The Sorcery : SKY Academy [Te...

By PrythaLize

2M 153K 29.8K

[Fantasy & Romance] SEQUEL of The Sorcery: Little Magacal Piya [published] Temukan cerita ini secara lengkap... More

PROLOG
One and Half Years Later*1
You've Been Invited!*2
Forced *3
The Intensione*4
A Little Thought *5
Noctis *6
Blue Blanket *7
Realized *8
Aversum *9
Welcome to SKY's Hostel! *10
Spring Night *11
Reunion *12
Illusioned Melody *13
First School Day (I)*15
First School Day (II) *16
First School Day (III) *17
Schyorizone *18
Part of Past *19
I Will Protect You *20
Ampelux *21
Saturday Incident*22
Someone in Night*23
One Trouble Day*24
Rain, Storm, and Pain *25
Undesired Feeling *26
Intruder (I)*27
Intruder (II) *28
Intruder (III) *29
[Pemberitahuan]
[Answer]
Extra Part - White Lies
[PENGUMUMAN]

Throw All The Fears Out! *14

51.1K 4.5K 524
By PrythaLize

Vampix mengerutkan keningnya begitu ia membuka matanya, baru terbangun dari tidurnya. Pikirannya kacau. Seharusnya dia tak melakukannya. Seharusnya dia tidak menggunakan kekuatan keduanya. Dia hampir saja kehilangan kontrol dirinya dan membuat kekacauan barusan.

Suara langkah mendekat membuat Vampix buru-buru bangkit dari tidurannya dan mencabut ponsel yang tengah ter-charge dan dengan cepatnya pula dia memasang wajah serius seolah sangat serius memainkan ponselnya.

Pintu kamarnya terbuka dan menampakan teman sekamarnya menghampiri tempat tidur kanan dengan tak bersemangat. Vampix menaikkan alis, bingung dengan apa yang terjadi.

"Kenapa lesu begitu?" tanyanya sambil menutup ponselnya—kini lebih tertarik mendengar apa yang terjadi dengan roommate-nya daripada benda itu.

"Kau masih ingat semua nama kekuatan dan pemiliknya?" tanya lelaki itu dengan tatapan serius.

Vampix menganggukan kepalanya tak peduli. "Memangnya kenapa? Apa hubungannya dengan kekuatan?"

"Kekuatan yang menghipnotis orang dengan nyanyian," gumamnya. "Siapa pemiliknya?"

"Wow- wow, santai saja wajahmu." Vampix makin tertarik dengan topik yang mereka bahas saat ini, apalagi saat melihat lelaki itu memasang wajah yang cukup tegang. Dan Jarang-jarang pembicaraan mereka bisa nyambung begini. "Kukira kau tidak punya emosi, ternyata bisa penasaran juga?"

"Jangan mengalihkan topik. Siapa pemiliknya?"

Vampix nampak berpikir—atau lebih tepatnya pura-pura berpikir, sebab dia ingat siapa yang memiliki kekuatan itu. "Setahuku usia dari pemilik kekuatan itu tidak membuatnya mendapatkan undangan ke Sky Academy. Kau tahu kan, mana mungkin mereka SMA lagi?"

Lelaki itu—Tazu hanya diam, merenungi ucapan Vampix.

"Memangnya kenapa, sih?"

"Sepertinya...,"

*

"Selamat datang!" Rainna langsung menerjang gadis berambut hitam lurus yang baru saja memasuki gerbang akademi sambil menarik kopernya. "Daritadi kami sudah menunggumu, lho!"

Invi memperhatikan orang-orang yang ada disekitarnya, pos-pos dan jalan yang ada disana. Tapi tak dapat menemukan orang yang ada dalam pikiran Rainna.

"Piya kenapa?" tanya Invi langsung merasa waswas. Sedaritadi Invi dapat mendengar suara dari pikiran Rainna yang terus merasa cemas.

"Entahlah. Tapi Kazie langsung pergi saat dipanggil Hize."

"...Huh?"

Rainna berubah panik tiba-tiba, "Eh, katanya Piyan butuh bantuan Kazie. Darurat, katanya. Jadi mereka langsung teleport ke atap asrama. Percayalah! Hize tidak sedang menggoda Kazie, kok!"

"Aku bahkan tak berpikir soal itu." Balas Invi dengan sedikit jengkel—merasa bahwa Rainna tengah mengejeknya dengan Hize. "Piya dimana?"

"Di kamarnya, mungkin? Tapi aku tidak tahu dia di nomor berapa, lho!" tukas Rainna seolah baru saja membaca pikiran Invi. Rainna sendiri tahu, Invi terkadang terlihat melindungi Piya dengan caranya sendiri.

Ryoka yang baru keluar dari pos, melemparkan senyuman pada Invi. "Eh, Invi, selamat datang!"

"Ryoka, kau tahu dimana kamar Piya?" tanya Invi to the point, membuat Ryoka menerjapkan matanya bingung. "Baiklah, ayo kita ke kamar kalian."

Rainna hanya menghela nafasnya, berpikir tentang Invi yang terdengar seperti berbicara sendiri. Hingga akhirnya terbungkam dalam hati karena melihat tatapan dari mind reader itu.

.

.

.

"Sudah baikan?" Kazie menepuk punggung Piya—masih khawatir dengan keadaan sahabatnya. Saat melihat Piya mengangguk pelan, dia tak bisa berbohong bahwa dia merasa sangat lega. Nampaknya air putih yang diberikan Kazie ke Piya tadi berefek.

Piya jarang memeluknya dalam keadaan gemetaran seperti tadi. Tapi, itu memang pernah terjadi. Itu membuat Kazie khawatir.

Kazie kembali mengenang masa lalu, saat gadis itu memeluknya seperti itu untuk pertama kalinya.

Kazie seperti merasakan ketakutan yang sama saat itu.

"Kau masih takut?"

Piya menggeleng, tapi pegangannya pada gelas semakin erat. "Sudah tidak terlalu."

Kazie sangat terkejut dengan kejadian tadi, atau mungkin hingga saat ini. Saat dia sampai di atap asrama dan mendapati Piya mengatakan hal itu pada Tazu.

Hal yang tak mungkin keluar dari mulutnya dengan begitu gampangnya.

"Bisakah kau disini dulu, huh? Bukankah kau janji akan melindungiku? Aku takut!"

Kazie memalingkan wajahnya, agar Piya tak melihat ekspresinya. Kazie sendiri tak menyangka bahwa Piya bisa mengatakan hal seperti itu. Dia tak tahu apakah itu efek karena sahabatnya benar-benar takut, atau memang Piya yang dikenalnya telah mempercayai Tazu. Kazie tak dapat menerka dengan pasti.

Karena jika Piyorin yang dikenalnya mengatakan begitu, terdengar...,

"K-Kayaka, Kayato-Nii... a-apa ini tidak terlalu tinggi?"

"Dasarnya tidak terlihat. Sepertinya..., dalam ya?"

"Tapi..., Tante Izumi bilang tidak boleh main disini, kan?"

"Pulang saja, yuk... Sudah mendung lho."

Mustahil.

Seingat ingatan Kazie yang kuat itu, Piya tidak pernah mengenal Tazu sebelumnya. Kazie hanya sekedar tahu bahwa mereka berdua berjumpa di dunia sihir dulu. Tapi, Kazie juga tidak bisa membohongi rasa familiar yang melandanya setiap dia bertemu dengan Tazu.

Sepertinya mereka pernah bertemu?

"Maaf ya, Kayaka." Piya mengucapkannya dengan penuh penyesalan.

"Kenapa minta maaf?" Kazie mengerutkan keningnya.

Piya mengangkat kepalanya, matanya menatap manik sahabatnya dalam, seolah dapat membaca apa yang ada dalam pikirannya. "Maaf membuatmu khawatir..."

Kazie pikir, khawatir dengan sahabatnya sendiri hampir menjadi kebutuhan baginya. Sahabatnya itu terlalu sering membuatnya khawatir. Tentu saja ini bukan untuk yang pertama kalinya.

"...Sudah biasa, kok. Tapi tadi aku sangat mengkhawatirkanmu..."

"Maaf," gumamnya lirih.

Kazie menatap Piya dengan bermacam pemikiran dibenaknya. Salah satunya adalah tentang sifat Piya yang berubah. Kazie menyadari bahwa Piya tidak hanya bersikap terbuka kepadanya dan Kato saja...

Tazu juga telah mendapat posisi sebagai orang yang Piya percayakan.

...dan sebenarnya sahabatnya ini akan baik-baik saja meski mereka tidak ada. Piya tak lagi bergantung hanya kepada mereka.

Pintu kamar mereka terbuka membuat Kazie waswas, sebelum akhirnya dia melihat tiga orang yang dikenalnya masuk ke dalam kamar dengan ekspresi khawatir.

Oh... dan satu lagi orang yang bisa khawatir sama sepertinya.

Invi melirik Kazie usai membaca pemikirannya tentang hal itu. "Apa yang terjadi?" dan hanya beberapa detik saja bagi Invi untuk paham dengan situasi yang baru saja menimpa Piya. "Kau baik-baik saja?"

"...Aku baik-baik saja," gumam Piya pelan. "Kurasa aku akan mati lagi, kalau Tazu tak menyelamatkanku..."

Dan orang pertama yang perubahan ekspresinya terbaca jelas adalah Ryoka.

"Huft, syukurlah. Kematian terlalu mengerikan untuk dihadapi." balas Invi dengan helaan nafas lega.

Ryoka melangkah mendekati Piya tepat setelah Invi mengatakan hal itu. Ia menatap lurus ke arahnya, duduk disampingnya dan langsung memeluknya.

Itu benar-benar membuat Kazie merasa...,konyol.

Karena Kazie sempat berpikiran yang aneh tentang gadis ini.

"Untunglah...," gumam Ryoka lirih dan pelan, namun terdengar oleh seisi kamar. "Untunglah kau tidak apa-apa..."

Rainna yang sedaritadi hanya diam, ikut menghampiri mereka dan memeluk keduanya.

Sedangkan Kazie dan Invi merasa canggung. Ada pemikiran dari dalam diri mereka untuk ikut memeluk mereka, tapi keduanya tak melakukannya setelah saling bertatapan seolah telah bertelepati.

Invi hanya bisa menghela nafas pelan, sepertinya siapapun akan merasa khawatir dengan Piya.

Alasannya hanya satu.

Karena Piya yang kuat itu, Piya yang menyelamatkan mereka semua itu, Piya yang tangguh itu, Piya yang itu kini terlihat lemah dihadapan mereka semua.

*

Vampix salut.

Keadaan yang seharusnya menggemparkan itu sama sekali tak menyebar cepat seperti dugaannya.

Sore seperti ini membuatnya ingin berjalan-jalan. Vampix mungkin salah satu orang yang antusias atas kedatangan malam. Bukan berarti karena kekuatannya Vampire Nature, dia tak bisa menahan silau, dan memang sejak awal—sebelum Vampix masuk ke dunia sihir, dia sudah lebih dulu tak menyukai cahaya.

Vampix melirik Tazu yang kini sedang tiduran memainkan ponselnya jenuh, Air Conditioner hanya boleh dinyalakan malam hari, tentu saja keadaan yang pengap dalam ruangan itu menjadi alasan mengapa Vampix membuka jendelanya.

"Kau tidak menjenguk Piya?"

Tazu melirik Vampix sejenak, lalu melanjutkan aktivitasnya—memainkan ponsel. "Kita tidak boleh ke asrama perempuan."

"Ya, tapi memangnya kau tidak cemas?" tanya Vampix menaik-turunkan alisnya, menggodanya. "Kau cemas kan? Kau tidak mungkin bisa setenang ini."

Vampix tiba-tiba saja menyambar ponsel Tazu dan segera memeriksa isinya, sedangkan Tazu dengan tak pedulinya mengambil gelas, mengisinya dengan air dan meneguknya dengan cepat.

"Haha! Kau tertangkap!" Vampix terbahak, "Kemarin-kemarin, chattingan kalian sangat pendek, dan sekarang kalian chat panjang lebar?"

"Mereka sekamar," gumamnya sambil merebut ponselnya kembali.

"Kau ini brengsek juga ya, Eskrim. Bisa-bisanya kau chat panjang lebar tentang perempuan lain dengan Itou."

"Ryuko yang mengabarkan duluan," Balasnya malas. "Aku tidak memintanya melapor."

Vampix sebenarnya ingin menggodanya lebih lagi, tetapi akhirnya teringat dengan apa yang ada di benaknya sedaritadi saat melihat ranjang kosong di sebelah kanan. "Omong-omong, itu mau dikosongin saja?"

"Aku sudah menyuruh Hiro disini, tapi dia segan, katanya." Wajah datar Tazu terbaca kurang senang.

"Mungkin dia pikir kau menganggapnya pelayan?"

Tazu memutar bola matanya kesal, "Kau pikir pemikiran Hiro sependek itu?"

Vampix lagi-lagi terbahak, mempermainkan Tazu memang bisa membuatnya awet muda. "Entahlah, aku tidak mengerti hubungan kalian." Balasnya sambil menghadap kembali ke jendela, memperhatikan langit senja. "Kalian tidak tampak seperti majikan dan pelayan."

Tazu hanya mengendikkan bahunya dan melanjutkan aktivitasnya kembali. "Hm?" Tazu tiduran kembali di kasurnya, "Hei, Kai, lihat."

Tapi Vampix tetap menghadap jendela—menikmati angin sore yang masuk ke dalam kamar, menyapu rambut mereka berdua—tanpa sedikitpun menoleh ke arah Tazu. "Aku ingin membuatmu marah, jadi kau bisa menjadi pendingin berjalan." Ucapnya tanpa menoleh ke Tazu.

"Maaf saja, aku akan membakarmu."

Vampix terbahak, sebelum akhirnya berbalik dengan wajah lebih bersemangat. "Nah, apa yang ingin kau perlihatkan?"

Tazu menyerahkan ponselnya ke Vampix, "kau tak punya mata, Batman?"

Vampix mendesis sambil menerima ponselnya, "Sungguh tidak adil disaat aku memberikanmu nama yang imut dan kau memberikanku nama itu."

Mata Vampix menatap ke layar ponsel sebelum akhirnya melemparnya secara refleks. Beruntung ponsel itu terhasil ditangkap oleh Tazu sebelum terbentur dinding di belakangnya, tapi Tazu tampaknya tak terlalu mempersoalkan itu, malah kembali memainkan ponselnya seolah tak ada apapun yang terjadi.

Sedangkan Vampix tiba-tiba saja menjadi sibuk, dia mengeluarkan beberapa lembar pakaian dan memperlihatkannya pada Tazu. "Mana lebih bagus, menurutmu?"

Dan Tazu menaikkan sebelah alisnya, "Setahuku, selera pakaian kita tak pernah sama." Usai memilih satu opsi, Tazu kembali memainkan ponselnya, sedangkan Vampix mengganti pakaiannya detik itu juga. "Kau akan menemui Yanda?"

Vampix tak menjawab, hanya melemparkan senyuman miring yang misterius.

Tazu lagi-lagi mengendikkan bahunya malas, lalu meletakan ponselnya di nakas beberapa saat kemudian. "Jangan lupa, kau harus membantuku mencari mereka malam ini." Tazu segera memejamkan matanya, mulai mencoba tidur.

"Iya, tenang saja. Aku tidak akan lupa," ucapnya sebelum menutup pintu kamarnya.

***TBC***

6 Oktober 2016, Kamis.

A/N

1. Ada yang ngerasa Vampix dan Tazu dekat? Hayo, di LMP chapter 38 setahuku mereka emang deket ga sih? Ntu, bahkan Tazu di atas, manggil dia 'Kai' (nama asli Vampix, Kurogane Kaito). Eh, tapi nama Tazu bukan eskrim lho, wkwkwk.

2. Ryokan baik banget, hiks (T^T)

3. Engga, saya ga salah nulis, Piya memang pas kecil manggil Kayato pake '-nii', kok.

4. Maaf, kayaknya pamer-pamer gambaran fanart bakalan besar-besaran aja di Official Answer #3 nanti, gapapa yaa? Saya udah save kok, gambar dan nama akunnya!

5. Saya bakal siapin satu cerpen, dan bakal di publish pada waktunya di LMP, bukan disini. Pilihan temanya mau; Haloween, Christmas atau Valentine? Satu aja ya. Vote here.

6. Kayaknya saya mau bikin chapter INTERMEZZO di LMP, cuman part pendek-pendek sih, jadi saya musti kumpulin dulu yang lucu-lucu wkwkwk. Tapi belum fix ya .-.

Any question?

Oh, saya ga jadi private, karena udah di notice sama staff watty. Tenang ya. #lafyustap.

Everythings gonna be alright, if not, they probably being all-left.

Big laf, Cindyana H

Continue Reading

You'll Also Like

10.2M 1.2M 62
"Sumpah?! Demi apa?! Gue transmigrasi cuma gara-gara jatuh dari pohon mangga?!" Araya Chalista harus mengalami kejadian yang menurutnya tidak masuk a...
872 122 3
[Mature] Seharusnya aku tidak membawa Sunghoon kembali pada kehidupanku.
36.8K 6.9K 68
Sangat disarankan membaca Assassin terlebih dahulu, karena asal muasal dari tokoh dalam cerita ini beserta alurnya dimulai dari cerita sebelumnya! Un...
223K 24.2K 56
Di saat ilmu pengetahuan memperbudak otak, hanya sedikit manusia yang memercayai intuisi dan ramalan. Sembilan tahun sebelum kelahiran Hexagon, bumi...