?

Atau bahkan, gampangan?

Pertanyaan yang Airi lontarkan jelas saja membuat Aqsal membisu. Aqsal blank. Butuh beberapa detik untuk mendapatkan kembali kendali atas otak dan tubuhnya. Airi sudah pergi menjauh saat Aqsal tersadar kalo diam yang ia lakukan tadi memberikan persepsi lain untuk Airi.

Airi sekarang pasti berpikir kalo Aqsal setuju dengan pendapat itu. Aqsal menggigit pipi bagian dalamnya, gusar. Sekarang Aqsal mulai mempertanyakan darimana Airi mendapat pemikiran seperti itu?

"Airi!" panggil Aqsal cemas karena Airi sudah melangkah terlalu jauh.

Pertama yang harus Aqsal lakukan adalah bertanya pada Airi dari mana pemikiran –yang menurut Aqsal—konyol itu berasal. Sayangnya, niat untuk menyusul Airi tertahan karena Gladis berdiri menghadang jalannya. Senyuman merekah di wajah Gladis.

Aqsal tersenyum rikuh.

"Sal, gimana persiapan buat kegiatan di panti nanti? Aku sama Revan kesini mau bantuin," kata Gladis ramah.

"Ngg... itu," Aqsal mengendarkan pandangan, Airi sudah menghilang dari jangkauan pandangnya. "tinggal mindahin barang-barang yang mau disumbangin ke mobil pick up," papar Aqsal sambil lalu.

Gadis menggerakan kepalanya ke kiri, berusaha menarik perhatian Aqsal yang malah terlihat sibuk melongok melewati tubuh Gladis yang semampai. "Barang-barangnya mana, Sal?" tanya Gladis tidak gentar menarik perhatian Aqsal.

Aqsal menggeser bahu Gladis,matanya menyipit saat merasa melihat cewek berpostur mirip Airi. "Kamu tanya Adiba aja ya, aku masih ada urusan sama Airi," kata Aqsal sukses melunturkan senyuman di wajah Gladis. Tanpa memperdulikan itu, Aqsal pergi begitu saja.

Gladis merepet nggak jelas. Kesel gara-gara dikacangin Aqsal.

***

Aqsal merasa Airi berbeda. Setelah kabur dari Gladis, Aqsal memang menemukan Airi yang sedang membasuh wajah di pancuran belakang ruang kepala sekolah. Saat Aqsal memanggil, Airi juga menjawab dan tersenyum lebar. Senyuman yang terlihat berbeda dari biasanya, bukan senyuman menggoda yang biasa muncul—ini nggak berarti Aqsal pengen di goda ya, bukan juga senyuman konyol atau mupeng yang hampir tiap saat hadir. Aqsal bingung ngejelasinnya gimana. Pokoknya beda, deh.

Airi juga kayak menghindar gitu waktu Aqsal mau ngebahas kejadian barusan. Pun sampai sekarang. Saat semua anak Rohis sudah ada di panti asuhan dan masing-masing terbagi dalam kelompok yang diatur Vera, Airi kebagian tugas ngebagiin sembako bareng Dimas. Aqsal sudah berusaha berbicara pada Airi sampai Dimas memandangnya dengan dahi mengernyit sambil menerima kupon, jelas heran karena Airi nggak ngegubris Aqsal yang keliatan berusaha ngajak ngomong.

Airi sibuk berinteraksi dengan para penerima sembako. Kegiatan bakti sosial ini memang diadakan di panti asuhan. Namun banyak warga yang berdatangan untuk mengambil jatah sembako. Itu karena beberapa hari sebelum kegiatan ini dilaksanakan Aqsal menemui ketua RT setempat, membicarakan perihal kegiatan bakti sosial dan memberikan kupon yang sekarang digunakan untuk ditukar dengan sembako. Jadi nggak heran kenapa warga sekitar yang memang kurang mampu berdatangan.

Aqsal menghela napas, gemas sendiri rasanya. Ia memilih menahan diri dulu, setidaknya sampai kegiatan Baksos selesai. Nggak enak juga sama anak-anak lain yang sibuk kerja sementara Aqsal sibuk sendiri narik perhatian Airi. Aqsal meninggalkan Airi untuk mulai membantu Adiba membagikan baju-baju ataupun mainan hasil sumbangan.

***

8 hari kemudian

Sebelah alis Christ terangkat memandang teman sebangkunya yang—sepertinya—melamun. Sudah sejak kelas sepuluh Christ mengenal Aqsal, dan ini adalah yang pertama bagi Christ melihat Aqsal seperti itu. Duduk bertopang dagu sambil menatap kosong papan tulis dan mencoret asal buku tulis di depannya. Aqsal melakukan itu selama beberapa menit, lalu mendesah kesal. Melakukannya seperti kaset rusak sampai membuat Christ bosan sendiri melihatnya.

"Lo kenapa sih?" tanya Christ yang mulai tidak tahan.

Aqsal menoleh, dia menghembuskan napas dengan berat seolah ada banyak beban yang menimpa pundaknya. "Gue kesel karena nggak bisa fokus," cerita Aqsal.

"Mending lo sholat ato ngaji sana aja, deh. Biasanya jam kosong gini lo ke mushola, sholat dhuha ato baca Al Qur'an" suruh Christ, bukannya ngusir Cuma lama-lama risih juga ngeliat Aqsal kayak gitu.

Aqsal menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi.

"Malah bengong lagi," sindir Christ.

Aqsal beranjak berdiri. Dengan langkah lesu dia melangkah menuju daun pintu, melewati Adiba yang menyapanya dan berakhir terabaikan. Adiba menoleh ke belakang, mencoba mencari jawaban dari Christ. Tahu arti tatapan Adiba, Christ mengangkat bahu. Ia benar-benar tidak mengerti Aqsal kenapa.

Apa mungkin HB-nya turun lagi?

Atau mungkin karena lama nggak digodain Airi?

Christ cekikikan sendiri, opsi kedua Cuma khayalan ngaconya aja. Tapi si cewek sangklek itu apa kabar ya? Udah lama Christ nggak ngeliat batang idungnya. Padahal biasanya tiap ada Aqsal suka caper.

Tunggu....

Ah, kaco!

Jangan-jangan bener lagi Aqsal galau gara-gara Airi!

Christ bangkit berdiri, karena terlalu terburu-buru, kursi yang tadi dia duduki sampai jatuh ke lantai dan membuat sedikit kerusuhan. Anak-anak sekelas pada ngeliatin Christ, Christ Cuma nyengir. Dia nggak sempet ngebenerin kursi itu seperti semula, Christ langsung ngacir nyusul Aqsal.

***

"Van, gue minta kertasnya satu sama pinjem pulpen ya?" Aqsal mengambil selembar kertas hvs di dekat printer dan menyambar pulpen bertinta biru yang tergeletak di meja ruang OSIS.

Revanda yang sedang sibuk dengan laporan yang sedang ia kerjakan hanya mengangguk dan terus menekuri laptop di depannya. Aqsal merenggangkan punggung, dengan tangan kiri mengusap poninya yang masih basah ke belakang untuk menahan supaya tidak menghalangi pandangan, dia mulai menulis satu kalimat di lembaran putih itu.

Setelah sholat dhuha, Aqsal seperti mendapat pencerahan. Dia langsung meluncur ke ruang OSIS karena dia tahu di hari selasa dan jam-jam segini ruangan itu pasti hanya akan dihuni oleh sang ketua OSIS. Revanda terlalu sibuk dengan laporan mingguannya, dia nggak akan sempat ngepoin Aqsal. Dan Aqsal benar-benar butuh waktu untuk menyelesaikan ini.

"Bikin apaan lo?" Revanda melirik sekilas Aqsal yang sibuk menulis di lembaran HVS, lembaran itu sudah terisi setengahnya.

"Bukan apa-apa kok," jawab Aqsal nyengir, Revanda menaikkan sebelah alisnya. Tidak memberikan respon lanjutan, dia kembali sibuk dengan laporannya.

"Van! Aqsal disini kagak?" suara Christ plus grasak-grusuk dari pintu masuk menarik perhatian dua manusia yang sibuk dengan urusan masing-masing ini.

Belum sempat Revanda menjawab, Christ sudah lebih dulu melihat Aqsal yang sedang melipat kertas sambil menatapnya dengan dahi mengernyit. "Tuh, kan, bener insting gue. tadi gue cari di mushola udah nggak ada, ternyata beneran di sini." Christ menghampiri Aqsal.

"Ngapain nyari gue?"

Christ menatap Aqsal lamat-lamat, kedua tangannya bertumpu pada pinggir meja tempat Aqsal menulis tadi.

"Lo lagi galau, kan?"

"Apa?"

"Gara-gara Airi. Iyakan? Ngaku lo!"

"Airi? Anak kelas 10 – 7 itu?" Revanda ikutan nimbrung. Sejenak melupakan laporan yang sedang dibuatnya.

Aqsal bangun dari posisi duduknya, dia berdiri dan mulai melangkah sambil mendorong bahu Christ untuk keluar ruangan. "Van, lo selesaiin aja laporan lo. Gue yakin kepsek sama pembina OSIS udah nungguin kerjaan lo," kata Aqsal mengalihkan pembicaraan.

"Ah, iya! Laporan gue!" Revanda tersadar, atau mungkin lebih tepatnya berhasil termakan perkataan Aqsal.

"Pinter banget ngalihin pembicaraan," sindir Christ saat keduanya sampai di luar ruang OSIS.

Aqsal menghela napas. "Lo pasti penasaran, kan, gue kenapa?" tanya Aqsal to the point.

Christ mengangguk.

"Nih."

"Surat?" Christ menerima amplop biru polos dari tangan Aqsal.

"Jangan dibuka sebelum sampe ke tangan Airi, gue mau ke ruang Rohis dulu."

Christ menatap amplop itu lama sekali, dahinya berkerut-kerut.

"Maksud lo?! Gue suruh jadi kurir gitu?" teriak Christ, Aqsal tidak menoleh dia hanya melambaikan tangan.

"Kira-kira isinya apa ya? Jangan-jangan surat cinta lagi," terka Christ. Meskipun tadi keliatan marah karena merasa dijadikan kurir, kaki Christ tetap melangkah menuju kelas Airi. "Jadi tadi Aqsal galau dan bengong karena mikirin Airi. Hebat! Usaha Airi selama ini berhasil!"

"Eh, Airi nggak pake dukun, kan?"

***

Kelas 10 – 7 sekarang lagi jam olahraga. Christ melihat Airi dan gerombolan murid cewek sekelasnya sedang berteduh di bawah pohon sawo manila sementara anak-anak cowok panas-panasan main sepak bola. Airi duduk sedikit menepi bersama Naura.

Berhubung udah penasaran banget sama isi surat yang Aqsal tulis—belum Christ buka karena pantang baginya melanggar permintaan Aqsal—jadi Christ memanggil Airi dengan suara lantang. "Airi sini!" tangan kanan Christ yang membawa surat Aqsal melambai ke arah Airi.

Airi terlihat saling pandang dengan Naura, seperti meminta ijin pada Naura dulu sebelum berlari kecil menghampiri Christ.

"Ada apa?" tanya Airi jutek.

"Nih, dapet surat cinta dari Aqsal."

Wajah jutek Airi sirna tergantikan oleh ekspresi takjub dan nggak percaya saat menerima amplop biru dari tangan Christ.

"Buruan buka! Gue penasaran isinya apa!" desak Christ.

Masih ngerasa nggak percaya, Airi membuka amplop itu dan mengeluarkan selembar kertas HVS yang dilipat rapi. Airi pikir Aqsal ilfeel sama dirinya. Mendadak Airi terharu padahal belum ngebaca isi suratnya.

Dan setelah lima menit berlalu, terjadi hujan lokal.

"Hueee, kak Aqsaaal!" Airi nangis nggak cantik. Ingusnya meleber, mukanya banjir air mata.

"Christ, kak Aqsal dimana?"

"Di ruang Rohis," jawab Christ seadanya. Saat Airi beranjak pergi Christ tidak terlalu memperdulikan. Christ sudah menduga kalau surat yang Aqsal berikan itu surat cinta, tapi dia masih aja syok waktu baca isi surat dalam amplop biru itu. Christ hanya... hanya tidak menyangka kalau Airi begitu berarti bagi Aqsal.

***

"Hueee, kak Aqsal!"

Aqsal baru saja menutup ruang Rohis dan menguncinya, saat menoleh ke belakang Airi dengan muka berantakan (re : mata sembab, ingus bercucuran, muka merah dengan pipi kebanjiran) berlari menghampirinya. Bibir Airi bergetar, napasnya mulai pendek-pendek saat dia berusaha mengeluarkan sepatah kata. Sampai tak satupun kata yang mampu dia ucapkan, karena menangis Airi susah ngomong.

Aqsal tersenyum. Dia merogoh saku celana untuk mengeluarkan sapu tangan motif kotak-kotak berwarna biru dongker. Sapu tangan itu ia sodorkan ke hadapan Airi.

"Hapus dulu air mata kamu, aku punya banyak waktu buat denger apa yang mau kamu omongin, kok."


-Tamat-



Isi surat Aqsal untuk Airi.

Assalamu'alaikum, Cantik.

Apa kabar? Kita satu sekolah tapi udah ada dua mingguan nih aku nggak ngeliat kamu.

Airi udah sholat belum? Sekarang nggak bolong-bolong, kan, sholatnya?

Terus ngajinya gimana? Kata Apin waktu aku ke rumah kamu ngasih buku saku Rohis, kamu masih iqro 3. Sekarang udah ada kemajuan? Inget nggak janjiku tentang memberi pupuk dan air untuk benih supaya tumbuh menjadi pohon yang kokoh? Aku pengen ngajarin kamu ngaji, tapi kamu seolah menghilang. Kemarin pas kumpul Rohis setelah kegiatan baksos kamu juga absen.

Airi...

Aku tahu kenapa kamu ngejauh.

Perlu kamu tahu, di mataku kamu nggak seperti apa yang kamu tanyain hari itu. Bagiku kamu adalah seseorang yang suatu saat bakal ngisi kekosongan di hatiku.

Juga, InsyaAllah suatu hari nanti kita bakal ketemu di depan penghulu barengan sama wali kamu, hehehe. Semoga kalo udah waktunya nanti, kita sama-sama siap lahir batin, ya?

Kalo sekarang, yuk, mendingan kita sama-sama saling ngebenahin dan memantaskan diri untuk satu sama lain!

Aku nggak tahu, sekarang ini kita udah saling kenal, baru kenal, atau mungkin belum kenal sama sekali. Tapi nggak masalah, sih. Kan, tulang rusuk nggak bakal salah untuk kembali ke pemiliknya. Meskipun, mungkin sekarang kamu lagi nyasar ke orang yang salah.

Selain mau ngejelasin kesalahanpahaman yang menurutku alasan kamu menjauh, aku juga mau minta maaf kalo aku nggak sebaik atau sesuai dengan harapan kamu nantinya.

Maaf kalo aku nggak seganteng artis yang kamu idolakan sampe majang posternya di kamar (mungkin).

Maaf kalo aku nggak sekaya orang lain yang bisa langsung ngabulin semua permintaan kamu. Siapa, sih, aku? Cuma anak SMA biasa yang tiap hari naik sepeda ke sekolah.

Maaf kalo suatu hari nanti kamu bakal sering aku tinggalin jauh, tapi InsyaAllah kamu selalu deket di hati, kok.

Maaf kalo suatu hari nanti aku sering cemburu sama temen laki-laki atau mantan kamu yang lebih baik daripada aku.

Maaf kalo suatu hari nanti aku nggak bisa nemenin kamu jalan-jalan tiap weekend, karena kerjaan.

Maaf kalo suatu hari nanti aku lebih milih untuk nemenin Ayah/Bunda aku check up ke rumah sakit dari pada nemenin kamu belanja keperluan bulanan.

Maaf kalo suatu hari nanti aku bakal bawa orangtuaku untuk tinggal bareng sama kita, semoga kamu nggak pernah keberatan kalo aku mau ngebaktiin hidup aku untuk mereka

Maaf kalo aku kebanyakan minta maaf.

Airi, selama ini (mungkin) kamu mandang aku sebagai sosok yang sempurna. Tapi sebenernya enggak. Masih banyak kata maaf yang bisa kamu denger dari aku nantinya, juga kekurangan-kekurangan aku lainnya.

Pesan aku, kamu jangan tinggalin sholat, sama terus belajar ngaji.

Jangan lupa, sekarang, pake hijabnya kalo mau ke luar rumah.

Doain aku ya, semoga nanti bisa jadi imam yang baik, yang bisa ngebimbing kamu dan anak-anak kita masuk surga barengan.(AAMIIN)

Yaudah, gitu dulu aja kali, ya.

Sincerely,


Aqsal

Your Future Husband

Continue Reading

You'll Also Like

166K 11.9K 14
Seri #3 Humaniorama [untuk usia 15 tahun ke atas] Berhijab tapi kok begini ... Berhijab tapi kok begitu ... Apakah kalian salah satunya?
245K 10.3K 43
Menjadi kekasih seorang artis yaitu iqbaal dhiafakhri ramadhan/iqbaal cjr sangatlah tidak mudah banyak ratusan orang di luar sana yang ingin menjadi...
67.6K 192 2
Menjadi ibu merupakan sebuah anugerah besar bagi seorang wanita, apapun alasan dan situasinya. Namun ada beberapa situasi dan alasan tertentu yang me...
3.1M 261K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...