Love Material [Soonhoon]

By Veyyeon21

51.5K 5.3K 1.2K

Wajah polos dan manis Jihoon bisa menipu Soonyoung. Pemuda manis itu hanya memanfaatkan kekayaan Soonyoung da... More

Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter. 11
Chapter. 12
Chapter. 13
Chapter. 14
Chapter. 15 (END)

Chapter 1

6.8K 451 38
By Veyyeon21

-LOVE MATERIAL Chapter.1-

Pairing: SoonHoon/HoZi

Caster: Kwon Soonyoung/Lee Jihoon/ Seventeen member's

Lenght: Multi-chapter

Genre: Drama, Hurt Comfort, Sad, Romance.

Rating: T (PG-15)

Happy Reading^^

.

.

...

Pemuda berbadan mungil itu berlarian di koridor kampus, menyebabkan tas besar di punggung terayun seiring hentakan kakinya. Sesekali, sepasang mata kecil melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Terhitung lima menit lewat, kelas Mr. Lim telah dimulai. Dosen botak dengan kaca mata yang selalu merosot dari hidung itu terkenal sangat menyebalkan.

Dan ia waswas sekarang.

Dalam lelahnya, ia berhenti sejenak guna mengatur napas yang tersengal-sengal. Dihapusnya buliran keringat menggunakan ujung kaus berlengan panjang yang ia pakai. Satu kali belokan lagi, ia akan segera sampai.

Biar bagaimana pun bimbingan hari ini merupakan ilmu penting. Lagi pula, dalam kamus pribadinya; membolos, suatu poin yang terletak di urutan paling akhir.

Bayangan wajah merah padam Mr. Lim berputar di benaknya, sesegera mungkin sosok ini kembali berlari.

Berbanding balik dengan kakinya yang melangkah terburu, otaknya juga sedang bekerja memikirkan sesuatu—bagaimana cara supaya diijinkan masuk dan mengikuti bimbingan? Salahkan alarm yang sudah ia atur dari semalam namun tiba-tiba saja tak berfungsi seperti biasanya.

Alarm berbentuk katak itu mendadak mati dan tidak berbunyi pada pukul delapan, sementara ia lelah setelah bekerja seharian. Sebetulnya, tak ada yang bisa ia salahkan di sini kecuali diri sendiri. Lembur kerja membuat badannya serasa akan patah perlahan-lahan, itu mengapa tidurnya menjadi begitu lelap seolah tak ada hari esok.

Langkahnya mulai melambat dan terhenti di depan sebuah ruang kelas. Merapalkan mantra, menyiapkan diri, sekiranya dia diperbolehkan bergabung atau justru didepak keluar. Kakinya sudah lelah dan gemetar, ditambah dia pun belum mengganjal perut dengan sarapan.

Belum sempat mengetuk pintu, papan tinggi berwarna putih itu sudah terbuka lebih dahulu.

"Oh, Jihoon-ah. Baru datang?"

Si pemuda berambut merah jambu mendesah lega begitu mengenali sosok yang kini berdiri di hadapannya. "Ya Tuhan. Kukira, kau Mr. Lim."

"Beliau ada halangan. Kelas diundur setengah jam lagi dan mungkin dua belas menit lagi akan dimulai," papar pemuda pemilik tinggi badan di atas rata-rata itu sambil tersenyum, menunjukkan gigi taringnya.

"Ah, aku benar-benar lega."

"Kau selamat." Mingyu menepuki bahunya pelan.

"Kau tahu, tidak? Aku berlari tanpa henti dari halte hingga kemari. Sialan sekali," Jihoon mengumpat dengan suara rendah.

"Eiy, lihat siapa yang bicara? Bahkan, aku tidak jamin kau akan diusir dari kelas. Kau itu mahasiswa kesayangan," Mingyu menggoda sambil menusuki pipi temannya.

"Pergi sana, sebelum tasku yang berat ini merusak wajahmu!"

Mingyu segera mengunci bibirnya rapat-rapat dengan kedua tangan terangkat di udara. Tanda menyerah. "Masuklah, kau bisa istirahat di dalam." Mingyu menggeser tubuhnya ke samping, memberi celah untuk temannya yang lebih mirip bocah sekolah menengah pertama itu untuk masuk.

"Kau mau ke mana?" tanya Jihoon.

"Toilet. Oh, apa kau mau roti dan air mineral? Aku akan mampir ke kantin."

"Tidak, terima kasih."

Setelah melihat Mingyu mengangguk dan berjalan menjauh, Jihoon mendorong pintu. Ia memasuki kelas yang memang terlihat cukup ramai, namun beberapa bangku masih terlihat kosong. Ia berpaling ke arah selatan, memicing pada bangku yang terletak di urutan ketiga. Ia tersenyum manis, siap menyapa sosok bersurai biru, namun pemuda yang ia tatap tersebut justru membuang wajah ke lain arah.

Tampak sangat jelas enggan beradu pandang dengannya.

Setelah duduk di bangku pilihannya, Jihoon meboleh ke arah yang sama. Lagi, si pemilik mata berbentuk runcing di sana abai padanya, dan lebih memilih memainkan ponsel silver miliknya di atas meja.

Jihoon tersenyum masam, lantas beralih melambaikan pada pemuda berdarah China yang kini tengah tersenyum manis padanya, Junhui.

Jun yang kebetulan duduk tepat di bangku belakang sosok surai biru itu meninjukan tangannya ke udara. Semangat, Jihoon-ah!

Jihoon mengangguk lantas balas meninju pula. Kau juga, Jun-ah!

Salah satu yang Jihoon suka di kelas ini, yakni karena dia bisa bertemu dengan seseorang yang sudah membawa lari sebagian jiwanya. Seseorang yang kala itu senang sekali mencuri ciuman di pipi sebelum kelas dimulai. Seseorang yang suka sekali memberinya sekotak susu, bekal, dan juga kertas berisi puisi di siang hari.

Dan sayangnya itu tak terjadi lagi, porak-poranda, yang mana Jihoon sendirilah tersangkanya.

"Seandainya, ya."

.

== Love Material Chapter. 1 ==

.

Kafe Gureum yang merupakan tempat unik dengan nama lain cloud cafe ini memang tak pernah surut pelanggan. Tempat yang cukup tersohor di Seoul tersebut memiliki bentuk bangunan yang letaknya berada di ketinggian. Bila datang pada malam hari, pemandangan Kota Seoul yang indah nan gemerlap dapat kita nikmati.

Tak ayal banyak sekali muda-mudi yang betah singgah di tempat megah tersebut untuk sekadar melepas penat dengan memesan kudapan manis dan secangkir kopi. Ada pula yang sibuk memahat kisah di meja yang terletak paling utara, seperti halnya seorang pelayan yang kini lupa akan tugas dan justru melamun di pembatas kaca.

"Ji, pesanan meja nomor dua apa sudah kau antar?"

Jihoon yang masih berdiri tenang sembari menggendong nampan tipis, langsung menghadap belakang. "Sudah, hyung."

"Apa yang kau lakukan di sana? Cepat kemari. Aku kerepotan."

"Sedang bicara dengan bulan," katanya sambil tertawa sendirian. "Ya, hyung."

Segera Jihoon berlari kecil ke counter bar, meletakkan nampan kayu ke tempat semula, lantas membersihkan tangan dengan lap sebelum tersenyum pada seorang pelanggan yang sudah mengantri di depan. "Selamat malam. Apa yang ingin anda pesan?"

"Grape milk latte, dua."

"Baik, enam ribu won." Setelah menerima uang, Jihoon pindah meraih dua cup kosong, lantas meramu minuman yang dipesan. Ia menaburkan banyak topping permen warna-warni, meletakkan sedotan, dan menutupnya dengan rapi.

"Selamat menikmati, terima kasih."

Antrian yang lain maju, begitu seterusnya, dan Jihoon melayani mereka dengan baik.

"Empat patbingsu akan segera diantar, mohon ditunggu di meja nomor sembilan." Pelanggan kedua berjalan pergi menuju meja, dan pelanggan lain mengmbil gilirannya. "Selamat malam. Oh, Soonyoung?" Jihoon memekik cukup keras, membuat sosok bermantel merah yang sedang menunduk bermain ponsel itu mengangkat kepala.

Tak cepat menyahut, pelanggan tersebut justru diam dengan tatapan datar. Seakan tak saling kenal.

"Maaf. Silakan..."

"Dua coffe mint dan dua blueberry pie, meja sebelah utara, nomor tiga." Soonyoung menyerahkan uang, lalu berbalik pergi menunggu di mejanya.

Jihoon membatu. Lidahnya mendadak kelu untuk sekadar mengucapkan; mohon ditunggu. Tak hanya menghindari kontak mata, Soonyoung pun enggan bersuara di hadapannya. Sekejap, Jihoon linglung, hatinya pedih. Namun, sebisa mungkin ia harus bisa menahan diri untuk tak mengejar Soonyoung dan mengungkapkan segala hal yang mengganjal hati.

Ketika pesanan Soonyoung lengkap dibuat, Jihoon bergegas mengantarnya. Seperti yang sudah diterka, Soonyoung tetap mengabaikan dirinya. Yang lebih menyakitkan lagi, Jihoon menyaksikan Soonyoungnya—bukan—Kwon Soonyoung tengah menciumi sayang puncak kepala seseorang.

"Silakan dinikmati. Ada yang perlu saya bantu lagi?"

"Tidak ada, terima kasih banyak," yang menimpali justru sosok lain dengan senyuman lebar. Orang yang beberapa saat lalu menjadi penyebab api cemburu Jihoon berkobar gahar.

"Baiklah, ini kembaliannya. Saya permisi."

Apa yang kau tanam, kelak itu yang kan kau tuai. Kesalahan yang kau lakukan di masa lalu, kau akan mendapat balasannya di masa yang akan datang. Karma itu masih berlaku, Jihoon. Adil, bukan? Jadi, jangan salahkan Soonyoung. Berkacalah, perlakuanmu terhadap Soonyoung kala itu jauh lebih hina.

Kau tidak boleh minum kopi, Ji.

Ji, maafkan aku, minumannya tumpah.

Yah, bajumu jadi kotor. Maafkan aku.

Bagaimana ini? Noda kopinya tak bisa hilang, aku tidak sengaja.

Kekasihku memang yang terbaik.

Jihoon menggelengkan kepalanya kuat-kuat manakala ucapan-ucapan lampau Soonyoung menari di kepalanya bak sebuah kaset film rusak. Pandangannya memburam tiba-tiba, kelopak matanya perlahan basah, dan Jihoon tak bisa berbuat banyak, selain menyeret kakinya pelan menuju counter kebanggaan.

"Ji, kau baik?" tanya Jisoo yang kebetulan melintas di belakang.

Jihoon mengangguk, lalu berpura-pura menepuki apron hitam yang ia pakai. "Serbuk minuman ada yg tumpah dan masuk ke mataku, hyung."

Andai saja kau tahu, aku menyesal, Soonyoung.

.

== Love Material Chapter. 1 ==

.

Jihoon dengan cepat mengemasi lembaran-lembaran kertas tugas yang berserakan di atas meja. Kelas dosen Min baru saja usai, dan itu artinya ada waktu kosong selama satu jam sebelum kelas dosen Lee dimulai. Seluruh mahasiswa berhamburan keluar kelas. Berjalan saling simpang, sebagian ke arah kanan menuju kantin, sebagian lagi lurus ke depan arah perpustakaan.

Jihoon sendiri berjalan ke barat. Hari ini tas di punggungnya tak terlalu berat, hanya berisi empat buah buku yang tak cukup tebal sebab hari ini hanya ada dua kelas yang Jihoon ambil.

"Jihoon-ah, mau ikut ke kantin?" tawar seseorang berpipi tembam yang melintas di belakang Jihoon, Boo Seungkwan.

"Tidak. Aku masih kenyang, Kwan."

"Oke, sampai bertemu satu jam lagi."

Jihoon membalas lambaian tangan Seungkwan. Bisa ia lihat sosok bersweater hijau itu berlarian layaknya anak kecil yang bermain di taman. Jihoon melajukan kakinya kembali, menuju tempat yang dulu sering ia kunjungi. Atap fakultas seni.

...

Jihoon berdiri merentangkan tangan, menghirup udara yang berhembus sejuk, kemudian mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru atap. Sepi dan tenang. Ia mendaratkan bokongnya di tempat yang dulunya sering dijadikan Soonyoung spot rebahan.

Wajah Jihoon berubah muram. Dari awal, tempat ini memang selalu sepi, tak ada satu pun mahasiswa yang melirik. Mereka tidak tahu betapa indahnya menyaksikan pemandangan kota Seoul dari sini. Dia pun yang mulanya enggan, jadi ketagihan datang kemari. Rumah warga yang berjajar, gedung pencakar langit yang menjulang, lalu lintas jalan raya yang terkadang macet dan lengang.

Ada yang kurang? Ya, seperti apa yang dipikirkan Jihoon tadi, tempat sepi ini menjadi semakin sepi. Tak ada rengekan Soonyoung, tak ada canda tawanya, tak ada Soonyoung yang merayunya dengan suara jenaka.

Sunyi senyap.

Jihoon membuang napas pelan, lantas mengeluarkan sebungkus roti pandan dari tas. Ia terkekeh sendiri, mentertawakan hidupnya yang penuh drama. Namun sedikitnya ia merasa lebih baik begini saja, dan Jihoon bersumpah tak kan mengulangi kesalahan yang sama. Dia tak kan memanfaatkan orang lain lagi.

Membodohi seseorang, mempermainkan perasaannya yang tulus demi kertas bernominal yang disebut uang adalah sebuah kesalahan fatal yang mungkin tak kan termaafkan.

Jihoon membuka bungkus rotinya, lalu menggigitnya lamat-lamat.

Soonyoung, apakah boleh aku menggunakan kartu ini untuk membeli buku materi?

Boleh aku memakainya untuk membayar ongkos service komputerku yang bermasalah?

Aku harus membayar uang kuliah lusa.

Bibi Sul sudah menagih uang sewa rumah yang kutinggali, Soonyoung-ah.

Aku mau membeli baju baru.

"Apa saja. Kau boleh memakai kartu itu sesuka hatimu, Ji."

Kilas kesalahan yang ia perbuat kembali membayang di benaknya, menyebabkan serat gandum di rongga mulutnya terasa hambar seketika. Jihoon tersedak akibat isakannya sendiri.

Ia mengusap air matanya kasar.

Oke, lebih baik seperti ini. Kau harus bekerja keras untuk hidup. Jangan membuat orang lain terluka lagi. Bahkan, kau sekarang sudah menerima karmanya. Mempermainkan perasaan seseorang yang benar-benar mencintaimu, lalu pada akhirnya kau sendiri yang jatuh dan hanyut dalam permainan itu, rasanya menyesakkan.

Jihoon memaki-maki diri sendiri dalam hati.

Sakitnya dua kali lipat lebih menyiksa—ketika kau berbalik 'mengejar' orang yang sudah kau permainkan, sementara seseorang yang kau kejar untuk kembali itu tak tertarik lagi walau hanya sekadar menatap ke belakang!

***

-flashback-

Sosok mungil berambut merah jambu itu merengut lucu, ia menelisik tangannya yang sedang digandeng semena-mena oleh seseorang. Malas-malasan, ia menderapkan kaki mengikuti ke mana sosok di depannya itu mengajaknya pergi. Cuaca sedang panas dan itu membuat Jihoon benci sekali untuk beraktivitas.

"Kau membawaku ke mana, Soonyoung?"

"Sebentar lagi kita sampai, Jihoon."

Jihoon kembali mencibir. Kakinya mulai menapaki satu persatu anak tangga besi yang terlihat kotor dan berkarat. Seiring langkahnya yang terus menanjak, ia baru sadar bahwa Soonyoung membawanya ke atas atap fakultas seni. "Kenapa kemari?"

Rambut Jihoon mulai dipermainkan angin, beberapa helai pendeknya bergoyang pelan. Soonyoung berbalik, lalu memeluknya sayang.

Jihoon kebingungan. "Apa-apaan?"

"Aku merindukanmu."

"Hah?"

"Aku kangen, Jihoon," Soonyoung menangkup pipi Jihoon dengan kedua tangan sebelum dihadiahi kecupan.

"Bukankah kita sudah bertemu sejak tiga jam lalu?"

Soonyoung memajukan bibirnya sambil merapikan rambut Jihoon yang berantakan. Sementara Jihoon mengoreksi penjuru atap, ia sibuk memuja Jihoon dalam hati. Soonyoung menyukai saat di mana wajah kekasihnya yang putih dengan pipi sedikit berisi itu terbias matahari. Jihoon tampak dua kali lipat lebih menggemaskan!

"Tapi, kita sudah tak bertemu dua hari sebelum tiga jam yang lalu," celetuk Soonyoung. Seperti biasa, mulai gila.

"Apa dramanya akan dimulai?"

Soonyoung terkekeh, kedua tangannya pindah ke pinggang Jihoon sekarang. Ditariknya pelan badan kecil itu ke depan untuk kembali ia peluk. Pilihannya tepat sasaran, bermesraan dengan kekasihnya di sini pasti sangat menyenangkan.

"Aduh!" Pemuda yang sedang kasmaran itu mengeluh sakit kala satu cubitan mendarat di pinggangnya.

"Sebenarnya ada apa, Soonyoung?"

"Sakit, Jihoon." Soonyoung mengusap pinggangnya yang panas.

"Kau lambat. Cepat katakan!"

"Sudah kubilang, aku hanya merindukanmu."

"Kau benar-benar sudah gila."

Soonyoung hanya tertawa-tawa.

Jihoon terus berkomat-kamit jengkel dan baru berhenti ketika Soonyoung mengeluarkan sapu tangan berwarna putih dari sakunya. Mengelap dahinya yang sedikit kotor dan merah.

"Dahimu kenapa lebam dan kotor begini?"

"Minho tak sengaja melempar bola basket, tapi dia sudah minta maaf." Jihoon memerhatikan gerakan tangan Soonyoung di keningnya lekat-lekat.

"Apakah sakit?"

"Tidak."

"Kau marah padanya?"

"Tidak juga. Karena dia tidak sengaja dan sudah minta maaf."

"Kalau begitu, aku yang akan memarahinya. Berani sekali dia membuat Jihoonku terluka, awas saja!" Giliran Soonyoung yang mengoceh sembari mengelus dan sesekali meniupi lebam di dahi kekasihnya.

"Jangan macam-macam ya, Soonyoung. Kalau sampai Minho jadi salah paham, kau kuhajar!"

"Ah, kekasihku memang baik." Satu kecupan, Soonyoung daratkan di kening Jihoon.

"Oh salah, paling baik." Kecupan lagi, di ujung hidung.

Si empu terdiam dengan pipi memerah. Ya Tuhan, perasaan apa ini? Gerutunya dalam hati.

Soonyoung menggali isi tas hitam di punggungnya, mengeluarkan kotak bekal berwarna bening, serta selembar surat beramplop biru tua. "Untukmu. Jangan lupa makan siang. Aku tidak mau Jihoonku yang manis jatuh sakit."

"Lalu, suratnya untuk apa?"

"Kau bisa membacanya saat aku sudah pergi."

"Hng?"

Persetan! Bibir Jihoon yang masih terbuka benar-benar menggoda Soonyoung. Sosok itu menempelkan bibirnya ke bibir sang kekasih sesegera mungkin, membasahinya dengan lidah, lalu mengulumnya beberapa detik.

Tubuh Jihoon kaku total. Mata kecilnya sukses melebar. Bahkan saat Soonyoung menyudahi dan menjauhkan wajah, posisi Jihoon sama sekali belum berubah.

Soonyoung menyeringai puas, lalu meletakkan sekotak susu stroberi di tangan kiri Jihoon yang menganggur. "Jangan lupa dimakan, oke? Sebentar lagi kelasku akan dimulai. Kita pulang bersama sore nanti. Ji, aku pergi."

Seusai mencuri kecupan kesekian dan mengusak rambut Jihoon, Soonyoung angkat kaki. Tidak, lebih tepatnya melarikan diri sebelum kekasihnya itu mengamuk.

Kesadaran Jihoon baru kembali sepenuhnya ketika ia mendapat cegukan dan melihat punggung Soonyoung menjauh menuruni anak tangga. Berikutnya, Jihoon memeriksa tangannya sendiri—kotak bekal, surat, susu stroberi.

"Soonyoung! Dasar mesum, sinting! Hei!"

Soonyoung yang sudah berlari menjauh masih bisa mendengar umpatan itu walau samar. Dalam larinya, pemuda itu terpingkal-pingkal.

Sejak saat itu, atap fakultas seni menjadi tempat favorit mereka. Rutinitas Soonyoung memberi bekal dan surat yang berisi puisi penuh majas hiperbola. Jihoon tak tahu pasti Soonyoung mengutipnya dari mana, yang jelas surat dengan amplop berbeda warna itu ia terima setiap hari.

Di jam makan siang, Jihoon dan Soonyoung selalu datang ke atap tersebut berdua. Sekadar memakan bekal bersama, lalu berbagi cerita dan bertukar canda. Tak hanya itu, lengkingan Jihoon saat Soonyoung berhasil mencuri kecupan-kecupan ringan dari pipi dan bibirnya pun terdengar kadang kala.

-flashback end-

.

== Love Material Chapter. 1 ==

.

Jihoon melepaskan tas selempang kecil dari bahunya, ia lemparkan ke lantai, badannya dijatuhkan begitu saja pada ranjang yang nyaman. Ini sudah pukul setengah dua pagi dan dia baru pulang dari tempat kerjanya.

Tak lama, Jihoon bangkit lagi. Menanggalkan jaket tebal yang melekat di tubuhnya, menyisakan kaus putih polos membungkus badannya yang kini terlihat semakin kurus. Jihoon melangkah ke kamar mandi untuk mencuci wajah dan menggosok gigi.

Esok, dia memiliki jadwal dua kelas, di pukul sebelas dan pukul setengah dua siang. Setidaknya, Jihoon bisa tidur nyenyak hingga pukul sembilan.

Begitulah Jihoon yang sekarang. Tak kenal lelah untuk bekerja, tak lagi bermalasan, dan menggantungkan diri pada seseorang. Bila dibandingkan dengan Jihoon yang dulu cukup duduk diam dan menunggu suntikan dana bak tumbuhan yang bergantung hidup pada inang. Parasit. Perubahannya sangat drastis. Sebelum bertemu Soonyoung, ia juga pernah bekerja part time di swalayan. Namun, untuk kali ini Jihoon rela bekerja lebih keras lagi.

Jihoon amat menyesal lantaran tak menyadari semuanya sedari awal. Mungkin faktor ia sudah terlalu lama hidup sebatang kara, pontang-panting menghadapi kerasnya kehidupan tanpa keluarga.

Orang tuanya sudah lama meninggal. Jihoon yang notabene anak tunggal tak tahu harus pergi ke mana lagi. Rumah kecil miliknya disita, perkara hutang sang ayah. Saudara dari ayah dan ibunya tak ada yang berkenan berbagi tempat tinggal. Usut punya usut, kedua orang tuanya tak mendapatkan restu saat telah melangsungkan pernikahan.

Ketika itu, Jihoon hanya bisa menangis sepanjang jalan. Ia tak tahu harus menumpang ke mana, hingga kelelahan dan jatuh pingsan di depan rumah seseorang kakek yang berprofesi sebagai penjual buah. Beruntungnya, sosok renta yang tinggal seorang diri itu menyambut Jihoon penuh sukacita untuk tinggal bersama.

Empat tahun tinggal di rumah sewa bersama kakek Nam, perlahan Jihoon mulai terbiasa dengan keadaan. Bersekolah, membantu menjual buah, menjaga rumah. Menghabiskan waktu menonton drama bersama sampai larut malam, mendampingi kakek bepergian, kadang-kadang, Jihoon pun dipaksa mencicipi masakannya yang sering keasinan dan hambar. Semuanya, ia lakukan dengan senang.

Namun, penyakit kronis yang menggerogoti tubuh sang kakek semakin parah. Kakek Nam tutup usia di umur enam puluh tiga dan Jihoon kembali menjadi sebatang kara.

Di usianya yang masih dua belas tahun, ia harus menjalani kerasnya hidup seorang diri tanpa saudara dan siapa pun. Demi menyambung hidup, sepulang sekolah, ia bekerja menjaga toko di dekat pasar. Tak jarang, teman-teman di kelasnya juga meminta bantuan Jihoon untuk mengerjakan tugas dengan upah sepadan sebagai imbalan.

Pernah Jihoon kecil berpikir, bagaimana rasanya menjadi orang kaya? Ke mana-mana tak perlu membawa dompet tebal. Cukup dengan kartu berukuran kecil yang muat di kantung seragam, maka apa saja yang diminta akan didapatkan.

Waktu itu, Jihoon hanya mencibir dan menyingkirkan pikiran konyolnya jauh-jauh, karena mustahil baginya bisa seperti itu.

Tapi, semuanya berubah setelah keyakinan teguh di hatinya mendorong Jihoon untuk maju. Setidaknya, dia tak bolweh menyerah sebelum mencoba mencoba. Begitu lulus dari sekolah menengah atas, Jihoon meminta pihak toko untuk menambah jam kerja, itu akan ia pergunakan untuk biaya kuliah. Dia ingin menjadi orang sukses di masa depan.

Dan dunia Jihoon semakin berubah saat ia bertemu Soonyoung. Si sosok bermata nyaris terpejam. Anak dari pemilik perusahaan ternama yang baru dikenal Jihoon selama dua minggu itu tiba-tiba datang dan menyatakan perasaan.

Salahkan Jihoon yang suka sekali berbicara tanpa berpikir dua kali. Dengan mudah ia menjawab, baiklah. Tanpa berpikir jauh, ada yang harus ia lakukan ke belakangnya nanti. Bahwa berkomitmen dalam sebuah hubungan itu tidaklah semudah menjetikkan jari.

Dibalik jawaban bodohnya, sebenarnya Jihoon ingin menyelamatkan Soonyoung dari rasa malu ketika pemuda itu berlutut padanya dan disaksikan para pengunjung festival. Ya, Soonyoung menyatakan perasaannya saat carnival akbar di musim semi digelar.

Ketika mereka berada di luar area festival, Jihoon hendak menjelaskan apa yang sebenarnya ingin ia jawab. Namun, begitu melihat sorot mata Soonyoung yang berbinar bahagia, nyali Jihoon sirna. Ia tak tega merusak senyum penuh makna sosok di depannya.

Sekali lagi, salahkan saja bibirnya! Awal menjalani hubungan, Jihoon benar-benar risih dengan keberadaan Soonyoung yang mendadak suka membuntuti ke manapun dia pergi, selalu berceloteh itu dan ini, menyarankan begitu-begini.

Selama bersamanya, Jihoon terlihat tak nyaman dan lebih banyak diam. Tetapi Soonyoung tak menyadari itu, sebab ia menyukai Jihoon sungguh-sungguh. Dia yang biasanya sangat malas pergi ke kampus pun seketika jadi bersemangat. Soonyoung sangat antusias.

Kepribadian Soonyoung adalah seseorang yang suka berbagi. Ia tak sombong dengan segala yang ia punya, Soonyoung juga terkenal baik terhadap siapa saja.

Suatu ketika, Soonyoung melihat kekasihnya berjalan dengan menundukkan wajah lesu. Tangan kiri Jihoon menggenggam kertas beramplop putih. Dari logo yang berhasil Soonyoung lirik, tentu saja ia paham apa isi dari surat itu.

Bagaimana caranya agar bisa mendapatkan uang dengan cepat? Uang sewa tempat tinggal saja Jihoon sudah menunggak selama tiga bulan. Syukur saja bibi Sul bisa memaklumi dan tak mendepaknya keluar. Uang di tabungan Jihoon sudah terkuras habis untuk biaya ujian, sementara gajinya dari menjaga toko belum juga dinaikkan.

Di sela banyaknya masalah yang menimpa Jihoon, Soonyoung datang laksana pohon. Dipeluknya Jihoon sayang, ia tenangkan. Soonyoung bilang, apa pun yang terjadi, dia harus menjadi orang pertama untuk Jihoon berbagi.

"Aku bisa membantumu. Tolong jangan sedih hanya karena masalah seperti ini," ujar Soonyoung saat itu.

Sakitmu, juga sakitku. Kesedihanmu, juga kesedihanku. Senyumanmu, sumber kebahagiaanku. Kebahagiaanmu—itu tujuanku.

Kau tidak sendiri, aku di sini. Aku selalu berdiri di belakangmu. Aku orang pertama yang akan selalu ada di saat kau butuh sesuatu, apa pun.

Di situlah, Jihoon menemukan titik terang.

Ingat! Jihoon juga seorang manusia biasa yang mudah tergiur dengan hal yang menurutnya tak akan ada kesempatan kedua jika menolaknya. Awalnya, memang Jihoon enggan menerima bantuan Soonyoung. Ia merasa sungkan sekaligus bodoh sebab tak mengerti harus berbuat apa lagi. Jihoon pun baru tahu bahwa Soonyoung adalah sosok keras kepala dan suka memaksa sekali.

Soonyoung memintanya berhenti bekerja. Ia berdalih tak tega melihat Jihoon harus pergi kuliah dengan kantung mata menghitam sebab kurang tidur. Jihoon pulang kerja pukul sebelas malam, itu pun terkadang harus ditambah lembur. Belum lagi tugas yang sudah menanti sentuhannya di meja belajar.

"Kau tidak perlu bekerja, Ji. Aku tidak keberatan membantumu, sungguh."

Soonyoung dengan tangan terbuka bersedia menanggung semua kebutuhan hidupnya. Soonyoung tak kan pernah membiarkan orang yang ia cintai hidup terlunta-lunta.

Jihoon memang tidak pernah menuntut lebih, meski Soonyoung telah menawarkan supaya dia tinggal bersamanya saja berkali-kali. Cukup dengan bantuan biaya kuliah dan sewa tempat tinggal saja Jihoon sudah sungkan setengah mati.

Lalu, bukankah sifat manusia memang susah ditebak dan mudah berubah? Yang pada awalnya menolak, kelak akan melunjak.

Itu juga yang terjadi pada Jihoon.

Sesal yang acap ia rasakan ketika menerima permintaan Soonyoung untuk menjadi kekasihnya, telah berbuah indah. Dia yang mulanya sungkan dengan perlakuan Soonyoung, lambat laun mulai terbiasa, dan cenderung bergantung! Bahkan Jihoon sudah mulai gelap mata, ia tak lagi mengingat apa risiko di belakangnya.

Yang terpenting baginya saat itu, ia punya seseorang untuk dijadikan sandaran. Seseorang yang juga mencintainya. Dia bahkan tak memikirkan bagaimana perasaan Soonyoung jika sampai pemuda itu tahu bahwa ia sama sekali tak mempunyai perasaan apa pun terhadapnya.

.

-TBC-

.

Nerima banget kritik dan masukan^^

-Sincerely, Veyyeon21-

Continue Reading

You'll Also Like

67.6K 3.3K 8
meskipun kau mantan kekasih ibuku Lisa😸 (GirlxFuta)🔞+++
12.4K 877 5
[COMPLETED] Jisoo diantara dua pilihan, bertahan menjadi selingkuhan karena cintanya yang terlalu besar untuk Seungcheol, atau menerima Mingyu kembal...
931K 76.6K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
3.9K 353 22
Selamat membaca semoga suka Dia yang datang seolah memberi kebahagiaan _________ Ini tentang Mika, gadis yang sebenarnya dunianya sudah hancur namun...