Feeling High ✔

By scholaztika

1.5M 34.8K 1.4K

[Adult Story] [PART 21-EPILOG DIHAPUS-BACA PART TERAKHIR UNTUK VERSI PDF DARI CERITA INI] Ethan melakukan sat... More

PROLOG
1. Marvell Ethan Absalom
2. Shane Abigail Celestine
3. Unforgettable Moment
4. Unicorn Girl From Bandung
5. Seikat Kebahagiaan di Masa Lalu
6. Berbagi Memori
8. Masih Ada Matahari Untuk Hari Esok
9. Membangun Pertemanan
10. Your Guardian Angel
11. Ganbatte!!
12. Untuk Kesekian Kalinya
13. Got Me Feeling Drunk and High
14. A Year Ago
15. You Must Find The Key
16. Overprotective
17. I Know I Need Somebody
18. Don't Act Like A Child
19. His Warm Arms
20. Terkadang Nyaman Saja Sudah Cukup
An Author Note
Hi, gaessss!
New Adult Story
EBOOK YUKK EBOOK!!

7. Am I a Loser?

46.6K 1.4K 38
By scholaztika

Multimedia : The Man Who Can't Be Moved by The Script

p a r t seven


"Abi nggak males kok, Ma. Abi nggak pernah ngerepotin Bi Sarti sama yang lainnya. Abi kan bisa ngerjain semuanya sendiri, Ma," ucap Abigail sembari melipat baju. Ponselnya diapit oleh telinga kanan dan bahunya. Sudah sejak dua belas menit yang lalu Fena meneleponnya, ingin tahu bagaimana kabar anak gadisnya yang terpisah jarak puluhan kilometer.

"Mama nggak enak aja kalo kamu nggak mau bantu-bantu di rumah Om Erlangga. Keluarga mereka udah baik banget sama kita, Bi."

Abigail memindahkan ponselnya ke telinga sebelah kiri. Tumpukan baju yang telah dia cuci kemarin sore berada di dekat kakinya yang bersila. "Abi selalu bersihin kamar Abi sendiri kok, Ma. Malahan kalo pas Bi Sarti atau mbak yang lainnya lagi beres-beres rumah Abi suka ikutan. Abisnya nggak ada kerjaan juga, kuliah Abi masih mulai dua mingguan lagi. Jenuh juga kan kalo cuma diem aja. Apa Abi pulang ke Bandung dulu aja ya, Ma? Berapa hari gitu nginep di rumah. Abi kangen banget sama Papa Mama, sama rumah Bandung juga."

"Mama sama Papa sebenernya juga kangen banget sama Abi. Sekarang rumah sepi tau nggak ada Abi. Mama suka kangen denger kamu nyanyi-nyanyi gitu. Tapi kamu kan belum bisa pulang sekarang, nggak enak kan sama Om Erlangga sama Tante Erina."

"Terus kapan dong kita bisa ketemu, Ma?" tanya Abigail lemah sambil memajukan bibirnya. Ekspresi spontan yang hanya bisa dilihat oleh dirinya sendiri melalui pantulan cermin di depan posisinya duduk.

"Sabar ya, Bi. Nanti kalo kamu udah mulai kuliah kan waktunya bisa diatur lagi. Kalo dalam waktu dekat ini kesannya kamu kayak mau enaknya aja, udah didaftarin kuliah terus pulang ke Bandung. Nanti tau-tau pulang kesitu pas udah mau kuliah. Jangan gitu ah, Bi. Selama masih ada waktu sebelum kuliah kamu kan bisa bantu-bantu juga disitu."

Abigail menghela nafas. Apa yang dikatakan Fena ada benarnya juga. Lagipula beberapa hari tinggal disini, Abigail sama sekali tidak merasa kalau keberadaannya hanya sebagai pengganggu. Justru dia diterima dengan sangat baik.

"Abi?"

"Abi dengerin, Ma, Abi nurut apa kata Mama aja deh."

"Oya, Bi, Mama sebenernya mau cerita sesuatu sama kamu, tapi gimana ya, Mama nggak mau kamu kepikiran soalnya."

"Ada masalah, Ma? Kenapa? Mama cerita aja sama Abi."

"Kemaren sore Meta dateng ke rumah, Bi. Dia nyariin kamu."

Hati Abigail mencelos begitu mendengar nama Meta disebut. Sosoknya dulu teramat dekat dengan Abigail, sampai-sampai kedekatan itu membuat Meta tega menusukkan pisau tajam ke hatinya.

"Perut Meta udah keliatan gede lho, Bi. Katanya usia kandungannya udah jalan lima bulan. Dan...."

"Dan apa, Ma?"

"Dan Meta bilang dua minggu lagi dia mau nikah sama Fredy. Kemaren dia dateng mau nganter undangan sekaligus pengen ketemu kamu untuk minta maaf."

Minta maaf, katanya? Apa bagi orang diluar sana kata maaf teramat mudah diucapkan? Abigail memang telah mengikhlaskan semuanya, namun hatinya tetap saja merasakan perih manakala mengingat kenangan pahit tersebut. Fredy adalah pacar pertama Abigail dan dia pula yang menjadi orang pertama yang mengajarkan Abigail rasanya sakit hati.

"Mama nggak bilang kan Abi ada dimana?"

"Mama cuma bilang kamu udah nggak ada di Bandung. Mama bilang kamu kuliah di luar kota, tapi Mama nggak bilang kamu ada di Jakarta. Mama tau, Bi, gimana sakitnya hati kamu. Makanya Mama nggak mau kamu berhubungan lagi sama mereka. Move on ya, Bi..."

"Abi udah lama move on kali, Ma. Sejak hari itu, Abi udah bilang sama diri Abi sendiri kalau Fredy bukan sosok laki-laki yang patut dipertahankan. Lagian Abi kan masih muda, Ma. Sekarang fokus Abi cuma buat kuliah dan bikin Papa sama Mama bangga," ujar Abigail yang tanpa dia sadari sudut matanya telah mengeluarkan air. Hatinya mendadak mellow. "Ma, nanti teleponan lagi ya, Abi mau turun dulu siapa tau ada yang bisa Abi kerjain."

"Iya, Bi, jaga kesehatan ya, jangan lupa minum vitamin. Jesus bless you, Abi sayang..."

Klik! Sambungan akhirnya diputus duluan oleh Fena.

Terdiam di tepian ranjang, Abigail merasa perlu merenungkan kabar yang tadi disampaikan oleh Fena. Jika pada akhirnya Fredy telah berbahagia dengan Meta—meski cara mereka terbilang salah—untuk apa rasa perih itu masih tersisa di sudut hatinya?

Abigail sendiri yang telah memutuskan menutup masa lalunya bersama Fredy, menjadikan hal itu sebagai pelajaran bahwa kita tidak boleh mempercayakan apapun seratus persen pada orang lain. Karena hal itulah, Abigail ditinggalkan oleh Fredy, karena dulu Abigail terlalu percaya kalau diantara Fredy dan Meta tidak ada hubungan istimewa selain pertemanan.

Abigail merasa dirinya tidak lebih dari seorang pecundang. Dirinya terlihat lemah sedangkan Fredy dan Meta tengah bersenang-senang atas nama cinta yang diam-diam mereka bangun.

Lalu untuk apa airmatanya harus jatuh kesekian kalinya? Untuk dianggap sebagai pecundang sejati?

"Bodoh! Lo bodoh, Bi, kalo masih nangisin sesuatu yang seharusnya lo kubur dalam-dalam!" ucap Abigail memperingatkan dirinya sendiri. Jemarinya bergerak menghapus airmata yang hampir jatuh ke pipi.

"Abigail?"

Abigail buru-buru memandang cermin dan merapikan wajahnya, sebelum dia mempersilakan siapapun itu yang mengetuk pintu kamarnya.

"Kak Elena, kenapa? Butuh bantuan?"

"Kayak tim SAR aja deh lo, Bi. Haha," jawab Elena yang berdiri bersandar di kusen pintu. "Diajakin jalan sama Ethan. Mau ya? Gue juga mau ngajak Lionel nih."

"Jalan kemana, Kak?"

"Ke mall doang kok, nonton paling. Kata Papa kan gue sama Ethan harus ngajak lo jalan-jalan. Siap-siap gih! Gue juga mau mandi dulu."

Abigail mengangguk senang.

Setidaknya, pergi keluar sebentar dapat menghilangkan bayangan Fredy dan Meta dari benak Abigail.

∞∞

Elena menggamit tangan Lionel ketika mereka barusaja selesai menapaki eskalator. Di belakang mereka, Ethan dan Abigail berjalan bersebelahan tanpa adanya kontak fisik, karena hal itu tidak seharusnya terjadi.

"Eh, kita mau langsung nonton apa gimana nih?" tanya Elena sambil menoleh ke belakang. Langkahnya sengaja dipelankan agar lebih nyaman mengobrol.

"Terserah lo aja, gue ngikut," jawab Ethan santai. Laki-laki yang siang itu mengenakan kemeja kotak-kotak untuk menutup kaos putihnya terlihat beberapa kali melirik ke arah Abigail. Ada yang berbeda dari gadis itu, setidaknya Ethan mengerti karena sedari tadi Abigail hanya berbicara seperlunya saja.

"Kamu gimana, Beb?" tanya Elena meminta pendapat Lionel.

"Aku sih sama, gimana enaknya kamu aja, Beb," jawab Lionel sambil mencolek dagu Elena. Dia tidak sungkan melakukan hal manis tersebut meski Ethan ada di sana, karena masa pacaran Lionel dan Elena yang sudah memasuki tahun kedua menyebabkan Ethan mengenal betul bagaimana Lionel. Dan Ethan percaya, Lionel adalah laki-laki baik, juga penyayang.

"Kalo lo, Bi?" Elena gantian bertanya pada Abigail. Tapi gadis itu terlihat tidak mendengarkan ucapannya. "Abi? Oiii, jangan ngelamun ih!"

"Eh ya, Kak—" Abigail langsung gugup. "—anu, nggak ini aku nggak ngelamun kok."

"Kenapa sih? Lo daritadi diem aja lho," ucap Elena lagi. Lionel di sisinya ikut menoleh dan Ethan berusaha mencari dua mata Abigail untuk dipandang.

"Lo sakit, Bi?"

Abigail buru-buru menggelengkan kepala mendengar pertanyaan Ethan barusan. "Aku sehat, Kak. Cuma lagi kangen aja sama Papa Mama di Bandung."

"Kan tadi abis telponan, Bi," sahut Elena.

"Iya sih, Kak."

"Ya udah, jangan terlalu dipikirin ya. Kita having fun aja hari ini. Gue tau lo pasti bukan anak cengeng kan?"

Abigail menerbitkan senyumnya, menanggapi perkataan Elena. "Nggak lah, Kak. Kalo cengeng aku udah nangis gulung-gulung sambil bilang kangen Papa, kangen Mama, gitu."

Elena dan Lionel terbahak bersama gara-gara tingkah Abigail yang ajaib. Disela perasaan rindu yang mendiami benaknya, gadis itu bisa-bisanya membuat lelucon.

Padahal, itu hanya upaya Abigail agar tidak ada yang tahu kalau sebenarnya sejak percakapannya dengan Fena berakhir, hatinya berada pada taraf tidak baik-baik saja.

"Kalian duluan aja ke bioskop, gue mau ke toilet dulu bentar," kata Ethan membuat tiga orang lainnya berhenti berjalan.

"Di bioskop juga ada toilet kali," jawab Elena.

"Keburu nggak tahan, udah di pucuk nih. Dah!"

"Kebiasaan dasar!" gerutu Elena lalu mengajak Lionel dan Abigail terus berjalan menuju bioskop.

Sudah lebih dari dua puluh menit sejak Ethan berpamitan, namun sampai detik ini laki-laki itu tidak memunculkan kembali tubuhnya. Di tangan Elena sudah ada empat tiket yang filmnya akan dimulai satu jam lagi. Elena berkeinginan mengisi perut terlebih dulu sebelum nantinya mereka masuk, lagipula satu jam bukanlah jarak yang cepat kalau dibiarkan menganggur begitu saja.

"Coba LINE aja, Beb," Lionel memberi usul. Elena yang duduk di sampingnya kemudian merogoh ponsel dari dalam tas.

Sebelum Elena sempat membuka passcode yang melindungi ponselnya, satu pesan LINE dari Ethan telah lebih dulu datang. Pesan yang sukses membuat Elena menggeram gemas. Lionel hanya menanggapi dengan gelengan kepala dan Abigail memilih diam.

Ethan : sori gue gak bisa ikut nonton, gue dpt telpon dari deva, gue udah cabut dari mall

∞∞

Ethan menatap hampa pintu putih di jarak kurang dari satu meter dari tempatnya duduk. Darahnya masih terasa bergolak menanggapi sisa-sisa sentuhan wanita jalang yang barusaja selesai memuaskannya.

Memuaskannya?

Secara kata, hal tersebut lebih sering digunakan untuk mengacu pada penyatuan dua tubuh untuk mencapai kenikmatan bersama. Namun Ethan tidak menerapkan hal tersebut di sepanjang satu tahun terakhir.

Ethan kerap menyambangi klub malam. Ethan sering menenggak beberapa botol bir dalam semalam. Ethan selalu melampiaskan hasrat yang dipadu pengaruh alkohol dengan bantuan para wanita yang siap mengobral tubuh demi beberapa lembar uang.

Akan tetapi, wanita-wanita itu tidak ada yang sukses memberinya kepuasan tingkat tinggi seperti apa yang dulu Avisa berikan padanya. Di setiap momen sisi liarnya keluar, Ethan hanya meminta wanita binal itu untuk memuaskan birahi laki-lakinya melalui oral seks.

Mereka yang pernah diajak Ethan untuk kencan singkat tidak ada yang boleh mendapatkan sama seperti Avisa. Bagi Ethan, hanya Avisa yang pantas mendapatkan itu. Sampai nanti suatu saat—mungkin—Ethan dapat menemukan pengganti Avisa, walau persentasenya amatlah kecil karena Ethan tetap berada pada garis dimana dia hanya menatap satu gadis di dalam matanya. Hanya ada Avisa seorang.

Malam ini, penyebab Ethan meminta wanita jalang tadi membantunya menumpahkan napsu yang menggebu-gebu salah satunya adalah pertemuannya dengan seorang wanita di depan pintu toilet mall tadi siang.

Wanita tersebut membuat perasaan Ethan kacau dalam hitungan menit, memaksa Ethan terus memutar kalimat-kalimat yang dia ucapkan.

Kepala Ethan bergerak mundur hingga membentur dinding toilet yang dingin. Disinilah Ethan pada malam ini pukul delapan tepat, terduduk di atas closet salah satu klub ditemani sebatang rokok menyala sambil mendengungkan satu pertanyaan tertuju untuk dirinya sendiri.

Am I a loser?

∞∞

Siang tadi, pukul 15.07...

"Ethan?"

Langkah Ethan terhenti di depan pintu toilet pria saat mendengar namanya disebut oleh seseorang. Ethan mencari, lalu menemukan seorang wanita berusia lebih dari setengah abad berdiri di belakang punggungnya. Wanita itu berdiri dengan tangan memegang tali tas.

Senyumnya masih sama seperti satu tahun yang lalu. Senyum pilu seorang ibu yang ditinggalkan oleh anak gadis kesayangannya. Setelah satu tahun berlalu, apa mungkin kesedihan itu belum hilang? Atau justru bertambah tebal?

"Tante Hanggini?" Ethan balas menyapa. Keinginannya untuk segera menumpahkan sesuatu di dalam toilet terpaksa dia kesampingkan. Ethan mendekati wanita yang tak lain adalah ibu Avisa. Sama seperti kebiasaannya dulu, Ethan selalu mencium tangan Hanggini setiap kali bertemu. "Tante apa kabar?"

"Ya seperti yang kamu lihat, Ethan," jawab Hanggini pelan. "Kamu sendiri apa kabar?"

"Baik, Tante, Puji Tuhan."

Hanggini memberi senyuman. Tatapannya mengunci wajah Ethan, meneliti apakah ada perbedaan antara sosok laki-laki itu satu tahun yang lalu dan sekarang. "Kamu nggak banyak berubah ya, cuma lebih gemuk aja sekarang."

"Lagi jarang olahraga, Tante."

"Tante seneng liat keadaan kamu. Tante pikir kehilangan Avisa akan membuat kamu terpuruk terlalu dalam."

Ethan tersenyum sendu. Mana mungkin dia tidak terpuruk selepas kepergian Avisa untuk selama-lamanya. Bahkan sampai detik inipun, bayangan Avisa tetap menempel lekat di hati dan ingatannya. Di balik semua kesedihan yang selama ini dia rasakan, Ethan berusaha bersikap realistis. Dia tidak mau Avisa menganggapnya sebagai laki-laki payah. Ethan masih mempunyai tugas sebagai manusia di bumi ini, karena itu Ethan berjuang agar apapun yang mengusik dirinya, dia tidak boleh tumbang. Ethan ingat betul bahwa dulu Avisa sering mewanti-wantinya untuk selalu menjaga kesehatan. Dan Ethan patuh.

"Bagi aku, kehilangan Avisa sama aja dengan kehilangan separuh nyawa, Tante. Tapi setelah satu taun, aku berusaha kuat karna aku nggak mau Avisa kecewa di surga sana."

"Tante udah pernah merasakan sakit dan hancurnya kehilangan seorang belahan jiwa, dan Tante berharap hal itu nggak akan menimpa Mama kamu, Ethan," ucap Hanggini lalu menyentuh tangan Ethan. "Terus semangat apapun yang akan terjadi kelak. Percayakan dan pasrahkan semuanya sama Tuhan. Biarkan tangan Tuhan yang bekerja atas diri kamu."

"Tante juga harus terus semangat dan jaga kesehatan. Avisa sangat sayang sama Tante, dan pasti dia ingin Tante tetap tersenyum untuknya," gantian Ethan memegang tangan Hanggini. Berhubungan dengan Avisa sekaligus memberikan Ethan keluarga baru. Hanggini tidak lagi dia anggap hanya sebatas ibu dari teman dan kekasihnya, melainkan ibunya sendiri. Hanggini begitu tulus menyayangi Ethan, membuat Ethan nyaman berada di dekatnya. "Om Riswan apa kabar, Tante?"

Riswan adalah nama ayah Avisa. Pria itu dulu juga bersikap sangat baik terhadap Ethan. Tapi setelah kepergian Avisa yang ada hubungannya dengan Ethan, Riswan berubah drastis, sama seperti Manuel. Kala itu, Ethan yang datang setelah Avisa dimakamkan harus menelan kekecewaan karena Riswan dan Manuel kompak mengusirnya. Segala macam sumpah serapah telah Riswan lontarkan untuk Ethan. Hanggini yang waktu itu membela Ethan pun kena getahnya karena Riswan langsung melarangnya untuk bertemu kembali dengan Ethan.

Itulah terakhir kalinya Ethan bertemu Riswan dan Hanggini, sedangkan Manuel kerap dia temui di kampus, walaupun diantara mereka tidak ada lagi keakraban seperti dulu.

Mendengar pertanyaan Ethan, wajah Hanggini mendadak pucat. "Om Riswan...udah meninggal tiga bulan yang lalu."

Ethan terkejut. Yang dia tahu Riswan tidak mempunyai riwayat penyakit berat semasa hidupnya. "Om Riswan sakit atau kenapa, Tante?"

"Kena serangan jantung. Sejak Avisa pergi, dia sering sakit-sakitan. Dia begitu terpukul karena kehilangan permata kebanggaannya. Om Riswan terdeteksi penyakit jantung sekitar lima bulan yang lalu. Beberapa kali dia sempat dirawat dan dokter bilang belum ada yang perlu dikhawatirkan, asal Om Riswan bisa menjaga kesehatan, serangan jantung itu nggak akan datang. Tapi..."

Hanggini berjuang keras agar airmatanya tidak jatuh, mengingat apa yang menimpa suaminya sama saja membuka luka yang belum kering.

"Tapi apa, Tante?"

"Tapi sore itu, setelah Om Riswan tahu kenyataan tentang kamu dan Avisa, dia kena serangan hebat. Dan dalam perjalanan ke rumah sakit, Om Riswan udah dinyatakan meninggal," ucap Hanggini sedih.

"Kenyataan yang Tante maksud itu—"

"Tante tahu apa yang terjadi, apa yang dia sembunyikan sampai ke rumah peristirahatan terakhirnya. Selama ini Tante diam, sampai akhirnya Om Riswan nggak sengaja mendengar doa Tante untuk Avisa," jawab Hanggini sambil menatap Ethan lekat. Tidak butuh waktu lama, Ethan langsung sadar apa yang sedang dibicarakan oleh Hanggini.

"Tante, maaf karna aku—"

"Semua udah terjadi Ethan, nggak ada gunanya kita menyesali semuanya. Yang terpenting sekarang, kita harus terus mendoakan mereka yang telah berpulang, agar keabadian terus melingkupi mereka di surga sana," Hanggini menghela nafas, mencoba tersenyum dalam kesesakan batinnya. "Tante berdoa supaya kamu bisa menemukan pengganti Avisa. Hidup kamu masih panjang, Ethan. Masih banyak lembar buku kehidupan yang harus kamu isi. Seberapa besar cinta kamu terhadap Avisa, jangan jadikan itu sebagai penjara untuk mengurung diri kamu sendiri. Tante percaya dan Tante tahu kamu adalah anak yang baik, maka Tuhan pasti akan mengirimkan sosok perempuan baik untuk kamu."

Hanggini memindahkan tangannya ke salah satu pipi Ethan, lantas membelainya pelan. Kasih sayang itu belum hilang dan akan tetap sama. Hanggini tidak menyalahkan Ethan atas peristiwa itu karena dia paham bagaimana perasaan Ethan pada Avisa. Sebagai umat ciptaan Tuhan, Hanggini tidak mau bersikap egois dengan mengecam Ethan. Yang dia yakini, apapun yang telah Tuhan rencanakan pasti mempunyai akhir yang indah.

"Apa yang Tante tahu, nggak akan Tante bagikan pada Manuel. Tante nggak mau memupuk kebencian dalam diri dia, justru Tante selalu berdoa agar Manuel mau menerima kamu kembali sebagai temannya," Hanggini menambahkan.

Hanggini kemudian pergi, menyisakan perasaan bersalah dalam diri Ethan. Sikap baik Hanggini justru membuat Ethan merasa sangat berdosa karena secara tidak langsung kepergian Riswan adalah karena ulahnya. Kalau saja Ethan mau jujur lebih awal sebelum tragedi itu terjadi, mungkin semuanya tidak akan seperti ini. Sayangnya, Ethan yang dulu dapat dikatakan sebagai sosok lemah dan penakut. Keberaniannya belum penuh untuk sekedar jujur.

Sekarang, setelah semuanya terjadi, Ethan baru menyesal. Dirinya ternyata hanya seorang pecundang. Dan seketika dia merasa tidak pantas dicintai oleh gadis seperti Avisa.

∞∞

Happy Sunday!

●Minggu, 4 September 2016●

Continue Reading

You'll Also Like

6.3M 327K 59
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
16.9M 748K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
596K 25.6K 40
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
436K 27.2K 55
Masalah besar menimpa Helena, ia yang sangat membenci bodyguard Ayahnya bernama Jason malah tak sengaja tidur dengan duda empat puluh empat tahun itu...