Greatest Accidental

Por mayuyumi_

91.5K 9.7K 1K

[Completed] [Pjm.Myg & Kth.Jjk] Awalnya hanya iseng berpikir untuk bisa lolos dari tilangan polisi, namun pem... Más

I. Almost Raid by Police
II. Hangout-to-Fleed
III. Almost Raid by Police (2)
IV. (Un)Lucky?
V. Should We Call It As A Luck?
VI. Once Upon A Time
VII. Un-Yoongi-like. Typically Jungkook-ssi Pt. 1
IX. Path Pt. 2
X. Un-Yoongi-like. Typically Jungkook-ssi Pt. 2 Bag. 1
XI. Un-Yoongi-like. Typically Jungkook-ssi Pt. 2 Bag. 2
XII. Festival; Day 2
XIII. Alteration
XIV. Kim Taehyung and His Struggle
XV. Of You, Me and the Parents Bag. 1 (MinYoon)
XVI. Of You, Me and the Parents Bag. 2 (VKook)
XVII. Jeju-do
XVIII. eL Oo Vhi Ee ~Part 1
XIX. eL Oo Vhi Ee ~Part 2 End
Extra .1 ; MinYoon
Extra .2 ; TaeKook
Extra .3 ; NamJin ft. ChangSeok
Extra .1.2 ; MinYoon

VIII. Path Pt. 1

3.4K 411 23
Por mayuyumi_

Greatest Accidental ©Fujimoto Yumi, 2016

Park Jimin X Min Yoongi

Kim Taehyung X Jeon Jungkook

BTS's member ©God, themselves

Rated T – M. / Romance, Fluffy, Humor, Friendship.

Slash. Yaoi. Boys Love. OOC. Indonesian!AU.

Police!NamVMin. CollegeStudent!JinSugaHopeKook.

Older!NamVMin. Younger!JinSugaHopeKook.

Note : DLDR? I gain no profit by publishing this story.

Based on true story. Thanks to ma friends who inspires me with her story XD

This is just for fun. Enjoy and happy reading.

Bahasa non-baku. Beware.

Summary : Awalnya iseng mikir untuk bisa lolos dari tilangan polisi, namun pemikiran itu justru membawa Yoongi dan Jungkook pada kenyataan bahwa setiap keisengan akan berakhir dengan konsekuensi (yang membahagiakan dalam kasus mereka).

.o.o.o.o.

Greatest Accidental

Chapter 8 : Path Pt. 1

Summary for this chapter :

Karena ketika hati sudah menyerah.

Sekeras apapun kekuatan memberi petuah untuk terus berjuang.

Maka hanya akan ada ketersia-siaan.

Bukan karena mau. Tetapi harus.

Itulah yang membedakan antara hatimu dan hatiku.

Yang pada akhirnya memberi perbedaan, menciptakan batas tak kasat mata yang berakhir menyakiti kita.

.o.o.o.o.

Chapter 8

Path Pt. 1

.o.o.o.o.

Taehyung pikir, sedekat-dekatnya dia dengan Jungkook, dia merasa bahwa ada batas tak kasat mata yang memisahkan mereka. Selengket-lengketnya Jungkook padanya, pasti ada saat di mana Jungkook akan benar-benar jauh.

Dan karena itu Taehyung tidak mau memiliki harap berlebih. Bagaimana jika Jungkook tipe php?

Ah, Taehyung itu pemuda berusia 25 tahun yang sudah mapan lahir dan batin kan? Masa dibuat galau dan stress begini hanya karena mahasiswa berusia 18 tahun?

Maka Taehyung berpikir untuk membiarkan semuanya berjalan layaknya air yang terus mengalir. Menahan perasaannya yang terus membuncah karena dia yakin pasti ada saat di mana semuanya akan berakhir bahagia

.

.

.

Hari itu Taehyung menunggu di mobilnya setelah tadi ia mengatakan pada Jungkook agar menyelesaikan pekerjaannya dulu. Ini sudah hampir minggu ketiga liburan semester Jungkook, dan Taehyung tidak pernah absen untuk mengunjunginya atau mengajaknya jalan-jalan.

Taehyung tidak pernah mengatakan bahwa itu adalah kencan. Biarlah Jungkook sendiri yang menganggapnya apa karena Taehyung benar-benar menikmati kebersamaanya bersama anak kelinci imut itu.

Bukan kali pertama Taehyung benar-benar menunjukkan afeksinya. Tetapi Jungkook selalu bisa mengacaukan itu semua. Karena itu Taehyung tidak mau memaksa. Mungkin ada saatnya semua yang ada di antara mereka terjawab seiring berjalannya waktu.

Maka ketika Jungkook tersenyum lima jari menghampiri mobilnya, Taehyung sudah siap dengan segala sesuatu yang akan membuat senang anak itu. Namun untuk sekali saja, bolehkah Taehyung berharap kini Jungkook yang menentukan tempat jalan-jalan mereka?

"Jadiiii kita mau ke mana?"

"Mollayo, hyung. Kan hyung yang ngajak Kookie jalan-jalan."

Selalu itu. Taehyung berharap Jungkook akan menjawabnya berbeda kali ini. Tetapi... ya tetap saja begitu.

Si brunette menghela napas lalu menatap Jungkook yang juga menatapnya. "Gimana kalau Kookie yang gantian nentuin?"

"Hmmm..." Taehyung benar-benar merasa gemas akan tingkah Jungkook sekarang. Maka tanpa bisa menahannya, ia pun mencubit kedua pipi Jungkook yang agak gembil membuat sang empu meringis meminta dilepaskan. "Hyung appoooooo~"

Taehyung hanya tertawa. Lalu menyalakan mesim mobil untuk kemudian membelah jalanan sore hari bersama Jungkook yang sudah teriak agar Taehyung membawanya ke sana.

.

.

.

Tujuan Jungkook selalu sesederhana yang Taehyung pikir. Tetapi namja berambut coklat itu senang, setidaknya Jungkook selalu ingat kewajibannya soal belajar.

Yap, Jungkook menarik Taehyung ke toko buku. Setelah itu akan memintanya menraktir apapun yang Jungkook mau. Tak ada yang bisa Taehyung lakukan kecuali menuruti semua yang namja imut itu pinta. Karena bagaimanapun, melihat senyum Jungkook adalah apa yang selalu Taehyung inginkan.

"Taetae-hyung?"

"Hmmm?"

"Hyung bosen ya nemenin Kookie ke toko buku terus?"

"Ga kok, kata siapa, hm?" Taehyung dengan kemeja kotak-kotaknya melihat langsung ke wajah Jungkook dan seketika benar-benar gemas akan ekspresi yang dikeluarkan sosok itu. Taehyung membawa kedua tangannya untuk mencubitnya kemudian mengelus kedua pipi Jungkook dengan ibu jarinya, penuh sayang. "Kenapa kamu itu imut banget sih, hm? Hyung gemes banget tau sama Kookie."

Jungkook hanya cengengesan dengan menunjukkan gigi kelincinya yang semakin membuat Taehyung merasa ingin menculiknya dan membawanya pulang. Tapi sayang, dia ingat kalau dirinya itu oknum masyarakat. Yakali dia nyulik anak orang dan berakhir di penjara –yang merupakan tempatnya kerja sehari-hari? Taehyung belum cukup gila untuk melakukan itu, kawans.

"Kamu mau beli apa?"

"Buku."

"Ya tau, Kookie, buku. Buku apa maksud hyung, gituloh."

"Ya bukuuu~"

"Ya buku apaaa? Ih hyung kok makin gemes sama kamu?"

"Hehehehe~"

"Malah nyengir. Yaudah sana cari bukunya, gih."

"Siap, hyung!"

"Hyung tunggu di bangku itu, ya?" Taehyung menunjuk bangku tak jauh dari tempat mereka berdiri. Jungkook hanya mengangguk kemudian tanpa sengaja berkedip pada Taehyung yang membuat namja lebih tua itu mengerjap sesaat karena merasa pasokan oksigen tengah mengkhianatinya. "Shit. Barusan tuh anak ngedip, kan? Astaga Taehyung banguuuuuuuuuuuuuuuuunnnnn!"

Taehyung menjambak rambutnya lalu berjalan dan mendudukkan dirinya di kursi tunggu. Membiarkan Jungkook menghilang dari rak ke rak mencari entah buku apa dan tak menyadari bahwa ia baru saja membuat Kim Taehyung merasa menjadi orang paling gila hari itu.

"Liat aja, Kookie. Hyung langsung lamar baru tau rasa."

Sayangnya tanpa Taehyung tahu, Jungkook mendengarnya dan hanya tersenyum kemudian benar-benar berlalu mencari apa yang ia butuhkan.

.

.

.

Jungkook mendatangi Taehyung dengan beberapa buku di tangannya. Kemudian pamit lagi untuk membayar, namun Taehyung menahannya. Taehyung menawarkan diri untuk membayarkan buku-buku Jungkook dan menyuruh namja kelinci itu duduk tenang di kursi yang barusan ia duduki.

"Kookie tunggu sini biar hyung bayar bukunya dulu, oke?"

"Tapi kan hyung—"

"Kookie tunggu di sini, hm?"

Jungkook cemberut tapi mengangguk dan mendudukkan dirinya. Membiarkan Taehyung membawa buku-buku yang ingin ia beli. Padahal Jungkook ingin bayar sendiri, namun apa daya kalau Taehyung ingin membayarkannya?

Sembari memperhatikan punggung Taehyung di meja kasir, Jungkook menghela napas lelah. Tuhan, kapan Jungkook bisa memeluk punggung Taehyung semau dan sebebas yang ia mau? Bolehkah dia berkhianat sekarang? Bolehkah?

.

.

.

Kala itu Jimin mengusak kasar rambut basahnya kemudian turun ke lantai bawah, berniat makan karena hari terlampau siang. Ini hari Minggu, tetapi kenapa rasanya rumah sangat sepi? Saat di ruang keluarga, Jimin hanya menemukan appanya yang tengah duduk anteng menonton tv, dan ketika melihat Jimin datang, sang appa langsung meminta Jimin menjaga fotokopian, karena ummanya dan Jisoo sedang pergi ke pasar.

Pasrah, Jimin pergi ke dapur untuk mengambil makanan supaya bisa menjaga bisnis keluarganya sambil makan. Dan untungnya makanannya sudah habis ketika bel pintu tokonya berbunyi.

"Ah, selamat dat—"

Belum sempat Jimin mengucapkannya, pintu itu langsung tertutup kembali begitu saja. Tetapi Jimin yakin ia bisa mengenali siapa yang ingin masuk itu.

Yoongi. Ya dia.

Jimin hanya menghela napas maklum. Bukankah ini jalan yang dia pilih? Menjauhi Yoongi, adalah jalan yang terbaik pikirnya maupun menurut Yujin, kakak Yoongi.

Tetapi yang terjadi selanjutnya membuat Jimin langsung menoleh lagi. Pintu itu kembali terbuka dan Yoongi benar-benar masuk ke dalam, berdiri berhadapan dengan Jimin yang hanya dibatasi etalase berisi alat-alat kantor dan yang lainnya.

Jimin ingat prinsip berbisnis. Sekalipun yang kau hadapi adalah musuhmu, dia di sini untuk hal lain. Seperti apa yang Yoongi lakukan waktu itu di café ZhouZhou, maka Jimin tersenyum dan menanyakan keperluan namja berambut caramel di depannya.

"Ya? Ada yang bisa dibantu?"

"Fotokopi. 20 rangkap."

"Ditunggu, ya." Sembari mengambil kertas yang disodorkan Yoongi, Jimin berucap kemudian berlalu membelakangi sosok yang kini menatap punggungnya penuh pertimbangan.

Haruskah ia minta maaf?

Yoongi menghela napas lelah. Kenapa tadi ia malah buru-buru menutup pintu tempat ini saat melihat Jiminlah yang menyambutnya? Mereka hanya perlu saling pura-pura tidak kenal, kan? Kenapa Yoongi harus membuatnya jadi sesulit ini?

"Ini, ada lagi?" Jimin memberikan lagi kertas yang tadi Yoongi berikan bersamaan dengan hasil fotokopiannya. Kemudian ia melihat Yoongi menggeleng dan bertanya berapa jumlah uang yang harus ia bayar.

Sesudah Jimin menghitung dan menyebutkannya, berucap terima kasih dengan pelan, Yoongi berlalu dari tempat itu tanpa mengindahkan hatinya yang terus berteriak untuk meminta maaf.

Sesungguhnya, mungkin itu yang Yoongi dengar. Tetapi mungkin juga itu hanya perasaannya.

Jimin yang ditinggalkan hanya tersenyum lagi. Sampai membuat appanya yang kebetulan melihat mereka menggeleng lalu menepuk kepala putra sulungnya. "Jangan senyum terus nanti mulutmu robek, Jim."

Dan Jimin membalasnya dengan tertawa. Namun langsung diam saat sang appa menambahkan. "Kalau cinta itu, sekalipun disuruh pergi ya toh jangan pergi. Namanya cinta ya berjuang. Umur 25 kalo digituin aja nyerah gimana mau seriusin dia?"

Nyelekit. Jimin langsung menoleh ke appanya yang langsung pergi begitu saja. Sepeninggal namja paruh baya itu, Jimin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sedikit membenarkan perkataan ayahnya, namun banyak menyalahkan setiap frasa yang ada di dalamnya.

Kalau saja ayahnya tahu bagaimana Yoongi. Akankah dia menjadi Jimin atau terus berjuang mendapatkannya? Entahlah.

Jimin hanya butuh waktu, pikirnya. Dan semuanya akan indah jika memang mereka berjodoh. Benar kan?

Tak lama, suara sang appa kembali terdengar. "Jangan ngimpi terus. Wujud-in dong, Jim. Ngimpi dia jadi jodohmu, kalo ga dicoba diraih ya kapan nyatanya?"

"Appa diem aja napa. Udah sana nonton tipi lagi."

"Cuma saran."

"Iya tau."

"Semangat ya anak appa."

"Makasih appa."

"Jangan lupa cucu kalo udah jadian."

"YAKALI LANGSUNG CUCU."

"Anak jaman sekarang kan gitu. Ngasih cucu dulu baru minta ngadain resepsi."

"Jangan samain Jimin sama mereka, appa. Yaampun ama anak sendiri gitu amat."

"Appa kebelet pengen punya cucu."

"Bodo. Minta aja sana sama umma."

"Ummamu udah gamau punya anak lagi, Jim."

"Yaiyalah, appa. Ngaca dulu lagian umur segini masih mau anak bayi."

"EH MULUTNYA YA!"

"ASTAGA KHILAF! Maafin Jimin ya, appa."

"Untung anak, coba bukan. Udah sana jaga lagi."

"Iyaaaa."

Tetapi, mau umur hampir kepala tiga atau bukan, bagi Mr. Park dan istrinya, Jimin adalah anak pertama –imut- mereka yang selalu asyik untuk digoda. Membuat Jimin marah atau berteriak, itu jadi suatu kesenangan sendiri bagi mereka.

Jimin juga kadang lupa kalau dia sudah dewasa. Untungnya di saat itu terjadi, Jisoo menyadarkan dia. Namun karena percakapan barusan, sedikitnya membuat Jimin merasa lebih baik.

Berjuang, ya? Mungkin nanti... jika Yoongi memberi kode lampu hijau untuknya berjuang lagi. Dan membiarkan Jimin menghancurkan batas tak kasat mata yang sejujurnya sangat terlihat saat mereka saling berhadapan tadi. Membuat hatinya serasa nyeri, tetapi Jimin tak bisa melakukan apa-apa kecuali melihatnya dalam sunyi dan pedih yang ia ciptakan sendiri.

Cuaca yang mendung kala itu menemani Jimin memaki dirinya yang begitu payah. Membiarkan sosok yang ia puja berlalu begitu saja tanpa berusaha untuk menahannya lebih lama. Atau membuat hadirnya kesempatan supaya dinding di antara mereka hancur lebur tak tersisa.

Tetapi Jimin sedang menyerah sekarang, dan menunggu datangnya waktu untuk dia bangkit kembali. Hanya itulah yang bisa ia yakini, di saat hatinya terus memintanya untuk kembali menggapai apa yang tadi bisa di raih namun Jimin terlalu takut.

Karena pada dasarnya... dia hanyalah seorang pengecut... bukan begitu?

.

.

.

Hari itu Taehyung meliburkan diri, karena semua laporan yang harus dia berikan pada pak Namjoon sudah sepenuhnya ia sampaikan. Dan sepertinya atasannya itu sedang dalam mood senang? Apa kemarin Taehyung melihat sosok yang mirip teman Jungkook sedang bersama atasannya? Ah, entahlah. Itu bukan hal yang penting karena sekarang Taehyung tengah bersiap. Pemuda itu menyisir rambut coklatnya sambil berkaca, kemudian melirik sekilas ponselnya berharap ada balasan dari Jungkook.

Karena hari itu Taehyung mengajak Jungkook untuk pergi lagi. Ke mana? Kebetulan orangtua Taehyung yang penasaran acapkali mereka menelpon dan Taehyung selalu memasang tawa, bertanya-tanya adakah sosok yang kini tengah membuat putra mereka berbunga-bunga.

Ya, kalau boleh... Taehyung ingin membawa Jungkook mengenal orangtuanya. Mungkin memang bukan dikenalkan sebagai pacar, karena itu masih terlalu cepat. Setidaknya, mereka saling mengenal. Dan hal itu memacu Taehyung untuk berpikir... bisakah ia juga mengenal orangtua Jungkook?

Setelah beberapa puluh menit tak mendapatkan jawaban, Taehyung berinisiatif menghampiri Jungkook di tempat kerja sambilannya. Berharap si namja kelinci ada di sana, dan mau untuk dikenalkan ke orangtuanya. Semoga saja.

.

.

.

Musim semi yang perlahan mengayun menerbangkan helaian hitam milik Jungkook ketika ia pergi keluar toko untuk buang sampah. Ia kemudian berkacak pinggang saat angin benar-benar menyapa wajahnya. Kepalanya mendongak ke atas dan melihat angkasa biru yang menyebar ruak di atas sana.

Sampai ketika seseorang menepuk bahunya, Jungkook menoleh hanya untuk berteriak senyaring yang dia bisa.

"UMMAAAAA?"

Tetapi Jungkook masih pada posisinya. Ia masih meloading tentang sosok yang berdiri di depannya sambil tersenyum.

Lambat laun sadar bahwa ia sudah menyapa wanita cantik itu, dan selanjutnya Jungkook membawa tubuhnya untuk memeluk sosok yang sangat ia rindukan.

"Ummaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa~ kangeeeennnnn~"

Dan daun di ranting pohon musim semi ikut mengayun, menemani reuni itu dengan senyuman yang bertengger di masing-masing sudut bibir sepasang ibu-anak yang saling merindukan.

Untung saja toko tidak begitu ramai. Karena itu Jungkook bisa berjaga sambil bermanja-manja pada ibunya. Sekalipun Jungkook sudah meminta sosok itu menunggu di kost-an, Mrs. Jeon tetap keukeuh untuk menemani anaknya di toko itu.

"Umma tunggu di kost-an ajaaaa. Kan ada kak Jin di sanaaa~"

"Yoongi dan Hoseok juga satu lingkungan kost sama Kookie, kan?"

Jungkook mengangguk sambil mengusel pada ummanya. "Iyaaa, tapi kak Sugar lagi pulang ke Daegu~ kak Hosiki kerja sambilan juga ummaaa~"

"Tuh, Yoongi aja inget pulang ke Daegu, kenapa anak umma yang satu ini engga?"

Jungkook cemberut membalasnya. "Kookie kan lagi kerja, wek."

Mrs. Jeon dibuat terkekeh akan tingkah putranya ini. Sekalipun sudah jalan 19, tetap saja menggemaskan. "Arrayo~ umma mengerti~"

Dan di saat keduanya terkekeh itulah, pintu toserba terbuka. Menampilkan kepala coklat yang membuat Jungkook terpekur lucu dengan mulut bulatnya setelah menyebut nama si sosok yang baru saja masuk. "Taetae-hyung?"

.

.

.

Yoongi melangkahkan kakinya super malas di halaman rumahnya di Daegu. Setelah diseret secara paksa oleh abangnya yang tidak berperikesaudaraan itu, ia tak punya pilihan selain ikut pulang ke Daegu untuk bertemu umma dan appanya (yang katanya merindukannya).

Mulutnya sedari tadi mengeluarkan sumpah-serapah untuk Yujin yang hanya cuek seolah tuli akan mulut pedas adiknya.

Tetapi sepertinya dia jengah juga. Maka Yujin menyeletuk membalas adiknya. "Diem, oi, bacot amat, berisik. Itu mulut apa sambel? Pedes amat ama abang sendiri."

"Bodo."

"Lu ga kangen umma appa?"

"Kangen. Tapi lu ga perlu narik gue ke sini macem bawa paksa pelaku kejahatan ke penjara."

"Cie."

"Apaan cie."

"Kok mengacu pada polisi-polisi gitu, ya? Pernah ada oknum polisi yang pdkt-in lu y—ADUH! ANJIR SAKIT!" kalimat Yujin berubah ringisan sakit saat Yoongi membuka sepatunya lalu dengan seenaknya melempar barang itu ke muka abangnya. "Syalan. Punya adek kayak apaan tau. Udah galak, judes, sadis lagi. Untung ada yang su—"

"HAH HAH HAH?! APA COBA GUE GA DENGER?!"

"Anjir dia ngamuk. Kaburrrrrrrrrrrr." Yujin bergegas masuk ke dalam rumah menghindari amukan adiknya yang sudah keluar tanduk. Yoongi itu, bagi Yujin mudah sekali dibaca. Moodnya yang makin jelek selama liburan membuktikan bahwa ada yang berubah darinya.

Apalagi Zhoumi bilang, semenjak Yoongi melihat sosok polisi yang selama ini mengejarnya datang bersama cewek ke cafenya, mood Yoongi makin hancur. Bukan lagi Yujin, teman-temannya atau Zhoumi yang kena imbas, tapi rekan-rekan kerja di café itu pun juga.

Dan sebelum benar-benar kabur menghilang ke kamar, Yujin bisa mendengar adiknya mengumpat padanya. "Bang Yujin jomblo ga laku kurang kerjaan. Awas aja lu awas. Dasar jones."

Dia suka ga ngaca, adek gue cakep-cakep otaknya miring ih miris, Yujin membatin meninggalkan ruang keluarga di mana ummanya sudah siap menenggelamkan sang adik dalam pelukan mautnya.

"UMMAAAA~ YOONGI PUNYA GEBETAN TUH DI SEOUL. UDAH MAPAN LAGI!"

"BANG YUJIN SINI LU TURUN. GUE ULEK BARU TAU RASA."'

.

.

.

Taehyung duduk tegak di depan sepasang ibu dan anak yang masing-masing menatapnya, dengan pandangan yang berbeda. Kalau Jungkook menatapnya sambil senyam-senyum, lain lagi ibunda Jungkook yang menatapnya seolah menilai Taehyung dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rasa-rasanya, ini seperti konsep 'first meeting' di rumah calon mempelai atau semacam acara lamaran secara tidak sengaja.

Demi semua senyum imut milik Jungkook, Taehyung gugup, man!

Tolong Taehyung Tuhaaaan?!

"Nak Taehyung?"

"Eh, ya? Maaf? Ah... errr—aish maaf..."

Taehyung gugup kan? Iya, jadi wajar saja kalau kosakata miliknya lenyap semua. Untungnya ibu Jungkook hanya terkekeh di mana Jungkook sendiri sudah nyengir lebar melihat betapa nervousnya Taehyung di depan mereka.

"Santai aja. Kenapa jadi gugup begitu, sih?"

"Ya... emm maaf, saya cuma ga nyangka akan ketemu ahjuma semendadak ini."

Kepedean ga sih, Tae? Seolah-olah mau bilang kalau pertemuan ini udah direncanain, mau sekalian ngelamar Jungkook gitu?, batin Taehyung sendiri ngelantur.

Tetapi senyuman yang masih bertahan di bibir Mrs. Jeon di depannya, sedikitnya meringankan beban di pundak Taehyung, yang kali saja bertekad untuk menjauhkan anaknya darinya.

"Kalian udah kenal sejak kapan?"

"Errr... awal semester perkuliahan Jungkook?"

"Taehyung kerja?"

"Ah, ne, ahjuma. Saya udah kerja... well... di kepolisian."

"EH? JINJJA? Taehyungie polisi?"

Kaget. Awalnya begitu karena tiba-tiba Mrs. Jeon teriak, tapi untung Taehyung bisa tetap memasang muka gantengnya. "Iya, ahjuma. Saya bekerja di kepolisian."

"Wah, keren yaah. Kookie bilang dia mau jadi polisi dewasa nanti. Entah dewasa kapan maksud dia. Sedangkan kuliahnya dia malah ambil bahasa gini, kkkk. Kookie itu emang ga bisa ditebak. Tapi kalau nak Taehyung bersedia, yah... tolong ajari Jungkook sedikit demi sedikit tentang polisi-polisi gitu."

Yang dibicarakan sudah cemberut di tempatnya. Taehyung hanya tersenyum dan mengangguk. Ia melirik Jungkook yang sudah merajuk meminta sang umma berhenti membahas itu.

"Umma ga asik."

"Kenapa? Seengganya kalau ga jadi polisi, Kookie nikah aja sama polisi kan kebagian jadi pasangannya polisi."

"Apa sih umma ga nyambung wuuu."

Dan Mrs. Jeon hanya tertawa lalu mengelus kepala anaknya. Wanita itu pun kembali larut dalam obrolan bersama Taehyung yang sepertinya lupa untuk mengajak Jungkook bertemu orangtuanya.

Biar sajalah. Bukankah begini lebih baik?

.

.

.

Jimin duduk di teras rumahnya setelah memesan pada Jisoo untuk membawakannya es teh. Polisi muda itu bersandar pada bangku santai yang ada di halaman belakang rumahnya, sembari menunggu kedatangan Taehyung yang katanya mau main ke sini.

Mau apa Jimin juga tidak tahu, tetapi namja bersurai coklat itu sudah terlalu sering ke sini. Bahkan sampai ummanya menganggap Taehyung seperti anak sendiri, dan akan mengingatkan Taehyung untuk terus datang lagi.

Tak lama pemikiran tentang sahabatnya berganti lagi ke sosok Yoongi. Sejak hari itu, Jimin tak pernah melihatnya lagi. Di café yang waktu itu Jimin datangi pun, Yoongi tidak ada. Saat Jimin sengaja pulang kantor melewati kost-an tante Yoona pun tak sedikitpun adanya eksistensi Yoongi. Ke mana dia?

"Sejak kapan rambut lu jadi item, Jim?"

"Udah lama. Makanya jangan mikirin Jungkook mulu." Jimin membiarkan Taehyung ikut duduk bersandar di bangku santai sebelahnya. Tanpa melirik sahabatnya, Jimin tahu Taehyung tengah melempar tanya ke arahnya. "Apa?"

"Lu... sebenarnya udah nyerah beneran?"

"Kok lu tau?"

"Yaelah. Masih aja kaku sama gue, Jim? Serius. Waktu itu di café ZhouZhou itu si Yoongi, kan?"

"Yaps."

"Dan lo biasa aja? Malah dengan santainya ngobrol sama Haeryoung. Ga ngerasa ada yang berusaha mecahin pala atau nyakar muka orang?"

Jimin tertawa. Siapa yang Taehyung bicarakan? Yoongi?

"Gue sih ngerasanya yah, waktu nyusulin lu ke café waktu itu, si Yoongi cemburu deh."

"Ga mungkin."

"Ga ada yang ga mungkin, kawans. Lo pikir, kalo dia ga cemburu, ngapain dia keliatan badmood gitu. Eh, bentar, dia emang selalu keliatan badmood."

"Terus?"

"Lo bilang, waktu itu abangnya Yoongi bantuin lo? Ngasih saran apa dia?"

"Hmmm..." Jimin berusaha mengingat-ingat apa yang dipetuahkan Yujin, abangnya Yoongi padanya. Yang justru Jimin merasa itu malah makin menjauhkan Jimin dari sosok mungil itu. "Dia bilang Yoongi orang yang selalu dapetin apa yang dia mau. Dia nyaranin gue buat iyain kemauan Yoongi dan ikutin permainan dia. Tapi kok ya... nyesek, bruh."

Taehyung balas tertawa –lebih ke arah mendengus sih. Merasa lucu pada pemikiran sahabatnya ini. "Lo tuh ya. Cepet banget nyerahnya."

"Mungkin nyerah sekarang, Tae. Tapi gue cuma lagi usaha untuk ngumpulin lagi kekuatan buat bangkit."

"Alah basi. Lo ngomong gini ujung-ujungnya juga nyerah beneran."

"Byuntae syalan. Gue serius. Yang ini... gue ga bisa ngelepasin gitu aja."

"Ya berjuang lah."

"Iya gue tau. Btw lu sama Jungkook gimana?"

"Gimana apanya? Lo tau? Sedeket apapun gue sama dia, gue ngerasa kami punya jarak. Gatau sih ya. Rasanya gitu aja."

"Lo ga coba tembak, Tae?"

"Gue malah pengen ngajak dia ketemu bokap-nyokap gue, Jim. Eh malah gue yang ketemu ummanya."

"NJIR SERIUS?"

"Yap." Taehyung meminum isi kaleng yang entah sejak kapan ada di sana. Lalu melirik Jimin yang masih menatapnya. "Kalo ditanya pengen atau ga nembak si Jungkook, ya mau banget lah. Tapi tiga kakaknya itu, loh."

Jimin balas mendengus mendengar itu. "Kalo lo sayang dan tulus sama Jungkook, gue yakin mereka ngerti."

Taehyung mengangguk, mengiyakan. "Sekarang. Tinggal elo, Jim. Mau maju atau stuck di sini?"

"I dunno either. Just let it flow."

"Pala lo tuh. Tentuin lah. Gue siap bantu."

"Gue gatau harus makasih atau noyor pala lu, Tae."

"Syalan. Mati aja lu ngejomblo."

"Ngaca pak. Situ juga jomblo. Btw pak Namjoon sama temennya Yoongi ya? Si Seokjin-Seokjin itu?"

"ITU BENERAN TEMENNYA JUNGKOOK-YOONGI?"

"Iya sih kayaknya."

"YHA ANJIR TERNYATA MATA GUE MASIH SEHAT."

"GA USAH TERIAK KIMTAE SYALAN. BERISIK."

"Pengen minta naik jabatan, Jim. Kan lumayan. Ngasih selamet ke pak bos dan pasangannya itu."

"Fak. Boleh juga ide lu."

Sayangnya, itu hanya harapan mereka. Mana ada naik jabatan hanya karena memberi selamat pada atasan untuk hubungannya dengan pasangan? Mungkin terkadang mereka butuh minum, sesuatu yang menjernihkan kinerja otak mereka yang kian galau karena dua mahasiswa bernama Jeon Jungkook dan Min Yoongi yang tak pernah menotis mereka.

.

.

.

Keesokan harinya setelah semalaman Taehyung ada di rumah Jimin dan pulang tengah malam, namja brunette itu mengusak kasar rambutnya mendapati kursi di samping meja kerjanya kosong. Di mana Jimin dan kenapa jam segini belum datang juga? Apa sahabatnya itu masih galauin sosok mahasiswa denial bernama Min Yoongi itu?

Taehyung akhirnya memutuskan untuk mendudukkan dirinya di kursi kerjanya lalu mulai menghubungi sang sobat. Baru saja tadi Taehyung sampai, pak Namjoon sudah memanggil mereka dan meminta mereka untuk ikut menangani kasus bersama rekan dari divisi lain di daerah Daegu, kampung halaman Taehyung.

Maka dari itu, Taehyung benar-benar berharap bisa menemukan Jimin secepat yang dia bisa.

"Selamat pag—ADUH JANGAN ASAL NARIK DONG WOI!"

Maka saat Jimin ingin menyapa rekan-rekan kantornya, Taehyung sudah menariknya begitu saja keluar dari ruangan mereka dan berlalu menuju lobby.

"Apaan sih, woi, KimTae byuntae sialan. Jangan asal narik orang kayak mau ngajakin kawin lari woi."

"Bacot lu, Jim. Ikut aja kenapa si."

"Ya ada apaan, pabo? Jangan asal narik tapi ga ngasih tau apa-apa."

"Kita dapat kasus. Di Daegu."

"HAH?"

.

.

.

Tbc to Path Pt. 2

A/N : Yoongi galak ye sama abangnya juga. Do you think MinYoon would meet in Daegu?

So, votement? Thanks :D

(Posted in ffn on : 25 Juni 2016)

Seguir leyendo

También te gustarán

50.8K 7.7K 28
[SELESAI] Radio itu memutarkan sebuah lagu untukku, lalu-- membuat jiwaku menghilang .. GENRE SHOUNEN AI BUKAN YAOI. FANTASI
10.3K 1K 7
Ini kisah Taehyung dan Jungkook di masa perkuliahan dan masa mereka kerja. Masa mereka mengalami segala hambatan dan kebahagiaan menjadi satu. Lanju...
166K 16.5K 24
Jeon Jungkook menemukan sebuah boneka puppet kayu di gudang tempat tinggal kakeknya Dia tidak tahu bahwa boneka puppet itu memiliki sebuah keajaiban...
912K 75.7K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...