Kersik Luai (SELESAI)

By Cendarkna

278K 5.1K 579

Di era postmodern yang kacau, Indonesia dikuasai oleh golongan oligarkis yang melenyapkan demokrasi dan menga... More

Prolog
Satu
Duapuluh Sembilan + Pengumuman
Epilog
OPEN PO (tanda tangan dan lebih murah)
Pre Order Versi Bonus Postcard Karakter
INFO SEKUEL!!!

Duapuluh Lima

7K 733 64
By Cendarkna

Setidaknya aku tak perlu lagi merisaukan keadaan Btari.

Ia telah dirawat dengan baik, sesuai dengan janji Bimasakti atas usahanya berdiploma dengan Presiden Andromeda. Kini, Btari terbaring di dalam ruang khusus selama berjam-jam untuk dilakukannya transplantasi stem sel demi memperbaiki kerusakan pada jantungnya.

Selama itu pula aku dilarang menunggu, alih-alih dibawa Presiden Andromeda ke sebuah tempat. Hanya Bimasakti dan beberapa dokter ahli yang menangani Btari di tempat operasi. Aku bagaikan wayang di sebuah pertunjukan lakon, mengikuti kemauan dalangku yang berjalan beberapa meter di depanku, dikawal ketat tentara dengan pelindung kepala dan masker wajah; senjata berat tergenggam erat dan siap ditembakkan ke arahku jika aku melakukan tindakan nekad, seperti melukai presiden kesayangan mereka.

Dua daun pintu terbuka otomatis, mengantarku ke sebuah ruangan dengan furnitur serba canggih yang mengkilat dan mahal. Aroma anggrek menguar semerbak memenuhi penciumanku dalam waktu singkat. Presiden Andromeda memintaku duduk di sebuah sofa pendek berhadapan dengannya, dipisah dengan sebuah meja kecil berlapis krom dan kaca berbentuk mungil nan elegan. Ekor mataku mengamati sejenak keadaan di sekelilingku. Sekilas pandang saja, agar wanita tiran di depanku tidak menyadari apa yang tengah kupikirkan duduk berhadap-hadapan dengannya di sebuah ruang asing yang tak pernah mampir di dalam pikiranku sebelumnya.

Presiden Andromeda menekan sesuatu di atas meja, lantas berbicara pada mikrofon, memerintahkan seseorang memberikan suguhan pada kami. Ia menyilangkan tungkai dengan gerakan elegan. Gesturnya begitu menawan. Naluriku sebagai lelaki normal tentu akan memuji betapa cantik wajahnya yang bagaikan seorang dewi dari kahyangan. Namun sayang, keelokan yang dimilikinya harus tertutup rapat oleh aura gelap sosok iblis yang mengundang sinyal permusuhan.

"Jadi, ceritakan padaku tentang dirimu," katanya memulai permbicaraan di antara kami. Ia selipkan senyum manis madu. Tangannya terlipat di atas pangkuan, sedang punggungnya disandarkan pada sandaran sofa pendek. Pandangan menusuk nan mengintimidasinya menerjang mataku, langsung dari manik matanya yang berwarna zamrud.

Detik berikut aku melihat perubahan manik matanya dari zamrud menjadi ungu. Hm, aku tidak heran. Sungguh mewakili dirinya.

"Percayalah, tidak ada yang menarik dari saya."

"Ah, bagaimana bisa tidak ada yang menarik darimu?" Sebelah alisnya melengkung ke atas seakan mencemoohku. "Berhasil membobol keamanan zona kami, meretas situs kepresidenan, menyadap pembicaraan rahasiaku... dan kau melakukannya tanpa jejak. Sepanjang eksistensiku, Nagara Adinata, aku tidak pernah bertemu—atau bahkan sekadar tahu—seseorang macam dirimu, seorang proletar pula. Dan kau merendahkan diri dengan mengatakan tidak ada yang menarik dari dirimu?" Ia memiringkan kepalanya tak kentara sambil berkedip satu kali. "You must be kidding me."

Aku menepuk lengan sofaku, mengangkat kaki ke atas paha dan mengedikkan bahu. "Apa yang ingin Anda ketahui? Saya rasa, Anda sudah tahu segalanya."

"Aku tahu kalau ayahmu adalah dalang pemberontakan dan penyelundupan beberapa waktu silam—"

"Sayangnya, yang itu sekadar wacana, Bu Presiden." Aku tersenyum simpul. Ia pandang aku terkejut dengan bibir mungil terbuka dan satu alis terangkat. Memang sikap yang tidak sopan menginterupsi ucapan seorang pemimpin. Persetan soal kesopanan kalau sudah berhadapan dengan manusia macam dirinya. Aku pun melanjutkan, tidak peduli terhadap reaksinya, "Ayahanda saya hanya korban kesalahpahaman."

"Sayang sekali." Dikedikkan bahunya tak acuh, meski kudengar ada nada meremehkan di dalam suaranya. "Memang kebenaran mutlak itu susah ditemukan ya." Ia tambahkan ucapan merendahkan tersebut dengan kikikan tawa.

Aku menanggapinya, tersenyum miring samar tanpa mengubah posisiku. Entah kenapa, aku sungguh nyaman dengan posisi seperti ini, kendati gestur yang kuberikan jauh dari sopan santun.

"Saya tidak pernah mengetahui kebenaran mutlak. Tetapi setidaknya, saya menyadari kesalahan saya."

Ia berdecak satu kali. Kini raut wajahnya berubah. Biarpun ia masih pertahankan senyum kecil di bibirnya, aku dapat merasakan adanya perubahan dari ekspresi serta bahasa tubuhnya. "Apa yang kau ketahui tentang rencanaku?"

Whoa, rupanya ia bertanya langsung pada inti persoalan. Semakin menarik saja.

"Hm." Aku menghela napas pendek. "Hanya sedikit."

"Kau tentu tak suka jika aku memberimu sodium penthotal, bukan? Jadi, aku mengharapkan kejujuranmu, Sayang. Tell me the truth."

Aku terdiam beberapa saat. Rupanya ia mudah terpancing emosi. Membikin ia kesal seakan menjadi kesenangan pribadi bagiku, kalau boleh mengakui. Akan kupermainkan saja wanita ini.

"Saya tidak berbohong. Pengetahuan yang saya peroleh setidaknya cukup kuat untuk menakut-nakuti Anda." Mataku melirik hiperbolis pada langit-langit berukiran melengkung-lengkung khas bangunan Eropa di atasku, lantas menatapnya santai. "Cukup kuat untuk menghancurkan Anda."

Presiden Andromeda menghembuskan napas pendek. Tak berselang lama, seorang pelayan melenggang masuk menyediakan dua cangkir minuman yang langsung ditata rapi di depan kami. Pelayan tersebut lantas menundukkan kepala hormat sebelum menyingkir dari hadapan kami. Kupandangi minuman di depanku, menaksir apa sekiranya yang dibubuhkan ke dalam air teh itu. Ekor mataku melirik Presiden Andromeda yang mulai menyesap minumannya tanpa melepas perhatiannya dariku. Diletakkan lagi cangkir beserta lepernya ke atas meja.

"Kenapa tidak kau minum, Nagara Adinata?" tanyanya, tersenyum hiperbolis. Sungguh, aku tidak suka caranya menyebut nama terangku. Seakan setiap penggal namaku adalah sebuah kata khusus yang ingin ia ulang berkali-kali sebagai bentuk kebencian tak tersiratnya.

Aku meraih cangkir di depanku, mendekatkannya di antara bibir atas dan hidung selama beberapa saat untuk menghirup aroma cairan di dalam cangkir kristal ini. Kuletakkan kembali minuman itu dan berdecak satu kali.

"Aroma almond," kataku. "Aroma senyawa kimia yang mengandung siano dengan atom karbon yang terikat bersama atom nitrogen. Hm. Racun sianida. Mengapa Anda tidak menggunakan thallium saja yang tidak akan bisa saya deteksi dan membuat saya yakin meneguk minuman ini sampai mati?"

Seakan terdapat sesuatu yang lucu di dalam kalimatku, Presiden Andromeda terkikik geli hingga membungkukkan tubuhnya ke depan. Begitu menegakkan badan lagi, dipandangnya aku terkesima.

"Aku hanya menguji. Rupanya kau pun pandai mengenali jenis-jenis racun." Kedua tangannya terbuka tak acuh. "You're so clever, My dear. Andai saja kau bisa bergabung dan menjadi kesatuan dengan kami. Sayangnya... kau sudah pasti akan menolak dan aku pun tidak suka menarik perintah yang terlanjur keluar dari mulutku." Tungkainya yang tadi tersilang kini diturunkan. Ia mengubah posisi duduknya lebih tegak. "Mengapa kau tidak membuat perlawanan? Atau jangan-jangan kau membuat banyak rencana yang lebih cerdik?"

"Saya rasa Anda sudah tahu kelemahan saya," balasku sarkastis.

"Btari." Ia menjentikkan jari. "Aku hampir lupa dengannya. Dan juga dengan kesediaanmu yang mau menukar kebebasanmu demi gadis itu. Sungguh tak dapat kupercaya. Begitu mudah menghancurkan seseorang hanya dengan membawa-bawa soal cinta." Ia menggeleng pura-pura prihatin. Tampaknya ia tahu kalau aku sudah pasti mengetahui tindakan apa yang akan dilakukannya jika aku membelot.

Ia akan membuatku lebih hancur menggunakan Btari. Mudah saja menebak pikiran manusia biadab macam dirinya.

"Bagaimana aku bisa percaya dan yakin padamu kalau kau tidak sedang merencanakan sesuatu?"

"Apa yang bisa saya berikan pada Anda untuk memegang kepercayaan itu, Bu Presiden? Saya datang kemari tanpa membawa hal-hal yang mengancam; Anda sudah memeriksanya sendiri. Saya datang dengan kesadaran penuh untuk memenuhi perintah penangkapan yang Anda kirimkan, dengan imbalan yang sangat pantas dan berharga bagi saya."

"Cukup mudah." Dihembuskannya napas panjang seraya menegakkan dagu menunjukkan seberapa kuat pengaruhnya di wilayah yang ia kendalikan ini. "Kalau yang ini bisa meyakinkanku, aku rasa itu sudah cukup." Tangannya meraih sebuah remot kecil di atas meja berlapis kaca depan kami. Jarinya menekan salah satu tombol hingga memunculkan sebuah holografik di atas meja yang menjadi sekat di antara kami.

Mataku spontan membeliak kaget begitu kudapati gambaran seorang wanita dengan gaun bermotif batik tanpa lengan, berkerah panjang menutupi leher, dan bawahan yang menggesek lantai marmer tengah berjalan anggun melewati lorong panjang dikawal oleh beberapa tentara. Aku menatap marah pada Presiden bajingan di depanku yang hanya tersenyum tipis menanggapi reaksiku.

"Mengapa Anda libatkan ibunda saya?" sergahku.

"Memastikan kalau kau benar-benar menyerahkan diri sepenuhnya tanpa tindakan bodoh yang bisa mengancam orang-orang tercintamu sendiri, Nagara Adinata. Keselamatan Btari adalah harganya. Dan sebagai jaminan, well, hanya sedikit cinta anak pada ibunya. Begitulah caramu membuktikan padaku."

Secara instingtif, kuremas telapak tanganku membentuk kepalan kuat. Aku tatap wanita di depanku nanar. Rasanya ingin kulayangkan tinju ini, jika aku tak mengingat sedang di mana aku sekarang.

"Baik..." Kuregangkan tanganku seraya melepaskan napas panjang, menenangkan diri. "Saya percaya Anda seorang wanita berprinsip. Saya ingin Anda membebaskan ibunda saya sehari sebelum waktu eksekusi. Saya tidak ingin dia ada saat eksekusi itu berlangsung."

"Oh, kalau itu sudah pasti bisa kulaksanakan. Aku akan membebaskannya sehari sebelum waktu eksekusi."

"Dan, boleh saya mengajukan permintaan lain?" Aku tidak bisa yakin kalau ia bersedia menyanggupinya, namun aku pastikan ia mengabulkannya.

"Katakan."

"Saya tidak menerima penahanan tertutup. Anda boleh mengawasi saya duapuluh empat jam. Ijinkan saya menghabiskan waktu bersama Btari, sampai saya yakin dia benar-benar pulih."

"Aww... mengapa terkesan dramatis sekali. Gelora cinta anak muda." Wanita itu menggeleng dan berdecak memuakkan. Sudut-sudut bibirnya tertarik membentuk senyum kecil pertanda bahwa ia mengabulkan keinginanku, yang dianggapnya terakhir di dunia ini. "Oke. Kau bebas melakukan apa pun—yang terkontrol dan tidak lepas dari pengawasanku—sampai waktu eksekusi. Dan aku akan membebaskan ibumu sesuai perjanjian." Jemari lentiknya dijentikkan satu kali memanggil seseorang yang langsung datang dengan sigap menghampiri kami membawa sebuah benda berbentuk persegi tipis dengan ukuran layar 10.7 inci, lantas diserahkan pada Presiden Andromeda.

Wanita itu menggeser jemarinya dengan cekatan, seperti mengetik di atas layar kertas elektrik itu. Usai menuliskan sesuatu, ia serahkan kertas elektrik tersebut ke arahku sambil menyorongkan pena dari sakunya pula. Ditunjuknya kedua benda itu, memberiku perintah.

Bola mataku meliriknya sebentar sebelum kuraih pena yang kini berada di antara apitan jari-jariku. Aku meringis tertahan, terkejut terhadap sengatan seperti tusukan jarum yang kuterima. Kububuhkan tanda tangan pada kolom yang disediakan di atas permukaan kertas elektrik yang telah diisi poin-poin perjanjian kami. Rupanya, pena yang kupegang ini terhubung dengan darahku, yang kini tertoreh sesuai pergerakan tanganku membentuk sebuah tanda tangan. Presiden Andromeda tersenyum puas begitu perjanjian di antara kami sudah sah. Ia menarik kertas elektrik dari hadapanku dan menyerahkannya pada kaki tangannya tadi. Dipandangnya aku, dengan selipan senyum merekah puas.

*

Aku baru bisa melihat keadaan Btari secara langsung dua hari selanjutnya. Ia masih terbaring, terkulai tak berdaya dengan alat-alat medis terpasang pada beberapa bagian tubuhnya di dalam ruangan khusus. Perlu beberapa waktu hingga dokter memberikan kesempatan baginya terbebas dari gangguan tak nyaman alat-alat di tubuhnya.

Kupandang wajahnya. Biarpun pucat pasi bagaikan tak dialiri darah dan kehidupan, ia tetaplah dara jelita laksana Wara Srikandi milikku. Aku tidak bisa terlalu lama berada di dekatnya, maka kugunakan kesempatan ini sebaik mungkin. Kuraih telapak tangannya yang lemas, menyusuri buku-buku jarinya dan memberikan kecupan beberapa kali. Aku duduk di samping bangkarnya tanpa melepas genggaman pada telapak tangan lembut ini. Menyentuhnya bagaikan menyentuh daun rapuh, begitu hati-hati, seakan sedikit sentuhan dapat melukainya. Rasanya memandangi dirinya setiap detik adalah sesuatu yang paling mahal dan berharga. Aku tak ingin kehilangan tiap detik itu. Aku ingin terus berada di sampingnya dan menemaninya sebisaku. Bahkan, aku tak berani membayangkan lelaki lain berada di posisiku untuk menggantikanku menjaganya suatu saat nanti.

"Kau tak perlu takut aku merampas jiwamu dan membawanya pergi, Btari," kataku berbisik dekat dengan telinganya. "Aku tak akan membawanya pergi. Akan kubiarkan jiwa itu berada dalam ragamu yang rapuh. Dan akan kuperintahkan malaikat-malaikat itu membentangkan sayap mereka untuk melindungimu." Kuusap rambutnya perlahan, mengamatinya tidak berkedip. Hanya ada bunyi alat-alat di dekatku, merampas kesenyapan yang harusnya disingkirkan oleh suara gemerincing dara jelitaku. "Waktu yang pernah kau sebut, aku pun berterima kasih padanya. Berterima kasih atas pertemuan kita. Ia kini menjadi sekutu. Walau bagian lain hatiku mengatakan bahwa waktu adalah sahabat terkejam yang pernah berputar. Musuh termanis yang pernah mengintip nasib. Dan guru yang baik untuk sepenggal kenangan. Aku mencemburui waktu yang lebih dulu mengetahui rahasia yang akan kita jemput. Iri pada setiap jengkal kecongkakannya mendapat bocoran akhir jurnal kita. Dan lelah menunggunya berbisik padaku seperti apakah bunga mekar yang kuncupnya masih kutanam saat ini."

Badanku condong ke depan tanpa melepas genggaman tanganku. Kudaratkan ciuman di atas dahinya selama beberapa detik, lantas pucuk hidungnya yang dipasang kanula untuk mengalirkan oksigen membantunya bernapas, dan bibirnya yang selembut beledu dan semanis madu. Kurasakan hembusan napasnya yang hangat di bibirku. Lalu aku berbisik pelan di depan bibirnya,

"Bangun, Btari. Katakan padaku bahwa aku tidak sedang memagutkan diriku pada pintu kematian. Sebab manis ini bukan manis kematian. Aku pun dapat merasakannya. Ini manis keabadian."

Ia tidak mungkin langsung membalas kalimat itu. Namun aku tak menuntutnya untuk berkata-kata pula. Sekali lagi, aku kecup bibirnya lembut, memandangnya lekat dan muram, duduk menggenggam tangannya, menemaninya meski waktu merongrong berusaha mengusirku.

Transplantasi stem sel berhasil memperbaiki kerusakan organ pemompa darahnya perlahan-lahan, namun dokter belum bisa memastikan akankah ia bertahan hidup, atau sukses melewati masa-masa gelapnya. Perlu beberapa hari memastikan semua baik-baik saja. Dan aku bergantung pada kekuatan sublim nan krusial yang tengah berperang bersama bayangan kematian.

Dan aku sadar, bahwa kematian pun tak akan pernah lepas untuk menggenggam jiwa-jiwa seluruh makhluk. Sekali pun ia terkutuk.

*

Bunda telah menantiku, berdiri di balkon kamar yang ditempatinya, memandang nun jauh ke depan bagai menanti camar bertegur sapa dengannya seperti di tempat kami tinggal. Langit jingga menenggelamkan matahari, menciptakan ornamen-ornamen acak pada kaki langit. Aku berhenti beberapa langkah di belakangnya. Bunda memunggungiku, hanya rambutnya yang digelung ke atas dan punggungnya yang ditampakkan. Namun mataku dapat menangkap getaran pada buku-buku jarinya yang meremas birai balkon. Gaun hasil karyanya itu terkibas mengembang tatkala ia membalikkan badan, bersipandang denganku.

"Bunda pasti marah padaku," kataku memulai.

"Marah itu hal wajar bagi seorang ibu seperti Bunda kalau dihadapkan dengan putranya yang membangkang," katanya. "Tapi marah pun harus pada tempatnya, Nak."

Aku tersenyum mendapatkan balasan seperti itu darinya. Melenggang mendekat, aku ingin menyambutnya dengan pelukan. Bunda menyentuh kedua pipiku hingga membawa mata kami saling bertemu dan dapat kulihat pantulan bayanganku sebagai putranya yang sering membangkang, di kedua matanya yang dibasahi genangan air mata. Bibir tipisnya melengkung laksana bulan sabit. Ia berikan senyum keibuan yang diramu dari kasih sayang untukku. Telapak tangannya yang lembut mengusap pipiku, memandangiku penuh cinta, kemudian berkata setengah berbisik, "Bunda justru bangga padamu. Ini yang disebut bertindak menggunakan pikiran dan perasaan." Tubuhnya bertubrukan denganku begitu ia memelukku. Aku mengangkat kedua tanganku, membalas pelukannya dan merasakan kehangatan bersatu dengan darahku, berdesir deras memenuhi setiap ruas-ruas jariku. Kehangatan seorang ibu pada anaknya. Hanya ini yang sanggup membuatku tenang.

Aku yakin Bunda memahami apa yang kulakukan sekarang. Namun aku tidak yakin kalau Btari bisa memahaminya. Ia akan marah, itu sudah pasti. Dan lagi, aku akan membuat kesedihannya bertambah berkali-kali lipat jika ia sudah sadar dan menyadari semua hal berat yang ia hadapi.

Memang Bunda ini wanita yang berani. Ia tidak takut berada di sarang monster, terlebih setiap kali berada dekat dengan Presiden kami yang telah luluh lantak sisi kemanusiaannya. Setiap patah kata yang dikeluarkannya bagaikan belati yang membidik dan menyayat Presiden Andromeda. Sejak menginjakkan kaki di tanah yang menurutnya asing dan menakutkan bagi sebagian rakyat negeri ini, ia tak menunjukkan adanya sinyal ketakutan atas gertakan demi gertakan tak tersirat di sekelilingnya. Bunda bahkan mengajak beberapa staf kepresidenan mengobrol santai selama tinggal di istana kepresidenan sementara waktu. Seperti menikmati secangkir teh di ruang santai menjelang senja. Kuperhatikan ia di sofa lain, tertawa bersama orang-orang di dekatnya, duduk di sebuah sofa berpunggung tinggi sambil menyilangkan tungkai. Tawa menderas di antara mereka, seperti tak memedulikan adanya percampuran darah antara darah para proletar dengan darah para borjuis negeri ini. Apa yang ia hadapi seakan hanya sebagian dari permainan yang ia yakini akan berakhir dengan kemenangan kami. Bunda selalu berpikir optimis, tak peduli di mana kami berada. Ia berpegang teguh pada hukum alam yang selalu mengatur keseimbangan.

Kubiarkan saja ia melakukan apa yang dianggapnya baik di tempat ini. Mengajak ngobrol sembari memberikan sedikit kelakar bersama orang-orang borjuis memang tidak salah. Sekadar berbagi ilmu yang bermanfaat, walau sebagian dari mereka, si pengikut golongan oligarkis ambisius dan sombong, tetap menganggap kami bagian dari sampah.

"Wah! Anda begitu luar biasa, Nyonya!" salah seorang dari mereka tertawa mendengar celotehan Bundaku yang dapat menjawab setiap pertanyaan dari orang-orang yang mengitarinya di ruang santai. Mereka seakan sengaja menguji Bunda dan berharap bisa mempermalukannya sebagai kesenangan pribadi. Mereka salah jika berpikir sedangkal itu. Bunda tahu betul bagaimana menangani orang-orang arogan macam mereka.

"Percuma saja, sebanyak apa pun pengetahuanmu, kau tetaplah proletar busuk."

Aku yang sedari tadi mengawasi di sofa lain tersentak mendengar kalimat itu. Kupandang pria yang secara kurang ajar menghina Bunda; begundal itu tersenyum miring di sebelah perapian. Meski telah dicaci secara tak sopan, Bunda membalasnya dengan senyuman ramah. Tapi aku tak dapat berdiam diri begitu saja. Api kemarahan seolah berhasil dikobarkan dari sebuah obor. Aku beranjak dari sofa, melangkah menghampiri pria congkak itu. Dalam sekedip mata, tinjuku melayang menghantam wajahnya. Sontak, seluruh perhatian di ruangan ini dilesatkan menuju ke arah kami. Bundaku berdiri tangkas, memanggil namaku dan memintaku duduk dengan tenang.

Pria kurang ajar tadi menyentuh wajahnya. Matanya memicing penuh ancaman, melirikku bagai seekor elang yang mengintai mangsanya. Ia bergerak hendak membalasku dengan pukulan. Dengan cepat kutangkis pukulannya, menahan tangannya kuat, dan mendaratkan pukulan selanjutnya sampai membuatnya tersungkur. Suara gumaman riuh menyeruak di belakang sana, termasuk suara melengking Bunda.

"Nak!" suaranya makin meninggi. "Hentikan."

Badanku terputar ke belakang. Kupandangi Bunda yang memintaku berhenti bersikap layaknya orang bar-bar melalui tatapan tajamnya. Kuatur pernapasanku yang memburu dikuasai oleh kemurkaan.

"Sekali lagi Anda berkata seperti itu di depan ibunda saya, Anda tak akan keluar dari sini dengan selamat."

Lagi-lagi Bunda mendelikkan mata memperingatkan. Aku sudah berniat kembali ke tempatku tadi, namun pria brengsek itu berulah dengan mencoba-coba kesabaranku. Dari belakang hampir ia menghantamkan vas bunga ke arahku, namun dengan sigap aku berbalik dan menahan tangannya, menelikungnya ke belakang sampai membuat ia meringis kesakitan. Vas bunga di genggamannya jatuh di bawah kaki, pecah dalam kepingan-kepingan kecil.

"Minta maaf padanya."

"Mana sudi!" Ia meludah jijik. Makin kutambah cengkeramanku pada tangannya hampir meremukkan tulangnya. Pria itu mendengking kesakitan, menggumam dalam bahasa asing. "Pardon me!"

"Kau tak bisa menggunakan Bahasa, hah?" Kupelintir tangannya makin keras, membuatnya mendengking kesakitan. "Katakan dengan tulus."

Pria itu pada akhirnya mendesah mengalah. Dipandangnya Bunda lekat-lekat sebelum kalimat permintaan maaf terlontar dari bibirnya yang mengucurkan darah. "Maafkan saya, Nyonya."

"Sudah, Anakku. Lepaskan dia. Kekuatan digunakan untuk bertahan, bukan untuk menyerang." Bunda memberi peringatan padaku. Kusorong kasar pria itu sampai membuatnya terjengkang ke depan dan bergegas merapikan kerah jasnya. Aku menatapnya, memberi peringatan tak tersirat, sedangkan ia tak memedulikan lagi keberadaan kami, alih-alih melimbai gusar menuju keluar.

*

Dan malam itu, aku tak sengaja mendengar perbincangan antara Bundaku dengan Presiden Andromeda. Bukan bermaksud mencuri-dengar. Aku tidak sengaja lewat di depan ruang santai dengan perapian menyala menghangatkan tubuh mereka sewaktu hujan turun deras. Mereka terlibat perbincangan antarwanita yang pastilah tak sopan jika kudengarkan. Sayangnya aku terlanjur penasaran. Maka kudengar saja apa yang mereka bicarakan selama duduk berdampingan di dua sofa berpunggung tinggi yang diletakkan sedikit saling serong.

Presiden Andromeda meletakkan cangkirnya di atas leper seraya menyandarkan kepala pada punggung sofa. "Anakmu memang bodoh. Mau saja menerjunkan diri ke dalam lubang kuburannya sendiri hanya demi seorang gadis hasil rekayasa genetika yang sekarat. Benar kau telah mengajarinya dengan baik?"

"Saya yakin sudah mengajarinya dengan sangat baik," Bunda membalas tenang. "Saya selalu mengajarkan putra saya apa artinya berjuang untuk dirinya sendiri, untuk orang yang dicintainya, dan untuk negaranya."

Aku menyeringai, sedangkan Presiden Andromeda kontras dengan balasanku. Ia menatap Bunda lekat-lekat dan aku yakin dalam benaknya ia mengutuk keberanian—atau dalam pemikirannya merupakan sebuah kebodohan tak termaafkan—Bunda terhadap ucapannya yang bisa menyenggol insting pembunuh wanita tiran itu.

"Saya tanamkan pada dirinya bahwa setiap detik perjuangan berat yang dilakukannya akan dibalas dengan seribu tahun keberhasilan," Bunda melanjutkan.

"Kadang aku heran, mengapa orang proletar berpikiran sempit macam itu." Presiden Andromeda menghela napas hiperbolis. Ia pandang Bunda, seperti menelanjanginya dalam kenistaan. "Itukah yang membuatmu—atau sebagian dari kalian—tidak putus asa mencari celah menggulingkan pemerintahan negeri ini? Terlalu bermimpi kadang mematikan indera lain manusia yang dapat meraba realita." Nada wanita tiran itu terdengar angkuh. Ia tersenyum simpul. "Hukum alam di era seperti sekarang, Candrakanti, orang-orang seperti kamilah yang selalu berhasil. Bermimpilah bersama kaummu, meratapi nestapa dengan mengeluh seumur hidup. Itu pun, jika kalian tak pandai bertahan di tengah lingkungan keras seperti sekarang."

"Memang, Bu Presiden. Kami hidup di tengah kesusahan dan keterpurukan, tapi kami melewatinya dengan suka cita. Kami belajar dari Datura Arboera yang tidak pernah mengeluh walau seumur hidupnya tak pernah mengenal langit. Ia tertunduk ramah memandang bumi meski dianugerahi keindahan tiada tara. Dan siapa sangka jikalau ia menyimpan racun mematikan di setiap jengkal tubuhnya yang tampak rapuh nan layu?"

Presiden Andromeda seolah mendapatkan satu tinjuan keras mendengar kalimat Bunda yang mengalir bagai air sungai jernih. Bunda menambahkannya dengan senyum singkat, meraih cangkir tehnya dan meneguk perlahan minuman itu tanpa kuatir terhadap racun yang bisa saja secara licik dicampur oleh wanita iblis itu. Presiden Andromeda menghela napas panjang.

"Ucapan terberani yang pernah keluar dari mulut seorang proletar. Apalagi di depanku. Kita sama-sama wanita yang hidup di tengah perjuangan keras, bukan begitu?" Ia terkikik pelan.

"Ya." Bunda mengangguk. Diletakkannya cangkir minuman hangat itu ke atas meja. "Kita memang sama-sama wanita yang memikul beban berat. Tapi bedanya, saya melakukannya untuk orang-orang tercinta, sedangkan Anda melakukannya untuk diri Anda sendiri. Sebab Anda tidak memiliki orang yang mencintai dan Anda cintai." Bola mata Bunda mengekori jam holografik yang terpampang di atas perapian. Tanpa mengacuhkan ekspresi Presiden Andromeda yang bagaikan dikuliti hidup-hidup, Bunda menundukkan kepala hormat. "Saya rasa ini sudah terlalu malam. Permisi, Bu Presiden." Lantas melenggang melintasi ruang santai, mengabaikan Presiden Andromeda yang tetap diam tak bergerak dengan gestur aneh di tempat duduknya.

Sebelum Bunda memergokiku menguping pembicaraan kedua wanita itu, aku segera berlalu pergi, sambil tak melenyapkan cengiran di wajahku membayangkan betapa syoknya Presiden Andromeda mendapatkan bogeman telak seperti tadi. Terlebih dari seorang proletar.

*****

Racun sianidanya bukan terinspirasi dari kasus Mirna ya. Karena saya menyelesaikan naskah ini sudah dua tahun lalu dan tinggal salin ke sini wkwkwkwkwk

Sama kayak Helenina. Banyak yang ngira bagian sianida terinspirasi dari Mirna. Padahal saya memilih jenis racun ini karena paling mudah dikenali baunya hehehehe

Ada yang baca Klandestin? Ngerasa nggak kalau karakter Bundanya Nagara sama Bundanya Nirbita sama?

Continue Reading

You'll Also Like

498K 36.1K 24
[ BUDAYAKAN FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] @rryaxx_x8 Adrea tidak percaya dengan yang namanya transmigrasi. Mungkin didalam novel itu wajar. Tapi bagai...
15.2K 1.5K 155
Bertani di masa kiamat: Saya mengandalkan ruang untuk menimbun jutaan barang https://www.69shuba.pro/book/48552.htm Penulis: Anggur Qijiu Kategori: R...
650K 66.7K 64
KARYA ASLI BUKAN NOVEL TERJEMAHAN CERITA INI DIBUAT UNTUK DINIKMATI BUKAN UNTUK DI PLAGIAT, HARAP DIBACA DAN JANGAN DI JIPLAK.? I was kidnapped by...
330K 17.5K 38
"maafkan aku Violetta" Tentang Damian yang begitu menyesal atas segalanya yang dia lakukan kepada istrinya. Menyesal telah mengabaikannya, menyesal...