Di Bawah Nol (Book 1)

By agitaputrish

712K 100K 7.7K

(Completed) Dunia kini berbeda. Badai datang dan tak kunjung berhenti. Salju pun mengubur seluruh kota serta... More

Prolog
HOPE
Sampai Jumpa
Hari Pertama
Serangan
Si Misterius
Penyakit Padang Salju
Berdua Menantang Maut
Bunker JKT-2034
Runtuh
Bangkit
Pencarian
Jembatan Tua
Harta Karun?
Lima Puluh Sembilan Jam
Characters Illustration
Halusinasi
Reruntuhan
Terguncang
Lebih Tangguh
"Harapan?"
Menunggu
Hutan Yang Tak Biasa
Sampai Jumpa Di Padang Hijau
Selamat Datang
Sosok Lain
Tentang Sequel
SURPRISE

Padang Salju dan Rahasianya

25.1K 3.5K 333
By agitaputrish

"DISTY!"

Dirga berlari masuk kemah, membopong Aksa. Teriakan lirihnya membuat seluruh kegiatan berhenti. Ardela nampak berlari sprint menembus kerumumunan dan kedua matanya seakan menjerit.

Tangan kanan sampai sebagian wajah Aksa dipenuhi lecet berwarna merah. Beberapa bagian terlihat menggelembung putih seperti melepuh. Mata kanan dan hidungnya mengeluarkan darah, terus menetes membasahi kaosnya.

"Apa yang terjadi?!" teriak Ardela. Dia hendak menyentuh lecet di pipi Aksa, tapi Dirga menangkis tangannya.

"Jangan!" balasnya. "Dia menyentuh sesuatu di batang pohon dan... ini terjadi."

"Mungkin... getah beracun."

"Hah? Apa itu getah? Hewan? Apa dia akan mati?!" teriak orang-orang di kerumunan.

Disty datang dan mengejap-ngejap tak mampu bicara. Dia melihat lecetnya, tapi hanya mengerutkan kening. Seakan tak tau apa yang ia lihat. Lalu ia menyentuh kening Aksa dan memeriksa denyut di lehernya.

"Dia demam tinggi dan... denyut lemah." Disty kebingungan. "Semua keluar dari kabin dua! Jangan ada yang masuk, kecuali kalian mau tertular."

Dirga dibantu dua orang mengangkat Aksa ke kabin dua. Orang-orang berlarian menjauh saat Aksa lewat.

Ardela hendak mengejar, namun ia melihat El dan Juna memasuki kemah. Tak sendiri, mereka menarik sesuatu yang besar dan putih, nampaknya berat. Awalnya ia kira gumpalan salju, tapi itu memiliki kepala dan sesuatu mencuat dari kepalanya. Tanduk. Ada dua dan bercabang.

Rusa.

Mata Ardela berbinar bahagia. Itu hewan pertama yang ia lihat seumur hidupnya. Ia sempat penasaran karena rusa yang ia lihat di buku Biologi berwarna coklat, bukan putih. Dia ingin memeluk dan mengajaknya ngobrol seharian, tapi El meletakannya di tengah kemah dan menyuruh memasaknya. Orang-orang pun bersorak bahagia.

El memergoki Ardela yang senyam-senyum sendiri. "Kau segitu laparnya?"

"Itu seekor rusa!" Dia bahkan tak sadar tersenyum ke El. "Rusa sungguhan."

"Ya, banyak hal baru di hutan," balasnya. "Nanti sore aku berburu lagi. Mau nitip?"

"Tidak." Ardela menaikkan satu alis. "Aku ikut berburu."

***

Berburu adalah seni bertahan hidup.

Di luar sana, di manapun kita berada, kita akan selalu berburu. Entah di atas salju atau mungkin... suatu saat di atas rerumputan. Tanpa keberanian, kita tak akan mampu berburu dan tanpa berburu, kita tak akan bertahan hidup. Jadi, sebelum mempelajari segala macam senjata untuk berburu. Pertama-tama, belajarlah untuk berani.

Itu yang Pak Andar katakan di perkenalan kelas berburu. Ardela terus belajar berani. Langkah demi langkah ia ambil di tengah hutan ini. Berharap tak ada kanibal lompat ke wajahnya.

"Aku tak melihat rusa," bisiknya.

"Karena emang belum ada." El melompat dan menarik tangan Ardela sebelum ia menyentuh pohon di sampingnya. "Aku yakin nilai kewaspadaanmu jelek di kelas berburu. Hati-hati, itu yang Aksa sentuh."

Itu menempel di batang pohon. Warnanya hijau, berbentuk tipis melebar dan seperti ditumbuhi bulu yg terlihat berlendir. Ardela lebih penasaran ketimbang takut karena itu berpendar hijau. Dia tak ingat tanaman ini di kelas manapun.

Jumlahnya tak hanya satu, mereka menempel di banyak pohon. Menyala menerangi hutan di bawah langit redup.

"Mereka tak menyala tadi siang," kata El.

Dia menoleh saat mendengar suara gesekan di kejauhan. Lalu menyiagakan tombaknya ke depan. Dia melangkah duluan. Melompati rontokan dahan dan bebatuan dengan lincah namun tanpa suara. Ardela sempat kerepotan dan terjatuh kesandung batu, tapi berhasil menyusul.

El berhenti, mengintip dari balik pohon. Mencari sumber suara, tapi Ardela menemukannya duluan. Matanya berbinar-binar melihat makhluk yang berdiri beberapa belas meter di depannya. Perlahan bibirnya melengkungkan senyuman. Matanya terus terpaku sampai tak sadar El memandanginya.

"Itu rusa," katanya. "Bulunya tebal dan putih. Pasti beradaptasi karena badai salju. Ibuku bisa menjerit bahagia melihatnya."

Ardela menoleh, terkejut. Wajahnya hanya sejengkal dari El. Bahkan ia bisa mendengar irama napasnya dan menghirup wangi tubuhnya, hangat dengan sedikit wangi mint. Lalu dia menatap mata itu sejenak. Segera tersadar saat mendengar bunyi langkah.

El berdehem. "Ayo, dia kabur."

Mereka berlari sambil merunduk. Melompati patahan batang pohon dan meluncur di turunan bersalju. El sampai harus memegangi tangan Ardela agar ia tak terjerembak. Mereka sempat tak sengaja berpelukan hingga jantung Ardela berpesta.

Ada sesuatu dari El yang membuatnya selalu gugup sekaligus sebal. Caranya menatap seakan mampu melelehkan Ardela di tengah padang salju.

El kehilangan jejak rusanya, tapi mata Ardela berhasil menangkap tubuh gemuk, putih, berkaki empat itu. Ardela berbelok, berlari mengikutinya ke dalam pepohonan yang lebih rapat.

Di sini semakin gelap, tapi kemudian muncul segaris cahaya di kejauhan. Warnanya jingga, begitu terang dan tajam, membuat Ardela menyipitkan mata. Semakin dekat, cahayanya meluas, bersinar jingga di balik siluet pepohonan.

"Kau yakin rusanya kemari?" tanya El.

"Tidak."

"Hey, ini bukan saat yang tepat untuk jalan-jalan cantik di hutan!" balasnya. "Ada puluhan perut kelaparan menunggu kita."

Ardela mempercepat langkahnya. Dia menjerit dan El reflek menariknya sebelum ia jatuh dari tebing. Selangkah lagi, ia tamat.

Kepalanya mendadak pusing, menatap dataran putih belasan meter di bawahnya. Meluas sejauh mata memandang dan pegunungan nampak memagari di kejauhan. Bentuk pegunungannya berbeda. Puncaknya tak bergelombang, tapi bergentuk persegi. Beberapa bagian lebih tinggi dan lainnya lebih pendek. Setiap sisinya lurus, tak seperti lereng gunung pada umumnya. Ia belum pernah melihat pegunungan seperti itu di kelas Geografi.

"Tempat apa ini?"

Dia melihat dataran putih di bawahnya lebih teliti. Terlihat sisa-sisa bangunan terkubur salju. Ada barisan banguan berdinding beton dipenuhi jendela bolong. Beberapa bangunannya miring dan menubruk satu sama lain. Salju mengubur semuanya sampai setengah bagian. Di salah satu puncak bangunan, terpampang papan besar bertuliskan JA lalu RTA, dua huruf tengahnya tertutup salju.

Tak hanya bangunan. Sebuah tiang terkubur salju, ada sisa dua jalur kabel di atasnya. Di tengah padang salju, terlihat beberapa meter jembatan aspal, masih lengkap dengan tiang lampu lalu lintas. Tiang beton yang menyangganya hampir habis dilahap salju. Di atas jembatannya, beberapa mobil dilapisi es parkir tak beraturan. Bahkan ada sebuah helikopter, tergeletak di atas barisan mobil.

Ardela tak mau membayangkan bagaimana semua itu terjadi.

"Ini kota Jakarta," kata El. "Dulunya."

"Aku tak tau ada pegunungan di Jakarta."

Dia menghela napas dan mendangak. Seketika menghalangi matanya yang silau. Cahaya jingga terlihat melebur di kejauhan, meninggi dikelilingi gulungan awan. Cahaya itu perpaduan antara kuning, merah muda dan semburat oranye. Seakan menarik langit kelabu di sekitarnya dan perlahan tenggelam di balik garis pegunungan. Membiarkan langit biru gelap datang perlahan.

Dia pun menurunkan tangan untuk melihat cahaya itu dengan kedua mata. Warnanya begitu hidup, seperti lukisan raksasa terpampang di langit. Cahayanya bersinar lembut, membuat salju berkilauan seperti lautan berlian. Salju tak pernah terlihat seindah ini. Untuk sejenak, ia bahkan lupa ada kota mati di bawahnya.

"Sunset."

Kebahagiaan meleleh di mata Ardela. Memang banyak jendela di Graha, tapi seumur hidup ia belum pernah melihat sunset karena tiap sore awan kelabu berkunjung.

Dia tertawa kecil, cahayanya terasa begitu hangat saat menyentuh kulit. Sebuah sensasi baru yang membuat Ardela tak ingin beranjak. Ia pun memejamkan mata, merasakan wajahnya dipeluk kehangatan. Tak bisa berhenti senyum seperti orang gila.

"Kau mau di sini selamanya?" tanya El, tapi tak ditanggapi. "Ya, abaikan saja aku."

"Diamlah, aku sedang menikmati sunset pertamaku."

El mundur beberapa langkah, menjatuhkan tombaknya. Membiarkan Ardela asik bermandi cahaya sore dan cekikikan sendiri. Perlahan ia menarik sesuatu dari saku, matanya tetap fokus ke cewek itu.

Sebuah pistol, hitam berkilat.

Dia menarik bagian atas, klik, lalu menodongkannya ke kepala Ardela. Napasnya terengah-engah dan tangannya mulai gemetar. Suara tawa manis itu membuatnya tak sanggup menekan pelatuk.

Jika caraku gagal, aku ingin kau memusnahkan gadis itu. Lukai kepalanya dan buatlah dalam. Sinyal tracker akan mati seketika dan setelah kau berhasil, akan kubebaskan ibumu dari eksekusi.

Tapi apa salahnya?

Dia tau yang tak seharusnya ia tau. Ibumu bisa dibungkam tapi gadis ini anak Dimitri, pasti keras kepala. Lakukanlah, kau tak perlu kehilangan ibumu juga.

El pun yakin. Dia tak bisa membiarkan Iren menjadi yatim piatu lagi. Dia tak mau kehilangan ibunya. Jadi, sepertinya ini tak apa. Orang-orang tidak akan curiga, dia sudah menyiapkan cerita.

Matanya memejam. Ia menekan pelatuk perlahan. Namun jarinya seakan membeku. Ada dua sisi yang berperang di dadanya. Dia ingin ibunya selamat, tapi tak sanggup membunuh Ardela. Gadis itu memang menyebalkan, tapi setiap berada di dekatnya, seakan El tak melihat orang lain. Hanya ada dia. Bahkan ia tak peduli dinginnya padang salju.

Tawa ringan dan manis itu terdengar lagi. El pun menurunkan pistol, memasukkannya kembali meski berat hati. Bayangan tentang ibunya duduk di kursi listrik membuatnya jatuh terduduk di atas salju. Merunduk.

Ardela terkejut, langsung berlutut di depannya. "Kau kenapa?!" teriaknya. "Menggigil? Kakimu mati rasa? Atau... pusing? Kumohon, jangan hipotermia di sini, aku tidak—"

El membekap mulutnya. "Diamlah," balasnya. "Aku hanya... mendadak memikirkan ibuku. Dia sangat ingin melihat sunset."

Keheningan muncul. Keduanya tak mengerti harus ngomong apa. Ardela nunduk memandangi salju. El melamuni wajah Ardela. Melihat setiap detail—bibir tipis, bulu mata lentik dan mata coklat gelapnya. Meski ada pemandangan cahaya matahari terbenam, ia tetap tak mau berpaling. El tak percaya semenit lalu hendak membunuhnya.

"Aku tak bisa kehilangan ibuku. Iren sudah kehilangan orang tua kandungnya saat kecil. Lalu ayahku dieksekusi. Dia sudah cukup... terluka. Dan apabila ia kehilangan ibuku juga, aku takut dia... berubah."

"Dia masih punya kau dan teman-teman baru di kemah," balas Ardela. "Aku yakin luka hatinya akan mereda."

"Aku suka optimismemu." El tersenyum. Bibirnya melengkung begitu pas di antara rahang tegas itu. Membuat Ardela terjerat sejenak.

Dia pun berdehem, mencari pertanyaan untuk menghilangkan pikiran gilanya. "Aku tak berniat lancang, hanya agak penasaran soal—"

"Kaki Iren?" serobot El. "Umm.. dia menyebutnya monoplegia. Jangan tanya apa, aku enggak paham. Pokoknya, waktu kecil dia mengalami kecelakaan saat ia ikut ayahnya ke ruang mesin. Sejak itu, ia harus berjalan dibantu leg brace, tapi keadaan itu tak menghentikannya menggapai cita-cita."

"Dia bercita-cita jadi apa?"

El tersenyum. "Dokter."

Ardela ikut tersenyum. "Aku yakin Iren bisa. Dia terlihat tangguh," balasnya. "Aku yakin itu ia dapat darimu."

"Wow, kau memujiku? Ini pasti mimpi." Mereka tertawa kecil sejenak. Terasa melegakan seperti melepas sedikit beban di pundak. "Oh ya, bagaimana denganmu? Kau tak terlihat homesick."

"Kau gila?! Aku sangat rindu ayah ibuku, tapi aku enggak sedih. Mereka pasti baik-baik saja di Graha. Mereka juga tau aku masih hidup."

El mengerutkan kening. "Kenapa kau begitu yakin? Mereka terakhir mendengar suaramu dua hari lalu," katanya. "Umm... aku tak bermaksud merusak momen."

Ardela tertawa kecil. "Kurasa salju membuatmu pikun." Dia menarik lengan mantel. Menunjukkan tonjolan kecil di pergelangan tangannya. Ada titik berkedip biru di balik kulitnya. "Para dewan, termasuk ibuku, memantau tracker kita selama dua puluh empat jam. Selama tracker-ku menyala berarti aku masih hidup."

Untuk semenit, El hanya melamuni tracker di tangan Ardela. Banyak pikiran berkecamuk di kepalanya. Semuanya tak ia sukai.

Tiba-tiba ia berdiri dan mengambil tombak. "Sudah hampir gelap. Kita harus segera dapat rusa dan pulang." Dia melangkah duluan. "Aku tak mau bertemu kanibal di sini."

***

Iren membelah manggis dengan pisau, dia sampai ngeden. Buah manggis yang Ardela dan Elvan temukan di hutan besarnya sebola voli. Mereka kira buahnya akan berlimpah, ternyata lebih banyak kulitnya. Iren tak menyalahkan manggisnya. Buah itu terpaksa beradaptasi meghadapi badai salju.

"Kita kehabisan rusa panggang." Iren menyodorkan buahnya ke Aksa. "Ini makan malammu."

Aksa menggeleng. Dia berbaring di lantai kabin beralaskan sleeping bag. Asik meniup harmonika. Tangan kanan dan sebagian wajahnya ditutupi krim ungu. Itu makser kulit manggis buatan Disty. Katanya, ampuh menyembuhkan alergi. Iren tertawa setiap melihatnya.

"Wajahku sudah kenyang memakannya," kata Aksa. Dia melirik Ardela yang duduk dekat pintu. "Kau enggak lapar, Nona Penjaga?"

"Enggak," balasnya tanpa menoleh.

Kemudian hening. Iren menatap Aksa dan Ardela bergantian. Mulai mengerti ketegangan di antara mereka. "Umm... jadi kalian sudah lama berteman?"

Aksa mangap mau menjawab... "Enggak," serobot Ardela. Lalu ia menoleh ke Iren, wajahnya mendadak ramah. "Kau dan kakakmu itu terlihat sangat akrab."

Gadis gembil itu ngangguk. "Ya, kami tak terpisahkan. Dia tuh seperti paket lengkap ayah, ibu dan kakak. Super perhatian dan serba bisa, aku sangat manja padanya. Ditambah, semua yang kubisa kupelajari darinya," balasnya. "Kecuali soal medis, dia buruk banget."

Tak tau kenapa Ardela tersenyum salah tingkah. El selalu terlihat gagah, ia kira bukan tipe perhatian. Dan untuk pertama kalinya dalam setahun Ardela tak marah saat melihat Aksa. Kekesalan dan patah hatinya hilang sejenak hanya karena mengingat El. Membayangkan dia menggendong dan me-ninabobo-kan Iren saat kecil.

"Aku harus melapor ke Disty." Iren melangkah perlahan, menyeret kaki kanannya lalu membuka pintu kabin. "Del, bisa tolong kompres Aksa?"

Ardela pindah duduk di sebelah Aksa. Memeras kain hangat itu dan menempelkannya di kening Aksa. Tanpa ekspresi, tanpa bicara sedikitpun. Sementara kedua mata quartz itu menatapnya, tak kunjung lepas. Mengikuti setiap gerakan mata Ardela.

"Apa?" tanya Ardela tajam.

"Aku membuat lagu untukmu." Aksa mengangkat harmonikanya. "Mau dengar?"

"Aku tak peduli."

Aksa malah tersenyum. Memandangi tangan Ardela saat memeras kain. Lalu berpindah ke wajahnya. Senyumnya perlahan memudar. Dia ingat dulu cewek itu sering memandanginya seakan ia adalah cowok terkeren se-Graha. Sekarang, bahkan Ardela tak mau meliriknya.

"Kau tidak akan memaafkanku ya?"

"Aku sudah memaafkanmu." Ardela menekan kain ke kening Aksa. "Tapi sejak hari itu, bagiku kau tidak ada."

Bukannya tersinggung, Aksa malah tertawa kecil. Dia mengambil sesuatu dari sakunya. Bungkusan kecil berisi sepotong roti kering. Dia menarik telapak tangan Ardela dan meletakkan rotinya.

"Setidaknya, terima ini. Aku rela ditinju demi menyimpannya untukmu." Dia terdiam sejenak. "Aku akan selalu peduli, Del, meski kau membenciku."

Ardela tak mengatakan apapun. Sudah kebal mendengar gombalan Aksa. Dia mengantongi rotinya lalu menyentuh leher Aksa dengan punggung tangan. Bersyukur karena panasnya sudah turun.

Ngik! Seseorang membuka pintu kabin. Rambut gondrongnya terlihat dihinggapi butir-butir salju. "Hey, Anak Penjaga," kata Juna. "Elvan memanggilmu, dia ada di tenda belakang."

Tanpa ragu, Ardela berdiri dan melangkah meninggalkan Aksa. Sebenarnya, bahagia punya alasan untuk pergi.

Dia mendorong pintu kabin sampai tertutup. Di luar, hanya sedikit salju yang berjatuhan dari langit gelap. Angin juga berhembus lembut. Sepertinya malam sedang tenang.

---

thanks for reading, akan diupdate tanggal 22 Agustus 2016 :)

Continue Reading

You'll Also Like

132K 8.4K 15
Buku Satu ☑ The Forest Voyage : Cerveau Bang [ Completed ] Camp SMA Victory Plus kali ini berlokasi di Hutan Sava, sebuah hutan misterius tanpa p...
656K 85.2K 30
Cover By @an-apocalypse Bayangkan, dengan keadaan survivor di luar dinding yang mulai kehilangan rasa kemanusiaannya. Dan sanggup membunuh hanya demi...
3.1K 555 18
🍁Teen-Lit - Fantasy - Minor Romance🍁 Aku manusia robot, kata Anna. Ucapannya salah, padahal yang manusia robot itu Maza, partner perjalananku. Aku...
407K 36K 37
Buku Ketiga dari empat buku dalam seri T.A.C.T. (Fantasy - Romance) Apa yang akan kamu lakukan saat mengetahui kalau dirimu dijodohkan dengan lebih d...