Pendekar Bermuka Buruk - ASKPH

By JadeLiong

49.2K 769 10

Diam-diam Lie Bun tersenyum. Ah, julukan ini tidak lebih buruk dari pada Si Topeng Setan, yakni julukan yang... More

01. Pengemis Tua Aneh
03. Siapa Kang-lam Koay-Hiap?
04. Pekerjaan Pengemis Aneh
05. Permusuhan Bu-gi-hwee dan Sin-seng-hwee
06. Si Muka Bopeng Jatuh Cinta
07. Perjalanan Akhir Pengemis Sakti
08. Si Topeng Setan Menjadi Si Muka Hitam
09. Kembali Kepangkuan Ibu yang Bijak
10. Kehilangan Gadis Pilihan Hati
11. Tak Disangka........
12. Kecintaan Raja Pencopet
13. Cinta Kasih Murni (TAMAT)

02. Murid Pengemis Sakti

4.6K 63 0
By JadeLiong

LIE TI terkejut. Ia mengingat-ingat, tapi lalu menjawab dengan suara pasti. "Selama hidup aku belum pernah menanam bibit permusuhan dengan siapa juga. Tapi hal itu bisa terjadi dalam dunia perdagangan hingga tidak mungkin ada yang menanam dendam dalam hati."

"Adakah terjadi hal-hal yang ganjil akhir-akhir ini?" Kong Liak bertanya kembali.

Melihat perhatian besar yang dicurahkan oleh guru silat itu, hati Lie Ti merasa terhibur juga dan diam-diam ia merasa berterima kasih.

"Memang ada terjadi sesuatu, yakni kalau hal itu boleh dianggap peristiwa ganjil. Bahkan terjadinya baru saja sore tadi sebelum kau datang."

Ia lalu menceritakan halnya pengemis tua yang membunuh mati tiga anjingnya. Kong Liak tertarik.

"Cerita wan-gwe kurang jelas, bisakah tukang kebun itu dipanggil untuk mengulangi cerita ini?"

Tukang kebun itu lalu dipanggil menghadap dan dengan jelas sekali ia tuturkan peristiwa yang baru terjadi tadi sore tadi. Setelah mendengar puas, Kong Liak lalu menyuruh tukang kebun itu pergi. Ia mengangguk-angguk dan berkata sungguh-sungguh.

"Kalau mendengar cerita tukang kebun tadi terang pengemis tua itu bukanlah orang sembarangan. Ia tentu seorang pengembara yang berkepandaian tinggi, kalau bukan seorang hiapkek budiman, tentu seorang penjahat yang menyamar."

Kemudian Kong Liak kerutkan kening dan beberapa kali menghela napas. "Ah, kini setelah mendengar cerita ini, keadaan jadi makin ruwet bagiku. Terang bahwa pada saat ini di sekeliling kita terdapat dua pihak, yakni pihak yang bermaksud jahat dan pihak yang bermaksud baik. Dan di pihak manakah pengemis tua itu berdiri? Dia itu merupakan penulis surat peringatan ini ataukah sebaliknya dia yang akan menimbulkan hal yang tak terduga sebagaimana yang dimaksud dalam surat ini?" Kembali guru silat itu menarik napas dalam dan wajahnya menjadi muram. Nafsu minumnya lenyap.

Namun sebaliknya Lie-wangwe dapat menetapkan hati dan kegembiraannya kembali. Hatinya memang tabah sekali, maka ia angkat cawan araknya dan berkata.

"Ah, Kong-kauwsu, tak perlu kita pusingkan kepala karena surat begini saja. Bagaimana kalau surat ini buatan seseorang yang hendak membuat lelucon? Hayo minumlah arakmu, dan jangan pikirkan hal yang gila ini."

Tapi Kong Liak cukup banyak mengalami hal-hal yang aneh dan berbahaya hingga ia selalu waspada dan berhati-hati. Ia geleng kepala dan berkata.

"Lie-wangwe, kalau memang surat ini bohong, besok malam masih banyak waktu bagi kita untuk minum dan bergembira. Tapi malam ini kurasa lebih baik kita berhati-hati dan menjaga keamanan. Biarlah aku menjaga di atas genteng malam ini, untuk menjaga kalau-kalau benar datang seorang penjahat yang hendak mengganggu."

"Tak usah repot-repot, Kong-kauwsu. Tak perlu kita menjaga di atas genteng. Aku sudah membuat tempat penjagaan yang nyaman dan enak. Kau ikut saja nanti."

Kong Liak tidak mau mendesak lebih jauh, dan ia terpaksa mengawani hartawan itu makan minum sungguhpun ia batasi minum dan menjaga agar jangan sampai mabok.

Setelah kenyang dan hari telah mulai malam, Lie Ti ajak Kong Liak ke taman belakang. Kemudian dari situ mereka loncat naik ke atas genteng rumah belakang yang pendek.

Di dekat wuwungan yang menyambung dengan genteng rumah besar, Lie Ti buka sebuah pintu rahasia dan mereka masuk ke loteng tersembunyi yang tak tampak dari luar. Ketika mereka berjalan menuju ke atas melalui sebuah tangga, ternyata bahwa loteng itu menembus ke wuwungan yang paling atas, dan di bawah genteng di atas terdapat sebuah kamar kecil di mana telah tersedia dua buah pembaringan.

Dari tempat itu mereka dapat mengintai keadaan di atas genteng dengan jelas, karena di situ terdapat lobang-lobang yang tertutup kaca. Dengan sembunyi di situ, mereka dapat melihat orang-orang yang datang dari segala penjuru di atas gedung tanpa terlihat sedikitpun oleh lawan atau musuh. Dan pada genteng yang terdekat terdapat jendela yang dapat dibuka dari dalam hingga mudah bagi mereka untuk menyerbu keluar kalau perlu.

Kong Liak merasa kagum dan girang sekali melihat tempat persembunyian yang hebat dan dipasang dengan cerdik ini.

Dengan terus terang ia memuji kecerdikan hartawan itu.

"Aku bukan orang yang memiliki kepandaian silat tinggi, maka bagiku lebih aman kalau mengintai dan menjaga dari sini," katanya sambil tertawa.

Di tempat itu mereka dapat melanjutkan percakapan mereka dengan gembira sambil memandang ke arah mega-mega putih yang tersorot sinar bulan purnama. Dari jendela di atas itu mereka dapat memandang keadaan sekitar gedung hingga tak sukar bagi mereka untuk menjaga karena jika ada orang mendatangi gedung itu melalui jalan atas, pasti akan terlihat oleh mereka.

Lie Ti sengaja membawa arak dan pipa tembakau, hingga mereka bisa mengobrol sambil minum arak dan isap tembakau. Hawa malam itu dingin, memang selalu pada musim panas hawa malam sangat dingin.

Pada waktu peronda kota membunyikan tanda waktu yang kesebelas dan waktu hampir tengah malam, Lie Ti mulai mengantuk dan beberapa kali menguap perlahan.

"Wan-gwe, kalau lelah tidurlah dulu, biarlah aku menjaga sendiri di sini!" kata Kong Liak.

Lie Ti mengangguk. "Baik, aku memang sudah mengantuk sekali. Tapi kalau ada apa-apa terjadi, jangan lupa bangunkan aku, Kong-kauwsu!"

"Baiklah, Lie-wangwe!"

Tapi belum juga Lie Ti jatuh pulas, tiba-tiba Kong Liak berbisik.

Lie-wangwe, bangun!" dan guru silat itu cepat-cepat padamkan api lilin yang menyala di kamar kecil itu.

Lie Ti yang belum tidur segera bangun dan langsung mengintai dari balik jendela.

Kong Liak mengintai dari sebelah kirinya. Mereka melihat tiga bayangan yang gesit sekali gerakannya berlompatan dari jurusan barat melalui genteng-genteng rumah dan menuju ke arah mereka.

"Ah, kepandaian ginkang mereka tinggi sekali, terutama orang yang lari di tengah!" Kong Liak berbisik perlahan. Ketika ketiga bayangan itu telah menginjak genteng gedung keluarga Lie, mereka berhenti. Kini kedua pengintai dapat melihat jelas karena bulan kebetulan tak terhalang mega.

Ternyata yang di kanan kiri adalah dua orang muda berusia paling banyak tiga puluh tahun sedangkan yang di tengah adalah seorang tosu berusia kurang lebih lima puluh tahun dan bertubuh gemuk pendek.

Melihat kakek gemuk pendek itu, Kong Liak mengeluh perlahan.

"Celaka....... kalau tidak salah, yang datang itu adalah Kiu-thou-lomo!"

Mendengar julukan yang berarti Iblis tua kepala sembilan itu hampir saja Lie Ti berseru kaget. Tubuhnya menjadi gemetar dan ia merasa khawatir sekali.

"Kita harus keluar dan biarlah aku bertempur mati-matian!" hartawan itu berbisik. "Kau turunlah dan bawalah kedua puteraku menyingkir dari sini. Mungkin mereka berdua akan tertolong jiwanya.

Kong Liak mencegahnya. "Sabar, kau bukanlah tandingannya!"

"Aku tahu ... ia....... ia datang untuk binasakan aku sekeluarga...... tolonglah singkirkan anak-anakku......" dan hartawan itu dengan nekad membuka jendela dan loncat keluar dengan pedang di tangan.

"Kiu-thou-lomo! Kau orang tua ternyata masih hidup!" Lie Ti menegur dengan berani dan tabah.

Kakek pendek gemuk itu menatapnya dengan tajam, suaranya agak ragu-ragu ketika ia bertanya.

"Kau...... apakah kau Lie Ti?"

"Benar, aku adalah Lie Ti. Kehormatan apakah yang hendak kau berikan kepadaku?"

"Ha ha ha! Bapaknya naga, anaknya harimau! Kau sungguh gagah, tak kalah dengan ayahmu! He, Lie Ti, di mana bapakmu, tua bangka itu? Suruh dia keluar menjumpaiku, jangan bersembunyi seperti perempuan!"

"Kiu-thou-lomo! Kau telah membuang waktu dengan sia-sia. Kau telah bersusah payah dengan percuma. Kedatanganmu terlambat. Ayah telah meninggal dunia enam tahun yang lalu. Kau kurang cepat!"

"Gila!" Kakek gemuk pendek itu tendangkan kakinya ke arah wuwugan genteng hingga tembokan itu hancur lebur dan berhamburan ke bawah mengeluarkan suara bagaikan air hujan jatuh di atas genteng. Kemudian ia berkata lagi kepada Lie Ti, suaranya jelas menyatakan kedongkolan hatinya.

"Tidak apa, biar dia sudah mampus tapi anaknya masih hidup. Dia sudah tidak sanggup membayar hutang. Biarlah anaknya yang bayar! Lie Ti, dengarlah! Aku sengaja datang untuk menagih hutang ayahmu kepada kakakku. Kini kau harus gantikan ayahmu dan membayar hutangnya kepadaku. Hayo majulah dan bersedia mati!"

"Aku seorang laki-laki sejati. Soal mati hidup adalah soal kecil tak berarti. Tapi kau harus berlaku sebagai seorang hohan sejati pula. Kau bunuhlah aku kalau kau sanggup, tapi jangan kau ganggu rumah tanggaku. Mereka tidak mengerti apa-apa. Kita bikin habis perhitungan di antara kita sendiri."

Si iblis tua kepala sembilan berpikir sejenak lalu berkata dengan suara menyeramkan.

"Mana ada aturan begitu? Kalau aku hanya membunuh kau, tentu keluargamu dan anak-anakmu akan menaruh dendam kepadaku. Dan dibelakang hari mereka akan membikin susah saja. Membasmi pohon harus dengan akar-akarnya kata orang dulu. Aku juga takkan bekerja dengan kepalang tanggung. Kau dan anak-anakmu harus mati pada malam ini juga."

"Sungguh manusia iblis tak kenal perikemanusiaan. Sesuka hatimulah. Biar nanti sukmaku yang akan membalasmu jika kau ganggu anak istriku!"

Lie Ti lalu gerakkan pedangnya hendak menyerang. "Apakah kau akan maju bertiga?" serunya menyindir.

"Ha ha ha! Benar-benar aku harus kagumi keberanianmu. Dari gerakanmu aku tahu bahwa kau tidak pandai silat, tapi kau berani menghadapiku. Jangan penasaran, kedua orang muridku ini ku bawa hanya untuk menjadi saksi saja. Kita bertempur satu lawan satu. Hayo majulah Lie Ti, dan tunggulah arwah keluargamu di pintu neraka!"

"Kau iblis bermuka manusia!" Lie Ti berteriak marah dan loncat menusuk.

Sambil tertawa ha ha hi hi, kakek gemuk pendek itu berkelit dan sekali saut saja ia dapat merampas pedang Lie Ti dan sekali kakinya bergerak kedua kaki Lie-wangwe kena tersapu hingga hartawan itu roboh di atas genteng.

"Ha ha ha! Lie Ti, terimalah ajalmu!" Iblis tua itu menggunakan pedang yang dirampasnya menusuk ke arah tenggorokan Lie Ti yang telah memeramkan mata, terima binasa.

Ketika pedang itu telah menyambar dan hampir masuk menembus tenggorokan Lie Ti, tiba-tiba dari samping tampak berkelebat sebuah benda hitam yang menyambar pedang itu.

"Traaang!" dan pedang itu terpental lalu terlepas dari tangan kakek gemuk pendek itu.

"Hayaa...! Si iblis tua ini tidak tahunya hanya iblis kecil yang berlagak gagah di depan orang muda!" terdengar suara menyindir.

Kiu-thou-lomo terkejut sekali ketika pedang di tangannya tertangkis hingga tergetar dan terlepas dari pegangannya. Ia loncat mundur dan memandang kepada seorang pengemis tua yang telah berdiri di situ sambil memanggul tongkat bambu. Melihat pengemis itu ia menjadi kaget.

"Kang-lam Koay-hiap! Kenapa kau ikut mencampuri urusan orang lain?" tegurnya dengan tak senang.

"Kiu-thou-lomo! Kau sudah cukup tahu bahwa aku orang tua paling tidak suka melihat yang kuat menindas yang lemah. Mengapa kau hendak bunuh Lie-wangwe dan keluarganya?"

Sementara itu Lie Ti yang membuka kembali matanya, melihat dengan heran bahwa yang telah menolong jiwanya tadi tak lain adalah pengemis tua yang sore tadi membikin ribut di emper rumahnya. Jadi pengemis ini adalah Kang-lam Koay-hiap yang termasyhur namanya. Sungguh sedikitpun ia tak pernah menyangka.

Kiu-thou-lomo tersenyum mengejek mendengar pertanyaan pengemis itu. "Kau tahu artinya hutang jiwa bayar jiwa?" tanyanya.

Kang-lam Koay-hiap pukul-pukul kepala yang berambut pendek itu dengan tongkat bambunya. "Biarpun aku orang tua bodoh dan pikun, tapi rasanya aku tahu artinya hutang jiwa bayar jiwa. Dendam apakah yang kau pendam dalam hati terhadap Lie-wangwe?"

"Ayahnya pernah hutang jiwa dengan membunuh kakakku, dan kini aku datang menagih hutang. Tapi karena ayahnya telah mampus, maka dia sebagai anaknya harus membayar hutang itu!"

"Dan kau hendak membasmi semua keluarganya? Apakah ayahnya dulu juga membasmi semua keluarga kakakmu?

Ditanya demikian ini, Kiu-thou-lomo tak dapat menjawab. Tapi ia tak mau memperlihatkan kelemahannya, maka dengan berani ia menjawab.

"Harap kau orang tua jangan ikut campur urusan ini, karena apakah sangkut pautnya hal ini dengan kau?"

Tiba-tiba si pengemis tua itu melempar tongkatnya ke atas hingga tongkat itu meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya ke atas dan mengeluarkan suara bersuitan, kemudian ketika meluncur turun disambut dengan tangan kiri.

"Kiu-thou-lomo! Kau kira aku tidak tahu akan persoalan yang terjadi antara kakakmu dan Lie-enghiong? Hmmm, kalau aku tidak tahu tentu aku takkan berada di sini dan gunakan tongkatku mencampuri urusan ini. Tapi kebetulan sekali aku menjadi saksi dari kematian kakakmu di tangan Lie-enghiong! Itu adalah pertempuran yang adil. Pertempuran satu lawan satu dan kakakmu memang kalah pandai juga kakakmu memang berada di pihak yang salah. Kakakmu merampok dan Lie- enghiong membela harta bendanya hingga terjadi pertempuran dan kakakmu binasa dalam perkelahian itu. Apakah hal itu harus dibuat dendam dan kini kau hendak musnahkan putera Lie-enghiong sekeluarga? Sungguh kau tak kenal apa namanya keadilan. Kalau Lie-enghiong masih hidup dan kau hendak membalas dendam dengan mengadu tenaga dengannya, itu masih boleh dilakukan. Tapi kalau kau sekarang hendak mengganggu anaknya yang tak tahu apa-apa, bahkan hendak membunuh cucu-cucunya, aaahhh, itu adalah kejahatan yang melewati takaran dan aku pengemis tua yang bodoh mana mau tinggal diam berpeluk tangan!"

"Bagus! Kalau begitu biarlah aku Kiu-thou-lomo mengadu jiwa denganmu pengemis bandel!" setelah memaki, si gemuk pendek itu segera mencabut pedangnya dan menyerang dengan hebat!

"Memang! Kejahatanmu sudah cukup untuk mengantar kau ke neraka!" pengemis itu menyindir dan menangkis dengan tongkatnya.

Iblis tua itu memang lihai sekali. Pedangnya diputar sedemikian rupa hingga merupakan segulung sinar putih menyambar dan mengurung Kang-lam Koay-hiap, tapi si pengemis tua ini bukanlah orang sembarangan. Telah berpuluh tahun ia malang melintang di dunia kang-ouw dan jarang sekali ia mendapat tandingan.

Pada saat itu Kong Liak yang masih bersembunyi di bawah genteng sambil mengintai merasa girang sekali karena pihaknya mendapat bantuan Kang-lam Koay-hiap yang telah lama ia kenal namanya yang besar tapi baru kali ini melihat wajahnya. Ia beranikan diri dan keluar dari jendela itu lalu menarik lengan Lie Ti yang masih duduk di atas genteng. Keduanya lalu berdiri di tempat aman dan menonton pertandingan di antara dua jago tua yang luar biasa ilmu silatnya.

Iblis tua itu gerakkan pedangnya dan mainkan tipu-tipu terlihai dari Pat-kwa Kiam-hwat, sedangkan Kang-lam Koay-hiap gunakan tongkatnya sebagai pedang dan mainkan ilmu pedang Im-yang Kiam-hwat yang luar biasa lihainya karena gerakannya selalu mengandung dua sari dan dua tenaga. Tiap gerakan tongkatnya selalu merupakan tangkisan berbareng serangan. Tangkisannya mengandung tenaga dalam yang meminjam tenaga lawan dan dilanjutkan dengan serangan kuat ke arah lubang-lubang maut.

Sebentar saja kedua orang itu hanya merupakan dua gulung sinar yang saling gulung dan saling sambar. Tiba-tiba terdengar suara Kiu-thou-lomo berteriak.

"Siong Gak dan Siong Gi! Tidak lekas bantu, mau tunggu apa lagi?" Kedua muridnya mengerti maksud gurunya maka mereka lalu maju menyerang dan membantu gurunya. Kini si pengemis dikeroyok tiga, tapi ia hanya tertawa bergelak saja dan berkata.

"He, siluman kepala sembilan! Pantas kepalamu sembilan, tidak tahunya kau benar-benar curang. Terpaksa aku harus mengambil jiwamu karena kau hanya mengotori dunia belaka!" Sehabis berkata demikian, Kang-lam Koay-hiap lalu berseru keras dan tongkatnya menyambar bagaikan kilat.

Serangan ini luar biasa cepatnya hingga tahu-tahu iblis tua kepala sembilan menjerit ngeri dan lambungnya kena dihajar hebat oleh tongkat lawannya. Ia kerahkan tenaga dalam untuk menahan pukulan itu, tapi ia tidak kuat. Ujung tongkat itu hancur ketika membentur lambungnya yang telah terisi penuh oleh hawa yang ia kumpulkan untuk menolak pukulan, tapi ia mendapat luka dalam yang hebat dan setelah menjerit sekali lagi ia roboh dan mati di saat itu juga.

"He, kalian dua orang muda, hentikan seranganmu dan jangan mencari mati dengan sia-sia!" Kang-lam Koay-hiap menegur dengan suara keren. Kedua murid iblis tua itu, Siong Gak dan Siong Gi, menjadi keder dan terpaksa hentikan serangan mereka.

"Sekarang bawalah jenazah suhumu dan kuburlah dengan baik sebagaimana mestinya. Jadikanlah peristiwa ini sebagai contoh dan jangan kalian tiru kelakuan suhumu yang tak benar ini. Nah, pergilah!"

Kedua murid ini dengan bercucuran airmata lalu mengangkat mayat suhunya dan pergi dari situ cepat.

Lie Ti segera memburu maju dan jatuhkan diri berlutut di depan Kang-lam Koay-hiap.

"Sungguh saya berhutang budi besar sekali kepada locianpwe! Kau telah tolong jiwaku, itu masih tak berarti banyak. Tapi kau telah menolong jiwa anak-anakku, keluargaku, ah.......locianpwe. Tak tahu saya harus bagaimana menyatakan terima kasih saya...... dan tadi...... tadi sore kami telah menghinamu...... ampun. Locianpwe, ampunkan kami yang bermata buta......" karena terharu dan berterima kasih sekali, Lie Ti menangis tersedu-sedu sambil peluk kedua kaki pengemis itu.

Kang-lam Koay-hiap angkat bangun hartawan yang berlutut sambil menangis itu, dan berkata perlahan.

"Kalau tidak ada putera bungsumu, siapa sudi mencampuri urusan ini?" Kemudian pengemis tua itu menghela napas dan menambahkan.

"Mari kita turun, tak baik bercakap-cakap di atas genteng!"

Maka turunlah mereka. Di dalam gedung ternyata semua orang sudah bangun dan berada dalam keadaan ketakutan. Mereka tahu bahwa di atas genteng sedang terjadi pertempuran dan menyangka bahwa yang datang mengganggu tentu serombongan perampok.

Kini melihat bahwa Lie Ti dan Kong Liak tak kurang suatu apa, mereka merasa girang dan lega. Tapi alangkah heran mereka ketika melihat pengemis yang sore tadi membikin heboh di luar gedung kini turut masuk bersama majikan mereka.

Lie Ti segera menceritakan kepada isterinya tentang kedatangan musuh ayahnya yang hendak menuntut balas dan tentang pertolongan yang diberikan untuk menolong mereka sekeluarga oleh pengemis ajaib itu.

Mendengar itu, nyonya Lie tak ragu-ragu lagi segera berlutut di depan Kang-lam Koay-hiap menghaturkan terima kasih. Juga kedua putera Lie yang berada di situ disuruh menghaturkan terima kasih.

Lie Kiat lakukan hal itu dengan ragu-ragu dan keningnya dikerutkan. Ia merasa sangat rendah harus berlutut kepada seorang gembel kotor yang sore tadi membikin ia malu dan dimarahi ayahnya. Namun karena takut kepada ayahnya ia berlutut juga, namun kedua matanya memandang kepada pengemis itu dengan marah.

Kang-lam Koay-hiap tahu akan hal ini dan ia menghela napas. Tapi rasa tidak senangnya lenyap se gera ketika Lie Bun berlutut pula lalu berdiri dan memeluk dia dengan senangnya.

"Aku sudah duga, kakek tua! Kau tentu gagah perkasa!"

Kang-lam Koay-hiap peluk Lie Bun dengan mesra dan wajahnya berseri-seri.

"Lie-wangwe, puteramu yang ini pantas sekali menjadi cucu Lie-enghiong, ayahmu yang gagah perwira! Sayang ia tidak belajar silat."

"Ayahku almarhum biarpun ia sendiri pandai ilmu silat, tapi ia selalu melarangku belajar silat hingga aku menjadi seorang yang tidak becus apa-apa, biarpun di luar tahunya aku sudah belajar sedikit ilmu silat. Aku tahu maksud ayahku, yang selalu menyatakan bahwa ahli silat hanya memancing permusuhan belaka. Tapi sekarang buktinya, aku yang tidak pandai silat, masih saja didatangi orang jahat. Coba kalau tidak tidak ada locianpwe, entah bagaimana nasibku sekeluarga. Kalau saja ilmu silatku setinggi ayah dulu, tidak nanti orang jahat dengan mudah dapat mengganggu!" Hartawan she Lie menghela napas menyatakan penyesalannya. Lalu sambungnya.

"Karena itulah maka timbul niatku untuk menyuruh kedua puteraku belajar silat dan aku mendatangkan Kong-kauwsu ini. Dan mulai besok kedua puteraku ini harus belajar silat dengan rajin."

"Itu bagus!" Pengemis itu mengangguk-angguk. "Mereka bertulang baik dan berbakat untuk menjadi ahli-ahli silat tinggi."

Tiba-tiba Lie Bun majukan diri berlutut di depan pengemis itu. "Aku ingin belajar silat padamu saja, kakek tua!"

Kejadian yang tak tersangka-sangka ini membuat semua orang tertegun. Lie Ti segera memberi tanda kepada Lie Kiat untuk meniru perbuatan adiknya, tapi Lie Kiat menyebirkan bibirnya dan mendekati Kong Liak lalu berkata.

"Aku ingin berguru pada Kong pek-pek saja."

Kang-lam Koay-hiap angkat mukanya dan tertawa bergelak-gelak. Ia memandang Lie Bun yang berlutut dan mengusap-usap rambut kepalanya. "Anak baik...... anak baik ..." Lalu ia lanjutkan kata-katanya kepada Lie-wangwe.

"Lie-wangwe, sebelum aku sampaikan permintaanku padamu, puteramu sudah mendahuluiku. Sebenarnya aku hendak mengajukan sebuah permintaan yakni aku minta puteramu Lie Bun ini menjadi muridku. Aku hendak ajak dia pergi merantau sambil mendidik dia menjadi orang pandai."

"Locianpwe telah menolong jiwa kami sekeluarga, maka sudah tentu permintaan ini kami terima dengan senang hati, cuma saja, mengapa locianpwe hendak membawa pergi Lie Bun? Tidakkah lebih baik kau tinggal saja di rumah kami dan menghajar anak-anakku di sini? Kau takkan bersusah payah lagi merantau, tak tentu tempat tinggal, disini akan kami sediakan segala keperluan locianpwe."

Kang-lam Koay-hiap tertawa. "Maksudmu memang baik, wan-gwe. Tapi pendapatmu keliru. Memang, merantau dan miskin di luar tak tentu makan dan tak tentu tidur, mengandalkan belas kasihan orang untuk makan, mengandalkan emper rumah orang untuk tidur, adalah hidup yang tidak enak. Jauh lebih senang tinggal di rumah gedung yang indah dan mewah ini, tiap hari duduk makan minum menikmati bunga-bunga dalam taman. Akan tetapi, apa yang tidak enak bagi jasmani, selalu mendatangkan keuntungan bagi rohani. Dengan mengurungnya dalam gedung indah, dan tidak mengenal artinya susah dan menderita, orang takkan mengenal sarinya hidup, takkan mengenal kewajiban hidup, takkan tergerak hatinya mengenal kesengsaraan sesama manusia, dan tak mungkin orang itu menjadi seorang pendekar budiman dan gagah. Biarlah Lie Bun ikut aku, aku hendak mengajarnya menjadi seorang manusia sejati, hendak menggemblengnya lahir bathin."

Lie-wangwe tak berani membantah, karena dalam lubuk hatinya ia mengakui kebenaran segala ucapan pengemis aneh itu.

"Tapi aku tidak akan memaksa, terserah yang hendak menjalani." Kang-lam Koay-hiap berkata lagi, lalu berpaling kepada Lie Bun yang masih duduk mendengarkan dengan penuh perhatian. "Lie Bun bagaimanakah? Sanggupkah kau pergi merantau dengan aku, hidup sengsara, kurang makan dan pakaian, tidur di mana saja?"

Wajah Lie Bun berseri. "Bebas lepas bagai burung di udara?"

Pengemis itu memandangnya heran lalu tersenyum senang, tapi ia masih hendak mencoba berkata.

"Dan kau tidak akan tinggal di rumah gedung lagi, jauh dari ayah ibu, jauh makan enak, jauh pakaian tebal dan indah. Beranikah kau?"

Tiba-tiba wajah berseri itu berubah muram dan perlahan-lahan air matanya menitik turun. Lie Bun menengok dan memandang ayah ibunya yang duduk di situ. Melihat ibunya mulai menangis, Lie Bun bangun dan lari menubruk.

"Ibu ... anak akan kembali kelak ..." Dan ibunya memeluknya dengan terharu.

"Kalau kau tidak tega tinggalkan ayah ibumu, aku takkan memaksamu ikut, A Bun!" kata Kang-lam Koay-hiap.

Lie Bun mendengar kata-kata ini lalu melepaskan pelukan ibunya, gunakan kedua tangan menghapus airmata, lalu berlari dan berlutut kehadapan pengemis tua itu sambil tertawa. Ia lalu berkata dengan suara tetap.

"Aku ikut, suhu! Kemana saja dan kapan saja!"

Kang-lam Koay-hiap menjawab. "Kalau begitu, sekarang juga kita pergi!"

"Baik, suhu!"

Semua orang terkejut mendengar ini, terutama ayah ibu Lie Bun.

"Locianpwe, apakah tidak bisa berangkat besok hari saja? Sekarang sudah jam malam dan hawa di luar sangat dingin," kata Lie Ti.

Kang-lam Koay-hiap tidak menjawab, hanya bertanya kepada muridnya. "Beranikah kau berangkat sekarang juga muridku?"

03. . . . . . .

Continue Reading

You'll Also Like

3.7M 79.6K 50
"Kamu milikku tapi aku tidak ingin ada status terikat diantara kita berdua." Argio _______ Berawal dari menawarkan dirinya pada seorang pria kaya ray...
498K 18.4K 30
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
28.8K 538 35
Di jaman Ahala Ceng, yaitu pada masa kaisar-kaisar Boan-ciu berkuasa di Tiongkok, di kalangan Kang-ouw banyak terdapat jago-jago silat yang nama-nama...
14K 206 18
Cerita Silat Pemberontakan Taipeng adalah lanjutan dari Pedang Naga Kemala ( Giok Liong Kiam ) Pemberontakan yang di lakukan Raja lalim mengumpulkan...